Nothing For Word

Baca Juga :
    Judul Cerpen Nothing For Word

    Mimpi-mimpi yang menjadikanku seseorang yang kuat dan berani karena ini bukanlah sifat alamiahku.

    lelaki itu? Kenapa harus dia? Aku lelah, letih menyukainya..
    kenapa dia selalu muncul di hadapanku?
    Kenapa aku harus melihatnya kembali?
    Apa dia belum puas melihatku menderita mencitainya selama ini? Kenapa dia harus datang ketika aku sudah mulai mencoba untuk melupakannya!

    Kaki Gadis itu berjalan tak tentu arah, ia seperti orang yang kehilangan harapan untuk melanjutkan masa-masa remaja yang seharusnya indah itu.
    Gadis itu “Rara Selomita” ia menangis lagi, matanya terlihat sembab, siang ini ia kembali melihat wanita itu bersama pujaannya..

    Wanita yang selama ini telah lama dekat dengan lelaki yang ia sayangi sedangkan ia hanya bisa melihat lelaki itu dari kejauhan, disamping itu wanita itu adalah saudari kembarnya sendiri.
    Mereka terlihat sangat mirip dari kepala sampai ujung kaki tetapi mereka juga banyak perbedaan.

    “Ya!” teriakkan itu menghentikan langkah kaki gadis itu, ia pun menoleh ke belakang.
    “Kau kenapa? Kenapa masih di sini?” suara lembut Rere menusuk indera pendengaran gadis itu yang membuat hatinya yang sudah perih menjadi semakin perih.
    Gadis itu tersenyum kecut “ada yang tertinggal di kelas.” Rere mengangguk sembari mengambil ponselnya.
    “baiklah, aku akan menunggumu di mobil” ujarnya lembut. Rara tersenyum tipis, lalu berbalik menuju ruangan kelasnya.

    Rere Selomita gadis itu adalah saudari kembar Rara, Rara hanya berbeda 10 menit darinya. Ia sangat cantik Rara bahkan berpikir ia tak pantas untuk menjadi kembarannya, bibir, wajah dan matanya yang sangat indah itu mampu membuatnya iri pada gadis itu.
    Ia sangat sempurna. Ia juga pintar berbeda sekali dengan Rara, yang tak pernah sekalipun berada di peringkat 10 besar.
    Rara gadis itu membenci hidupnya yang seperti ini. Ia merasa tak pernah diharapkan, tak ada seorang pun yang mengharapkan gadis itu begitupun dengan kedua orangtuanya. Rara merasa, mereka tak pernah menyayanginya. Karena kasih sayang yang terlalu berlebihan yang diberikan orangtuanya pada kakaknyalah, membuat ia berspekulasi seperti itu.
    Di setiap malam gadis itu memimpikan sebuah kehidupan yang hanya ada dia dan Ghufran di sana. Lelaki yang memiliki hoby bersepeda itu bahkan mampu menguasai ruang hati gadis itu.
    Melihat, menguntit bahkan mengikutinya sudah menjadi kebiasaan baginya. Lelaki yang sangat dicintainya itu. Lelaki itu sangat menawan. Hampir seluruh anggota badannya menggumamkan kata “iya” untuk mendapatkannya lebih.
    Tapi itu hanya mimpi yang sebatas angan-angan. Itu membuat bening-bening itu jatuh lagi, hati itu tertohok lagi, sakit, perih, mata gadis itu terasa panas.
    Gadis itu menangis, menangis dalam keheningan tanpa seorang pun yang tahu. Apa yang terjadi pada gadis itu? Seandainya tuhan tahu gadis itu lelah. Gadis itu ingin mati.

    Gadis itu merogoh saku rok sekolahnya, ia mengambil ponselnya. Lalu menelepon seseorang yang berada di kontak ponselnya.
    “Halo?” suara itu memulai pembicaraan antara kakak dan adik
    “Kak Rere, kau pulang saja dulu. Seperti aku akan ke rumah temanku”.
    “tap-” belum sempat menjawab. Gadis itu pun mengakhiri pembicaraannya dengan Rere.

    Tampangnya sangat menyedihkan, matanya sembab. Gadis itu mulai beranjak dari kelasnya sembari menaruh ponselnya ke dalam tas ranselnya, ia berjalan mengikuti langkah kakinya yang tak setegap biasanya.
    Melangkah melewati pagar sekolahnya dengan mata yang mengalirkan air terjun. Mengayunkan kakinya menyusuri trotoar yang akan mengarahkan ia ke halte, tempat biasa ia menunggu bus menuju rumahnya.

    Ya Tuhan, gadis itu sangat menyedihkan. Gadis itu kacau, ia seperti tak tau harus ke mana. Sudah berapa kali ia menabrak orang tapi sama sekali tak dihiraukannya.

    Butir-butir air hujan mulai membasahi bumi, Langit meruntuhkan air mata yang telah ia tahan selama ini seakan langit mengerti dengan keadaan gadis tersebut. Langkah kaki gadis itu terhenti, ia menunduk menyembunyikan wajahnya dari langit yang mungkin akan menertawakan keadaannya sekarang.

    Gadis itu menangis, ia menangis di bawah hujan yang sangat deras. Ia berteriak, menggeram, gadis itu tampak memukul-mukul dirinya sendiri seakan tubuh itulah tersangka utama atas apa yang terjadi. Jiwanya terpukul.
    Rara terjatuh, bibirnya membiru badannya menggigil ia seperti akan mati.

    Rara masih berada di trotoar. Jalanan tampak lengang tak seorang pun melihatnya seperti ini, ia sendiri, ia merasa tersisih. Apa memang tak ada seorang pun yang peduli padanya? Gadis itu kesepian, sendiri, tak memiliki satu pun teman yang dapat ia jadikan sebagai tempatnya bergantung.

    Tiba-tiba terlihat sosok lelaki keluar dari dalam mobil yang dinaikinya. Lelaki itu mendekati Rara dan memayunginya.

    “YA! RARA APA YANG KAU LAKUKAN HAH? APA KAU GILA? KENAPA KAU SEPERTI INI?” lelaki itu berteriak padanya. Ditatapnya Rara oleh lelaki itu. Lelaki yang bernama Alfin Rakanata itu tampak marah. Matanya menyeringai. Rahangnya tampak mengeras.
    Lalu lelaki itu menarik pergelangan tangan Rara agar masuk ke dalam mobilnya. Rara tak memberontak, ia seperti tak memiliki tenaga lagi untuk menolak Alfin.
    “kenapa kau menolongku Fin?” gumam Rara hampir tak h lagi.

    “kenapa kau bertanya seperti itu hah, kau temanku Ra tak mungkin aku hanya melihatmu seperti itu?” Rara tersenyum pahit mendengar kata-kata Alfin. Baru kali ini ia diakui oleh seseorang sebagai teman. Gadis itu pun tertawa tanpa suara.

    Alfin pun memapah Rara masuk ke dalam mobilnya. Lalu lelaki itu mengambil posisi senyaman mungkin di sebelah gadis itu. Alfin memberi aba-aba pada sopirnya agar segera berangkat.
    Mobil tersebut melesat dengan cepat menyusuri kota Jakarta yang tampak lengang karena hujan malam ini. Suasana tampak sunyi di dalam mobil. Gadis itu tertidur dengan wajah cantik yang ia miliki.
    Mata laki-laki itu menyusuri lekuk wajah gadis itu. Ia memandang gadis itu seduktif mungkin, tampak ia bergumam dengan beberapa pujian yang ditujukannya pada gadis yang di sebelahnya itu.
    “Seandainya kau tahu apa yang kurasakan Ra, Aku Mencintaimu” gumamnya dengan pandangan yang masih terfokus pada wajah gadis itu.

    Jakarta Senior High School
    “Kau kemana hah? Kenapa tidak pulang ke rumah?” Tanya Rere yang telah berdiri di depan bangku yang diduduki adiknya itu, wajahnya tampak menahan kemarahan yang sedari malam ia tahan pada adiknya.
    “kau tahu? Ayah dan ibu mengkhawatirkanmu, apa kau tidak kasihan pada mereka hah?” Tanyanya lagi. Rara tampak tersenyum pahit atas runtutan pertanyaan kakaknya itu.

    Gadis itu berdiri, menyetarakan tingginya dengan kakaknya “Maaf” gumamnya sangat pelan hampir tak terdengar. Dia pun mengayunkan kakinya menjauhi wanita itu, berjalan sempoyongan. Tak menghiraukan teriakan kakaknya yang mungkin dapat memekakkan telinga itu.

    “tak tau apa yang kulakukan aku seperti kehilangan harapan, aku hanya bisa menjauh berjalan mengayunkan kakiku, kakiku yang tak lagi tegap, mataku yang tak lagi seindah dulu, bibirku yang tak bisa lagi menggelorakan semangat atas diri ini, apa ini akan berakhir indah? Entahlah, aku akan mengikuti alur hidupku yang penuh drama ini”

    Gadis itu tampak menuju ke suatu ruangan. Ya, kelas 3a. Gadis itu menuju kelas Ghufran sekarang. Gadis itu melangkahkan kakinya perlahan. Ia tak yakin atas apa yang akan dilakukannya. Langkah kaki gadis itu terhenti pada saat berada di depan kelas lelaki itu.

    “YA! GHUFRAN!” lelaki itu dan orang-orang yang berada di kelas itu menoleh pada gadis tersebut. Lelaki itu terdiam. Ia bingung apa yang akan dilakukan adik dari gadis yang dicintainya itu. Tak hanya lelaki itu, orang-orang yang berada di kelasnya pun terjekut akan kehadiran gadis itu.

    “Aku menyukaimu, itu terasa jelas kurasakan. Perasaan itu, perasaan itu membuatku tersenyum dan tidak bisa tidur dengan nyenyak. Aku selalu memikirkanmu. Aku bahkan mengikuti dan menguntitmu tiap harinya. Aku menyukaimu segenap hatiku. Aku menyukaimu lebih dari orang lain menyukaimu.” Akhirnya kata-kata itu keluar dari bibir gadis tersebut. Tak ada terdengar nada sumbang yang keluar dari bibirnya. Dia seperti meluapkan seluruh perasaannya melalui kata-kata itu. Ia mengucapkannya tanpa salah sedikit pun. Kata-kata itu seperti telah dirangkai selama perjalanannya menuju kemari.

    “Woahhh” suara itu menyorakinya. Gadis itu tertunduk. Tak sedikit dari teman-teman lelaki itu memandangnya jijik dan mencemooh gadis itu. Samar-samar gadis itu mendengar kata-kata ‘dasar gadis bodoh’ ‘aku tak yakin dia kembaran Rere’ ‘murahan sekali dia’.

    Hatinya remuk. Dia malu, kemana ia akan menaruh wajahnya itu. Matanya memanas, kakinya kaku, seluruh tubuhnya memanas. Pendingin ruangan ini tak berfungsi lagi padanya. Gadis itu sudah kacau.

    “Maaf aku tak meyukaimu, bahkan tak pernah sekalipun aku memikirkanmu. Aku hanya menganggapmu sebagai adik dari gadis yang kusukai.” Lelaki itu tampak berhati-hati atas segala ucapannya. “jangan menunggu dan memikirkanku. Carilah lelaki lain yang mungkin lebih baik dariku. Aku sama sekali tak menyukaimu. Maaf.”

    Tangis gadis itu pecah setelah mendengar runtutan kata-kata yang menyakitkan hati dan perasaannya. Ia berbalik hendak meninggalkan tempat ini tetapi kehadiran kakaknya membuat langkah kakinya terhenti “Pulanglah nanti” ujar kakaknya yang mampu menampar keras pipinya itu. Gadis itu menangis dan berlari menjauhi kakaknya. Ia tak peduli akan cacian orang terhadapnya.
    Tampak seorang lelaki menyaksikan kejadian tadi dengan seksama. Ya Alfin, lelaki itu menghela nafasnya panjang. Ia baru sadar kenapa Rara tak pernah memandangnya sama sekali. Ia tersenyum kecut, rawut wajah lelaki itu tampak kecewa. Ia berbalik melangkah menjauhi tempat kejadian yang mampu membuatnya sakit hati itu.

    UKS
    Gadis itu memutuskan untuk berada di ruangan serba putih yang terdapat ranjang dan beberapa obat untuk mengobati seseorang, ia tak mengikuti jam pelajaran hari ini. Ia sudah cukup malu untuk menampakkan wajahnya pada orang atas apa yang dilakukannya tadi. Jika pun ikut, mungkin gadis itu akan ditendang keluar kelas karena tak membawa buku pelajaran hari ini dan dicemooh oleh teman-temannya yang ada di kelas.
    Gadis itu berbaring, meregangkan otot-otot badannya. Ia menarik selimut untuk melindungi dirinya dari segala ancaman yang mungkin akan diterimanya.

    Ia tidak tidur, ia memikirkan apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Apa yang akan dilakukan teman-teman dan kakaknya atas apa yang ia lakukan. Memikirkan bagaimana nasibnya nanti jika berhadapan dengan ibunya.
    Hatinya mencelos, air mata gadis itu berjatuhan. Ia membungkam mulutnya erat-erat agar tidak menjerit mengeluarkan tangisan yang memukul keras tenggorokannya.

    Jam pelajaran telah usai tetapi gadis itu masih nyaman dengan posisinya sekarang. Ia tidak tidur, gadis itu hanya memejamkan matanya sembari membayangkan kejadian tadi.

    Drrt Drrt
    Tiba-tiba ponselnya bergetar, tangannya merogoh saku rok yang digunakannya.

    satu pesan
    Dengan tangan yang bergetar dan air mata yang masih mengalir Rara mulai membuka pesan itu.
    Dari: Rere Selomita
    Untuk: Rara Selomita

    Rara, kakak menunggumu di parkiran.

    Setelah menerima pesan itu, ia seketika beranjak dari ranjang yang ditidurinya dan bergegas menuju parkir.

    “Kau kemana semalam? Kenapa tidak pulang sayang? Kau tau ibu mengakhawatirkanmu.” Ujar ibu Rara sembari memapah Rara menuju ranjangnya yang diikuti oleh kakaknya di belakang.
    “maaf ibu.” suara gadis itu tercekat. Ia tak tau harus bilang apa pada wanita paruh baya itu.
    “Rere, apa kau tau adikmu menginap di mana?”
    “Oh. Dia menginap di rumah salah satu teman nya kalau tidak salah orang itu Alfin.”
    “Dia teman sekelasku bu, kukira mungkin ibu mengenalnya.” Rara menggigit bibirnya. Ia semakin menenggelamkan wajahnya. ia takut respon yang akan disampaikan ibu padanya.
    “Kalau begitu bersihkan badanmu. Ibu, ayah dan kakak akan menunggumu untuk makan malam.” Wanita paruh baya itu beranjak dan melangkahkan kakinya menjauhi gadis itu sampai tak terlihat lagi keberadaannya. Rere, kakaknya itu tersenyum tulus sebelum ia membalikan tubuhnya menjauh dari keberadaan gadis itu. Gadis itu heran kenapa kakaknya tak marah padanya atas apa yang dilakukannya tadi.

    Gadis itu tersenyum kecut. Di sudah sangat lelah. Dia sudah akan menyerah dengan hidupnya. Hidupnya yang tak mungkin akan berwarna kembali. Setelah pernyataan cinta yang ia tujukan pada lelaki itu. Yang memiliki akhir dan ‘bertepuk sebelah tangan’.

    Rara menuju kamar mandinya setelah dia memutuskan apa jalan hidupnya setelah ini. Dia menangis keras dan meringkuk di bawah shower saat dia mulai memutuskan urat nadinya sendiri.
    Setelah matanya benar-benar tertutup. Ia berdo’a bahwa inilah jalan hidup yang terbaik yang telah dipilihnya. Semoga Orangtua, Kakaknya dan juga lelaki yang dicintainya itu ‘Ghufran’ akan merindukan dan menangisi kepergiannya.

    END

    “rembulan enggan menampakan dirinya, ia seperti malu akan apa yang telah ia lakukan. Apa? Apa yang ia lakukan? Sesuatu yang mungkin tak akan bisa ia atasi. Dan berakhir dengan tangisan.”

    Cerpen Karangan: Yuni Permata
    Facebook: Yuni Permata Sari

    Artikel Terkait

    Nothing For Word
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email