Moonchild (Part 1)

Baca Juga :
    Judul Cerpen Moonchild (Part 1)

    Bahu kekar Taehyung seperti remuk dalam pelukanku, bahu itu bergetar diikuti tangisan tak tertahankan. Sedari sore tadi dia hanya menyembunyikan diri didalam kamarnya, dan tak ingin satu orang pun menganggunya. Aku pulang dan mendapati sahabatku ini sedang menangis di dalam kamar mandi pribadiku, aku menyeretnya keluar dan langsung memeluknya agar menenangkannya.

    Ternyata dia sudah menungguku sedari tadi, merasakan dingin ubin kamarku dengan merebah seperti seekor keledai. Aku merasa khawatir karena apa yang menjadi perkara dalam kepalanya itu bisa membuatnya merapuh seperti kertas.

    Dia terus menangis seperti airmatanya bahkan belum habis sejak siang ketika pulang dari Sajeun Park, taman bermain khusus untuk orang dewasa di daerah Haejin, bahkan dihari pertama taman bermain itu buka Taehyung telah memiliki kenangan buruk di sana. Aku ragu bahwa besok dia akan bersemangat ketika kami memiliki pekerjaan di segala jenis taman.

    “Jimin-ah, aku tidak peduli jika kau sudah mendengar ini dari yang lain tapi aku ingin memberitahu sekali lagi,” sambil terisak Taehyung terus berkata sambil menarik ingusnya, sebenarnya aku sudah tidak bisa membedakan rasa ingin tertawa dan menagis, kadang sahabatku ini bisa sangat melankolis dan juga bisa berperilaku aneh dalam waktu yang sama, itu membuatku sudah begitu nyaman.
    “Ya, aku ingin mendengarkan lagi, Bicaralah.”

    Taehyung melepaskan diri dan meringkuk di ranjangku, menarik selimut dengan sembarangan dan menutupi sebagian wajahnya.
    Aku duduk di samping ranjang, memperhatikan Taehyung sebaik mungkin agar tidak melewatkan apapun, karena jika kulewatkan maka aku akan kehilangan moment berharga bersama sahabatku yang selalu terlihat ceria ini.

    “Aku melihat mereka,” dia menahannya dan sedikit terdengar isakan, lalu dia menarik nafas lagi. “Mereka terlihat bahagia, aku bahkan melihat bocah perempuan sedang merengek dibelikan Permen. Lalu mereka membawa bocah itu pergi menghampiri gerobak Kembang Gula, dan membelikan banyak sekali untuk bocah itu.” Dia melanjutkan lagi kali ini sambil mengarahkan padangan padaku, kedua matanya kembali dipenuhi airmata.

    “Mereka memiliki kembali kebahagiaan mereka, dan aku? Aku hanya serpihan debu, Ya, Jimin-ah?” dia terisak semakin mengila.
    Aku hanya terdiam, mengerti bahwa ini yang terbaik untuk dia saat ini. Di mana dia bisa lagi meluapkan semua kesedihan yang dia pendam sendiri selama ini? Aku. Ya, hanya aku. Meski kenyataannya banyak yang bisa dia ajak bicara tapi yang tahu pasti tentang Taehyung dimasa lalu hanyalah aku.

    Taehyung terdiam, menarik nafas, menutup wajahnya dengan bagian selimut lain yang masih terlihat kering akhirnya basah karena sekaan airmatanya. Terdengar tawa serak dan teriakan kecil, Taehyung membuka kembali selimut yang menutupi wajahnya dan tersenyum padaku.

    Melihat Taehyung yang begitu rapuh membuat aku kembali pada bayangan tentang masa lalu, ketika kami berada di bangku SMA.



    Gadis itu selesai menganyam rambutnya, dia terlihat sangat suka dengan kegiatannya sendiri. Sedang Aku dan Taehyung mencoba mencuri padangan padanya, menyisahkan sedikit waktu agar Taehyung bisa melihat wajah gadis itu lebih lama.

    Sudah sebulan ini, setelah upacara penerimaan siswa baru, kami menempati kelas yang sama dan ikut serta memuja gadis yang sedang kami lihat, sebenarnya hanya Taehyung saja, aku sekedar menemaninya.

    “Aku memberinya sekotak tisu basah waktu itu. Kamu tahu? Dia dipenuhi coklat akibat sunbaemin yang jahil menumpahkan seember coklat padanya, ya, aku tahu sih, untuk sekotak tisu basah tidak terlalu membantu tapi setidaknya itu penolongan pertama yang paling baik.”
    Aku mengingat lagi ketika pertama dikagetkan oleh ucapan Taehyung kalau dia Naksir berat cewek itu, cewek yang bahkan tidak kami ketahui namanya.

    “Taehyung-ah, sampai kapan kita seperti ini? Bagaimana kalau kamu membantu mengikat rambutnya?” dengan paksa aku mendorong badannya, membuat Taehyung berteriak tertahan seperti didalam perpustakaan ini hanya ada kami berdua.

    Gadis itu mengangkat wajah. Menatap kami. Mengerutkan kening. Lalu tertawa.
    “Sedang apa, Taehyung-ah, Jimin-ah?” terdengar suaranya yang lembut memanggil namaku, jujur saja aku hampir terkelabui karena suara lembut itu.

    Aku mengirimkan code pada Taehyung agar menghampiri Gadis itu, setidaknya kami tahu siapa namanya.

    “Kau tahu nama kami?” aku mengambil inisiatif menyapa lebih dulu karena saat ini Taehyung sedang berdiri kaku di tempat dengan posisi kaki sebelah terangkat dan kaki sebelah masih berada di lantai, dia seperti kena sihir hitam penyihir jahat.
    “Tentu saja. Kamu pernah gagal pentas karena tiba-tiba lupa teks, kamu mendapat nilai 100 untuk seni, kamu juga menjadi peringkat pertama karena gambar yang sangat bagus, lalu kalian berdua sangat keren saat bernyanyi di kantin kemarin.” Gadis itu berbicara panjang lebar dan membuatku kagum, bagaimana bisa kami seterkenal itu hingga dia tahu segala yang buruk?
    “Taehyung-ah, pernah memberiku tisu basah. Haha, kenangan terburuk karena disiram seember coklat. Gila banget! Untung ada kamu, Taehyung.” Terdengar gelak tawa. Taehyung merespon, tubuhnya berputar dan akhirnya berlari ke arahku.

    “Ayo, kita pergi.” Taehyung menarik tanganku dan hendak menyeretku pergi namun terlihat tangan kecil milik gadis itu menahan ujung seragam Taehyung.
    “Kenapa pergi? Ah, maaf ya, membicarakan keburukan kalian.”
    Aku lalu melepas tangan Taehyung dengan paksa, mendapatkan pandangan menerkam dari Taehyung namun aku mengabaikan itu semua dan kembali memfokuskan diri pada gadis itu.
    “Tidak kok, kamu hanya menyebutkan kejelekanku, tidak untuk Taehyung tapi itu tidak masalah. Kenalkan, aku Jimin, P A R K J I M I N.”

    Dia tertawa dan menyambut uluran tanganku.
    “Xian Xu Lee, kalian bisa memanggilku Zian.”
    “Xian? Atau Zian? Atau Jian?” aku menggulang kembali ejaan namanya yang benar agar kami tidak salah memanggilnya nanti jika berpas-pasan di kantin.

    “Z-I-A-N, Zulu, India, Alfa, November.”

    Taehyung tertawa.

    Aku dan Zian menatapnya, heran.
    Lalu kami menertawakan dia.



    Ya, aku yang harus disalahkan di sini.
    Karena jika aku tidak mendorongnya dan dia tidak berteriak seperti hari itu pasti mereka tidak akan pernah berkenalan, dan tidak akan pernah ada kisah penuh kesedihan seperti ini.

    “Jimin-ssi?” kudengar Taehyung memanggil.
    “Kamu menangis? Kenapa?”

    Apakah aku ketahuan sedang menangis?
    Aku menghapus airmataku dan beranjak dari dudukku, merasakan panas pada kedua mataku.
    “Taehyung, tolong aku, jangan terus bersedih seperti ini. Aku akan terus merasa bersalah, kamu, kamu harus bangkit Taehyung, harus!” aku merasa gelisah dan mondar-mandir di dekat ranjang, begitu terus sampai akhirnya lelah dan memutuskan duduk melantai menyandarkan kepala pada kusen pintu.
    Taehyung bangun dan menghampirku.
    “Gomampda, Jimin-ssi. Kau terbaik yang pernah aku miliki.”
    Kami melakukan hight five sebelum akhirnya Dia berlalu di balik pintu kamarku.

    “Aku sudah membaik jadi jangan terus-terus menyalahkan dirimu. Dalam hal ini, hanya aku satu-satunya manusia yang harus disalahkan.”

    Itu kalimat terakhir Taehyung, setelah itu aku tidak lagi bertemu dengannya, dia tidak muncul di dorm dan membuat kami bersembunyi di balik layar. Berlari dari kejaran wartawan yang menanyakan perihal menghilangnya Taehyung, meski pihak kami telah mengatakan kalau Taehyung sedang berlibur ke Bali dan tidak ingin diganggu privasinya namun para wartawan itu tidak juga puas. Mereka mendatangi studio kami, tidur di jalanan menuju dorm, dan bahkan menganggu jam makan siang kami.

    Dan yang benar-benar terjadi adalah TAEHYUNG MENEMUI ZIAN.
    Untuk beberapa alasan aku merasa sangat khawatir pada Taehyung. Ya, sangat!

    TO BE CONTINUE

    Cerpen Karangan: Bunga Salju
    Blog: rianarahayaan.blogspot.co.id

    Artikel Terkait

    Moonchild (Part 1)
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email