Judul Cerpen Biarkan Mereka Bermain Main Dengan Mimpinya
Malam hadir dan segera menjemputku, mengusir mentari yang sedari tadi mengintip dari balik pepohonan rimbun di samping bangunan sejarah. Di sanalah kuurkir sejarah kebersamaan kita, pertama bertemu hingga pada akhirnya kita berpisah. Masih kuingat semua untaian cerita yang pernah engkau rangkaikan untukku, bagaimana hati yang lemah ini kau kuatkan kala kita bermain-main dengan pertengkaran. Senyuman yang selalu kau jadikan cara cepat untuk mengusir kesalku kala sering kali kusalahkan dirmu karena hal sepele. Yah bahkan rentetan seluruh cerita itu masih tersusun rapi dalam dalam rak di ruang itu.
Ruang yang biasanya kau berada di sana, duduk bercerita tentang masa depan denganku.
“ummi, bagaiman mungkin kutinggalkan dirimu, sedangkan engkau kan kan kujadikan ummi dari anak-anakku kelak”.
“lantas?, itu bukan alasan untuk dekat dengan siapapun bi”
“sudahlah, runtuhkan cemburumu itu, bukankah aku milikmu?
“Yah… untuk saat ini, lantas bagaimana dengan nanti, besok dan seterusnya?” hanya kuungkap di balik pendengaranmu, tak ingin lagi kuperdebatkan masalah yang selalu menjadi pokok pembahan dalam hubugan ini.
Cerita ini berjalan sesuai dengan yang kau rangkaikan, dan aku hanya menjadi tokoh yang berperan dalam alur yang telah engkau setting sebelumnya. Benar sering kali keegoisan kita tak berujung damai, hingga aku meminta maaf tersering kali untuk mengusai pertentangan itu. Tapi kerumitan yang seperti ini telah membuatku nyaman, dan tak bisa dengan ketiadaan. Selayaknya tokoh yang berperan sesuai naskah, aku pun demikian. Tersenyum kala kau butuh seuntai semangat, mendengarkan kala kau ingin bercerita, menemanimu kala kau letih dengan aktivitasmu sendiri, namun apa jua yang bisa kuperbuat kala kau tuliskan dalam naskah itu kepergianmu.
Rasanya pening saat kubaca pesanmu, ada rasa sakit yang perlahan menjalar ke setiap syaraf di otakku, sontak kaget aku waktu itu “ummi maafkan abi. Abi bukan orang yang baik, mungkin akan lebih baik agar hubungan kita sampai di sini.”
“beginikah akhir cerita yang kau tuliskan untukku bi?”
“maaf kan abi ummi, suatu saat engkau akan dapatkan orang yang tulus mencintaimu”
Ada gemuruh yang tak terkendali di hatiku, meratalah semua bangunan harapan itu di sana, tersampailah pesan dari otakku ke tempat itu, semakin dalam dan jauh luka ini. Mata pun mulai lembab dengan cairan yang entah datangnya dari mana, tak terkontrol sudah alasannya. Rasanya masih terlalu dini kisah kita namun aku pun tak pernah menyadari akan keseriusanku dalam menjalani hingga selepas kau pergi barulah ku tau ternyata teramat dalam sudah cinta ini teruntukmu.
Aku yang merindukanmu saat kau jauh di seberang, aku yan berada di sampingmu saat kesulitan mendatangimu, aku yang menguatkanmu saat keterpurukan menyapamu, dan aku yang kau minta menunggu saat kepulanganmu, lalu?
Belum sempat hati ini kau bahagiakan, bahkan belum kau sediakan waktu untuk sekedar bermuajah denganku selama kita bersama, dan ternyata orang lain yang bahagia dengan kepulanganmu, orang lain yang merasakan kehadiranmu, orang lain yan tersenyum untuk kebahagiaanmu, aku?
Aku yang terluka karena keputusanmu, aku yang kembali merindu sedang kau tak lagi berada jauh denganku, aku yang harus kembali sendiri walau kutau keberadaanmu, dan lagi-alagi aku yang harus terluka atas keputusanmu. Terlalu besar kiranya oleh-oleh yang kau berikan untukku hingga tak sepatah katapun mampu kuungakapkan untuk membalasmu.
Tiada alasan untuk bertahan, tapi aku masih tak ingin pergi dari kisah ini, kudiami sendiri pesaraanku, hingga ku tau ternyata dialah yang telah menggantikan namaku di hatimu. Saat itu aku ingin segera beranjak namun ternyata kenyataan itu terlau tajam dan dalam menggores hatiku hingga tiada lagi kukuatan untuk sekedar berdiri dari panantianku terlebih untuk beranjak dan pergi. Walau sering kali kau paksa diriku untuk segera menjauh, apa yang mampu kulakuakan aku terlalu lemah. Walau ternyata kau raih tangannya, dan mempersilahkan dia duduk di tempatku dan tepat di depan mataku. Semakin tiada kutemui lagi kekuatanku untuk pergi walau aku teramat ingin.
Malam ini semakin larut, mataku pun terasa mulai perih yang sedari tadi mencoba menghilangkan namamu melalui air mataku. Kesedihan ini terus mengalir hingga kutakut pipiku akan mulai tergores akan tajamnya. Aku benar-benar ingin menghilangkan semua yang pernah ada di hatiku, ingin kuhanyutkan sejauh mungkin dari hidupku, kupikir cukup sudah kesakitan ini, namun tanpa kusadrai malam semakin jauh, dan mata ini tak ingin terpejam walau telah kuperintah kan. Kubiarkan kalian mermain-main dengan mimpi dan biarkan aku menikmati keteduhan dan kejernihan aliran ini karena terkadang di sela-selanya masih kutemukan senyum di bibirku.
Rasa sakit ini mengajarkanku, untuk tidak melakukan hal yang sama terhadap orang lain, cara tersenyum pada wajah yang sebenarnya jelas menyakitkan, cara bangkit dari keterpurukan walau tanpa penopang. Cukup aku, kisahku dan impianku. Satu hal yang ingin kusampikan,
“maafkan aku tak bisa turut bahagia untukmu, maafkan aku yang tak bisa lagi menjadi salah seorang tokoh dalam kisahmu, cukup aku dan kenangan kita yang bersamaku, walau aku tak mampu melupakan tapi aku tak punya alasan untuk mempertahankan”
Cerpen Karangan: Samiatul Ahyani
Blog / Facebook: Samiatul Ahyani
Malam hadir dan segera menjemputku, mengusir mentari yang sedari tadi mengintip dari balik pepohonan rimbun di samping bangunan sejarah. Di sanalah kuurkir sejarah kebersamaan kita, pertama bertemu hingga pada akhirnya kita berpisah. Masih kuingat semua untaian cerita yang pernah engkau rangkaikan untukku, bagaimana hati yang lemah ini kau kuatkan kala kita bermain-main dengan pertengkaran. Senyuman yang selalu kau jadikan cara cepat untuk mengusir kesalku kala sering kali kusalahkan dirmu karena hal sepele. Yah bahkan rentetan seluruh cerita itu masih tersusun rapi dalam dalam rak di ruang itu.
Ruang yang biasanya kau berada di sana, duduk bercerita tentang masa depan denganku.
“ummi, bagaiman mungkin kutinggalkan dirimu, sedangkan engkau kan kan kujadikan ummi dari anak-anakku kelak”.
“lantas?, itu bukan alasan untuk dekat dengan siapapun bi”
“sudahlah, runtuhkan cemburumu itu, bukankah aku milikmu?
“Yah… untuk saat ini, lantas bagaimana dengan nanti, besok dan seterusnya?” hanya kuungkap di balik pendengaranmu, tak ingin lagi kuperdebatkan masalah yang selalu menjadi pokok pembahan dalam hubugan ini.
Cerita ini berjalan sesuai dengan yang kau rangkaikan, dan aku hanya menjadi tokoh yang berperan dalam alur yang telah engkau setting sebelumnya. Benar sering kali keegoisan kita tak berujung damai, hingga aku meminta maaf tersering kali untuk mengusai pertentangan itu. Tapi kerumitan yang seperti ini telah membuatku nyaman, dan tak bisa dengan ketiadaan. Selayaknya tokoh yang berperan sesuai naskah, aku pun demikian. Tersenyum kala kau butuh seuntai semangat, mendengarkan kala kau ingin bercerita, menemanimu kala kau letih dengan aktivitasmu sendiri, namun apa jua yang bisa kuperbuat kala kau tuliskan dalam naskah itu kepergianmu.
Rasanya pening saat kubaca pesanmu, ada rasa sakit yang perlahan menjalar ke setiap syaraf di otakku, sontak kaget aku waktu itu “ummi maafkan abi. Abi bukan orang yang baik, mungkin akan lebih baik agar hubungan kita sampai di sini.”
“beginikah akhir cerita yang kau tuliskan untukku bi?”
“maaf kan abi ummi, suatu saat engkau akan dapatkan orang yang tulus mencintaimu”
Ada gemuruh yang tak terkendali di hatiku, meratalah semua bangunan harapan itu di sana, tersampailah pesan dari otakku ke tempat itu, semakin dalam dan jauh luka ini. Mata pun mulai lembab dengan cairan yang entah datangnya dari mana, tak terkontrol sudah alasannya. Rasanya masih terlalu dini kisah kita namun aku pun tak pernah menyadari akan keseriusanku dalam menjalani hingga selepas kau pergi barulah ku tau ternyata teramat dalam sudah cinta ini teruntukmu.
Aku yang merindukanmu saat kau jauh di seberang, aku yan berada di sampingmu saat kesulitan mendatangimu, aku yang menguatkanmu saat keterpurukan menyapamu, dan aku yang kau minta menunggu saat kepulanganmu, lalu?
Belum sempat hati ini kau bahagiakan, bahkan belum kau sediakan waktu untuk sekedar bermuajah denganku selama kita bersama, dan ternyata orang lain yang bahagia dengan kepulanganmu, orang lain yang merasakan kehadiranmu, orang lain yan tersenyum untuk kebahagiaanmu, aku?
Aku yang terluka karena keputusanmu, aku yang kembali merindu sedang kau tak lagi berada jauh denganku, aku yang harus kembali sendiri walau kutau keberadaanmu, dan lagi-alagi aku yang harus terluka atas keputusanmu. Terlalu besar kiranya oleh-oleh yang kau berikan untukku hingga tak sepatah katapun mampu kuungakapkan untuk membalasmu.
Tiada alasan untuk bertahan, tapi aku masih tak ingin pergi dari kisah ini, kudiami sendiri pesaraanku, hingga ku tau ternyata dialah yang telah menggantikan namaku di hatimu. Saat itu aku ingin segera beranjak namun ternyata kenyataan itu terlau tajam dan dalam menggores hatiku hingga tiada lagi kukuatan untuk sekedar berdiri dari panantianku terlebih untuk beranjak dan pergi. Walau sering kali kau paksa diriku untuk segera menjauh, apa yang mampu kulakuakan aku terlalu lemah. Walau ternyata kau raih tangannya, dan mempersilahkan dia duduk di tempatku dan tepat di depan mataku. Semakin tiada kutemui lagi kekuatanku untuk pergi walau aku teramat ingin.
Malam ini semakin larut, mataku pun terasa mulai perih yang sedari tadi mencoba menghilangkan namamu melalui air mataku. Kesedihan ini terus mengalir hingga kutakut pipiku akan mulai tergores akan tajamnya. Aku benar-benar ingin menghilangkan semua yang pernah ada di hatiku, ingin kuhanyutkan sejauh mungkin dari hidupku, kupikir cukup sudah kesakitan ini, namun tanpa kusadrai malam semakin jauh, dan mata ini tak ingin terpejam walau telah kuperintah kan. Kubiarkan kalian mermain-main dengan mimpi dan biarkan aku menikmati keteduhan dan kejernihan aliran ini karena terkadang di sela-selanya masih kutemukan senyum di bibirku.
Rasa sakit ini mengajarkanku, untuk tidak melakukan hal yang sama terhadap orang lain, cara tersenyum pada wajah yang sebenarnya jelas menyakitkan, cara bangkit dari keterpurukan walau tanpa penopang. Cukup aku, kisahku dan impianku. Satu hal yang ingin kusampikan,
“maafkan aku tak bisa turut bahagia untukmu, maafkan aku yang tak bisa lagi menjadi salah seorang tokoh dalam kisahmu, cukup aku dan kenangan kita yang bersamaku, walau aku tak mampu melupakan tapi aku tak punya alasan untuk mempertahankan”
Cerpen Karangan: Samiatul Ahyani
Blog / Facebook: Samiatul Ahyani
Biarkan Mereka Bermain Main Dengan Mimpinya
4/
5
Oleh
Unknown