Qurban Perasaan

Baca Juga :
    Judul Cerpen Qurban Perasaan

    Tepat hari ini adalah hari raya Qurban atau Hari Raya Idul Adha. Aku sudah tidak dapat lagi menahan perasaanku yang selama ini aku pendam kepada seorang wanita. Dia adalah Shinta, menurutku Shinta adalah wanita paling cantik di kelasku, dia juga siswi paling pintar di kelas, terbukti dia selalu menjadi juara pertama. Dan aku adalah Andi, aku adalah seorang anak laki-laki bertubuh kecil, berkulit tidak terang, sedikit kurus dan tidak terlalu keren, tapi tetap manis kalau lagi senyum. Aku adalah pribadi yang humoris, sehingga siapa saja yang berteman denganku pasti sering tertawa melihat tingkah lakuku. Dan aku adalah siswa paling pintar kedua di kelas, terbukti aku selalu menjadi juara kedua setelah Shinta.

    Aku dan Shinta memang sangat akrab, kami sering belajar bersama, bercanda bersama, dan SMS-an bersama juga. Kami sering jadi bahan ejek-ejekan dan dijodoh-jodohkan oleh teman-teman yang lain karena kedekatan kami ini. Karena kedekatan kami inilah membuat aku menjadi suka dengan Shinta, dan juga melihat respon Shinta yang selalu positif kepadaku. Mungkin dia juga menyukai ku. “Aaah… Entah aku yang ke GR-an atau apapun itu, yang jelas aku harus mengungkapkan perasaanku ini padanya.” Dalam hati aku berkata.
    Jujur ini adalah kali pertama aku jatuh cinta kepada seorang wanita, entah bagaimana cara mengungkapkanya aku pun tak tahu, mungkin aku bisa meniru gaya-gaya di film sinetron romantis atau apalah itu.

    Tepat hari ini adalah momen yang pas dan mudah diingat, dimana semua orang bergembira, yang galau jadi senang dan yang senang makin senang. Yaitu hari raya Qurban atau Idul Adha. Aku harus bicara dengan Shinta tentang perasaanku ini.
    “Oke, hari ini aku harus mengungkapkan perasaan ini kepada Shinta.”

    Aku pun mengirim sebuah pesan ke Shinta lewat SMS.
    “Hay Shin, aku boleh ke rumah kamu gak sekalian mau silaturrahmi, mumpung lagi momen Idul Adha.”
    Tak lama kemudian Shinta membalas SMS dariku.
    “Oh iya Andi silahkan, kebetulan ada teman-teman yang lain yang juga datang ke rumahku.”
    Padahal aku berharap hanya ada aku dan Shinta saat itu, tapi mau bagaimana lagi, ya sudahlah.
    Aku pun segera berangkat menuju rumah Shinta yang tidak terlalu jauh dari rumahku.

    Akhirnya aku tiba di rumahnya, aku pun mengetuk-ngetuk rumahnya sambil memanggil-manggil namanya.
    “Tok.. Tok tok.. Shinta..!” Tak ada jawaban.
    Aku kembali mengetuk pintunya.
    “Tok tok to..”. Tiba-tiba pintu terbuka, muncul seorang bapak-bapak berkumis tebal dan berbadan gemuk, dan aku masih mengetuk, tapi yang aku ketuk adalah jidad si bapak itu.
    “Ada apa ini dek, berisik di depan rumah orang”. Sambil matanya melotot kepadaku.
    “Anu pak, saya maaamaauuu caarrii sshhiin shiin taa..” Sambil gemetar, tapi tidak sampai ngompol.
    “Di sini gak ada yang namanya Shinta.” Braaakkk… Pintu ditutup dengan keras.
    Huh sepertinya tak salah lagi, aku salah rumah, sialan. Sudah jatuh ketiban tangga. Sudah salah rumah eh juga kena marah-marah bapak berkumis, tapi untung saja… Aku pun memeriksa celanaku. Ya aman aku gak ngompol.

    Tiba-tiba ada yang memanggilku di seberang rumah bapak tadi. Ternyata itu adalah Shinta.
    “Andi, ke sini!”
    Aku pun menghampirinya.
    “Hay Shinta!” aku menyapanya.
    “Hay juga, oh ya ngapain tadi kamu ke rumah pak Tono?”
    “Haha iya, tadi aku silaturrahmi gitu sama beliau.” Sambil senyum-senyum terpaksa.
    “Oh ya, wah kamu berani yah, padahal Pak Tono itu terkenal galak lo di daerah sini.”
    “Ah masa, beliau baik kok.” Dalam hatiku, iya betul galak banget Shin. Untung saja Shinta gak tau yang sebenarnya, bisa-bisa aku beneran ngompol karena malu.
    “Andi masuk dulu yuk!”
    “Iya Shin. Oh ya Shin, teman-teman yang lain pada kemana ya, katanya juga mampir ke sini.”
    “Mereka sudah pulang dari tadi, katanya sih mau ke rumah yang lain lagi.”
    Dalam hatiku, yes yes yes, ini memang momen yang pas untuk aku mengungkapkan perasaanku selama ini kepada Shinta. Tapi yang jadi masalah sekarang bagaimana caranya, sebelumnya aku tak pernah nembak cewek, aku hanya pernah melihat cara nembak cewek di film-film sinetron saja, mungkin aku bisa menirukannya dalam kehidupanku sekarang. Tapi entah kenapa aku menjadi gugup, tiba-tiba tubuhku jadi gemetar lagi, wajahku memucat, aku jadi susah bicara, rambutku menghitam (sudah dari lahir), sepertinya aku salting karena baper yang berlebihan, tapi gak sampai ngompol. Dan akhirnya aku
    “Shin, aku mau ijin ke toilet dulu, di sebelah mana ya?”
    “Oh iya Andi, ada di sebalah sana.”
    “Iya makasih.”
    “Andi, jangan lupa disiram yah!” Sambil tertawa kepadaku.

    Kurang lebih 15 menit aku di dalam toilet, di situ aku melakukan ritual untuk mencari inspirasi agar dapat merangkai kata-kata yang tepat untuk aku sampaikan pada Shinta. Dan akhirnya aku siap.

    Aku pun kembali ke ruang tamu menghampiri Shinta.
    “Shin aku mau bicara serius sama kamu.”
    “Bicara apa Andi? Eiitsss, lama banget sih tadi di toilet, ngapain aja, disiram gak tadi, haha.”
    “Iya, tadi aku pingsan kaya gitu dulu, haha yaiyalah aku siram, kalau gak nanti ada yang ngapung gitu.” aku tersenyum kepadanya.
    Aku pun kembali blank, bingung mau bicara apa karena keasikkan bercanda dengan Shinta. Aku jadi diema antara mengungkapkan perasaan ini atau tidak.
    Dan kurasa sepertinya ini bukan momen yang tepat untuk aku bicara.

    Hingga hari sudah sore, aku pun berpamitan untuk pulang.
    “Shin sudah sore nih, aku mau pulang dulu ya, terima kasih atas waktunya.”
    “Iya Andi sama-sama, kamu hati-hati ya di jalan!”
    Aku pun membalikkan tubuhku dan melangkah ke luar rumah Shinta. Tiba-tiba dia memanggilku.
    “Andi, aku lupa, aku jadi penasaran kamu tadi mau bicara serius apa ya?”
    Aku terdiam saat dia bertanya seperti itu. Aduh aku harus bagaimana, apakah aku katakan sekarang atau bagaimana?. Aku pun membalikkan tubuhku ke arahnya dan secara refleks tanganku memegang kedua belah tangannya dan mulutku juga secara reflek dan spontan berkata.
    “SHIN, SEJUJURNYA AKU SUDAH LAMA MENYUKAIMU, AKU MENYAYANGIMU, AKU TAK BISA BICARA BANYAK LAGI, APA KAMU MAU JADI PACARKU?.” Persis seperti dialog di film sinetron romantis yang aku tonton apa yang aku katakan itu.
    “Hah, apa kamu serius Andi?.”
    Tiba-tiba Shinta dipanggil oleh ibunya untuk segera masuk. Dia pun melepas tanganya dariku dan masuk ke rumahnya.

    Oke, sekarang aku telah digantung olehnya. Aku belum diberi jawaban atas perasaanku itu. Namun aku sedikit merasa tenang karena aku sudah berani mengungkapkan perasaanku selama ini kepada Shinta. Aku hanya bisa berdo’a, berharap dia menerima cintaku, dan aku harap di momen Hari Raya Qurban ini, aku justru tidak berQurban perasaan.

    Aku pun pulang ke rumahku untuk menenangkan diri sambil menunggu kepastian jawaban dari Shinta yang tak kunjung datang.
    Hingga tiba malam hari, dan aku pun masih belum bisa tidur, dan aku lihat ke arah jam dinding, ternyata masih jam 8 malam.

    Aku bolak-balik di dalam kamar sempitku, aku naik-turun ke atas ranjangku hingga akhirnya handphoneku berbunyi menandakan adanya SMS masuk. Aku segara mengambil handphoneku dan membuka SMS itu. Pikirku pasti dari Shinta. Dan ternyata
    “Selamat Anda mendapatkan sebuah mobil Av*anz* dari Ind*s*t, nomor Anda baru diundi tadi sore…”
    Belum selesai aku membaca SMS tipu daya itu, langsung aku delete karena saking keselnya.

    Tak lama kemudian ada SMS lagi yang masuk. Aku tak menghiraukannya, paling SMS tak karuan lagi, pikirku.
    Semakin lama, handphoneku terus berbunyi, sepertinya banyak SMS yang masuk. Karena penasaran aku pun membukanya.
    Ternyata dari Shinta.
    “Andi, ya aku mau jadi pacar kamu, aku juga menyukai kamu Andi.” Salah satu SMS yang masuk dari Shinta.
    Aku pun histeris sendirian di dalam kamar, aku jingkrak-jingkrak di atas ranjang saking senangnya.
    “Andi kamu ngapain?” tanya ibuku dari luar kamar.
    “Nggak ada ngapa-ngapain bu.”
    Aku masih belum percaya, apakah ini mimpi? Aku jadian dengan cewek tercantik dan terpintar di kelasku. Tapi ini nyata.
    “Apakah kamu benar-benar menerimaku?”
    “Iya Andi, aku benar benar menerimamu.”
    Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku aku punya pacar. Dan Shinta adalah cinta pertamaku. Dan do’aku terkabul, hari ini aku tak harus berQurban perasaan seperti yang aku takuti.

    Kini hari-hariku diisi dengan kebersamaan bersama orang yang kusayang. Layaknya orang pacaran, kami pun punya panggilan sayang sendiri, yaitu: Si laly (panggilanku kepada Shinta karena dia sering lupa hal-hal kecil) dan Si Kodok (panggilan Shinta kepadaku, entah alasannya apa dia memanggilku seperti itu, mungkin karena suaraku seperti kodok, atau wajahku yang seperti kodok, ah aku tak peduli itu).

    Malam Minggu pertama kami aman, tak ada kendala apapun, kami dinner di sebuah restoran di dekat rumah Shinta. Suasana romantis pun tercipta, lilin-lilin kecil menyala menghiasi meja makan kami, dan bunga mawar putih menjadi saksi kisah cinta kami malam itu.
    Dan saat selesai makan malam, saat pelayan memberikan nota pembayaran, Shinta bilang aku saja yang bayar.
    “Eiitssss… aku aja.” Kataku.
    Saat aku meraba sakuku, belakang samping kanan kiri, kenapa gak ada. Aduh, aku baru ingat dompetku ketinggalan di ranselku dan ranselku ada di kamar. Mampus aku.
    “Kenapa ya Andi?” tanya Shinta.
    “Anu, anu Shin, dompetku ketinggalan.” Dengan malunya aku bicara.
    “Ya udah aku aja yang bayar, ini mas.” Sambil memberikan beberapa lembar uang kepada pelayan.
    Kulihat si pelayan itu tersenyum-senyum seperti mentertawakan aku. Sialan.
    Sungguh malam ini adalah malam yang sangat romantis bagiku sekaligus yang paling memalukan, karena yang bayar makanannya Shinta, aku gengsi.

    Hari demi hari kami lewati bersama. Kami termasuk pasangan yang jarang bertengkar, dan makin hari aku makin menyayangi Shinta. Seperti biasa, setiap malam minggu kami jalan berdua, dan yang pasti aku akan selalu ingat bawa dompet, itu yang penting.
    Hingga tepat di minggu keempat di dua puluh hari kami jadian, Shinta mengajak aku untuk bertemu.
    Dan kami pun bertemu, seperti biasanya kami saling ngobrol membahas berbagai macam topik, dan saling bercanda. Hingga ditengah-tengah perbincangan kami, Shinta mulai menunjukkan wajah seriusnya dan berkata

    “Andi, aku mau bicara sesuatu kepada kamu.”
    “Iya bicara apa ya, Si laly ku.” Sambil tersenyum kepadanya.”
    “Aku jujur, sebenarnya aku masih belum bisa melupakan mantanku.”
    “Hah, mantan yang mana, kamu gak pernah cerita kepadaku sebelumnya.”
    “Dia adalah Amir, aku masih belum bisa move on darinya. Dari pada terlalu lama, aku ingin kita temenan saja ya Andi.”
    “Aa eee oo ppaa.. Shin tapi aku masih sayang kepada kamu.” Aku berbicara terbata-bata.
    “Iya sebelum kamu terlalu dalam mencintaiku, aku harus akhiri sekarang.”
    Aku hanya terdiam menatap ke arahnya dengan tatapan tak percaya. Aku ingin rasanya menangis tapi aku tak bisa. Aku ingin rasanya berteriak TIDAK sekencang-kencangnya tapi tak bisa. Aku ingin rasanya marah kepadanya, dan lagi aku tak bisa aku hanya bisa terdiam.

    “Andi sudah malam, kita pulang yu!”
    “Ayo.” Aku antar dia pulang, tanpa ada sedikit kata-katapun yang keluar dari mulutku hingga sampai ke rumahnya.
    “Makasih ya Andi atas waktunya, selamat malam kamu hati-hati di jalan ya!”
    Aku segera pergi dari rumahnya. Dan saat sudah sampai di rumahku aku segera mengurung diriku di kamar. Aku masih belum percaya hubungan kami harus berakhir di dua puluh hari kebersamaan kami, di malam minggu yang indah ini. Mantan, sebelumnya dia tak pernah cerita tentang mantannya padaku, apakah ini semua hanya caranya untuk mendapatkan alasan meninggalkanku, atau selama ini aku hanya menjadi pelampiasannya saja, entahlah. Dan aku harus rela berQurban perasaan.

    Semua sekarang menjadi berubah 180 derajat, aku yang dulu punya pribadi yang humoris dan ceria, sekarang sering menyendiri sering melamun sendirian. Hingga banyak teman-teman yang lain yang mengatakan aku sudah gila. Dan kedekatanku dengan Shinta pun sudah tak kelihatan lagi, kami yang biasanya terlihat selalu bersama sekarang justru saling menjauh, dan saat ada Shinta pun aku coba menghindar darinya. Semuanya terus berlangsung seperti ini hingga aku lulus dari sekolahku dan Shinta pun juga. Kami melanjutkan pendidikan kami ke perguruan yang berbeda.

    Hingga akhirnya aku bertemu dengan wanita lain, namanya Maya. Sejak aku mengenal Maya, aku mulai perlahan-lahan bisa melupakan Shinta. Keceriaan yang pernah hilang kini kembali lagi. Dan aku sadar suatu hal, tak perlu harus berQurban perasaan hanya karena satu wanita, karena wanita tak hanya cuma satu, masih ada banyak di luar sana.

    Cerpen Karangan: Normadani
    Facebook: Dhanisna

    Artikel Terkait

    Qurban Perasaan
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email