Wanita Yang Terjebak Dalam Drama

Baca Juga :
    Judul Cerpen Wanita Yang Terjebak Dalam Drama

    Siang itu mendadak saja gelap menyelimuti bilik kamarnya, hanya sekilas, sebelum ia berada di dalam pendopo keagungan istana. Adalah bisa juga disebut ritual rutinitasnya. Kegelapan itu digunakannya memanggil keharmonisan hidup yang hampir dari setiap unsurnya telah direngkuh oleh nestapa.

    Ia berputar-putar sambil meninjau baik-baik penampilan dirinya,
    “Glamour… and classical” Ungkapnya dengan hati yang penuh akan rasa takjub. Sepatunya bukan sepatu kaca, tapi barangkali yang ini tampak lebih mewah, terlebih lagi yang ini sangatlah awet, dan boleh tahan di segala medan. sepasang terompah yang masing-masingnya berukir gambar-gambar bunga teratai.

    “Sembah yang mulia Putri” Seseorang dayang bersembah, kemudian duduk berdeku, dan tentu maksud Dayang itu hendak persembahkan suatu berita padanya.
    “Ada apa engkau kemari?”
    “Hamba hendak sampaikan perintah ibunda ratu”
    Ia membuang muka, sejenak, kemudian dialihkannya lagi mukanya pada Dayang itu.
    “Katakan bi…”
    “Ibunda ratu memanggil yang mulia!…”
    Dayang itu pergi, berlalu begitu cepat, begabung bersama dayang-dayang lainnya di istana.

    Didapatinya ibunnya sedang berbincang-bincang dengan romonya, dan dari air muka mereka menunjukkan bahwa mereka berdua sedang bersungguh-sungguh. Beberapa bentar suara dengan nada sayu keluar dari bibir keduanya. Mereka tak tau, sama sekali belum menyadari akan adanya sosok putri mereka di sisi lain mereka berdiri.

    Perbincangan itu berakhir. Sebenarnya -tidak juga, hanya rehat sesaat, saling membelakangi dengan muka merunduk, berjalan hilir mudik seakan-akan ada koin yang hilang di lantai. Ibu itu tiba-tiba mengangkat kepalanya, senyum tipis tertempel di bibirnya sementara waktu, menarik nafas panjang, ia hendak katakan sesuatu, dan andaikata pandangnya tak mendapati wajah putrinya, maka perbincangan pribadi itu bakal kembali berlanjut.

    “Sembah Ibunda Rau Drupada, Ayahanda”
    “Putriku… Engkau sudah lama berada di sana?”
    “Tidak ibu, katakanlah apa yang hendak Ibu sampaikan padaku”
    “Putriku Dewi Wara Srikandi, ada kabar menggembirakan untukmu,. Raja dari Negeri Paranggubarja melamarmu, ia hendak mempersuntingmu sebagai istri, engkau setuju bukan”

    Ia berlari menuju bilik kamarnya. Kabar demikian tidaklah menggembirakan baginya. Dan Ibunya membututi dari belakangnya sembari memanggil merayu…
    “Kau tak tau apa yang bakal terjadi jika kau berani menolak lamaran dari Raja Negeri Paranggubarja”
    “Dia raja yang congkak! Adakah Bunda sampai hati menyerahkan putri bunda sendiri pada raja yang tak tau diri itu!, dan apabila bunda bersedia maka tandanya sahaya bukan berasal dari darah biru yang mengalir dalam nadi ibunda” Drupada merunduk, ia sadar ia tak dapat memaksakan kehendaknya, hanya demi kekuasaan ia tak boleh korbankan putrinya.

    “Baca putriku…” Diserahkannya surat dari raja negeri seberang itu. Dewi Wara Srikandi membacanya dengan baik-baik. Dan Seketika saja dirasainya hatinya menggertak-retak, untuk kemudian luruh menjadi butiran-butiran kecil yang tak mudah disatukan kembali. Ia terkungkung oleh dilema. Sejak ia mulai merasakan cinta, cintanya tertuju hanya pada satu orang saja -Raden Janaka. Dan cintanya pada Raden Janaka itu tak dapat dileraikan begitu saja dari struktur kehidupannya. Namum ada permasalahan lain lagi yang tak kalah meradangnya daripada kehilangan cinta.

    “Maaf bunda, kini sahaya paham benar dengan maksud Ibunda” Ia telah mengerti bagaimana konsekuensi perasaan ibunda dan romonya jika mereka mengetahuinya mentah mentah menolak lamaran dari raja yang congkak itu.

    Setelah sepucuk surat itu terkirim, Raja Paraggubarja sudah mulai melakukan perjalanannya menuju Negeri Cempalareja. Tak tanggung-tanggung, dan agar perjalanannya tak sia-sia, Ia datang dengan tidak membawa satu tujuan saja yaitu menikahi putri dari Negeri Cempala Reja. Melainkan dengan maksudnya yang lain: menaklukan seluruh kerajaan di Pulau Jawa andaikata Dewi wara Srikandi menolak lamarannya. Maka untuk itu dibawanya serta ribuan bala tentaranya dalam perjalanan. Bahkan bala tentara raksasa pun juga tak lupa turut.

    “Demi menjaga kehormatan Ibunda dan Romoku, juga demi ketentraman negeri ini, sahaya bersedia menikah dengan raja yang congkak itu”
    “Tidak, sebetulnya ibunda juga tidak berkenan menyerahkan engkau pada Jangkungmerdea, raja yang sombong itu, ibunda lebih memilih menjadi rakyat biasa daripada hidup dibalik bayang-bayang derita putrinya. tapi nasib penduduk Cempala Reja itu terlanjur telah aku pertimbangkan”

    Ia, sebagai putri yang tentunya akan menjadi pewaris kerajaan, tentu pula cara berfikirnya tidaklah bodoh. Masih ada berbagai cara untuk menghindarkan terjadinya perkawinan itu, juga tak lupa mengindahkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.

    Dan ketika hari dimana Raja Paranggubarja itu sampai di Pulau Jawa, tepatnya di dalam kerajaan Negeri Cempala Reja untuk meminta restu dan persetujuan, tiba tiba saja keadaan menjadi mencekik dengan kabar: Putri Dewi Waraa Srikandi tidak sedang berada di kamarnya, sebelumnya ia telah berpesan kepada seorang dayang agar jangan dulu diganggu sebelum menyelesaikan puasa tarak bratanya.

    “Engkau sengaja menyembunyikan putrimu?”
    “Tidak benar!” Raden Jungkung Merdea menjatuhkan titah pada pada
    Patih Jayasudarga untuk mencari ke segala penjuru istana, barangkali Dewi Wara Srikandi masih berada di dalam istana. Selang beberapa waktu Patih Jayasudarga kembali padanya dengan membawa laporan kesia-siaan. Mendengar itu Raden Jungkung Merdea terangsang kemarahan. Ia perintahkan Patih Jayasudarga untuk menyuruh seluruh prajurit ikut mencari Dewi wara srikandi. Putri itu tak mungkin bisa berlari lebih jauh karena kemampuannya yang bertajuk seorang putri -seorang putri tak pernah peroleh pekerjaan keras.

    Di tengah-tengah hutan lebat itu Dewi Wara srikandi berlari menghadapi pengejaran beberapa bala tentara Raja Paraggubarja yang hendak menangkapnya. Ia hendak menuju istana Raden Janaka, dan untuk itu ia memerlukan melewati hutan oleh tempatnya yang berada jauh di seberang sana. Bertepatan seusai menjalani tatak bratanya, ia telah putuskan untuk melarikan diri, dan menjemput cintanya -tanpa sepengetahuan siapapun. Termasuk juga Nyi Emban, pengasuhnya itu. Dengan demikian tidak terasai terdapat sama sekali unsur penolakan yang konkret. Sebab bisa saja ada kemungkinan orang menduga penyebab hilangnya Dewi Wara Srikandi adalah diluar faktor kemauannya sendiri, bukan karena tidak bersedia menerima pinangan. Seperti diculik, atau diajak melarikan diri oleh orang yang mencintainya karena dia telah tau dalam tempo dekat Dewi wara srikandi akan dipinang seorang ksatria tangguh yang telah banyak menaklukkan kerajaan-kerajaan. Dia tahu kalau Srikandi bakal tak bisa perbuat apapun untuk menolak pinangannya.

    Di dalam hutan itu mata Dewi Wara Srikandi tajam menelisik celah celah batas pohonan, sebagai jalan yang hendak dilaluinya. Ranting-ranting bersimpang siuran itu tak boleh menggurat wajah atau bagian tubuhnya yang lain. Ia gesit dan cekatan dalam bertindak. Prajurit-prajurit Paranggubarja kewalahan menghadapi, hanya apa boleh perbuat jika mendadak saja sesuatu yang melampaui batas kemampuannya menghadang langkahnya.

    “Berhentiii…” Suara sosok itu menggema meski tidak sedang berada di samping jurang, atau di dalam ruang yang kosong. Memaksa Dewi Wara Srikandi untuk tunduk pada ketidakmampuannya. Sosok itu meggetarkan bola matanya. Dan seperti di film-film, kedua bola mata Dewi wara Srikandi bergerak menggelalar.
    “Apa maumu?”
    “Kemarilah akan aku bawa engkau keluar dari sini, Raden Jungkungmerdea sudah lama menanti kesanggupanmu menjadi istrinya” Dewi Wara Srikandi nanar dengan apa yang hendak ia perbuat. Sebelum bisa menemui Raden Janaka, ia tak boleh tertangkap. Dari belakang menyusul suara derap kaki, dan dari bunyinya nampak berasal dari banyak orang. Berselang sebentar, Prajurit-prajurit Jungkung Merdea telah mengepungnya. Dan entah dari mana datangnya anak panah melesat menusuk pergelangan kakinya. Dewi Wara Srikandi tergolek ke tanah. Lalu satu persatu bala tentara Jungkung merdea itu pergi meninggalkannya sendiri di dalam hutan setelah mendapatinya sudah tak bernyawa lagi.

    “Banguuunnnnn Vina, bangun!!” Pekik ibu tua itu tepat di depan lubang telinga putrinya yang sedang tertidur. Sudah beberapa kali ia lakukan yang demikian akan tetapi putrinya sama sekali tak mendapat rangsangan untuk bangun. Ia telah periksa dinamika nafas putrinya baik-baik saja. Selebihnya juga baik-baik saja. Namun ia tak tau mengapa putrinya tak dapat dibangunkan.

    Melalui pemahamannya mengenai teknik membangunkan seseorang yang ia peroleh dari drama-drama di televisi, ia percikkan air dingin ke muka putrinya, juga ke bagian tubuh lainnya. Dan setelah itu ia mendapat pengetahuan baru bahwa drama di televisi itu adalah dusta semuanya, termasuk juga membangunkan dengan air. Terbukti dengan cara itu putrinya juga tak kunjung bangun dan tentu masih saja merebah tenang di ranjang.

    Ia mulai gelisah setelah beberapa lamanya waktu telah berlalu tak memberi perubahan terhadap keadaan putrinya. Ia beritahukan hal ini kepada suaminya. Namun suaminya tak juga dapat berbuat sesuatu apa yang bisa membangunkan putrinya.
    Dipanggilnya para tetangga dan para tetangga juga gagal mengenyam tugasnya. Malah hanya membuat suara gaduh, saling berebut suasana hening untuk dapat ungkapkan tafsirannya dengan jelas mengenai mengapa Vina tak bisa bangun, sementara kondisi kesehatannya baik-baik saja. Ada yang bilang Vina kerasukan makhluk halus, ada juga yang bilang jiwa Vina dibawa makhluk halus, juga ada lagi yang lebih nyeleneh dan sangat bertentangan dengan rasionalitas ilmiah: Vina mati suri bilangnya. Meski keadaan sudah menyakinkan dengan darah kejujurannya bahwa Vina sehat-sehat saja dan bisa bernafas. Maka tak bisa lain, setelah itu ia dihujat akibat salah berpendapat di muka khalayak.

    Petang telah mengambil tempat duduknya, dan kini saat baginya untuk menjalankan rutinitas. Diwaktu yang demikian seseorang bersorak-sorai ramai. Suara tepuk tangan bersaut-sautan. Memberi support pilihannya masing-masing. Malam gegap-gempita. begitulah yang mungkin tertulis di benak mereka. Sayembara diadakan. Siapa yang bisa membangunkan Vina, jika ia laki-laki maka akan dijadikan bininya dan jika ia perempuan maka akan dihadiahi dengan giring-giring emas.

    Arini adalah orang yang pertama kali memulai unjuk kebolehan. Karena ia adalah pengamen ulung, maka media yang dipergunakannya tentu tak mungkin jauh dari alat alat musik. Disamping Vina yang tertidur, Arini memainkan gitarnya, juga dinyanyikannya lagu bergenre underground. Dan Mungkin disaat-saat seperti itu orang-orang bakal mengira Arini pengamen kampung sudah gila, karena sebagian di mata mereka, aksi Arini teramat tak wajar. Suaranya yang menjadi parau, kepalanya digeleng-anggukkan mengikuti irama yang tinggi, maka selepas unjuk aksi rambut Arini jadi berantakan semua. Dan orang-orang tak peduli, karena Vina masih juga belum terbangun dari tidur lelapnya.

    Siapa menduga kalau pak Joko bakal ikut-ikutan ajang sayembara? Umurnya yang sudah tambun tentu membuat orang tua Vina mengigir ketakutan apabila pak Joko dapat menaklukkan pantangannya. Maka berbeda dengan yang lain, untuk yang satu itu mereka berharap agar Vina malah tak bangun. Jikapun bangun, di tangan pak Joko nanti Vina pasti akan tidur lagi lebih lama, oleh pekerjaan pak Joko yang hanya kuli batu tentu membuat Vina menghindari alam nyata dan lebih memilih hidup di alam mimpi.

    Beruntung, rahmat yang Maha Kuasa turun dimalam itu, Pak Joko tak dapat membuat Vina terbangun, betapa senangnya orang-orang yang peduli pada masa depan Vina, bersorak-sorak oleh keselamatan Vina. Namun begitu tak ada sebulir dari hati Pak Joko yang terangsang, karena kiranya sorak-sorai orang-orang itu tertuju pada usahanya yang manis. Hanya saja entah kenapa bisa gagal: Ia bisikkan ke telinga Vina dengan suaranya yang serak khas pekerja kasaran beberapa kalimat magis yang konon katanya bisa membuat wanita takjub terkesimah. -aku cinta padamu. Dan masih banyak lagi, hingga pada akhirnya ia kehabisan kata-kata ingatannya.

    Malam semakin ranum, dan ibarat buah yang matang ia bersama kegelapannya yang pekat akan segera terjatuh.
    Dengan kepercayaan dirinya yang tinggi, peserta terakhir itu tampak memancarkan cahaya dari mukanya. Berseri seri tak sedikitpun ia menginjak keputusasaan sebagai tumpuan kakinya meski sudah tau semua peserta yang berjumlah 20 orang telah gagal dan tersisa dirinya saja.

    Ia melangkah gontai dengan mengagguk-anggukkan kepalanya, seolah ia benar-benar tau titik permasalahan masalah yang dialami Vina. Tak ada sorak-sorai ketika ia menghampiri Vina. warga sudah banyak yang pulang lantaran tau apa yang akan terjadi di penghabisan kali nanti -kesia-siaan.

    Lelaki itu berputar-putar mengisari ranjang Vina sambil dibacanya sebuah buku tua yang telah ia rengkuh di samping Vina terlelap. Hanya butuh beberapa waktu baginya menyelesaikan buku yang tak seberapa tebalnya itu. Kemudian ditutupnya lagi. Didekatinya Vina, ia merunduk sampai letak kepalanya sejajar dengan kepala Vina. Ia ulurkan wajahnya ke wajah Vina, dan berhenti ketika jarak menyisahkan 1 inchi untuk dapat berciuman. Tidak…! Dia tidak mencium Vina, hanya berucap lirih di dekat wajah Vina seperti halnya yang dilakukan pak Joko sebelumnya. Namun yang ini terlampau dekat dan lirih. Karena suara yang terlampau lirih, maka tak dapat didengar oleh siapapun kecuali hanya mereka berdua. Apa yang diucapkan tentu membuat Bapak dan ibu Vina merasa penasaran, dan mereka lebih penasaran lagi ketika di akhir kisah sayembara putrinya terbangun.

    Tiba tiba dari bangunnya Vina memeluk lelaki itu. Sejenak terjadilah percakapan di antara mereka berdua:
    “bagaimana kau tahu?”
    “Jangan bertanya begitu, aku tau kau kesepian, bukankah demikian yang terjadi?”
    “Bagaimana kau tahu?”
    “Aku mencintaimu Vina, ketiadaanmu dalam hidupku telah membuatku banyak mengerti mengenai segala hal yang terkandung dalam sepi.”

    Vina -Ia teringat sebagaimana terumbu, semenjak ia putus dari kekasihnya, hidupnya mulai tertimbun oleh duka. Begitu banyak cara telah dilakukannya untuk menutupi kegelisahan hatinya. Salah satunya yang paling efektif ialah bermimpi. Dari itu ia pun tahu, bahwa hal yang demikian bisa membuatnya bersenang hati -ia ciptakan dunia sendiri, diisaat dunianya perlahan mulai runtuh dan meninggalkan nya sebagai Gadis kesepian. Sejak itu ia suka sekali berlarut-larut di dalam dunianya itu. Membuat alur ceritanya sendiri di dalamnya. Dan untuk kepuasan, ia tidak akan meninggalkan dunianya sebelum ceritanya telah Rampung. Namun yang kali itu, ia terjebak dalam dunianya sendiri sebagai Dewi Wara Srikandi yang pura pura mati dan menunggu Raden Janaka untuk membuatnya tersadar. Ia telah ciptakan alur cerita yang begitu dramatis. Ia merubah alur cerita dari buku yang telah dibacanya.

    “Kenapa kau membuat semuanya begitu pelik, bukankah di dalam mimipi kau juga bisa mendatangkan Raden Janaka, tanpa harus aku berbisik bahwa Raden Janaka mu telah tiba?”
    “aku tak peduli, aku hanya mencoba membuat cerita yang sedikit berbeda, aku ingin Raden Janaka itu datang sendiri tanpa aku perlu memanggil, karena aku juga ingin dicintai olehnya -meski hanya di dalam mimpi, dan kau tau? Dan kau tahu, Suaramu telah menjadi wujud dari seorang yang kucintai di dalam mimpi.”
    “Kalau seandainya aku tak datang, apakah kau akan terus tertidur menunggu datangnya akhir dari kisahmu yang kau pikir dapat dengan mudahnya terselesaikan?”
    “Aku tak peduli, jika kau tak datang, mungkin aku masih berada didalam dunia mimpi, aku tak akan terbangun dari mimpi sebelum ceritaku berakhir dengan keindahan dramatis yang penuh estetika.

    Mengetahui anaknya yang hampir mendekati bercumbu, Ibu dan Bapak itu lekas pergi meninggalkan mereka berdua. Tentunya juga sudah saling mengingatkan agar jangan sampai meninggalkan kewaspadaan terhadap putrinya andaikata sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan.

    Di dalam bilik kamar yang tenang dan teduh, mereka berdua saling bercerita. Diwaktu itu pula mereka berdua memutuskan untuk mengakhiri sepi yang selama ini membelenggu dengan cara hidup bersama. Keluar dari itu, Ibu dan Bapak Vina menelik pandang melalui lubang kunci. Melihat anaknya yang akan kawin disatukan keheningan. Luput dari janji yang terucap untuk pemenang sayembara.

    END

    Cerpen Karangan: Syahrul Irfan
    Facebook: https://m.facebook.com/syahrul.irfan.

    Artikel Terkait

    Wanita Yang Terjebak Dalam Drama
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email