Maafkan Aku (Part 3)

Baca Juga :
    Judul Cerpen Maafkan Aku (Part 3)

    Terbangun entah setelah sekian lama, lalu kemudian tersadar dan ku melihat samar di hadapanku seseorang seperti berbicara dengan seseorang lainnya dengan jarak yang berjauhan, dengan sakit yang terasa di kepala aku pun mencoba untuk bergerak mencoba memahami apa yang telah terjadi kemudian dengan perlahan pandangan menjadi semakin jelas seseorang di hadapanku adalah sahabatku sekaligus pujaan hatiku, melihat diriku sadar kemudian dia berlari meninggalkan diriku, entah apa yang terjadi lalu tidak lama kemudian dia bersama sahabatku yang lain datang dengan wajah yang terlihat senang dan sedikit bahagia selebihnya raut wajah tak percaya. Mereka tersenyum sungguh seyuman yang berasal dari hati. “aku di mana” kuungkapkan pertanyaan standar seperti kata-kata di sinetron sekali tayang selesai. “Ranu di Rumah Sakit, Ibu mu dalam perjalanan ke sini” penjelasan Mirza yang disambut senyum oleh yang lain, lalu kupegang kepalaku terdapat balutan perban melingkar rapi, kemudian aku bertanya.
    “Rumah sakit”
    “Rumah sakit apa, kenapa”
    “Kalian siapa”

    Hening terasa, sontak mereka kaget bukan kepalang, hilang senyum mereka berganti dengan sedih, rasa tidak percaya telah menyelimuti sanubari sahabat-sahabatku, melihat itu semua giliranku yang tersenyum.
    “hehehe… mana mungkin aku lupa dengan kalian, bahkan jika Yang Kuasa berkehendak lain maka aku akan mengingat kalian dari surga”.

    Terlihat Indah dan Ira terduduk lemas sedangkan Mirza terdiam tak percaya dengan kelakuanku disaat-saat yang mungkin menurutnya tidak tepat. Sahabatku mengatakan jika aku mengalami kecelakaan di dekat sekolah kemudian dirawat di rumah sakit sampai akhirnya sadar. Mirza berkata “Ran, menurut dokter kemungkinan Ranu ndak sadar itu seminggu tapi alhamdulilah dihari ketiga sudah bangun”, dia juga menjelaskan jika aku harus istirahat untuk penyembuhan retak tulang dikaki, memar-memar dalam dan juga sedikit gumpalan darah didalam kepala. Ibuku datang dengan tangis menghiasi, suasana menjadi haru tetapi bahagia terasa tanpa kepalsuan. “tadi ibu dikasih tau sama Ana kalo Ranu sudah sadar, jadi Ibu langsung ke sini”. Kata-kata ibu membuat diriku bingung, siapa itu Ana lalu kulihat Indah tapi yang ada Indah malah menundukan kepalanya, kualihkan pandanganku ke Ira tapi yang kudapat hanya seyumannya, terakhir aku menatap Mirza berharap ada jawaban tapi Mirza hanya berkata “nanti kujelaskan”.

    Hari ujian. Semilir angin pagi berhembus disela-sela kain pembatas warna biru, hari-hari telah berlalu dan akhirnya aku diizikan pulang. Ibuku yang selalu mendampingi diriku menjelaskan selama aku ndak sadar banyak teman-teman yang datang tidak terkecuali Ibu Elisabet, ibu juga becerita jika aku beruntung memiliki teman, sahabat yang sangat peduli dan perhatian. Surya tenggelam terasa berbeda, seakan Yang Kuasa memberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki semua gurauan hidup yang telah kuciptakan sendiri. Dimalam yang sunyi membuat heningnya malam merasuk dalam khayalku, berpikir jauh bahwa hari-hari yang hilang kerana kecelakaan mengingatkan diriku jika kebersamaan dengan sahabatku sebenarnya hanya tinggal menunggu waktu, haruskah kuungkapkan semua persaanku tanpa merusak persahabatan, merusak semua kenangan yang telah terjalin atau aku harus tetap mengambil resiko tersebut untuk sebuah kepastian. Embun pagi menyapa lembut hingga terasa di ruang kecil yang kutempati, setelah mengadu Yang kuasa kupersiapkan semua perlengkapan sekolah, hari ini adalah hari pertama aku masuk setelah lama tak berdaya. Pamit dengan ibu lalu berjalan santai dengan tongkat penyangga di kaki kiri menuju ke luar gang, tak kusangka sebuah mobil menungguku, mobil yang pasti kuingat, itu mobil sahabatku bukan mobil yang menghajarku kemarin.

    “Hai Ran” lambaian tangan Indah terasa seperti namanya.. “Hai Ndah, jemput aku ya” Indah pun membukakan pintu mobil, ku lihat Ira duduk manis di kursi depan. Debaran hati ini seperti pertama kali bertemu. Dalam perjalanan kami pun berbincang-bincang ditemani alunan lagu Chrisye pada album Best Cinta, “Ra, Ndah mudahan kalian tetap seperti dulu walau aku sempat membuat kalian risau” perkataanku disimak serius oleh kedua sahabatku, kalau pak Rus sih ndak, bapak paruh baya tersebut tetap fokus melihat ke depan. “Sudah Ran, Ndak usah dibahas yang lalu biarlah berlalu” “Waktu Ranu masih di rumah sakit, waktu Ranu belum sadar kami sedih, Mirza menceritakan semua hal yang kalian bicarakan, semua hal yang membuat Ranu berubah, Mirza meminta kami untuk memaafkan Ranu”. Hatiku tersenyum mendengar perkataan Indah, katanya yang lalu biarlah berlalu tapi dia sendiri yang bahas, tetapi sykurlah semua baik-baik saja.

    Sambil melihat ke arahku Ira berkata “Iya Ran, aku dan Indah tahu kalau Ranu baik, tidak mungkin Ranu berubah tanpa alasan yang jelas, yang penting apa yang Mirza katakan ke Ranu juga kata-kata yang akan kami katakan jika kami ikut mancing kemarin”, tak terasa sudah sampai di sekolah.

    Suasana sekolah terasa indah seperti lama sudah tak kurasa, di kelas teman-teman menghampiriku dan menanyakan segala hal yang menyakut kejadian yang telah kulalui, terasa hangat semua sambutan yang mereka sajikan, aku tersenyum dan tersirat rasa senang di wajah ini. Kemudian Dini dengan senyumnya, untung tidak memukulku seperti biasanya. ”Ranu sudah baikan, bagimana masih sering pusing ya” “Masih Din, kadang-kadang muncul jika sudah kambuh pusing sekali” sahut ku “Banyak istirahat ya, kalau ndak awas” dengan kepalan tangan di wajah. Hatiku berkata apakah dia yang dipangil Ibu ku sebagai Ana, tidak mungkin cewek galak seperti dia bisa menaruh perhatian kepadaku, aku pun langsung mengelengkan kepala.

    Hari-hari kami lewati dengan belajar, jalan-jalan, mengerjakan tugas kelompok, ikut try out ujian nasional dan selama itu juga diriku memendam rasa yang tidak sempat kuungkapkan atau sebenarnya tidak berani adalah kata yang paling tepat. Akhirnya.. Ujian nasional menghampiri kami, kami berjuang, kami bekerja keras berusaha melakukan yang terbaik, doa dan usaha selalu kami sematkan, tiada arti tanpa Yang Kuasa berkehendak, doa orangtua menyertai kami, bersama sahabat ku lewati ujian nasional dengan harapan tinggi menjadi kebanggaan Ibu, kebanggaan orangtua walau terasa tidak adil semua usaha, semua biaya, semua jerih payah selama tiga tahun harus ditentukan dalam tiga hari ujian. Apalah daya kembali usaha dan doa adalah jalan terbaik. Hari terakhir ujian nasional terlewati, ku melihat Mirza dan Ira sudah menunggu di depan kelas lalu ku hampiri mereka kemudian berkata “tinggal Indah yang belum ya” tidak lama kemudian Indah datang dengan senyum diwajah, lepas semua beban dipundak ini tinggal menunggu hasil pengumuman.

    Hari pengakuan
    Bahagia dan gelisah menjadi satu ketika kami memasuki zona menunggu, iya menunggu kepastian dengan selembar kertas yang bertuliskan kata-kata ajaib. Berkumpul di rumah Ira dan Indah, bercanda melepas kegelisahan yang melanda aku pun mengatakan, “ada lima hal yang bisa kita lakukan, pertama bersantai kedua ikut bimbingan belajar ketiga belajar sendiri keempat mencari kesibukan dan yang terakhir liburan”,
    “liburan ke pantai Manggar aja di Balikpapan” Mirza memberi saran. Aku pun tersenyum ternyata modus ku berhasil, alhamdulilah. Setelah meminta izin orangtua kami pun berangkat dengan pak Rus mengentar kami, kami berangkat pagi sekali agar bisa kembali ke Samarindanya tidak kemalaman. Sepanjang jalan kami senda gurau, bercanda dan bercerita tentang semua hal yang telah kami lalui sampai akhirnya kami di tujuan.

    Berjalan di pinggir pantai dengan air yang membasuh kaki, ku ercepat langkahku untuk mendekati Mirza lalu berkata “Za, ini saatnya aku ungkapkan persaanku kepada Ira”. Mirza terlihat terdiam melihatku, “hahaha, ndak usah kaget gitu Za” sahutku tanpa memberikan kesempatan padanya untuk mengungkapkan kata-kata. Melihatku semangat Mirza tersenyum kecil penuh arti. Menghabiskan waktu melihat keindahan ciptaan Yang Kuasa dengan bermain air laut bersama, kembali senda gurau dan canda tawa menandakan kegembiraan di wajah kami.

    Sore menjelang semilir angin laut memberi semangat pada ku seperti membisikan kata untuk mengukapkan semua isi hati untuk mendapatkan kejeselasan hidup agar diri ini tidak menyesal tanpa arti dikemudiah hari. Kesempatan itu muncul ketika ku terlihat Ira duduk sendiri di sebuah bangsal, dengan langkah pasti aku pun menghampirinya dengan debaran jantung tak menentu semakin mendekat semakin tak karuan hati ini, teringat ketika pertama dulu mengenalnya.

    “Hai Ra”
    “Oh Ranu, Indah mana” memandangku dengan terseyum.
    “Ra, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu” seyumannya terhenti diganti dengan keseriusan untuk mengetahui apa yang akan kubicarakan kepadanya.
    Menarik napas.. kali ini dia tidak tersenyum..

    “Ra, sejak jumpa kita pertama ku langsung jatuh hati walau ku tak tau siapa dirimu sebelumnya”
    “Tapi ku tak dapat membohongi dan menghindari kegolak cinta ini”
    “Maka izinkanlah aku mencintaimu” “atau bolehkan aku untuk sayang padamu”
    “Memang serba salah rasanya ketusuk panah cinta”
    “Apalagi kita telah lama menjadi sahabat tetapi ku harus ungkapan karena aku tak sanggub membohongi diri ini jika aku mencintaimu”
    “aku sayang Ira”
    Menatap matanya “Ra, Maukah dirimu menjadi kekasihku”

    Mendengar semua ungkapan hatiku, kemudia Ira.. terdiam dirinya seakan berat beban yang terasa.. Memandangku penuh makna akhirnya Ira berkata, “Ran, kuingin kau tahu dirimu adalah sesorang yang penting bagi orang lain dan aku mengenal sesorang itu, janji sudah terucap walau dia juga tidak mengaharuskan diriku membuat janji itu tapi aku tahu kalau Ranu hal yang tak terganti bagi dirinya” “maksud Ira apa” sahutku karena perkataan Ira membingunkanku, “Ran, seseorang juga sudah menjagaku, seseorang itu telah mendatangkan kebahagiaan, kegembiraan, suka duka dan seseorang tersebut bukanlah dirimu” Ibarat resah titik hujan yang tak henti sungguh tak pernah kusangka kisah kasihku jadi sepeti ini. “Ra, aku mengerti sungguh aku akan mencoba untuk mengerti” “Ra, siapa seseorang berbahagia itu” jawabku dengan hati yang terluka. Suasana hening terasa sampai sesorang datang mendekati kami.
    “Aku Ran, Akulah seseorang itu” “Iya, ini aku sahabatmu”
    “Aku Mirza sahabatmu, akulah orang yang kau pertanyakan itu” Sungguh aku tak menduga sahabatku sendiri tega melakukan semua ini.
    “Za, kamu, sejak kapan”
    “Kenapa Za, bukankah kamu tahu bagaimana perasaanku terhadap dia, dari pertama kali ketemu Za” sambil menujuk ke arah Ira.
    Mirza berusaha menjelaskan, tapi kutepis rangkulannya.
    “Sudahlah Za” perkataanku mewakili kekecewaanku.
    “Ran, jangan seperti anak kecil” hardik Mirza.
    “Ran maafkan aku jika ini semua melukaimu, seharusnya kami memberitahukan ini semua dari awal”
    “Aku sendiri tidak tahu kapan mulai rasa ini muncul, jangan pernah kau berpikir kami dengan mudah menyatakan saling memiliki rasa, dirimulah yang menyatukan kami, kami sama-sama peduli dengan dirimu”
    “Ran bukan hanya aku yang tahu perasaan dirimu, tapi Ira juga sudah dapat merasakan itu kerena Ranu bukan type orang yang dapat berbohong dan menyembunyikan perasaan hati, tapi Ran kasih sayang itu Yang Kuasa yang menentukan”, Mirza berbicara dengan Ira tidak lama kemudian Ira meninggalkan kami. “Ran, aku minta Ira untuk menunggu kita di mobil, berbicaralah aku akan mendengarkan dan menjawab semua pertanyaanmu” Aku terdiam entah untuk berapa lama. Kemudian..
    Kami berbicara panjang kali lebar kali tinggi, Mirza menjelaskan semua hal yang menjadi pertanyaanku, mungkin kedewasaan itulah yang membuat Ira menuruh rasa kepada Mirza, kusadari Yang Kuasa menentukan kehendaknya.

    Mirza menjelaskan dengan mata yang berkaca-kaca lalu aku mendekatinya, “Za itu kaca mata yang kita beli di night market ya” sambil aku menunjuk ke arah mata Mirza.
    Kaget Mirza lalu berkata “night market, maksudmu pasar malam”. melihatku dapat menerima kenyataan kemudian Mirza berkata, “Ran masih ada yang ingin kukatakan” “Ran, ada seseorang yang sangat peduli denganmu, rasa kagummu dengan Ira telah membutakan dirimu hingga membuatmu kehilangan kebahagian sejati yang seharusnya kau dapatkan, bahkan Ibumu tahu siapa seseorang itu”
    “Dia peduli denganmu, dia yang dulu bertanya kepadaku apakah Ranu suka baca novel, dia yang paling panik ketika mendengar Ranu mengalami kecelakaan, dia yang selalu menemani Ibu merawat dirimu dan waktu Ranu mulai sadar di rumah sakit dia lah yang bersama Ira”
    “Sebetulnya yang jahat bukan aku, bukan Ira dan bukan juga Indah tapi Ranu” “Dia yang Ranu panggil sebagai Ana” Aku terdiam, berusaha mengingat semua lalu berkata, “Za, jangan kau jelaskan siapa Ana itu biarlah itu menjadi rahasia hidupku”
    “Walau aku harus terus mencari bayanganya..”
    “Walau keujung dunia pasti akan kunanti, mesti ke tujuh samudra pasti kucari karena ku nyakin jika Yang Kuasa menginjinkan maka aku akan menemukannya dan menebus semua kesalahanku, semoga kisah cintaku selajutnya tidak berakhir tragis seperti ini” Mendengar perkataanku Mirza hanya tersenyum.

    Akhirnya aku dan Mirza balik menuju mobil dimana Ira dan Indah telah menunggu, Dengan persaan yang setulus-tulusnya aku berkata, “Ira, Mirza dan Indah” “Maafkan Aku”
    “Maafkan Aku untuk semua yang telah kulakukan” Ira tersenyum, Mirza tersenyum dan Indah pun tersenyum. Kemudian Mirza berkata, “Kalau nembak cewek jangan pakai lagu yang terkenal mudah ketebak keles”
    “Ranu pakai lagu Chrisye – Kala cinta menggoda kan” Aku pun tersenyum.

    Created By RMW

    Cerpen Karangan: Ranu

    Artikel Terkait

    Maafkan Aku (Part 3)
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email