Judul Cerpen Pahlawan Wanita Sejatiku
Betapa hatiku takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri
Siapakah kini plipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati
Lagu nasional ini menggema indah di antara dinding-dinding ruangan gedung tua nan megah ini. Menyisakanku padaku satu pertanyaan yang sama pada setiap lariknya, siapa itu pahlawan bangsa, siapa itu mereka, apakah mereka saja yang telah mengorbankan darah mereka untuk tanah air ini ataukah mereka yang kini terdengar sebagai pahlawan di buku-buku sekolah yang pernah diajarkan guruku? Lalu apa yang harus kutulis dalam bukuku?
Aku menenggak habis segelas susu di sebelah kananku laptopku dengan mata memerah dan wajah yang lusuh. Ini sudah gelas ke 10 dalam waktu 2 hari ini aku lembur dikejar dateline membuat novel. Mungkin aku tidak perlu bersusah-susah seperti ini jika aku tidak menerima tantangan dari queen drama itu. Tapi mau bagaimana lagi nasi sudah menjadi bubur dan inilah resiko yang harus kuhadapi. Berulang kali aku mencoba mengetik beberapa kata dan mencari pilihan kata yang tepat, tapi tidak ada yang berubah, tetap saja page di Ms Word-ku masih kosong karena terus kuhapus.
AAAARRRRRGGG.
Teriakku kesal sambil menggaruk-garuk kepalaku. Aku kini beralih dari laptop ke kertas yang hasilnya tetap saja hanya coretan-coretan tidak berguna yang kudapat. Rasa kantuk kembali mendatangiku, tidak… tidak… Aku harus dapat 20 lembar malam ini, aku tidak boleh tertidur.
“Oh, lihatlah penulis muda kebanggaan semua orang, katanya sudah terkenal, bukunya best seller tapi ditantang nulis novel aja tidak bisa, payah!” Wajah sombong penuh keangkuhan itu tertawa penuh kemenangan di hadapanku.
“Huuuuuu!” Olok-olokkan dari wajah satu persatu orang yang pernah memujiku menggerumuniku sambil mengolok-olok penuh kekecewaan padaku.
“Tidak… tidak… tidak…” aku semakin khawatir, kali ini aku benar-benar sudah malu, sangat malu pada diriku sendiri, tidak ada lagi pujian itu, tidak ada lagi orang yang akan menyanjung karya-karyaku lagi. Kini hanya ada aku yang tersisa sebagai pengecut.
“Andin! Andin sayang, bangun!”
Aku membuka mataku, kurasakan seluruh keringat membasahi tubuhku. Hanya mimpi. Mimpi burukku karena terlalu banyak berfikir tentang hal yang kutakutkan.
“Kamu nggak papa kan, sayang?” Tanya mamaku yang terlihat cemas melihat kondisiku. Aku mendongakkan kepalaku sedikit acuh, lalu kutatap laptop di sebelahku. Kelihatannya ke sleep dan tentu saja halaman Ms Word itu masih kosong, sama dengan otakku sekarang. Kembali aku menoleh pada mama lalu menggelengkan kepalaku sebagai kode bahwa aku baik-baik saja. Hari ini aku bangun tepat pada waktunya, segera kusambar handukku, mandi lalu berangkat ke kedung mutiara, ada louncing buku “The Best Heroes” karya penulis terkenal siang ini, semoga saja aku dapat inspirasi setelah pergi ke acara ini.
Sialnya, aku terjebak macet di tengah jalan karena demo penolakan kenaikan BBM, yang membuatku terlambat dua puluh menit dari waktu yang tertera pada poster acara. Ketika sampai di Gedung Mutiara, acara louncing itu sudah berlangsung, dan pintu masuk tepat berada di samping si bintang utama. Karena malu aku pun menunggu acara itu selesai di tempat sepi belakang gedung itu sambil menunggu acaranya selesai. Lebih dari tiga puluh menit aku duduk sendiri, dan tiba-tiba saja lagu gugur bunga karya Ismail Marzuki dikumandangkan begitu keras.
Lagu nasional ini menggema indah di antara dinding-dinding ruangan gedung tua nan megah ini. Menyisakanku padaku satu pertanyaan yang sama pada setiap lariknya, siapa itu pahlawan bangsa, siapa itu mereka, apakah mereka saja yang telah mengorbankan darah mereka untuk tanah air ini ataukah mereka yang kini terdengar sebagai pahlawan di buku-buku sekolah yang pernah diajarkan guruku? Lalu apa yang harus kutulis dalam bukuku?
“Sedang apa dek, kok sendirian di sini?” Sebuah suara menanyaiku dari belakang.
“Enggak. Nggak papa” jawabku sambil mencoba tersenyum ramah.
“Atau lagi nunggu pacar barangkali?”
“Pacar? Enggak kok, cuma lagi nyari jawaban siapa itu pahlawan bangsa sejati…” Ucapku keceplosan karena masih terbawa syair lagu yang baru kudengar.
Wanita muda yang kira-kira berumur 30 tahunan itu tersenyum ke arahku lalu duduk di sebelahku, kukira kata-kataku telah membuatnya begitu tertarik.
“Lalu siapa pahlawan bangsa sejati menurutmu?” Ia balik bertanya lalu kembali tersenyum ke arahku.
“Entahlah, mungkin yang pernah berperang untuk bangsa ini, atau yang sudah berkorban banyak untuk bangsa ini, Kartini, Jendral Soederman, Soekarno, Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Dewi Sartika, Kapten Pattimurra dan entahlah.”
“Kamu benar, kukira nilai sejarahmu pasti bagus di sekolah.” Pujinya yang membuatku serasa mendapat sindiran mengingat bahwa aku sangat benci dengan pelajaran sejarah.
“Ya, mereka memang pahlawan, pahlawan yang rela mempertaruhkan apapun untuk bangsa ini, kamu sudah tahu, kenapa masih bertanya?” Lanjutnya kembali.
Aku terdiam sejenak. Rasanya masih ada yang janggal dan aku sendiri belum puas.
“Maksudku di jaman modern ini, kayaknya nggak ada.”
“Pahlawan sejati itu orang yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa ini, orang yang ikhlas, sabar dan tabah serta mempunyai tekad, semangat yang tinggi untuk bangsa, mereka tidak pernah ingin terlihat, dinilai dan dipuji orang lain, karena yang mereka lakukan itu kerja nyata bukan hanya omong kosong semata.”
“Oh,” responku singkat, tapi aku tidak bermaksud sedikitpun menyindir ibu ini, melainkan fikiranku sedikit demi sedikit mulai terbuka mendengar ucapannya.
“Dan siapa itu mereka?”
“Mereka ada di dekat kita, para pemadam kebakaran, guru, bahkan kalau kamu tahu tukang bersih-bersih itu pun pahlawan bagi bangsa ini.”
Aku menganggukkan kepalaku, memang aku pernah mendengar pernyataan ini tapi kukira ini memang benar. orang yang rela berkorban demi bangsa ini.
“Oh, ya dek, kenapa yang kamu sebutkan sebagai pahlawan sejati pertama itu Kartini?”
“Tentu saja Kartini” jawabku dengan senyum yang mengembang di bibir” aku ini wanita tentu ingat dengan emansipasi wanita yang dilakukannya.”
Ia terdiam sejenak, menganggukkan kepalanya sambil berkata “aku tahu kartini itu telah berjasa banyak untuk wanita negeri ini, tanpa melupakan jasa-jasanya, tapi benarkah emansipasi wanita itu datang hanya dari kartini saja?”
“Ya tentu.”
“Ya, kartini telah membuat banyak perubahan untuk bangsa ini terutama untuk wanita yang membuat kita bebas bersekolah setinggi mungkin dan berkarir, tapi kita juga tidak boleh melupakan jasa pahlawan wanita yang lain, bahkan jauh sebelum kartini mengirim surat-suratnya kepada orang belanda, emansipasi wanita pun sudah dilakukan, buktinya perjuangan Cut Nyak dien, ia wanita tapi juga berperang, membuktikan bahwa wanita juga dapat menjadi pemimpin pada masanya. Selain itu kita ada Dewi sartika, Rohana Kudus, Cut Nyak Meutia, Hj R. Rasuna Said. Dan masih banyak lagi, tentu kita harus tetap mengenangnya bukan. Terlebih wanita yang selalu ada di dekat kita.”
Aku menganggukkan kepala. Kulirik jam tanganku, ternyata sudah jam 11.00 siang waktunya pulang sesuai yang kujanjikan pada ibuku. Kuucapkan terimakasih telah menjawab pertanyaanku dan memberikan inspirasi padaku. Walaupun baru beberapa menit berkenalan dengan orang ini dan kebetulan aku tidak tahu siapa namanya namun wanita ini sangatlah baik dan pandai. Aku pun tanpa sungkan meminta alamat e-mailnya untuk dapat berkomunikasi dengannya kembali.
Sesampainya aku di rumah masih ada satu pertanyaan yang belum terjawab dari ucapan wanita itu, siapa wanita yang ada di dekat kita? Kufikir-fikir sejenak, mungkinkah? Aku melangkahkan kakiku menuju dapur, wanita dengan tubuh gemuk dengan kulit sawo matang itu kupeluk erat-erat. MAMA, KAULAH PAHLAWAN SEJATIKU.
Aku memandang wajah Emma, si Queen drama itu yang kini tertunduk malu di hadapanku. Ia memegang novel karyaku sambil mengucapkan ucapan selamat di hadapanku sambil memuji novelku. Aku pun membalasnya dengan senyum, “berkat kamu dan satu orang lagi aku tahu apa itu makna pahlawan sejati. Kamu tidak perlu merasa bersalah seperti itu, harusnya aku yang berterimakasih padamu, karena kamulah novel ini bisa terbit.” Aku kembali tersenyum ke arahnya, kata-kataku ini benar-benar tulus, namun wajah sinis itu kembali muncul dan langsung meninggalkanku.
Aku tersenyum kembali, berusaha mengingatnya sebagai pengalaman. kulihat-lihat beberapa komentar yang muncul di cover bukuku ini. kubaca salah satu komentar dari penulis “The Best Heroes”, karena penasaran aku pun mencoba browsing siapa dan bagaimana orang itu. Ternyata orang itu adalah wanita yang duduk di sebelahku dan memberikan inspirasi untuk novelku. Aku pun segera mengirimkan sebuah pesan lewat alamat E-mailnya. Mengucapkan banyak terimakasih kutambahkan ungkapanku siapa itu pahlawan wanita sejati yang ada di dekat kita.
Dialah ibu, orang yang selalu ada di saat kita susah dan selalu tersembunyi di antara kebahagiaan kita. dialah ibu, yang melahirkan dan mendidik anak-anaknya hingga menjadi calon-calon pahlawan bagi bangsa ini, yang juga menciptakan ribuan pahlawan untuk bangsa ini. dialah ibu, yang selalu mendoakan dan berusaha melakukan apapun untuk anaknya. Wanita yang kadang terlupakan ini adalah pahlawan terbaik yang tidak boleh dilupakan oleh setiap manusia yang ada di muka bumi ini.
Cerpen Karangan: Isti Komah
Betapa hatiku takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri
Siapakah kini plipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati
Lagu nasional ini menggema indah di antara dinding-dinding ruangan gedung tua nan megah ini. Menyisakanku padaku satu pertanyaan yang sama pada setiap lariknya, siapa itu pahlawan bangsa, siapa itu mereka, apakah mereka saja yang telah mengorbankan darah mereka untuk tanah air ini ataukah mereka yang kini terdengar sebagai pahlawan di buku-buku sekolah yang pernah diajarkan guruku? Lalu apa yang harus kutulis dalam bukuku?
Aku menenggak habis segelas susu di sebelah kananku laptopku dengan mata memerah dan wajah yang lusuh. Ini sudah gelas ke 10 dalam waktu 2 hari ini aku lembur dikejar dateline membuat novel. Mungkin aku tidak perlu bersusah-susah seperti ini jika aku tidak menerima tantangan dari queen drama itu. Tapi mau bagaimana lagi nasi sudah menjadi bubur dan inilah resiko yang harus kuhadapi. Berulang kali aku mencoba mengetik beberapa kata dan mencari pilihan kata yang tepat, tapi tidak ada yang berubah, tetap saja page di Ms Word-ku masih kosong karena terus kuhapus.
AAAARRRRRGGG.
Teriakku kesal sambil menggaruk-garuk kepalaku. Aku kini beralih dari laptop ke kertas yang hasilnya tetap saja hanya coretan-coretan tidak berguna yang kudapat. Rasa kantuk kembali mendatangiku, tidak… tidak… Aku harus dapat 20 lembar malam ini, aku tidak boleh tertidur.
“Oh, lihatlah penulis muda kebanggaan semua orang, katanya sudah terkenal, bukunya best seller tapi ditantang nulis novel aja tidak bisa, payah!” Wajah sombong penuh keangkuhan itu tertawa penuh kemenangan di hadapanku.
“Huuuuuu!” Olok-olokkan dari wajah satu persatu orang yang pernah memujiku menggerumuniku sambil mengolok-olok penuh kekecewaan padaku.
“Tidak… tidak… tidak…” aku semakin khawatir, kali ini aku benar-benar sudah malu, sangat malu pada diriku sendiri, tidak ada lagi pujian itu, tidak ada lagi orang yang akan menyanjung karya-karyaku lagi. Kini hanya ada aku yang tersisa sebagai pengecut.
“Andin! Andin sayang, bangun!”
Aku membuka mataku, kurasakan seluruh keringat membasahi tubuhku. Hanya mimpi. Mimpi burukku karena terlalu banyak berfikir tentang hal yang kutakutkan.
“Kamu nggak papa kan, sayang?” Tanya mamaku yang terlihat cemas melihat kondisiku. Aku mendongakkan kepalaku sedikit acuh, lalu kutatap laptop di sebelahku. Kelihatannya ke sleep dan tentu saja halaman Ms Word itu masih kosong, sama dengan otakku sekarang. Kembali aku menoleh pada mama lalu menggelengkan kepalaku sebagai kode bahwa aku baik-baik saja. Hari ini aku bangun tepat pada waktunya, segera kusambar handukku, mandi lalu berangkat ke kedung mutiara, ada louncing buku “The Best Heroes” karya penulis terkenal siang ini, semoga saja aku dapat inspirasi setelah pergi ke acara ini.
Sialnya, aku terjebak macet di tengah jalan karena demo penolakan kenaikan BBM, yang membuatku terlambat dua puluh menit dari waktu yang tertera pada poster acara. Ketika sampai di Gedung Mutiara, acara louncing itu sudah berlangsung, dan pintu masuk tepat berada di samping si bintang utama. Karena malu aku pun menunggu acara itu selesai di tempat sepi belakang gedung itu sambil menunggu acaranya selesai. Lebih dari tiga puluh menit aku duduk sendiri, dan tiba-tiba saja lagu gugur bunga karya Ismail Marzuki dikumandangkan begitu keras.
Lagu nasional ini menggema indah di antara dinding-dinding ruangan gedung tua nan megah ini. Menyisakanku padaku satu pertanyaan yang sama pada setiap lariknya, siapa itu pahlawan bangsa, siapa itu mereka, apakah mereka saja yang telah mengorbankan darah mereka untuk tanah air ini ataukah mereka yang kini terdengar sebagai pahlawan di buku-buku sekolah yang pernah diajarkan guruku? Lalu apa yang harus kutulis dalam bukuku?
“Sedang apa dek, kok sendirian di sini?” Sebuah suara menanyaiku dari belakang.
“Enggak. Nggak papa” jawabku sambil mencoba tersenyum ramah.
“Atau lagi nunggu pacar barangkali?”
“Pacar? Enggak kok, cuma lagi nyari jawaban siapa itu pahlawan bangsa sejati…” Ucapku keceplosan karena masih terbawa syair lagu yang baru kudengar.
Wanita muda yang kira-kira berumur 30 tahunan itu tersenyum ke arahku lalu duduk di sebelahku, kukira kata-kataku telah membuatnya begitu tertarik.
“Lalu siapa pahlawan bangsa sejati menurutmu?” Ia balik bertanya lalu kembali tersenyum ke arahku.
“Entahlah, mungkin yang pernah berperang untuk bangsa ini, atau yang sudah berkorban banyak untuk bangsa ini, Kartini, Jendral Soederman, Soekarno, Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Dewi Sartika, Kapten Pattimurra dan entahlah.”
“Kamu benar, kukira nilai sejarahmu pasti bagus di sekolah.” Pujinya yang membuatku serasa mendapat sindiran mengingat bahwa aku sangat benci dengan pelajaran sejarah.
“Ya, mereka memang pahlawan, pahlawan yang rela mempertaruhkan apapun untuk bangsa ini, kamu sudah tahu, kenapa masih bertanya?” Lanjutnya kembali.
Aku terdiam sejenak. Rasanya masih ada yang janggal dan aku sendiri belum puas.
“Maksudku di jaman modern ini, kayaknya nggak ada.”
“Pahlawan sejati itu orang yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa ini, orang yang ikhlas, sabar dan tabah serta mempunyai tekad, semangat yang tinggi untuk bangsa, mereka tidak pernah ingin terlihat, dinilai dan dipuji orang lain, karena yang mereka lakukan itu kerja nyata bukan hanya omong kosong semata.”
“Oh,” responku singkat, tapi aku tidak bermaksud sedikitpun menyindir ibu ini, melainkan fikiranku sedikit demi sedikit mulai terbuka mendengar ucapannya.
“Dan siapa itu mereka?”
“Mereka ada di dekat kita, para pemadam kebakaran, guru, bahkan kalau kamu tahu tukang bersih-bersih itu pun pahlawan bagi bangsa ini.”
Aku menganggukkan kepalaku, memang aku pernah mendengar pernyataan ini tapi kukira ini memang benar. orang yang rela berkorban demi bangsa ini.
“Oh, ya dek, kenapa yang kamu sebutkan sebagai pahlawan sejati pertama itu Kartini?”
“Tentu saja Kartini” jawabku dengan senyum yang mengembang di bibir” aku ini wanita tentu ingat dengan emansipasi wanita yang dilakukannya.”
Ia terdiam sejenak, menganggukkan kepalanya sambil berkata “aku tahu kartini itu telah berjasa banyak untuk wanita negeri ini, tanpa melupakan jasa-jasanya, tapi benarkah emansipasi wanita itu datang hanya dari kartini saja?”
“Ya tentu.”
“Ya, kartini telah membuat banyak perubahan untuk bangsa ini terutama untuk wanita yang membuat kita bebas bersekolah setinggi mungkin dan berkarir, tapi kita juga tidak boleh melupakan jasa pahlawan wanita yang lain, bahkan jauh sebelum kartini mengirim surat-suratnya kepada orang belanda, emansipasi wanita pun sudah dilakukan, buktinya perjuangan Cut Nyak dien, ia wanita tapi juga berperang, membuktikan bahwa wanita juga dapat menjadi pemimpin pada masanya. Selain itu kita ada Dewi sartika, Rohana Kudus, Cut Nyak Meutia, Hj R. Rasuna Said. Dan masih banyak lagi, tentu kita harus tetap mengenangnya bukan. Terlebih wanita yang selalu ada di dekat kita.”
Aku menganggukkan kepala. Kulirik jam tanganku, ternyata sudah jam 11.00 siang waktunya pulang sesuai yang kujanjikan pada ibuku. Kuucapkan terimakasih telah menjawab pertanyaanku dan memberikan inspirasi padaku. Walaupun baru beberapa menit berkenalan dengan orang ini dan kebetulan aku tidak tahu siapa namanya namun wanita ini sangatlah baik dan pandai. Aku pun tanpa sungkan meminta alamat e-mailnya untuk dapat berkomunikasi dengannya kembali.
Sesampainya aku di rumah masih ada satu pertanyaan yang belum terjawab dari ucapan wanita itu, siapa wanita yang ada di dekat kita? Kufikir-fikir sejenak, mungkinkah? Aku melangkahkan kakiku menuju dapur, wanita dengan tubuh gemuk dengan kulit sawo matang itu kupeluk erat-erat. MAMA, KAULAH PAHLAWAN SEJATIKU.
Aku memandang wajah Emma, si Queen drama itu yang kini tertunduk malu di hadapanku. Ia memegang novel karyaku sambil mengucapkan ucapan selamat di hadapanku sambil memuji novelku. Aku pun membalasnya dengan senyum, “berkat kamu dan satu orang lagi aku tahu apa itu makna pahlawan sejati. Kamu tidak perlu merasa bersalah seperti itu, harusnya aku yang berterimakasih padamu, karena kamulah novel ini bisa terbit.” Aku kembali tersenyum ke arahnya, kata-kataku ini benar-benar tulus, namun wajah sinis itu kembali muncul dan langsung meninggalkanku.
Aku tersenyum kembali, berusaha mengingatnya sebagai pengalaman. kulihat-lihat beberapa komentar yang muncul di cover bukuku ini. kubaca salah satu komentar dari penulis “The Best Heroes”, karena penasaran aku pun mencoba browsing siapa dan bagaimana orang itu. Ternyata orang itu adalah wanita yang duduk di sebelahku dan memberikan inspirasi untuk novelku. Aku pun segera mengirimkan sebuah pesan lewat alamat E-mailnya. Mengucapkan banyak terimakasih kutambahkan ungkapanku siapa itu pahlawan wanita sejati yang ada di dekat kita.
Dialah ibu, orang yang selalu ada di saat kita susah dan selalu tersembunyi di antara kebahagiaan kita. dialah ibu, yang melahirkan dan mendidik anak-anaknya hingga menjadi calon-calon pahlawan bagi bangsa ini, yang juga menciptakan ribuan pahlawan untuk bangsa ini. dialah ibu, yang selalu mendoakan dan berusaha melakukan apapun untuk anaknya. Wanita yang kadang terlupakan ini adalah pahlawan terbaik yang tidak boleh dilupakan oleh setiap manusia yang ada di muka bumi ini.
Cerpen Karangan: Isti Komah
Pahlawan Wanita Sejatiku
4/
5
Oleh
Unknown