Maafkan Aku (Part 2)

Baca Juga :
    Judul Cerpen Maafkan Aku (Part 2)

    Bel berbunyi seperti biasa tetapi ini bel pulang, saat-saat yang membuat diriku cemas dengan perasaan ini akan terjadi ya akan terjadi sebentar lagi. “ayo Ran Jadikan ketematmu” sambil Mirza mengambil tas lalu berbicara dengan Ira, sampai di parkiran terdengar suara klakson mobil, terjadi perubahan rencana Ira dan Indah ngajak dulu ke Mall Lembuswana dengan menggunakan mobil biar bisa sama-sama, ini bukan pertama kali saya naik mobil Ira tapi sekarang menjadi sedikit canggung, mungkin bawaan kemarin. Dalam Mall kami berbelanja keperluan-keperluan untuk tugas kelompok dan sekalikali ke stand pakaian harap dimaklum belanja dengan cewek-cewek ya begitu adanya malahan terkadang susah untuk dimengerti.

    “makan dulu ya, aku yang traktir” ajakan Mirza disambut baik oleh Ira dan Indah tidak terkecuali saya, maklum jalan mengelilingi Mall ternyata memakan energi yang lumanyan banyak. Pulang.. ternyata rencana awal tidak sesuai dengan jadwal tetapi tetap terlaksana, kami menuju rumah ke tempat diriku melepas lelah berteduh dari panasnya mentari dan dinginnya angin malam, sampai di depan gang mobil ndak bisa masuk. “sampai sini aja mobilnya, nanti tidak bisa muter kalo dipaksa masuk” penjelasanku terhadap ketiga sahabatku itu. “ya udah kita lanjut jalan aja” sahut Indah. “pak Rus balik aja ke rumah nanti jam 5 ke sini lagi jemput kami” permintaan Ira kepada bapak paruh baya yang biasa bawa mobil mengantarkan kemana Indah dan Ira inginkan. “baik mba” jawaban pak Rus sopan. Dalam perjalan kerumah kami ngobrol dan ku awali dengan perkataan “rumahku kecil lho, jangan kaget ya kalo Mirza sih udah tau” “emang kenapa” sahut Indah, membuat diriku sedikit ragu apa benar cewek yang biasa hidup berkecukupan dapat memahami diriku hidup dalam perjuangan, akhirnya sampai dan tidak ada perubahan pada wajah mereka atau mungkin itu hanya untuk menjaga persaanku saja.

    “Asalamualikum” sambil membuka pintu. “Walaikumsallam” Ibu paruh baya menjawab terdengar pelan karena berada di dapur dan ternyata ibu paruh baya itu adalah ibuku, kucium tanganya sambil mengenalkan Ira dan Indah kalo Mirza malah sudah ke dapur dan kemudian kembali mendekat untuk ikut mencim tangan ibuku. “oh ini teman yang sering kamu ceritakan”, sambil melihatku dan aku hanya bisa garuk kepala. “emang Ranu cerita apa bu” Mirza bertanya dalam canda penuh arti. “kalian emang cantik” sambil memegang wajah Ira dan Indah. Momen itu ibarat sedang di depan kelas nyanyi padahal denger musik aja fals, dengan tersipu malu kupersilahkan mereka untuk duduk, benar-benar duduk bukan di kursi apalagi sofa tapi di lantai dengan karpet motif bunga warna biru. Kami pun mulai menyelesaikan tugas kelompok yang sebenarnya hampir selesai, dengan perdebatan kecil di dalamnya akhirnya selesai dan siap untuk dipersentasikan di kelas besok.

    Disela-sela menunggu pak Rus terlihat Ira dan Indah berbincang-bincang dengan ibuku sambil tertawa kecil lalu melihat kearahku entah apa yang dibicarakan tetapi perasaanku sedikit tidak enak. Termenung melihat Ira dan Indah tidak terlihat canggung dan malah bisa tersenyum canda membuat diriku berpikir ternyata semua kegelisahanku hanya rasa takut yang berlebihan. Terlihat pak Rus sedang mencari rumah, rumah siapa lagi jika bukan rumahku. “pak di sini” teriakku. Ira, Indah dan Mirza pamit pulang, perasaan lega juga tersirat di hatiku.. sykurlah.. Mereka pun pergi meninggalakan diriku sendiri seraya lembayung senja mulai menaungi dan menyelimuti dunia. Tetapi.. Gara-gara sepatu .. semua kegelisahanku kembali, teringat ketika kulihat sepatu yang digunakan kedua sahabatku itu sangat bagus dan terlihat sangat mahal walau itu sepatu sekolah, berkembang jauh sangat jauh di pikiranku apa aku harus terus menerus ikut dalam kehidupan Ira dan Indah hanya untuk bisa dekat mereka, apakah aku harus selalu ditraktir makanan, apakah aku harus selalu di belakang mereka jika urusan uang, mereka terima aku apa adanya tapi aku tidak bisa, di mana hatiku, di mana perasaanku yang ada aku hanya hidup dalam kepalsuan.

    Hari Perubahan 2
    Mentari kembali menerangi pagi tetapi tidak menerangi hatiku, sepanjang jalan menuju bengkel tak sadar diriku melewatinya sehingga akhirnya ku putuskan untuk naik taksi saja, sampai di sekolah tiba-tiba seseorang dari arah belakang memukul pundakku “mogok lagi Ran motornya” ternyata Dini sembil berlalu, Dini nya sih sudah hilang dalam pandangan tapi sakit pundak ini masih terasa ternyata dia pukul dengan genggaman tangannya, dalam hati kecilku berkata kalo dipangilkan Power Rangers baru tau rasa dia, pokonya awas nanti di kelas.

    Sampai di kelas saya lihat teman-teman sudah pada sibuk mempersiapkan bahan persentasi tidak terkecuali kelompok kerja ku. “Eh Ranu udah datang, nih” Indah melihatku sambil memberikan secarik kertas berisi data-data persentasi. “iya Ndah, trims” jawabku singkat.

    Persentasi sudah, mata pelajaran lain juga sudah akhirnya Bel berbunyi seperti biasa tetapi ini bel pulang dan sepertinya tidak ada rencana apapun dari Ira, Indah maupun Mirza jadi aku putuskan pulang, di selasar sekolah aku bertemu Dini lagi “Nah ketemu” kataku lirih, sampai di hadapanya yang terjadi berbeda dengan harapan, “apa!!!” kata-kata yang keluar dari mulut Dini sambil mengarahkan genggaman tangan ke wajahku, dalam hati aku berkata galak banget nih cewek. Daripada terjadi hal yang tidak diinginkan akhirnya aku meninggalkannya tanpa jejak tanpa suara tanpa rasa kemudian terdengar sebuah kata maaf dan aku yakin itu dari Dini, aku pun tersenyum terus berjalan tanpa melihatnya.

    Hari berlalu berganti minggu berganti lagi dengan bulan persahabatanku sudah tidak seperti dulu, aku lebih banyak menghindar dari mereka, aku tidak mengerti apa yang kurasakan seakan surya tenggelam menemani senja nan muram hanya meninggalkan sebercik cahaya. Catur wulan dua aku lewati tidak seperti biasa, soal pelajaran yang biasanya mudah walau ada yang sulit tapi aku dapat mental berjuang untuk dapat jawaban soalnya, tetapi di catur Wulan dua ini semua terasa berat semua terasa membingungkan, akhirnya dapat ditebak prestasi akademik ku turun. Pembagian rapot harus diambil oleh orang tua, terlihat ibuku datang menghampiri diriku dengan wajah berusaha untuk tersenyum. “bagaimana bu hasilnya” pertanyaanku penasaran, “Alhamdulilah” sambil mengusap kepalaku dan menyerakan rapot kemudian kubuka tertera didalamnya rengking dua, aku pun terdiam kemudian tersenyum.. benar adanya dugaanku semua kepalsuan itu penyebabnya, terlebih aku ketahui bahwa yang rengking satunya adalah Ira Elwita, anak baru yang dengan kecantikannya telah membuatku terlena dan merubahku, aku harus kembali ke jalanku.

    Liburan satu minggu setelah ulangan catur wulan kuhabiskan dengan mencari tambahan uang karena aku hanya dapat potongan lima puluh persen dari biaya SPP, tidak seperti biasanya aku bayar gratis karena juara kelas. Senin pertama setelah liburan, selesai upacara biasanya hari pertama tidak ada pelajaran tapi kami tetap masuk kelas dan kemudian Ibu Elisabet berkata “yang namanya dipanggil untuk maju ke depan” lalu ibu guru mulai membuka catatan dan memangil nama, “Sabrina, M Yasin, M Thoha, Rahmadi, Ali, Nurul, Eva Margaretha, Mirza Syahbani, Indah Sari, Erna Wati, Dinny Anggana, Ranu Mulyo dan Ira Elwita” Kami pun maju ke depan kelas kembali Ibu Elisabet menyusun kami berurutan dari kanan ke kiri, “Anak-akan ini adalah teman-teman kalian yang masuk sepuluh besar” perkataan ibu guru disambut tepuk tangan teman-teman yang lain, kulihat sebelah kanan Ira Elwita dengan senyumnya kemudian kulihat sebelah kiri ternyata Dinny Anggana yang kali ini juga tersenyum ke arahku, dalam hatiku berkata ternyata senyumannya. aku langsung menggelengkan kepala.

    Setelah itu teman-teman maju ke depan kelas untuk memberikan selamat kepada kami, terutama kapada Ira Elwita sang juara kelas. Kami yang sebelumnya sudah dipanggil ke depan kelas juga saling memberikan kata selamat sampai sahabatku Ali berkata “Ran sekarang rengking dua ya, yang ngalahin pujaan hati lagi” kata-kata Ali membuatku kaget “terlihat jelas ya” sahutku disambut senyum oleh Ali, kemudian kulihat sebelahku Dini dengan wajah polosnya berkata “apa!!!” dengan kepalan tangan di wajah.

    Berjalannya waktu aku sudah jarang lagi bersama mereka, Mirza bertanya, Indah bertanya, bahkan Ira pun bertanya perubahan dari diriku, ketika kami mengerjakan tugas kelompok hal tersebut bagiku hanya seperti kewajiban yang harus diselesaikan saja tanpa ada canda tanpa ada rasa bahkan tanpa ada perdebatanperdebatan yang memeriahkan suasana. Terlihat Indah dan Ira meminta Mirza untuk menanyakan suatu hal kepadaku, “Ran, belakangan ini kamu berubah, kenapa, kami salah, kalo seperti ini kami ndak tau harus bagaimana”. Seperti disidang dengan tatapan penuh harap menunggu sebuah jawaban dan aku tidak berani untuk mematap balik mata mereka dalam hatiku berkata separah ini kah aku memperlakukan sahabatku, seperti kisah sinetron dan aku pemeran antagonisnya. “ndak papa Za, aku ndak papa, aku balik pulang duluan” aku pun beranjak meninggalkan mereka dengan kekecewan yang tersirat diwajah. “Ran tunggu” suara Indah terdengar sedikit agak keras “Indah mau nanya, Indah ada salah, Ira ada salah apa Mirza ada salah, kalo ndak kenapa Ranu berubah”

    Aku tidak bergeming dengan hanya memandang, tersenyum dengan harapan dia mengerti untuk tidak mengkhawatirkan diriku atau mungkin untuk sedikit tidak peduli dengan diriku. Aku tidak tau kenapa bisa terjadi pada diriku, sebagian diriku mengatakan ini salah tapi sebagian diriku mengatakan ini yang seharusnya.

    Hari pencerahan
    Kamarku penuh dengan buku pelajaran dengan kalender yang bertanda silang di salah satu angkanya, angka keramat angka yang menentukan cerita kehidupanku yang selanjutnya. Terdengan suara ketukan pintu “iya bu” sahutku sambil membuka pintu. “ini kemarin ada yang datang cari Ranu, Ibu lupa nanya siapa namanya tapi dia datang dengan temanya kalo ndak salah temannya manggil dia Ana”, penjelasan Ibu membuatku bingung, “maksud Ibu nama temanku Ana” Ibuku mengangukan kepala “iya, namanya Ana, dia sering kok lewat depan rumah dan menegur Ibu”, sambil mengucapkan terima kasih kubuka isi kantong plastik yang ternyata isinya buku novel dengan cover dua cowok dan dua cewek di atas perahu kertas. Hatiku bertanya-tanya siapa ya Ana itu dan kenapa dia tahu kalo aku suka baca buku novel, kubuka lembar demi lembar ternyata hatiku tertarik untuk membaca dan terus membaca, hari-hari berlalu akhirnya sampai juga pada lembar terakhir. Terbenam dalam lamunan kembali aku berpikir berkembang jauh sangat jauh sehingga aku putuskan untuk membuat janji sepulang sekolah dengan Mirza.

    Kembali hari-hari berlalu kemudian.. Tersenyum diriku melihat teman-teman pada berkumpul bertanya soal pelajaran mengelilingi Ira Elwita, sepertinya hati sudah tidak tersiksa. “mas bro jadi nanti jalan selesai sekolah” tegur mirza “jadi Za, sekalian mancing ditempat kita dulu ya, teman-teman ndak usah diajak dulu ya” permintaanku disetujui oleh Mirza. Bel berbunyi seperti biasa tetapi ini bel pulang, mirza mendatangiku bersama Ira dan Indah di belakangnya, “ayo berangkat” sahut Mirza. “ayo Za” sambil memberikan bahasa tubuh ke Mirza jika Ira dan Indah untuk jangan ikut. “bedua aja ini jalannya” tegur Indah. “Ranu mau bicara penting” Mirza menjelaskan, kadang kedewasaanya membuatku tidak mengerti.

    Melihat diriku tersenyum membuat kebahagian di wajah Ira dan Indah, sambil berlalu kulihat mereka tersenyum ternyata sebuah senyuman dapat membuat kebahagian, sahabatku oh sahabatku. Saatnya mancing ikan bukan mancing kerusuhan ya.. Kuayunkan joran pancing dengan umpan cacing di kail, seperti biasa tidak sedikit pun umpanku menarik hati ikan untuk mendekat tapi tidak masalah karena bukan ikan tujuanku.

    “ada yang mau dibicarakan Ran” tegur Mirza Menghela nafas “Za, aku salah ya” dengan nada bertanya. “Za, di dalam kamarku ada kalender yang sudah kutandai sebagai awal jadwal ujian nasional” “terus” potong Mirza “Aku ingin membuat Ibuku bahagia Za, untuk itu lulus dengan nilai terbaik adalah tujuan hidupku saat ini” “Za, sebenarnya bersama kalian aku merasa bahagia, senang canda bersama kalian adalah hal yang baru karena diriku terbisa sendiri”, kulihat Mirza memikirkan sesuatu. “Tapi Za, aku bukan orang kaya, aku harus bekerja untuk membeli buku dan perlengkapan sekolah bahkan untuk bayar SPP sebesar tiga puluh tujuh lima ratus rupiah perbulan juga adalah hal yang besar bagiku tetapi nilai itu mungkin hanya uang jajan bagi Ira dan Indah mungkin bagi Mirza juga” “Za, aku hanya berpikir jika dunia kita berbeda mungkin bagi kalian itu bukan hal yang perlu dipermasalahkan tapi tidak bagiku Za, aku ndak bisa Za membiarkan diriku menjadi beban, bagiku dengan kembali menjalani hidup seperti dulu sebelum kalian masuk dalam kehidupanku adalah hal yang paling masuk akal dan paling tepat untuk saat ini”. “Za, ada ganjalan di hati ini ketika melihat teman-teman mulai bertanya soal pelajaran kepada Ira, bahkan guru juga menaruh perhatian lebih kepadanya, dulu akulah yang menjadi tempat bertanya, dulu guru juga sangat perhatian kepadaku tapi sekarang aku seperti seseorang yang sudah tidak penting bagi meraka” “Harus kuakui Za, tingkah laku pasti kalian sadari, tapi aku bingung dengan kalian terlebih kepada Ira bukannya memusuhiku tapi malah membuatku terpesona dan terus tepesona dengan kepintaranya, kebersahajaanya dan tentunya dengan kecantikannya”.

    Mendengar semua itu Mirza meletakan joran karena sepertinya para ikan lebih senang melihat-lihat lalu mendekat dan kemudian pergi. Kemudian Mirza berkata, “Ran, kami menyadari perubahanmu dan kami tahu dirimu pasti punya alasan yang kuat untuk itu, kami tidak peduli betul-betul tidak peduli dengan istilah mampu, terpandang, kaya atau pun miskin, kamu sahabatku sahabat kami itu cukup.” “Mau lulus, kita lulus bareng jika mau jadi yang terbaik itu hak dirimu tapi…”

    Tiba-tiba Mirza berteriak.. “dapat Ran dapat” lengkungan joran dan hilangnya pelampung menandakan kalo Mirza dapat ikan yang besar, emang kadang-kadang error teman satuku itu. Setelah memasukan ikan besar tersebut dalam keranjang Mirza kembali berkata, “Iya Ran, memang dalam hitungan bulan kita mau ujian nasional tapi alangkah lebih baik kita tetap berjuang bersama, belajar bersama, saling membantu dan mengingatkan soal pelajaran itu lebih baik menurutku”, “kembalilah seperti dulu, seperti Ranu yang senang canda yang senang buat katakata ndak jelas pokoknya kembalilah, aku ingin dengan sifat Ranu yang dulu”. Hatiku bergetar.. aku hanya terdiam berpikir atas semua kelakuanku, tapi aku enggan menanyakan pendapatnya soal kekagumanku dengan Ira yang sepertinya Mirza enggan untuk menjelaskannya.

    Lembayung senja menghampiri menutup dirinya berbalik di ujung sungai, Mirza pun beranjak pergi. “Za, besok aku akan bicara dengan Ira sama Indah, Mirza temani ya” “Sip” jawabanya singkat sambil berlalu meninggalkan diriku pergi menjauh dan tak kembali. Sedangankan aku termenung berdiam diri menemani senja tenggelam.

    Hari penting
    Mentari kembali bersinar, hatiku tenang setenang air pengunungan yang mengalir tenang tanpa beban. Kusiapkan semua perlengkapan sekolah temasuk buku pelajaran, izin berangkat dengan cium tangan tapi ibu juga mencium pipi dan jidatku, aku jadi malu dan Ibu tersenyum. “halo motor, kita berangkat jangan mogok ya hari ini karena hari yang penting bagi ku” lalu kuhidupkan dan ternyata mau hidup, Alhamdulilah.

    Dalam perjalanan yang terpikir adalah kata-kata yang akan kuungkapakan kepada kedua sahabatku hingga aku menyadari jika aku hampir terlambat jadi kupercepat laju motor dengan senyuman diwajah hingga.. Seseorang memotong jalurku .. aku kaget.. aku kehilangan kendali terlebih rem motor blong… Tiba-tiba..
    “Allahu Akbar” teriakku.. mobil putih menghajarku dari samping.. aku tak sadarkan diri.. tergeletak tak berdaya..

    Cerpen Karangan: Ranu

    Artikel Terkait

    Maafkan Aku (Part 2)
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email