Judul Cerpen Catatan Untuk Ayah
Ayah… apa yang sedang kau lakukan?
Aku memang tidak berhak tau apa yang sedang kau lakukan di sana, karena aku hanyalah mantan buah hatimu dimasa lalu. Tapi apa kau tau? Kita ini adalah keluarga, sejauh manapun jarak memisahkan kita.
Aku dan mama baik baik saja di sini, tapi hidup tanpa kehadiranmu tidak lebih baik setelah pertengkaran yang kalian lakukan setiap hari, entah itu pagi, siang, sore, atau malam.
Ayah… bagaimana rasanya tinggal di rumah barumu?
Lebih menyenangkan kah? atau sebaliknya? Tapi aku selalu berharap kau merasa nyaman dan bahagia di manapun kau berada. Bahkan saat kau tidak bersama kami, aku akan mendoakan yang terbaik untukmu, karena aku adalah anak tercintamu.
Ayah… kau sehat kan?
Aku khawatir dengan penyakitmu yang timbul saat umurmu sudah menjelang kepala 4, kau minum obat dengan teratur kan? Tapi aku yakin kau masih sehat, istri barumu bisa mengurus segalanya kan? Hehe, aku tidak perlu khawatir dengan itu.
Ayah… bagaimana pekerjaanmu?
Yah… sebenarnya aku tau kau orang yang gigih dan kuat, jadi kalau pekerjaan… itu masalah gampang. Tapi tetap saja aku ingin bertanya tentang semua kegiatanmu di sana, tidak keberatan kan?
Ayah… kapan pulang?
Memori memori kebersamaan kita tidak akan hilang, aku menyimpan dan mengunci rapat ingatan tentang itu. Air di pelupuk mataku jatuh begitu saja ketika mengingat dirimu yang selalu peduli dengan kami semua waktu dulu, setiap hari libur kita jalan dan makan bersama. Apa ayah tidak ingat? Itu merupakan harta karunku yang berharga.
Ayah… kenapa kalian bertengkar?
Mulutku terkatup rapat dikala kalian mulai berdebat, perasaan berkecamuk didalam hatiku. Kehilangan seseorang yang kami cintai itu merupakan mimpi buruk yang tiada habisnya, kami rapuh dan sakit.
Ayah… apa kau dan ibu akan berbaikan?
Hatiku selalu bertanya tanya dikala kalian sedang bertengkar, apa kelak kalian akan berbaikan? Sekarang sudah bertahun tahun, dan waktu tak kunjung menjawabnya. Apalah arti bulan ramadhan ini jika kalian masih belum tenang dari amarah?
Ayah… kau baik baik saja kan?
Ada kalanya aku berpikir kalau kau sedang bersenang senang dengan keluarga barumu di sana, tapi tidak dengan kami. Aku dan mama jarang jalan jalan lagi, kami banyak berdiam diri di rumah. Apa kau sering jalan jalan di sana? Kuharap iya, karena aku ingin kau menikmati sisa hidupmu dengan kebahagiaan.
Ayah… apa kau masih memikirkan kami?
Setiap hari, setiap malam… kuselipkan doa untuk keluarga kita. Berharap kita akan kembali seperti dulu, kau juga berharap seperti itu kan? Kuharap iya, karena mama pun begitu. Sedih rasanya jika hanya aku yang selalu bertanya tanya tentangmu, apa kau juga penasaran tentang anakmu ini? Kuharap iya, karena sekarang aku butuh penyemangat hidupku yang mulai meredup.
Ayah… kenapa kalian berpisah?
Aku selalu bertanya dikala aku terdiam, kenapa kalian berpisah? Apa kalian tidak bisa mengingat semua yang sudah kalian lakukan selama ini? Apa cinta di antara kalian sudah tidak memiliki arti? Apa yang sudah kalian perbuat sehingga harus mengambil jalan berduri ini? Kenapa kalian menghancukan keharmonisan keluarga kita?
Ayah… aku lelah…
Ayah… ibu… kenapa kalian begitu egois? Kenapa kalian tega membiarkan anak kalian hidup dibayang bayang kepedihan dan kesakitan yang kalian perbuat? Aku lelah berjuang sehingga ingin mengakhiri segalanya. Topeng bahagia yang selama ini kupasang mulai retak, hatiku yang dilapisi baja ini pun tak akan bertahan lama. Namun aku tetap tersenyum walaupun di dalam aku sedang rapuh dan runtuh. Semuanya kujalani dengan menerima fakta bahwa kalian telah berpisah, semuanya seakan meninggalkanku sendirian.
Tapi saat itu aku sadar, aku bukanlah anak lemah dan cengeng. Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kepada kita, Tuhan pembuat skenario hidup terbaik. Aku percaya kalau ada sebuah keajaiban yang kelak akan terjadi di keluarga kita. Apa ayah juga berpikir seperti itu?
Ayah… cukup sampai disini surat dariku. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kutanyakan kepadamu, tapi biarkanlah aku mencoba di lain waktu. Aku tidak berharap kau akan membaca ini, biarkanlah aku yang berkhayal bahwa kau sedang membacanya. Setuju?
Tertanda,
Jessica
Cerpen Karangan: Jessica Leilani Savira Azzahra
Ayah… apa yang sedang kau lakukan?
Aku memang tidak berhak tau apa yang sedang kau lakukan di sana, karena aku hanyalah mantan buah hatimu dimasa lalu. Tapi apa kau tau? Kita ini adalah keluarga, sejauh manapun jarak memisahkan kita.
Aku dan mama baik baik saja di sini, tapi hidup tanpa kehadiranmu tidak lebih baik setelah pertengkaran yang kalian lakukan setiap hari, entah itu pagi, siang, sore, atau malam.
Ayah… bagaimana rasanya tinggal di rumah barumu?
Lebih menyenangkan kah? atau sebaliknya? Tapi aku selalu berharap kau merasa nyaman dan bahagia di manapun kau berada. Bahkan saat kau tidak bersama kami, aku akan mendoakan yang terbaik untukmu, karena aku adalah anak tercintamu.
Ayah… kau sehat kan?
Aku khawatir dengan penyakitmu yang timbul saat umurmu sudah menjelang kepala 4, kau minum obat dengan teratur kan? Tapi aku yakin kau masih sehat, istri barumu bisa mengurus segalanya kan? Hehe, aku tidak perlu khawatir dengan itu.
Ayah… bagaimana pekerjaanmu?
Yah… sebenarnya aku tau kau orang yang gigih dan kuat, jadi kalau pekerjaan… itu masalah gampang. Tapi tetap saja aku ingin bertanya tentang semua kegiatanmu di sana, tidak keberatan kan?
Ayah… kapan pulang?
Memori memori kebersamaan kita tidak akan hilang, aku menyimpan dan mengunci rapat ingatan tentang itu. Air di pelupuk mataku jatuh begitu saja ketika mengingat dirimu yang selalu peduli dengan kami semua waktu dulu, setiap hari libur kita jalan dan makan bersama. Apa ayah tidak ingat? Itu merupakan harta karunku yang berharga.
Ayah… kenapa kalian bertengkar?
Mulutku terkatup rapat dikala kalian mulai berdebat, perasaan berkecamuk didalam hatiku. Kehilangan seseorang yang kami cintai itu merupakan mimpi buruk yang tiada habisnya, kami rapuh dan sakit.
Ayah… apa kau dan ibu akan berbaikan?
Hatiku selalu bertanya tanya dikala kalian sedang bertengkar, apa kelak kalian akan berbaikan? Sekarang sudah bertahun tahun, dan waktu tak kunjung menjawabnya. Apalah arti bulan ramadhan ini jika kalian masih belum tenang dari amarah?
Ayah… kau baik baik saja kan?
Ada kalanya aku berpikir kalau kau sedang bersenang senang dengan keluarga barumu di sana, tapi tidak dengan kami. Aku dan mama jarang jalan jalan lagi, kami banyak berdiam diri di rumah. Apa kau sering jalan jalan di sana? Kuharap iya, karena aku ingin kau menikmati sisa hidupmu dengan kebahagiaan.
Ayah… apa kau masih memikirkan kami?
Setiap hari, setiap malam… kuselipkan doa untuk keluarga kita. Berharap kita akan kembali seperti dulu, kau juga berharap seperti itu kan? Kuharap iya, karena mama pun begitu. Sedih rasanya jika hanya aku yang selalu bertanya tanya tentangmu, apa kau juga penasaran tentang anakmu ini? Kuharap iya, karena sekarang aku butuh penyemangat hidupku yang mulai meredup.
Ayah… kenapa kalian berpisah?
Aku selalu bertanya dikala aku terdiam, kenapa kalian berpisah? Apa kalian tidak bisa mengingat semua yang sudah kalian lakukan selama ini? Apa cinta di antara kalian sudah tidak memiliki arti? Apa yang sudah kalian perbuat sehingga harus mengambil jalan berduri ini? Kenapa kalian menghancukan keharmonisan keluarga kita?
Ayah… aku lelah…
Ayah… ibu… kenapa kalian begitu egois? Kenapa kalian tega membiarkan anak kalian hidup dibayang bayang kepedihan dan kesakitan yang kalian perbuat? Aku lelah berjuang sehingga ingin mengakhiri segalanya. Topeng bahagia yang selama ini kupasang mulai retak, hatiku yang dilapisi baja ini pun tak akan bertahan lama. Namun aku tetap tersenyum walaupun di dalam aku sedang rapuh dan runtuh. Semuanya kujalani dengan menerima fakta bahwa kalian telah berpisah, semuanya seakan meninggalkanku sendirian.
Tapi saat itu aku sadar, aku bukanlah anak lemah dan cengeng. Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kepada kita, Tuhan pembuat skenario hidup terbaik. Aku percaya kalau ada sebuah keajaiban yang kelak akan terjadi di keluarga kita. Apa ayah juga berpikir seperti itu?
Ayah… cukup sampai disini surat dariku. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kutanyakan kepadamu, tapi biarkanlah aku mencoba di lain waktu. Aku tidak berharap kau akan membaca ini, biarkanlah aku yang berkhayal bahwa kau sedang membacanya. Setuju?
Tertanda,
Jessica
Cerpen Karangan: Jessica Leilani Savira Azzahra
Catatan Untuk Ayah
4/
5
Oleh
Unknown