Maafkan Aku (Part 1)

Baca Juga :
    Judul Cerpen Maafkan Aku (Part 1)

    Cerita ini tentang persahabatan, persahabatan yang dimulai saat kami masih SMU tepatnya di Kota Samarinda Provinsi Kalimantan Timur, sebuah kota nan indah yang dibelah oleh sungai Mahakam.
    Begini ceritanya..

    Pada suatu hari… hehehe basi ya.. maaf dah.. kita ulangi ya.. Begini ceritanya..
    Bel masuk berbunyi tetapi seperti biasa kami masih berbincang-bincang membuka suasana pagi sampai satu per satu kami masuk kelas dan akhirnya tiada satupun yang tersisa di luar. Wali kelas kami Ibunda Elisabet berencana mengenalkan dua orang teman baru, yang telah diberitahukannya seminggu yang lalu. “anak-anak, teman kalian yang baru sudah datang sekarang lagi di kantor Kelapa Sekolah, sebentar lagi ke sini”, kata-kata Ibu Elisabet mengawali pelajaran Sekolah saat itu.

    Satu jam berlalu kemudian “Assalammualaikum” terdengar suara dari balik pintu. “Walaikumsalam Wr. Wb” kami serentak menjawab walupun kemungkinan besar bukan karena kami kalangan alim akan tetapi karena yang mengucapkan salam adalah cewek, sengaja saya tidak tulis wanita apalagi gadis supaya terkesan ceritanya waktu masih sekolah menegah sehingga tidak multitafsir. Dua cewek masuk dengan malu-malu menghampiri Ibu Elisabet lalu bebincang sejenak dan terlihat Ibu Elisabet untuk mempersilahkan kedua cewek tersebut untuk memilih tempat duduk, nah disitulah pertama kali saya berpandangan dengannya.

    Sebelum melanjutkan cerita ini tokoh sentralnya saya sendiri, kedua cewek yang baru muncul penokohannya adalah Ira Elwita dan Indah Sari yang lain Sabrina, M Yasin, M Thoha, Rahmadi, Ali, Nurul, Eva Margaretha, Mirza Syahbani, Erna Wati, Dinny Anggana dan Ibu Elisabet Wali Kelas kami, tetapi dari nama-nama tersebut hanya sebagian yang menjadi inti cerita.

    Kembali ke cerita ya..
    Sambil melihat dan melirik salah satu cewek datang mendekat ke arah kursi kosong di sebelahku, dengan jiwa besar saya mengalah mundur ke belakang agar cewek yang satunya bisa duduk satu meja. Jadi mau ndak mau saya duduk bersebelahan dengan Mirza Syahbani. Sambil tersenyum “makasih ya tempat duduknya” kata-kata pertama yang teringat, ya sangat membekas dan tak akan hilang walau ditelan waktu, mengapa terjadi pada diriku bergetar rasanya hati ini.
    Ingin rasanya menegur dirinya tapi apa daya mulut terkunci ketika matanya menatap sendu, hari itu berjalan dengan penyesalan tanpa tau siapa dirinya. benar-benar gagal fokus.

    Bel berbunyi seperti biasa tetapi ini bel pulang, saya pun bersiap untuk pulang kemudian Yasin dan Thoha mengajak untuk ke rumahnya untuk kerja kelompok tak lupa Mirza, Rahmadi dan Ali ikut serta, sepanjang jalan sudah dipastikan yang menjadi pokok pembahasan adalah kedatangan dua cewek baru di kelas apalagi cantik dan manis, kutahan diriku untuk tidak ikut komentar walau di hati memberontak untuk mengatakan kalian tidak tahu kalau hanya melihat dari belakang saja ia cantik dan manis apalagi jika memandangnya dari depan. Dalam hati saya pun bertekat untuk memperbesar kemungkinan menyadarkan dirinya bahwa ada seseorang yang memperhatikannya.. yang memperhatikan itu adalah diriku, “hei bangun pasti lagi mikir yang macem-macem ya” tegur Ali temanku yang berbadan tidak kurus tapi baik hatinya, yang sering makan dan memberikan sebahagian rejekinya kepada kami.

    Mentari pagi bersinar saya pun pergi menuju sekolah dengan misi yang telah tertanam di hati, benar adanya dia sudah ada dikelas bersama yang lain, saya lihat ada Erna, Nurul, Eva, Sabrina juga Dini, teman-teman cewek yang kalo sudah bergabung mungkin hanya Power Rangers saja yang dapat mengalahkan mereka apalagi Dini sama Erna jika sudah merencanakan sesuatu maka kekuatanya sama dengan Rita Repulsa, dengan langkah pasti saya pun menghampirinya dengan debaran jantung tak menentu semakin mendekat semakin tak karuan hati ini, akhirnya saya dan dia berada pada jarak satu meter dengan sudut pertemuan sembilan puluh derajat tetapi kembali mulut ini terkunci membisu tanpa bisa mungucapkan satu kata pun, mengapa ini terjadi kepada diriku seperti dilem dengan perekat super-super-super sekali.

    Hari yang gagal…
    Menjalang pulang termenung sendiri melihat kembar Yasin, Thoha yang sok rupawan dan juga Rahmadi yang sok artis Korea dengan mudahnya berbincang dengan canda tawa dengan dia, ya dia yang tak berani kutatap matanya dan tak bisa kubuka suara ketika berhadapan dengannya. Ingin rasanya kuakhiri perteman dengan Yasin, Thoha dan Rahmadi dengan titik tanpa koma. “Hay mas bro ngelamun aja, jadi pulang bareng ndak” suara Mirza membuyarkan lamunanku. “Oke Za, ngomong-ngomong kan kita ndak satu arah pulangnya” Sahutku
    “Oh ya, lupa” jawabanya singkat sambil berlalu meninggalkan diriku pergi menjauh dan tak kembali, emang kadang-kadang error teman satu ku itu. Meninggalkan kelas sampai parkiran kutatap motor tua yang telah menghantarkan diriku kemanapun aku ingin pergi oh sungguh jasamu tiada tara, “ayo motorku sayang kita berangkat” suaraku pelanku sambil menghidupkan motor.

    Tiba-tiba.. “Assalamualiakum, Ranu ya” Suara yang kukenal, karena sudut pandangku saat menghidupkan motor maka dengan gerakan lambat kualihkan pandangan ke arah dirinya dan benar adanya dia yang selama ini membuat diriku tak berdaya. “Walaikumsalam Wr Wb” sahutku Sambil mengibaskan rambut panjangnya “Bener ya namanya soalnya kita duduk dekatan tapi belum kenalan” aku terdiam dengan tatapannya yang meluluhkan hati.. seakan matanya berbicara dan mampu berkata, membiarkan aku tersiksa terlena tak berdaya dengan kesan di matanya itu.. “hallo” tegurnya menyadarkan lamunanku.” iya aku Ranu Mulyo Aji Putro Raharjo buntute dowo dicokot ulo sowo” ku ucapkan dengan tawa kemudian kuhentikan tawaku karena dia terlihat bingung mungkin karena dia bukan orang Jawa dan yang ada malah diriku terlihat bodoh, ingin rasanya tepuk jidat sama lipat muka. “Maaf panggil aja Ranu” berusaha memperbaiki suasana, “Nah kalo kamu namanya siapa” pura-pura tanya tetapi dengan menahan nafas dan berusaha berpikir jernih agar tidak melukukan kesalahan yang sama. Terseyum “Namaku Ira Elwita pindahan dari Tanjung Selor” Sambil mengangukkan kepala saya mendengarkan kata-katanya biar terlihat pintar padahal dalam hati Tanjung Selor dimana itu. Entah angin apa yang menghilangkan semua lem super yang biasanya menjadi perekat mulut ini sehingga kemudian berani berbicara “Ira mau aku antar pulang, pakai motor ini” sambil mukul jok belakang. Terlihat terdiam sejenak kemudian tersenyum “Makasih ya, Ira udah dijemput itu ada Indah Sari” sambil menujuk cewek samping mobil yang juga melambaikan tangan, ternyata namanya Saudaranya itu Indah Sari. Senyum kecilku pun menghantarkan langkahnya meninggalkanku sendiri, “Motor tua sial” ucapku lirih, setelah Ira hilang dalam pandangan lalu kuhidupkan motor dan ternyata mogok padahal tadi baik-baik aja agak bingung sih, akhirnya aku harus membujuk itu motor dan meminta maaf telah berbicara kasar dengan mengatakan motor tua sial dan ternyata berhasil, sukurlah.

    Hari yang bahagia…
    Dingin terasa angin melewati jendela kamar ternyata hujan sehingga mau tidak mau kuterobos dengan bersenjatakan mantel hujan dari pada terlambat karena hujan tidak memiliki perasaan, sampai di sekolah belum banyak teman datang cuma beberapa aja tetapi Ira dan Indah sudah ada dan kering tidak seperti saya yang basah kuyup karena mantelnya robek di jalan maklum mantel plastik. Sambil bergetar badan ini saya taruh tas dan duduk mengerinkan diri tak lama kemudian Indah datang duduk di kursinya dan menegur “basah ya Ran” sambil ngasih tisu, “makasih ya, tapi ndak ngaruh kalo tisu handuk iya” candaku disambut tawa kecil sama Indah. Dalam hatiku berkata tidak seperti saudaranya yang lebih mudah membaur kalo Indah pendiam dan lebih senang membaca buku tetapi aku yakin hatinya seperti namanya.

    Hari berlalu berganti minggu berganti lagi dengan bulan persahabatanku dengan Ira dan Indah semakin dekat tidak terkecuali dengan Mirza yang ternyata sangat dewasa padahal kami seumuran mungkin faktor wajah yang mendukung kedewasaaanya. Posisi duduk kami yang berdekatan membuat kami sering menjadi satu kelompok kerja sekolah sehingga instensitas pertemuan juga semakin sering termasuk diluar jam pelajaran resmi yang dikeluarkan pemerintah Kota Samarinda. Baru kali ini kurasakan senang ke sekolah melebihi keinginan pergi ke timezone atau main playstation pokoknya kalah dah, di sekolah bertemu dengannya seperti candu yang membuat diriku mengharapkan mentari lebih cepat menerangi bumi bahkan kalo bisa dipesan maka akan kupesan ayam jantan untuk berkokok jauh sebelum Azan subuh berkomandang. Dekat dan melihat senyumnya telah membuatku bahagia berbunga-bunga walaupun dia tidak menyadari kekagumanku terhadap dirinya, ibarat aku tetap bahagia walau malam tanpa bintang asalakan rembulan tetap setia menerangi.

    Hari yang aneh…
    Entah apa yang terjadi dengan diriku seolah terbanguan dari fatamorgana ketika bertandang ke kediaman Ira dan Indah, wah gejolak di hati mengatakan sadar-sadar siapa dirimu. Masuk ke dalam rumahnya saja ada yang bukakan pintu, baru duduk di sofa empuk ibu paruh baya menghampiri dengan perlahan dan sopan sekali “maaf, mau minum apa”, aku hanya terdiam melihat semua apa yang kulihat, apakah ini benar, membayangkan saja aku tidak pernah bahkan tidak berani, ini bukan duniaku, canggung perasaan, hilang senyumku hilang candaku hilang logikaku, seharunya kusadari dari awal siapa dirinya, tertekanya hati ini melebihi sakitnya ditingalkan seseorang kasih. Datang Ira yang disusul saudaranya Indah terlihat rapi dengan pakaian santai disertai senyum tersungging diwajahnya.

    “bisa main bola Ndah tempatmu ya, tahu gini tadi bawa sepeda sekalian” perkatan Mirza membuatku tertunduk. “Akhirya jadi ke rumahku juga Ranu sama Mirza ya” sahut sambil Indah menghidangkan ramah minuman yang dibawa ibu paruh baya tadi kepada kami, sedangkan Ira mulai membuka buku pelajaran. Pelajaran sekolah kami bahas ulang sambil mengerjakan tugas kelompok yang diberikan Ibu Elisabet dengan perdebatan-perdebatan kecil di dalmnya hingga sore pun menjelang. Ira menanyakan hal yang membuatku tertegun “Ran, besok kita lanjut bahas kerja kelompoknya di rumah mu ya” kata-kata nya tersebut bak petir di siang hari, aku hanya terseyum kecil kerena bingung harus berkata apa. “kami balik pulang dulu ya Indah, Ira” kemudian Mirza memberi kode untuk samasama pamit, karena motorku mogok jadi harus diantar Mirza pulang, dalam perjalan Mirza mengatakan “Gila bener ya rumahnya, yang jadi pacarnya pasti seneng banget”, aku tidak tahu arah pembicaraanya ke Ira atau Indah kerana aku tidak terlalu berfikir jernih yang kuinginkan hanyalah sampai rumah. Di rumah, kupandangi sekeliling dan di hati berkata, ini yang besok akan dilihat Ira, kembali aku termenung dan berpikir apakah layak. Sulit sekali memejamkan mata membuatku terus berpikir dan berusaha menyakinkan diri untuk melihat tanggapan Ira terhadap diriku jika besok jadi kerumah. Kita lihat saja besok, perasaan hati terus menerus beradu.

    Hari Perubahan…
    Ayam Jantan berkokok dan embun pagi telah menyentuh rerumputan ternyata udah subuh setelah mengadu ke Yang Kuasa kembali kusiapkan buku pelajaran hari ini dan bergegas ke bengkel dekat rumah untuk menyanyakan kabar motor tua apakah udah sehat jika masih mogok berati harus naik taksi, taksi adalah angkutan kota yang di Samarinda disebut taksi, benar dugaanku motorku masih mogok malahan tukang bengkel menyarankan untuk menjualnya ya tidak tegalah aku. Diam berdiri di pinggir jalan menunggu taksi sudah menjadi kebiasaan jika motor tua lagi ngambek biasanya agak lama kerena bukan jalur yang umum dilewati, “Ran” seseorang memanggilku ternyata Mirza datang menjemput padahal kami tidak berdekatan rumahnya. “hai Za, kok lewat sini” jawabku, sambil menuju ke arahnya. “sekalian lewat Ran, tadi ke tempat keluarga antar titipan” sambil mempersilahkan naik ke motornya untuk segera ke sekolah karena sudah agak terlambat. Benar adanya kami terlambat dan akhirnya masuk dalam catatan buku siswa yang terlambat dan harus tanda tangan agar bisa dibukakan pagar sekolah, apes dah.

    Masuk kelas, Ibu Elesabet bertanya “kenapa kalian terlambat”. Dengan tenang dan penuh kedewasaan Mirza menjawab “iya Bu, tadi motor Ranu mogok jadi saya jemput dulu makanya terlambat”, kata-kata Mirza disambut senyum oleh Ibu Elisabet dan mempersilahkan duduk, kami pun duduk tapi dalam hati aku berkata dewasa sih dewasa tapi aku kok dibawa-bawa padahal.., ya sudahlah.

    Berjalan ke tempat duduk saya lihat Ira sedang menulis pelajaran, hatiku kosong tidak seperti biasa getaran itu hilang, ada apa dengan diriku. “Hai Ran“ Indah melambaikan tangan sambil tersenyum padahal jaraknya kami hanya terhalat meja karena Indah kan duduk tepat di depanku, kelakukan Indah rupanya dapat mencairkan suasana hatiku, kami ngobrol yang akhirnya ditegur oleh Ibu Elisabet agar mendengarkan pelajaran, Ira tersenyum.

    Cerpen Karangan: Ranu

    Artikel Terkait

    Maafkan Aku (Part 1)
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email