Judul Cerpen Ketika Cinta Menghampiri
Ketika cinta menghampiri, dunia terasa lebih indah. Dan hati, merasa terisi. Namun, jika cinta hanya membawa luka, sebaiknya jangan pernah datang dan jangan pernah ingin tersentuh cinta.
Cinta yang dimaksud cinta terhadap pasangan atau lawan jenis. Mereka yang masih belum memantaskan diri, belum berhak untuk tersentuh cinta yang sejati. Karena cinta sejati akan benar-benar menghampiri manusia yang siap untuk merasakan luka dari sakitnya dicintai atau mencintai.
Namaku Ruby Khadijah, dan nama panggilanku adalah Rykha. Aku terlahir di sebuah keluarga yang sangat menjunjung tinggi nilai agama. Kakekku, memiliki sebuah pesantren di Bandung, Pesantren An Nur. Dan yang mengurus pesantren adalah kedua orangtuaku. Dan secara otomatis, aku juga kakakku tinggal di pesantren bersama kedua orangtua kami.
“Assalamu’alaikum, umii… Rykha pulang,” kataku sembari meletakkan ransel di meja bawah jendela. Terdengar seseorang yang menjawab salamku, “wa’alaikumsalam, langsung ke kamar ya, siap-siap, sebentar lagi ada tamu yang datang.” Aku hanya mengangguk, dan menuruti perintah umi.
Di dalam kamar, aku bergumam dalam hati, “tamu? Siapa? apakah penting? Oh! Aku tahu, pasti kakek datang dari Qatar dan membawa oleh-oleh. Atau kakek datang bersama ikhwan ganteng dari sana? Hehe… ehh… astaghfirullah! Nyebut Kha, nyebut!”
Kakek memang yang membangun pesantren ini tapi dia lebih memilih untuk tinggal di Qatar bersama istri barunya, dan menjadi dosen agama di salah satu kampus terbesar di sana.
Aku sudah bersiap-siap dengan memakai salah satu gamis terbaikku. Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamarku, “Kha…! Kamu udah siap?” aku mengenal suara itu, itu suara kakakku, Ryma. Aku segera membuka pintu, “iya aku udah siap. Tada…!” kataku sembari memperlihatkan gamis terbaikku. Ryma tersenyum, lalu tertawa terbahak-bahak, “kamu ini… ada-ada saja. Kakak juga udah siap, nih liat…! Gamis kakak juga bagus kan?” aku tersentak melihat gamis yang dipakai Ryma, “lho, kak. Kok sama sih?” Ryma menjawab dengan santai, “ya iyalah, kan umi sendiri yang bilang kakak harus pake baju ini. Sepertinya tebakan umi benar, kamu pasti pake baju ini juga. Hehe…” Ryma tertawa kecil. Aku cemberut, tapi ‘tak apalah. Toh, emang baju kita ini kebanyakan sama. Umi yang memilihnya.
Terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Aku penasaran dan mengintip sedikit lewat jendela, siapa yang datang. Tapi Ryma langsung membawaku ke ruang tamu untuk menemui tamu ini, “ya! Mereka sudah datang. Ayo Kha, kita temui mereka.” Aku hanya menurut.
Di ruang tamu, abi dan umi sudah terlihat sumringah. Mereka menyambut tamu ini dengan hangat. Ketika tamu ini memasuki ruang tamu, seketika jantungku berdegup dengan kencang. Matanya, senyumnya, membuat dadaku sesak. Ryma terlihat berseri-seri. Aku ingin bertanya, siapa dia, namun tertahan oleh jantungku yang berdegup dengan kencang.
Tamu itu ternyata seorang pemuda tampan. Tapi dia tidak sendiri. Beberapa orang mengiringi dia masuk. Dan orang-orang itu adalah keluarganya. Seketika aku terkejut, apa maksudnya? Apa pemuda itu akan mengkhitbah ka Ryma? Tapi… kak Ryma kan sudah dikhitbah leh kak Ali, anak Kiyai Pesantren terbesar dari Jawa. Lalu…
“Astaghfirullah! Kak mereka mau mengkhitbah … ku?” Ryma tiba-tiba terdiam, “iya, Kha…” Ryma menghela nafas panjang, dan meneruskan kata-katanya, “berapa umurmu sekarang? 17 tahun kan? Kamu itu sudah besar, dan sudah waktunya untuk ada seseorang yang menjagamu. Bukan kakak, bukan umi, bukan abi… bukan kakek. Tapi, seorang imam, yang dapat membimbingmu menuju surganya Allah.”
Mendengar ucapan Ryma, air mataku keluar dengan deras. Aku menangis tersedu-sedu. Aku memeluk Ryma, “aku tidak mau! Aku tidak mau! Aku cuma mau bersama kalian, keluargaku…!” Ryma pun terlihat sedih, dia memelukku dengan erat, “kakak ngerti, tapi daripada pacaran lebih baik langsung dinikahkan. Meski kamu bilang gak akan pacaran, tetap saja kan. Perasaan dan apalagi nafsu, tidak akan bisa ditahan. Ini jalan terbaik untuk kamu.”
Aku dan Ryma pun duduk di samping umi. aku hanya tersenyum. Aku sama sekali tidak fokus dengan apa yang mereka bicarakan. Pandanganku kosong. Tiba-tiba, pemuda itu memberi salam padaku, “assalamu’alaikum.” Dengan senyum manis tersungging di bibirnya. Aku menjawab salam pemuda itu. Ryma berbisik padaku, “fokus, Kha, fokus.” Aku pun tersadar dan mulai mengobrol juga.
“Kami hanya mengikuti jawaban Rykha saja. Jika dia berkata iya, maka alhamdulillah. Dan kita, tinggal menentukan tanggalnya saja. Bagaimana, Rykha? Apa jawabanmu, nak?” tanya abi dengan penuh harap, dan aku menjawab…
Aku tidak tahu jawabanku apa. Karena ini semua sangat mendadak. Baru tadi siang aku pulang sekolah, dan sorenya.. aku kira tamu yang datang itu kakek, tapi ternyata.
Aku menjawab, “jika memang Allah telah menjodohkan kita, InsyaaAllah, Rykha ikhlas.” Mendengar jawabanku, semua orang diruangan terdiam. Umi tersenyum, “alhamdulillah. Kalau begitu, apa tanggapan nak Ahmad?” semua menatap pemuda itu. Ya! Pemuda itu namanya Ahmad, lebih lengkapnya, Ahmad Azzam Zaenal. Putra dari Kiyai Muhammad Fathur Bukhari, pimpinan pondok pesantren Abu Bakar Ash-Shiddiq. Salah satu pesantren terkenal di Bandung.
Dengan santai Ahmad menjawab, “semua saya serahkan pada Ukhti saja,” dia menatapku. Dan aku merunduk. Kiyai Fathur menyahut, “alhamdulillah… kita serahkan pada nak Rykha. Maunya kapan dan bagaimana.” Umi dan abi setuju begitu saja, Ryma menatapku. Dengan penuh keberanian aku menjawab, “saya mau menikah dengan kak Ahmad. Dan InsyaaAllah, tanggal pernikahan yang saya inginkan adalah tanggal dan juga bulan kelahiran saya. Tapi tidak untuk tahun ini, tidak juga untuk tahun depan. Saya ingin fokus dulu dalam sekolah saya. Saya baru akan naik kelas 3, dan sebentar lagi kuliah. Dan saya inginnya, kami menikah setelah saya menyelesaikan pendidikan saya.”
Semua orang terlihat terkejut, mendengar perkataanku. Tapi Ahmad terlihat lain, “iya, ana setuju pendapat ukhti. Ana pun ingin menyelesaikan pendidikan ana dulu. Bagaimana? Abi? Umi?” kiyai Fathur menjawab, “ana juga setuju dengan tanggapan kalian. Tapi, apa tidak sebaiknya, kalian menikah dulu saja? Tidak apa kan jika kalian kuliah dan kalian sudah menikah.”
Wajahku murung, dalam hati aku bergumam, “aku belum siap, aku belum siap. Kenapa sih, maksa gini. Astaghfirullah…!” Ahmad menatapku dan sepertinya mengatakan sesuatu. Terlihat dari gerak bibirnya dia mengatakan, “tenang saja. Allah bersama kita.” Aku tersenyum? mengangguk pelan.
Ahmad terlihat tidak setuju dengan apa yang dikatakan ayahnya, “abi… tidak apa kok, ana akan sabar. Lagipula, jika memang kita tidak berjodoh, ana ikhlas.”
Obrolan tentang perjodohan ini berjalan sangat lama. Sampai waktu maghrib tiba, mereka baru akan pulang. Aku mengurung diri di kamar. Aku kaca di cermin besar lemariku, “kamu itu ganteng akhi, baik, dan juga soleh. Tapi meski begitu, perasaanku hanya untuk Umar seorang. Uh… astaghfirullah.” Mendengar ucapanku pada diriku sendiri, Ryma membalas, “Umar, hanya seorang teman, Rykha. Dia gak baik buat kamu. Perasaan yang kamu rasakan untuk dia, itu cuma nafsu belaka. Jika kamu memaksakan untuk mencintai dia pun, hanya ada luka yang akan kamu terima. Kha, kakak tahu, Umar itu siapa. Dia anak yang nakal, shalat aja kadang iya kadang tidak. Bagaimana jadinya masa depanmu kalau kamu memaksakan untuk menikah dengan dia?!”
Aku hanya terdiam mendengar ocehan Ryma.
Keesokan harinya, di sekolah, aku melihat pemandangan yang sangat indah. Umar menghampiriku, “assalamualaikum, ukhti…” aku tersenyum, “waalaikumsalam, akhi…” setiap pagi Umar selalu menyambutku di depan kelas, ya, karena kami satu kelas. Perasaanku sangat bahagia, setelah semuanya yang kualami kemarin di rumah. Tapi… tiba-tiba perasaanku sakit. Hatiku terluka. Umar, pemuda yang sangat aku cintai, dia berpegangan tangan dengan Faya. Gadis terkenal di sekolah karena kecantikannya. Mereka terlihat bahagia. Seketika air mataku ingin keluar. Aku menahan rasa sakit ini. Dan tiba-tiba, pikiranku tertuju pada Ahmad. Aku menggeleng, dalam hati aku bergumam, “kenapa?! Apa karena kami bukan jodoh? Tapi… kenapa cinta ini malah menghampiri Umar dan bukan Ahmad? Atau pemuda baik lainnya? Kenapa rasanya sakit sekali melihat mereka bahagia?”
Bersambung
Cerpen Karangan: A Nurjanah
Blog / Facebook: Anis Nurjanah (Neng Anis)
Ketika cinta menghampiri, dunia terasa lebih indah. Dan hati, merasa terisi. Namun, jika cinta hanya membawa luka, sebaiknya jangan pernah datang dan jangan pernah ingin tersentuh cinta.
Cinta yang dimaksud cinta terhadap pasangan atau lawan jenis. Mereka yang masih belum memantaskan diri, belum berhak untuk tersentuh cinta yang sejati. Karena cinta sejati akan benar-benar menghampiri manusia yang siap untuk merasakan luka dari sakitnya dicintai atau mencintai.
Namaku Ruby Khadijah, dan nama panggilanku adalah Rykha. Aku terlahir di sebuah keluarga yang sangat menjunjung tinggi nilai agama. Kakekku, memiliki sebuah pesantren di Bandung, Pesantren An Nur. Dan yang mengurus pesantren adalah kedua orangtuaku. Dan secara otomatis, aku juga kakakku tinggal di pesantren bersama kedua orangtua kami.
“Assalamu’alaikum, umii… Rykha pulang,” kataku sembari meletakkan ransel di meja bawah jendela. Terdengar seseorang yang menjawab salamku, “wa’alaikumsalam, langsung ke kamar ya, siap-siap, sebentar lagi ada tamu yang datang.” Aku hanya mengangguk, dan menuruti perintah umi.
Di dalam kamar, aku bergumam dalam hati, “tamu? Siapa? apakah penting? Oh! Aku tahu, pasti kakek datang dari Qatar dan membawa oleh-oleh. Atau kakek datang bersama ikhwan ganteng dari sana? Hehe… ehh… astaghfirullah! Nyebut Kha, nyebut!”
Kakek memang yang membangun pesantren ini tapi dia lebih memilih untuk tinggal di Qatar bersama istri barunya, dan menjadi dosen agama di salah satu kampus terbesar di sana.
Aku sudah bersiap-siap dengan memakai salah satu gamis terbaikku. Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamarku, “Kha…! Kamu udah siap?” aku mengenal suara itu, itu suara kakakku, Ryma. Aku segera membuka pintu, “iya aku udah siap. Tada…!” kataku sembari memperlihatkan gamis terbaikku. Ryma tersenyum, lalu tertawa terbahak-bahak, “kamu ini… ada-ada saja. Kakak juga udah siap, nih liat…! Gamis kakak juga bagus kan?” aku tersentak melihat gamis yang dipakai Ryma, “lho, kak. Kok sama sih?” Ryma menjawab dengan santai, “ya iyalah, kan umi sendiri yang bilang kakak harus pake baju ini. Sepertinya tebakan umi benar, kamu pasti pake baju ini juga. Hehe…” Ryma tertawa kecil. Aku cemberut, tapi ‘tak apalah. Toh, emang baju kita ini kebanyakan sama. Umi yang memilihnya.
Terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Aku penasaran dan mengintip sedikit lewat jendela, siapa yang datang. Tapi Ryma langsung membawaku ke ruang tamu untuk menemui tamu ini, “ya! Mereka sudah datang. Ayo Kha, kita temui mereka.” Aku hanya menurut.
Di ruang tamu, abi dan umi sudah terlihat sumringah. Mereka menyambut tamu ini dengan hangat. Ketika tamu ini memasuki ruang tamu, seketika jantungku berdegup dengan kencang. Matanya, senyumnya, membuat dadaku sesak. Ryma terlihat berseri-seri. Aku ingin bertanya, siapa dia, namun tertahan oleh jantungku yang berdegup dengan kencang.
Tamu itu ternyata seorang pemuda tampan. Tapi dia tidak sendiri. Beberapa orang mengiringi dia masuk. Dan orang-orang itu adalah keluarganya. Seketika aku terkejut, apa maksudnya? Apa pemuda itu akan mengkhitbah ka Ryma? Tapi… kak Ryma kan sudah dikhitbah leh kak Ali, anak Kiyai Pesantren terbesar dari Jawa. Lalu…
“Astaghfirullah! Kak mereka mau mengkhitbah … ku?” Ryma tiba-tiba terdiam, “iya, Kha…” Ryma menghela nafas panjang, dan meneruskan kata-katanya, “berapa umurmu sekarang? 17 tahun kan? Kamu itu sudah besar, dan sudah waktunya untuk ada seseorang yang menjagamu. Bukan kakak, bukan umi, bukan abi… bukan kakek. Tapi, seorang imam, yang dapat membimbingmu menuju surganya Allah.”
Mendengar ucapan Ryma, air mataku keluar dengan deras. Aku menangis tersedu-sedu. Aku memeluk Ryma, “aku tidak mau! Aku tidak mau! Aku cuma mau bersama kalian, keluargaku…!” Ryma pun terlihat sedih, dia memelukku dengan erat, “kakak ngerti, tapi daripada pacaran lebih baik langsung dinikahkan. Meski kamu bilang gak akan pacaran, tetap saja kan. Perasaan dan apalagi nafsu, tidak akan bisa ditahan. Ini jalan terbaik untuk kamu.”
Aku dan Ryma pun duduk di samping umi. aku hanya tersenyum. Aku sama sekali tidak fokus dengan apa yang mereka bicarakan. Pandanganku kosong. Tiba-tiba, pemuda itu memberi salam padaku, “assalamu’alaikum.” Dengan senyum manis tersungging di bibirnya. Aku menjawab salam pemuda itu. Ryma berbisik padaku, “fokus, Kha, fokus.” Aku pun tersadar dan mulai mengobrol juga.
“Kami hanya mengikuti jawaban Rykha saja. Jika dia berkata iya, maka alhamdulillah. Dan kita, tinggal menentukan tanggalnya saja. Bagaimana, Rykha? Apa jawabanmu, nak?” tanya abi dengan penuh harap, dan aku menjawab…
Aku tidak tahu jawabanku apa. Karena ini semua sangat mendadak. Baru tadi siang aku pulang sekolah, dan sorenya.. aku kira tamu yang datang itu kakek, tapi ternyata.
Aku menjawab, “jika memang Allah telah menjodohkan kita, InsyaaAllah, Rykha ikhlas.” Mendengar jawabanku, semua orang diruangan terdiam. Umi tersenyum, “alhamdulillah. Kalau begitu, apa tanggapan nak Ahmad?” semua menatap pemuda itu. Ya! Pemuda itu namanya Ahmad, lebih lengkapnya, Ahmad Azzam Zaenal. Putra dari Kiyai Muhammad Fathur Bukhari, pimpinan pondok pesantren Abu Bakar Ash-Shiddiq. Salah satu pesantren terkenal di Bandung.
Dengan santai Ahmad menjawab, “semua saya serahkan pada Ukhti saja,” dia menatapku. Dan aku merunduk. Kiyai Fathur menyahut, “alhamdulillah… kita serahkan pada nak Rykha. Maunya kapan dan bagaimana.” Umi dan abi setuju begitu saja, Ryma menatapku. Dengan penuh keberanian aku menjawab, “saya mau menikah dengan kak Ahmad. Dan InsyaaAllah, tanggal pernikahan yang saya inginkan adalah tanggal dan juga bulan kelahiran saya. Tapi tidak untuk tahun ini, tidak juga untuk tahun depan. Saya ingin fokus dulu dalam sekolah saya. Saya baru akan naik kelas 3, dan sebentar lagi kuliah. Dan saya inginnya, kami menikah setelah saya menyelesaikan pendidikan saya.”
Semua orang terlihat terkejut, mendengar perkataanku. Tapi Ahmad terlihat lain, “iya, ana setuju pendapat ukhti. Ana pun ingin menyelesaikan pendidikan ana dulu. Bagaimana? Abi? Umi?” kiyai Fathur menjawab, “ana juga setuju dengan tanggapan kalian. Tapi, apa tidak sebaiknya, kalian menikah dulu saja? Tidak apa kan jika kalian kuliah dan kalian sudah menikah.”
Wajahku murung, dalam hati aku bergumam, “aku belum siap, aku belum siap. Kenapa sih, maksa gini. Astaghfirullah…!” Ahmad menatapku dan sepertinya mengatakan sesuatu. Terlihat dari gerak bibirnya dia mengatakan, “tenang saja. Allah bersama kita.” Aku tersenyum? mengangguk pelan.
Ahmad terlihat tidak setuju dengan apa yang dikatakan ayahnya, “abi… tidak apa kok, ana akan sabar. Lagipula, jika memang kita tidak berjodoh, ana ikhlas.”
Obrolan tentang perjodohan ini berjalan sangat lama. Sampai waktu maghrib tiba, mereka baru akan pulang. Aku mengurung diri di kamar. Aku kaca di cermin besar lemariku, “kamu itu ganteng akhi, baik, dan juga soleh. Tapi meski begitu, perasaanku hanya untuk Umar seorang. Uh… astaghfirullah.” Mendengar ucapanku pada diriku sendiri, Ryma membalas, “Umar, hanya seorang teman, Rykha. Dia gak baik buat kamu. Perasaan yang kamu rasakan untuk dia, itu cuma nafsu belaka. Jika kamu memaksakan untuk mencintai dia pun, hanya ada luka yang akan kamu terima. Kha, kakak tahu, Umar itu siapa. Dia anak yang nakal, shalat aja kadang iya kadang tidak. Bagaimana jadinya masa depanmu kalau kamu memaksakan untuk menikah dengan dia?!”
Aku hanya terdiam mendengar ocehan Ryma.
Keesokan harinya, di sekolah, aku melihat pemandangan yang sangat indah. Umar menghampiriku, “assalamualaikum, ukhti…” aku tersenyum, “waalaikumsalam, akhi…” setiap pagi Umar selalu menyambutku di depan kelas, ya, karena kami satu kelas. Perasaanku sangat bahagia, setelah semuanya yang kualami kemarin di rumah. Tapi… tiba-tiba perasaanku sakit. Hatiku terluka. Umar, pemuda yang sangat aku cintai, dia berpegangan tangan dengan Faya. Gadis terkenal di sekolah karena kecantikannya. Mereka terlihat bahagia. Seketika air mataku ingin keluar. Aku menahan rasa sakit ini. Dan tiba-tiba, pikiranku tertuju pada Ahmad. Aku menggeleng, dalam hati aku bergumam, “kenapa?! Apa karena kami bukan jodoh? Tapi… kenapa cinta ini malah menghampiri Umar dan bukan Ahmad? Atau pemuda baik lainnya? Kenapa rasanya sakit sekali melihat mereka bahagia?”
Bersambung
Cerpen Karangan: A Nurjanah
Blog / Facebook: Anis Nurjanah (Neng Anis)
Ketika Cinta Menghampiri
4/
5
Oleh
Unknown