Depresi

Baca Juga :
    Judul Cerpen Depresi

    Kuperkenalkan diriku dahulu sebelum kuceritakan semuanya pada kalian, para pembaca. Namaku Lail Azzahra. Umurku cukup dibilang muda, 14 tahun. Dan ya, aku tinggal bersama keluarga yang sangatlah sederhana.
    Aku tak kaya, tak terlalu pandai, tak bisa juga dikatakan sebagai wanita Muslimah. Ketahuilah, aku hanya gadis urakan yang masih mempelajari ilmu keagamaan. To the point sajalah.

    Kau tahu sesuatu? Pernah suatu saat kedua orangtuaku bertengkar. Ibuku masih di luar kota, menjaga kakek yang sakit keras di sana. Ayah tiba tiba memanggilku yang sedang asyik mengukir sebuah gambaran.

    “Ya ayah?” Tanyaku.
    “Duduklah, nak. Ada yang mau ayah bicarakan denganmu.” Aku duduk di samping ayah. Tatapan ayah begitu serius. Sungguh, ini tak seperti biasanya.
    “Pernah tidak, kamu diajak keluar sama ibumu?”
    “Pernah. Sering.”
    “Sama siapa? Ibu sama siapa?”
    “Temennya itu loh.”. Kulihat raut wajah ayah berubah seketika. Air matanya tiba tiba saja menetes.
    “A-ayah? Ayah kenapa?”
    “Bukan apa apa. Jika suatu saat nanti ayah akan bercerai dengan ibumu, kamu mau ikut siapa? Ayah atau ibu?”
    Seketika aku terdiam. Suaraku pun seperti tertelan begitu saja. Perlahan, bening bening kristal membanjiri pipiku. Aku diam tak bergeming.

    “Tak perlu menangis, anakku. Belajarlah yang rajin. Kamu juga sudah besar. Tak perlu lagi diingatkan untuk Sholat. Sholat itu wajib, nak. Jika ayah meninggal nanti, siapa yang akan mendoakan ayah jika bukan kamu?” Suara ayah terdengar sesenggukan. Langsung saja kupeluk ayah.
    “Ayah, maafkan aku. Maafkan semua perbuatanku. Aku tak mau ayah dan ibu cerai. Aku tak mau”. Ayah mengusap air mataku. Lalu, menyuruhku belajar.

    Jujur saja. Saat itu, aku benar benar depresi. Aku berpikir, tak ada gunanya aku hidup. Aku juga tak pernah membanggakan kedua orangtuaku. Sungguh, aku sudah tak pernah lagi tersenyum. Bahkan tertawa. Aku kehilangan semuanya. Dan ibu juga mengatakan hal yang serupa.
    “Ayahmu minta cerai kah? Kenapa marah diam terus dari tadi?”
    Mereka sama. Tak ada bedanya. Jika aku anak yang tak diinginkan, untuk apa aku dilahirkan?

    Ayah, ibu, ketahuilah. Aku mudah sekali depresi. Kata kata seperti itu bisa membuatku jatuh. Membuatku patah semangat. Membuatku tak berarti lagi untuk kalian berdua.
    Aku sering menangis pelan pelan. Aku sering menyayat ujung jariku jika depresi ini mulai membelengguku. Jika sajahal itu terjadi, aku harap, ibu dan ayah tak akan pernah melihatku ada di sini. Di dunia ini.

    Ayah, ibu, kalian juga terkadang pilih kasih. Kenapa selalu adik yang kalian banggakan? Kenapa selalu adik yang kalian dahulukan? Aku tahu! Dia masih kecil kan?! Aku bosan mendengar kata kata itu! Lihatlah dia! Berlaku seperti ratu! Meminta ini dan itu tanpa memedulikanku!
    Adik juga kalian belikan barang barang mewah. Aku kapan, yah? Aku kapan? Kapan aku bisa tertawa seperti adik? Apa kalian sama sekali tak menginginkanku?

    Aku kecewa hidup di sini. Aku kecewa hidup dengan keluarga yang penuh keegoisan. Lihatlah pakaianku. Lusuh, kotor, rusak, dan sudah saatnya ganti.
    Ayah, ibu, kalian tahu sesuatu? Aku hanya ingin satu. Bahagiakan aku sama seperti kalian membahagiakan adik. Aku tak meminta lebih. Sudah itu saja.

    Kenapa? Kalian tak mau? Sudahlah, tak apa. Lagipula, aku sudah terbiasa seperti ini. Tak apa.. tak apa..
    Ayah, ibu, jika memang benar kalian tak menginginkan anak sepertiku, buanglah aku. Buang aku kepanti asuhan. Buang aku ketika aku baru saja dilahirkan. Kenapa aku malah tersiksa?

    BUKH! BUAKH! BUKH! Tanganku tak berhenti menghantam tembok. Dan kulihat, temboknya agak retak. Tanganku mulai membengkak. Depresi ini bisa membunuhku kapan saja. Tak ada yang peduli padaku. Kulihat ke arah luar. Aku lari di tengah jalan.

    BRUAK!! Sebuah bus menabrakku hingga badanku terhempas cukup jauh. Darah segar mengalir.
    Tak lagi kurasakan raga hangat tubuhku. Samar samar, kulihat bayangan ayah dan ibu begitu panik melihatku.
    Terlambat. Semua sudah terlambat. Aku sudah lelah menghadapi semua cobaan ini. Dengan kepergianku, aku berharap, beban ayah dan ibu bisa terkurangi.

    Penulis Lail Azzahra

    Cerpen Karangan: Qoylila Azzahra Fitri
    Blog / Facebook: Rhytmawan Arnold

    Artikel Terkait

    Depresi
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email