Tersisa

Baca Juga :
    Judul Cerpen Tersisa

    Matamu memandangku seperti orang yang sedang menonton adengan klimaks. Berkediplah, matamu perih nanti. Kita masih terpaku satu sama lain, mencoba menganalisa apa yang terjadi selama ini.
    Ada yang aneh darimu. Kau tidak berubah, maupun itu mata, hidung atau mulutmu. Kau seperti album berjalan.

    Dua kata pun keluar dari mulutmu, kata yang kutau pasti kan kau ucapkan, tapi tak secepat ini. Dengan matamu yang berusaha untuk tenang dan mulutmu yang sedikit bergetar “kau berubah”. Tanpa kusadari kerutan di keningku pun muncul. Entah apa yang terjadi dengan syaraf-syaraf tubuhku. Aku lumpuh.

    Sedang terjadi medan perang di dalam tubuhku. Keinginan yang ingin mengalahkan logika. “maaf, aku tidak sopan”. Jangan! Jangan bicara sepatah kata pun! Tolong. Kau hanya menambah minyak ke dalam api! Keringat melewati kulitku satu persatu, tak terlalu terlihat tetapi terasa. “kamu sakit? Mau aku antar pulang? Sejak tadi kamu diam saja.” cukup, aku tak kuat lagi.

    Air mengalir di pipiku, hangat. Kamu terlalu baik, kesabaranmu membuat mulutku terkunci rapat. Aku takut kata yang keluar dari mulutku menyakitimu lagi, kamu terlalu suci untuk ada, kamu bukan manusia. “aku tidak apa-apa” ucapku pelan, sepelan awan yang berjalan mengikuti angin. Kau kaget bercampur senang, bukan karena jawabanku, tetapi karena aku menjadi rekan obrolanmu.

    “kamu yakin?” Kamu bertanya seperti anak kecil yang bertanya apakah benar satu tambah satu itu dua. Tidak, aku tidak yakin, malah aku tidak tahu apa aku yakin atau tidak. Aku sakit, tidak ada satu orang pun yang bisa menyembuhkan penyakit ini. Penyesalan ini terlalu besar.

    Tapi kamu tahu apa? Kamu bagaikan satu-satunya bunga di padang rumput. Banyak yang ingin menodaimu dan aku tak menyangka aku menjadi yang pertama. Kamu adalah alasan untuk penyesalanku. Air mata ini semakin banyak, aku menahan semampuku, manampung lautan di kantong mata kecil ini. Tapi kamu menghancurkan rencanaku, kamu curang.

    Kamu berjalan ke arahku dengan ringannya, dan dengan lugu memegang tanganku yang sudah mempunyai tanda kepunyaan. Kamu meratapinya, tapi tidak ada kulihat kesedihan di matamu, melainkan kelegaan, dan aku tahu apa yang akan terjadi.

    Dengan ciri khasmu sebelum berbicara kamu seperti menelan sesuatu, “aku memaafkanmu, bahagialah, agar aku pun juga bahagia”.

    Semua keraguan dalam tubuhku hilang, tubuh ini kaget dengan suasana ini, api yang selalu ada selama ini tiba-tiba hilang disiram oleh hujan yang deras. Pertahananku hancur, kukeluarkan semuanya, kamu hanya memelukku dan aku pun bisa merasakan rintik hujan terjadi pada dirimu, aku mengerti, kamu sudah melalui badaimu.

    Aku tidak menunggu hujan ini reda, karena ada kamu menjadi tamengku. Dan setelah itu, semuanya hilang hanyut dibawa arus.

    Tanpa ada yang tersisa.

    Spring, 2017
    AS

    Cerpen Karangan: Angel S

    Artikel Terkait

    Tersisa
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email