A Little Note For You

Baca Juga :
    Judul Cerpen A Little Note For You

    Senja, waktu yang selalu aku nanti, sekaligus membuat aku ketakutan. Semburat awan di langit terlihat indah. Kutatap dengan kagum pada ciptaan Tuhan itu. Tetapi, mentari terbenam membuat rasa kagumku berubah menjadi rasa takut. Senyuman tipis yang tadinya ada menghilang entah kemana. Aku begitu ketakutan. Takut jika malam tiba, dan esoknya aku tidak bisa melihat keindahan senja lagi. Bahkan sepanjang hari aku selalu merasa takut. Takut akan malaikat yang bisa menjemputku kapan saja. Entah bagaimana rupanya aku tidak tahu. Tapi ketakutan itu muncul setiap saat. Takut kalau masih ada orang merasa tersakiti karenaku, sengaja ataupun tidak. Takut aku pergi saat belum bisa membahagiakan orang-orang kesayanganku. Takut aku akan sendirian nantinya. Lewat catatan kecil ini aku mengabadikan hari-hariku. Jadi aku bisa mengingatnya kapanpun aku mau sampai batas akhir nanti.

    Satu hari telah aku lewati, entah berapa hari lagi yang tersisa. Aku sudah menghabiskan 22 tahun hidup di dunia. Entah kapan aku akan pergi.

    Ayah, Ibu, kalian apa kabar? Baik-baik sajakah di sana?
    Kupandangi langit yang mulai berwarna jingga. Deburan ombak masih terdengar di pendengaranku. Angin laut mulai berhembus kencang. Kupeluk diriku sendir dan mengeratkan syal di leherku. Tubuhku sedikit menghangat.

    Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh dan tersenyum tipis ke arahnya.
    “Masih mau di sini?” tanyanya.

    Kupandangi pemuda berusia 25 tahun itu lekat. Orang yang sangat aku sayangi. Orang yang berarti dalam hidupku.
    Ia sodorkan tangannya dan aku meraihnya. Kututup catatan kecilku dan kumasukkan ke dalam tas selempang kecil milikku.
    “Ayo pulang” ujarku padanya.

    Aku pun melangkah di sampingnya. Di samping lelaki hebat yang selalu menjagaku. Ialah, Nanda. Kakakku yang sangat aku sayang. Ia satu-satunya yang aku miliki. Seseorang yang berharga. Seseorang yang selalu menjagaku.

    “Mau es krim?” tanyanya.
    Aku mengangguk pelan seraya memeluk lengannya.
    Ia selalu tahu kesukaanku.



    “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah… piipp”
    Aku kesal seraya membuang ponselku di ranjang. Sudah kesekian kalinya suara operator yang menjawab. Aku pun keluar ke balkon dan memandangi panorama pantai di depanku. Aku meminta kakakku untuk tinggal di dekat pantai, karena itu kesukaanku. Sekaligus tempatku menenangkan diri.

    Aku mendengus kesal sekaligus kecewa. Sudah 2 minggu ia susah dihubungi. Ya, Dani, kekasihku. Aku tidak tahu apa kesibukannya sampai-sampai mematikan ponsel. Padahal aku hanya ingin ia selalu ada di sisiku. Menemaniku saat aku ketakutan.
    Kini ia menjadi berubah. Entah karena apa. Selalu bilang tidak ada waktu dan selalu sibuk. Terkadang aku khawatir. Pada keadaannya juga keadaan di sana.
    Benarkah ia sibuk? Sibuk dengan apa? Sibuk dengan siapa?
    Siapa? Apakah ada orang lain di sana sampai-sampai mengabaikanku?
    Oh tidak. Aku tidak boleh memikirkan hal yang aneh. Aku percaya dengannya. Aku percaya ia tidak akan macam-macam. Ia sudah memintaku untuk menunggunya. Menunggunya yang akan memintaku pada keluargaku. Memintaku untuk menjadi pendamping hidupnya. Aku harus lebih sabar. Mungkin ia benar-benar sibuk.

    “Kau sedang apa?”
    Aku berbalik dan memandangi kakakku membawa nampan berisi makanan juga susu.
    “Makanlah dulu, kau belum sarapan kan?” Ia letakkan nampan itu di atas meja di dekatku.
    Aku tersenyum ke arahnya dan melaksanakan perintahnya.
    Tak lama aku habiskan makanan dan susu yang disediakan kakakku itu.

    “Dani masih belum bisa dihubungi?” tanyanya.
    Aku menggeleng lemas dan menghela nafas panjang.
    “Ia sedang sibuk, tidak apa-apa. Yang penting kakak ada di sisiku.” ucapku lembut. Aku tidak mau membuat kakakku melihat kegelisahanku.

    “Hari ini mau ke mana tuan putri?” ujarnya seraya mencubit pipi chubbyku.
    Aku berfikir sejenak dan tersenyum ke arahnya.
    “Kita ke tempatnya Dani aja kak, yaa..” pintaku memohon.
    Sudah lama aku tidak bertemu dengan Dani karena kesibukannya. Aku ingin membuat kejutan untuk Dani. Sekaligus melepas rinduku padanya.
    “Baiklah tuan putri.” balas kakakku.

    Kuamati dalam rumah kontrakan Dani. Meski hanya sebatas menyewa, aku bangga padanya, bisa bertahan hidup meski tanpa bantuan orangtuanya.
    Aku masuki pekarangan kontrakan Dani. Terlihat seorang nenek menghampiriku.
    “Nak Aila, ayo masuk” ajaknya.
    Aku tersenyum dan mengikutinya. Sementara kakakku mengekor dari belakang.

    “Sudah lama tidak ke sini, ayo duduk dulu, Dani sepertinya belum pulang.” ucap nenek itu.
    Aku sudah lama mengenalnya. Ia pemilik kontrakan Dani dan kita cukup dekat.
    “Apa Dani menitipkan kunci nek? Aku ingin memasak untuknya.” ucapku lembut.
    Dani memang sering menitipkan kunci kontrakannya karena ia sering menghilangkannya.

    Tak lama nenek itu keluar dengan membawa sebuah kunci, aku menerimanya dan bangkit.
    “Kau di sini saja ya kak.” pintaku.
    Kakakku itu hanya mengangguk.

    Kubuka pintu kontrakkan Dani dan memasukinya. Terlihat sedikit berantakan dan aku merapikannya.
    Aku pun memasuki dapur sederhananya dan mencari bahan yang bisa dimasak.
    Isi kulkasnya pun masih penuh. Aku ambil sedikit daging, telur, sayuran dan buah.
    “Dani, aku buatkan nasi goreng kesukaanmu ya.” aku berucap sendiri.
    Aku ambil sedikit beras dan menanaknya sebentar. Tidak sulit untukku membuat makanan kesukaan Dani, karena kita juga sering membuatnya bersama.

    35 menit selesai dan aku sediakan di meja makan. Seraya meletakkan buah-buahan untuk pencuci mulut.
    Baru mau aku meletakkan celemek yang aku pakai, pintu depan terbuka. Terlihat sosok Dani berdiri mematung memandangiku. Sosok yang 2 tahun terakhir menemaniku. Sosok yang aku rindukan kehadirannya.
    Aku tersenyum dan menghampirinya.
    “Kau sudah pulang? Aku sudah memasak makanan kesukaanmu.” ujarku seraya meraih tasnya.
    Ia tetap pada posisinya sementara aku menggantungkan tas kerjanya.
    “Apa kau masih ingin di sana saja dan membuat nasi gorengnya dingin Dani.” ujarku seraya menarikkan kursi untuknya.

    Ia berjalan pelan ke arahku tanpa kata apapun. Ia pun menduduki kursi yang sudah kusediakan.
    “Kau pasti lelah dan lapar.” ujarku seraya menuangkan air minum.
    Tingkahku sudah seperti seorang istri yang menyambut kedatangan suaminya bukan? Aku terkekeh pelan. Hitung-hitung latihan. Aku selalu berpikir masa depan kita nanti. Tentunya indah bukan? Tapi aku juga tidak berharap banyak.

    “Cukup Aila!” ujarnya agak kasar.
    Aku terpaku menatapnya. Seolah bukan Dani yang kukenal.
    “Ma.. maaf, apa aku ada salah?” tanyaku tak mengerti.
    “Aku lelah Aila. Aku mau istirahat. Kau sebaiknya pulang saja.” ucapnya seraya meninggalkanku.
    Aku tertunduk lemas. Apa salahku? Sampai ia begitu? Sikapnya berubah. Biasanya ia akan sangat senang aku perlakukan seperti ini. Tapi kenapa sekarang berbeda?

    “Dan, apa aku mengganggumu, maafkan aku.” ucapku seraya mengetuk pintu kamarnya.
    Tak ada jawaban apapun.
    “Ya sudah, aku pulang, kau istirahatlah. Jaga kesehatan ya.”
    Aku pun segera pergi dan menahan air mata yang sebenarnya ingin keluar. Aku tidak ingin kakakku itu nanti khawatir.

    ‘Dan, kau marah padaku’
    ‘Dani, kau kenapa sih?’
    ‘Kau sibuk ya, maaf, aku tidak bermaksud mengganggumu kemarin’
    ‘Dani, ayo jawab’

    Tak lama ponselku berbunyi. Tanda pesan masuk.
    Dani:
    Maaf, aku sibuk

    Aku pun lemas seketika. Sebegitu sibuknya kah sampai tak ada waktu denganku. Padahal ia dulu sering sekali ke rumah, sekarang sama sekali tidak. Bahkan ia selalu mencari alasan saat aku meminta bertemu.

    Aku pun merebahkan tubuhku di ranjang. Aku terlalu lemas untuk sekedar duduk. Mataku memanas. Cairan bening pun perlahan turun.
    Pandanganku tiba-tiba suram. Nafasku mulai tak beraturan. Ku pegangi dadaku yang mulai terasa sakit. Mungkinkah serangan itu datang lagi?

    “Kak… Nanda…” lirihku
    Nafasku perlahan terasa sesak. Aku mencoba bangkit, namun nihil. Aku terjatuh dari ranjang dan tak pandanganku mulai gelap.



    “Keadaannya sudah stabil, kita lihat perkembangannya nanti”
    “Terimakasih dok”
    Samar-samar kudengar percakapan itu. Mataku perlahan membuka dan melihat lelaki kesayanganku di sampingku.
    “Kak..” lirihku.
    Ia mendekat dan tersenyum padaku.
    “Tidak apa-apa. Kau sudah stabil sekarang. Maafkan aku Aila, tidak bisa menjagamu.” ujar kakakku.
    Aku tersenyum ke arahnya. Sementara kurasakan ada selang oksigen di hidungku dan selang infus di tangan kananku.
    “Aku dirawat lagi ya kak?” tanyaku.
    Ia mendekat dan menggenggam erat sebelah tanganku.
    “Aku akan selalu menjagamu sayang.” ujar kak Nanda.
    “Aku baik-baik saja kok kak. Aku tidak sakit apa-apa, kenapa harus dirawat?” tanyaku.
    “Lebih baik kau menurut saja ya. Jangan berpikiran yang lain. Kau pasti bisa sembuh.” ucapnya.
    Aku hanya menggangguk pelan seraya menahan rasa nyeri yang perlahan terasa kembali didadaku. Aku tidak mau membuat kak Nanda khawatir.
    Kakakku benar, aku harus bisa sembuh.

    Seminggu setelah aku dirawat dan kini aku bisa merasakan udara bebas. Tetap saja Wajahku terlihat lesu. Aku kecewa dengan Dani. Selama aku sakit, ia sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya atau hanya sekedar menanyakan keadaanku. Itu pun ia masih sulit untuk dihubungi.

    “Tidak apa-apa, masih ada aku kan?” ucap kak Nanda menenangkanku. Sepertinya ia tahu kegelisahanku.
    Aku hanya tersenyum tipis.
    “Terimakasih kak, maaf sudah merepotkanmu selama ini.”
    “Kau bicara apa sih, sudah tugasku menjada adik yang sangat aku sayangi. Aku tidak ingin kehilangan lagi. Hanya kau yang aku punya Aila. Aku tidak ingin sendirian.” balas kak Nanda.
    Rasanya aku ingin menangis.
    “Aku juga tidak ingin kakak sendirian.” batinku.
    “Kalau begitu, carikan aku kakak ipar, biar ada yang bisa membantu kakak.” kata itu yang bisa terucap.
    Kak Nanda hanya terkekeh pelan.

    Aku duduk di samping kakakku yang sedang menyetir. Pandanganku kosong. Kembali aku terpikir dengan Dani.
    Ke mana saja ia selama aku sakit? Apa ia sudah tidak peduli padaku? Apa memang aku tidak penting untuknya?
    Perlahan air mataku menetes. Aku tak habis pikir dengan Dani, kenapa ia berubah. Aku salah apa?

    Tak ku kira kak Nanda membawaku ke tempat kerja Dani. Aku terkejut menyadari yang terjadi.
    “Kau merindukannya bukan? Aku tahu itu” ujarnya.
    Aku terharu kakakku sangat mengerti aku. Ia bakan tahu hal yang tidak aku ucapkan sekalipun.
    Aku pun turun dan menunggu Dani diparkiran. Jam 14. 00 biasanya jam pulang Dani.

    Tak lama mataku melihatnya.
    “Dani..” teriakku dan tersenyum ke arahnya.
    Tapi wajahnya terlihat tak suka melihatku. Aku pun berjalan pelan menghampirinya.
    “Aku merindukanmu.” ucapku seraya memeluknya.
    “Sangat… sangat merindukanmu. Meski kau berubah sekalipun saat ini.” batinku
    Tak lama ia melepas paksa pelukanku. Ia bahkan mendorongku menjauh. Aku tak percaya Dani melakukan hal itu padaku.

    “Dani… kenapa..” lirihku.
    Mataku memanas. Cairan bening mengalir pelan. Aku terisak melihat perlakuannya barusan.
    Ia hanya diam mematung ke arahku. Tatapannya seolah membenciku.

    Tiba-tiba nafasku memburu cepat. Dadaku kembali terasa sakit. Bukan sakit karena perlakuan Dani. Tapi lebih sakit dari itu. Terasa panas dan nyeri. Sangat nyeri. Kepalaku terasa berputar.
    Apakah waktunya tiba? Haruskah sekarang? Dani, aku menyayangimu. Maafkan jika sikapku selama ini menyebalkan. Terimakasih banyak. Terimakasih untuk mimpinya yang indah, meski kini hanya akan jadi kenangan.
    Aku terjatuh dan pandanganku menjadi gelap seketika.

    Kedua pemuda itu menatap pusara yang masih baru. Air mata keduanya masih membekas.
    “Ini salahku.” lirih Dani
    “Kalau saja aku bisa mengerti.” Sesalnya.
    “Ini bukan salahmu. Sudah menjadi takdirnya. Aila harus pergi seperti ini.” ucap Nanda.
    Dani memandang lekat kakak kekasihnya itu.
    “Apa kau tidak membenciku?” tanyanya.
    Nanda menghela nafasnya.
    “Aku membencimu. Bahkan sangat membencimu. Kau berlaku seperti itu dengan adikku disaat-saat terakhir. Kalau bisa aku akan memukulmu. Sampai kau mati sekalipun aku tidak peduli.” ujar Nanda tenang.
    Dani merasakan penyesalan atas perlakuannya pada Aila. Ia sendiri tidak tahu keadaan Aila sampai-sampai mengabaikannya.

    “Tapi itu percuma. Kau mati sekalipun, takkan mengembalikan Aila-ku” ujar Nanda memandang Dani. Ia menyodorkan sebuah buku kecil pada Danu.
    “Kau harus tahu perasaan Aila. Aku ingin kau menyesal telah memperlakukan adikku seperti itu. Dan saat kau menyadarinya, penyesalanmu tak ada gunanya lagi. Hanya itu satu-satunya karma untukmu.” ucap Nanda seraya berlalu dan menepuk pundak Dani.

    Ia buka buku kecil milik Aila.
    ‘Daily note, Fitriani Aila Hermawan, 9 October 1994’

    Terpampang jelas tulisan itu disampul bergambar Princess Aurora.
    Ia buka lembar demi lembar tulisan tangan Aila

    9 Oktober 2016,
    Sudah genap 22 tahun aku hidup. Aku bahagia ada kak Nanda juga Dani disisiku. Mereka selalu mendukungku, melindungiku dan menyayangiku. Ayah, Ibu, putri kecilmu kini sudah beranjak dewasa. Aku merindukan kalian. Kalian apa kabar di sana? Ini tahun kelima tanpa kalian. Tapi aku tidak sedih. Kalau aku sedih, kalian di sana pasti akan sedih juga. Aku berjanji akan selalu bahagia. Love You All.

    20 Oktober 2016,
    Entah kenapa hari ini mulai terasa berbeda. Dadaku akhir-akhir ini sering terasa sakit, panas, entah mengapa. Tapi hari ini sangat terasa sakit. Aku pergi ke Rumah Sakit. Dokter memvonis aku mengidap penyakit jantung. Dokter mengatakan jantungku terlihat bermasalah sejak lama. Saat ini sudah semakin parah. Aku menangis. Aku tidak tahu harus bagaimana. Bukankah itu berarti hidupku tak lama lagi. Aku tidak mau orang lain tahu. Aku tidak mau menyusahkan kak Nanda. Apalagi Dani, aku tidak mau mengecewakannya.

    15 Desember 2016,
    Rasa sakit ini kembali menyiksa. Berkali-kali aku masuk Rumah Sakit karena terkena serangan lagi. Kak Nanda akhirnya tahu. Dani, maaf aku sering mengecewakanmu. Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Maaf aku sering pergi tanpa kabar. Aku sekarang menjalani pengobatan. Aku tidak berharap apa-apa. Aku hanya berhatap kita sempat bahagia sebelum aku benar-benar pergi nantinya.

    5 Januari 2017
    Happy anniversary 2th Dani, semoga kau selalu bahagia. Kita selalu bahagia bersama. Meski kau sekarang berubah, aku tetap mencintaimu. Aku tahu kau sibuk. Kau sedang berjuang. Semoga berhasil ya sayangku. Aku percaya padamu. Semoga aku bisa menemanimu sampai akhir. Aku akan tetap di sisimu meski kau berubah sekalipun. Aku tahu kau selalu lelah. Tidak apa-apa aku yang mengalah. Aku merindukanmu yang dulu. Aku sangat merindukanmu. Bahagia dan sukses selalu ya sayang. I Love You.

    6 Februari 2017,
    Lagi-lagi aku harus dirawat. Sakitnya terasa lagi. Lebih sakit lagi aku tidak melihat Dani. Apa ia tidak peduli padaku? Apa ia benar-benar sudah melupakanku. Aku hanya ingin menghabiskan waktu terakhirku bersamamu. Maaf aku tidak jujur tentang keadaanku. Aku sayang padamu. Aku akan berjuang untuk tetap hidup. Mendampingimu mencapai impianmu.

    Dani tertunduk lesu. Ia sangat menyesal dengan perbuatannya. Ia memang disibukkan dengan pekerjaannya. Ia bahkan selalu mengabaikan Aila. Ia berencana membalas perlakuan Aila tanpa tahu alasan saat Aila menghindarinya.
    Tetapi ia sungguh mencintai Aila lebih dari dari dirinya sendiri. Ia hanya ingin Aila merasakan apa yang pernah ia rasakan. Ia salah, caranya salah. Harusnya ia mencari tahu alasan Aila selama ini.

    Nanda benar, penyesalannya takkan berarti. Ia tatap pusara Aila. Tangisnya tak terbendung. Maafnya pun takkan berarti. Seharusnya ia lebih bisa mengerti Aila. Apalagi keadaan Aila yang seperti itu. Ia bodoh, sangat bodoh. Mengabaikan Aila tanpa tahu keadaannya seperti itu.

    ‘A Little Note For You’
    for DS

    Cerpen Karangan: Lola
    Facebook: Lola

    Artikel Terkait

    A Little Note For You
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email