Nameless Circus (Part 1)

Baca Juga :
    Judul Cerpen Nameless Circus (Part 1)

    Ada sebuah kebiasaan aneh yang saudarinya, Aria, lakukan setiap bulan.

    Belanja pakaian.

    Oke, mungkin untuk anak perempuan, itu sangat tidak aneh. Tapi kalau untuk anak laki-laki sepertinya, jelas itu aneh. Aria memiliki kebiasaan membeli pakaian-pakaian baru di mal dekat. Kata Dad, itu wajar karena Aria sedang dalam proses pubertas. Tapi apa dia perlu membeli banyak pakaian sebanyak isi lemari kamarnya?

    Belum lagi, Akira sering diminta untuk mengikuti dan menemaninya selama di sana. Sungguh, Akira sangat kebosanan dengan semua itu. Hanya datang demi membawa barang belanjaan Aria yang sangat banyak, sangat merepotkan. Akira mau saja menolak dijadikan beban tapi Aria akan menampilkan wajah tidak sukanya dan dia akan terus ‘meneror’ Akira selama beberapa hari.

    “Kira, temani aku ke mal yuk! Ada baju bagus di sana.”
    “Ari, ini sudah yang kesebalas kalinya kamu mengajak aku ke mal demi urusan membeli baju.”
    “Tapi kali ini baju-bajunya bagus, Kira. Tolong temani aku ya! Pleaseee!”
    “Kenapa kamu suka banget belanja tanpa henti? Apa kamu enggak pernah pikirkan uang Dad?”
    “Itu enggak masalah. Sekarang ini aku sudah bekerja dengan Melisa jadi masalah uang enggak perlu dipikirkan lagi.”
    “Kenapa kamu enggak ajak teman-temanmu saja? Kenapa harus aku?”
    “Karena kalau sama yang lainnya sudah bosen. Lagi pula, kamu kan cowok. Kalau aku ajak Melisa atau Delie, mereka enggak akan kuat bawa barang-barang belanjaan.”
    “Ari, aku bukan bodyguard kamu, oke?”
    “Tapi tetap aja. Tolonglah, Kira. Temani aku ya!”
    “Kenapa kamu selalu menyusahkanku?”
    “Temani aku saja! Apa susahnya sih?”
    Menyebalkan bila seandainya memiliki saudari yang keras kepala.

    Aria memang punya kebiasaan menarik bila sedang berjalan-jalan. Gadis itu selalu memeriksa internet, mencari-cari pakaian yang sedang populer di kalangan remaja. Baginya, melakukan hal itu sangat penting dalam dunia berteman. Akira tidak pernah bisa memahami hal itu. Akira hanya punya dua teman saat SD, Riki dan Philip. Keduanya mungkin paham dengan maksud Aria, mengingat Riki dan Philip adalah golongan murid-murid populer di SMA Perdana Alam.

    Akira memang susah bergaul. Itu salah satu kelemahannya. Entah mengapa, berada di kerumunan orang yang seumuran dengannya membuat Akira gugup, malu, dan susah berbicara. Mom dan Dad pernah mengira dia penderita Agoraphobia —ketakutan di tempat-tempat terbuka atau banyak orang— walau terbukti tidak benar. Mereka bingung kenapa Aria bisa mendapat banyak teman sementara Akira tidak. Jangankan Mom atau Dad, Akira sendiri juga masih bingung dan terheran-heran. Mungkin karena dia terlalu cerdas dan lemah dalam fisik? Bisa jadi. Riki pernah bilang kalau Akira harus pintar dalam bidang olahraga, walau sampai sekarang dia masih payah.

    Saat ini Aria sedang memilah-milah harga baju di salah satu toko. Aria terlihat menikmati momen-momen memilih pakaian, terukir dari ekspresi kesenangannya. Sementara Akira terbebani barang-barang berat miliknya.

    “Ari, berapa lama lagi kamu berbelanja? Barang-barangmu ini sungguh berat,” gerutu Akira.
    “Resiko kalau jadi cowok.”
    Sialan. “Tapi ini enggak adil, Ari.”
    “Memangnya aku peduli?”
    Argh! Rasanya frustasi bila memiliki kakak sepertinya.

    “Ari, kalau kamu enggak buru-buru, aku akan—”
    Buk!
    Badan Akira terhempas ke belakang karena tertabrak sesuatu —atau seseorang— dan membuat barang-barang belanja Aria ikut terjatuh ke mana-mana. Aria yang melihatnya langsung panik dan buru-buru mengambil barang-barangnya, bukan menolong adiknya terlebih dahulu. Dasar kakak tak tahu benar. Kenapa dia malah sibuk mengecek barang-barang miliknya?

    “Aduh, Nak! Maaf banget! Tadi Tante enggak lihat.”

    Seorang wanita berusia pertengahan tahun, memakai baju motif bunga mawar dengan warna yang berbeda, sepatu hak tinggi yang tidak serasi, dan tas besar ukura ibu rumah tangga. Tangannya menopang tubuh Akira supaya ia bisa berdiri dan membereskan kekacauan yang sudah ia lakukan.

    “Kamu enggak kenapa-napa kan? Apa ada yang terluka? Apa ada yang berdarah? Apa kamu pusing? Lelah? Mual? Capek?”

    Diberi pertanyaan sebanyak itu tentu membuat Akira bingung. Belum lagi, wanita ini bertanya dengan cepat-cepat dan terburu-buru, seolah-olah dikejar sesuatu. Orang lain pun pasti juga bingung jika diberi pertanyaan dengan cepat, apalagi jika banyak.

    “E-Enggak apa-apa, Tan. Aku oke-oke aja.”
    “Oh, baguslah. Tante sempat takut kamu terluka atau semacamnya.”
    “Hei, Kira! Kenapa kamu bisa jatuh?” tanya Aria dengan wajah sebal. Yah, wajar saja kenapa Aria bisa sebal.
    “Aku kan enggak sengaja. Lagian, kenapa kamu malah mempedulikan barang-barang kamu, bukan adikmu sendiri?”
    “Ya ampun. Kamu ini kan udah besar. Memangnya masih perlu kuurus?”

    Akira menggeleng kepala. Beruntung Akira masih bisa menahan emosi, tidak seperti kakaknya yang mudah berbawa emosi yang tidak jelas. Apa namanya? Ya, labil.

    “Maaf ya. Tante enggak ada maksud buat kamu terluka.”
    “Iya, Tante. Aku tahu kok. Tante enggak perlu khawatir.”
    “Mana mungkin Tante enggak khawatir?” wanita itu terdiam sejenak lalu tiba-tiba berseru, “Ah! Tante tahu!”
    Dia merogoh tas besarnya, mencari-cari sesuatu di dalamnya. Butuh waku beberapa menit sebelum ia menemukan apa yang hendak ia cari. Ketika tangannya keluar, dia menggenggam sebuah kertas panjang yang menampilkan gambar buku-buku, di mana tulisan TOKO BUKU LEBLANC tercetak besar dan ditulis menggunakan gaya yang menarik.

    “Kupon pembelian buku?” guman Akira.
    “Kebetulan Tante pemilik toko buku di sekitar sini. Kalau kamu mau membeli buku lama Tante, kamu boleh-boleh aja datang. Mau?” tawarnya.
    “Tentu. Kenapa enggak?”

    Dari dalam hati, Akira sudah berteriak kegirangan. Mendapat kupon pembelian buku merupakan hal yang sangat ia harapkan. Sebagai anak yang gemar membaca buku, mendapatkan kupon pembelian buku merupakan hal yang Akira harapkan. Kesempatan ini tidak akan selalu ia dapatkan setiap saat.

    “Kupon beli buku? Serius? Dan kamu malah senang?” tanya Aria heran. Aria bukan maniak buku seperti adiknya tapi bukan berarti Aria tidak suka membaca. Dia masih mau membaca buku bergenre romance dan teenlit walau hanya sedikit saja. Masalahnya adalah Akira sering membeli buku-buku pelajaran sekolah dan sejarah dunia yang ketebalannya bisa mencapai 1000 halaman. Jangankan 1000 halaman, memiliki buku mata pelajaran setebal 200 halaman —seperti Matematika— saja sudah membuat otak Aria pusing tujuh keliling. “Memangnya Tante menjual buku-buku sejarah atau materi mata pelajaran SMA?”

    “Oh, Tante punya banyak. Kalau kamu mau membeli buku, kamu bisa ke sana.” Dia melirik jam arlojinya lalu terkesiap. “Astaga, aku telat! Aku pergi dulu, Anak-anak!”
    Sebelum Aria maupun Akira merespon jawabannya, wanita itu pergi dengan lari yang cepat.

    “Dia sangat… aneh,” ujar Aria.
    “Ya. Tapi menyenangkan,” balas Akira.
    “Ya sudah. Ayo kita teruskan jalan-jalannya. Masih ada banyak hal yang ingin kubeli.”

    Sesampainya di rumah, Aria mengeluarkan 6 pakaian barunya dengan perasaan gembira. Aria tidak sabar memperlihatkan baju-bajunya kepada Melisa, Delie, Vaina, dan Gwen. Pasti mereka akan suka sekali dengan baju-bajunya.

    Aria tidak melihat Akira ke kamarnya. Kamar Aria dan Akira terletak cukup dekat satu sama lain, jadi dari balik pintu daun mereka bisa melihat siapa saja yang melewati kamar mereka. Ah, benar juga. Akira sedang mencari buku-buku materi untuk kelas 11 mendatang di toko buku terdekat. Ujian Akhir Sekolah sudah tinggal beberapa hari lagi dan Aria masib belum mengulangi setiap materi yang akan keluar di ujian. Argh, Aria tidak suka belajar. Apalagi yang materinya susah seperti Matematika atau Fisika.

    Lebih baik kulihat internet dulu. Mumpung masih ada waktu, batinnya.

    Tangan Aria refleks memeriksa berita-berita di beberapa situs website. Aria menemukan halaman berjudul PEMBATALAN KONSER JAZ WARDEN, SANG PENYANYI MENGHILANG yang menjadi berita hits nomor satu. Refleks, Aria meng-klik halaman berita tersebut dan sebuah artikel pun muncul di layar.

    PEMBATALAN KONSER JAZ WARDEN, SANG PENYANYI MENGHILANG

    Senin (26/02), konser Jaz Warden bertema “Lovely Flower” terpaksa dibatalkan di Jakarta karena keberadaan sang penyanyi yang menghilang tanpa kabar. Terakhir kalinya Jaz terlihat saat ia sedang berada di kamarnya, hendak mempersiapkan diri. Tidak ada siapa pun yang pernah melihatnya lagi.

    Menurut sang manager, Jaz sering mendapat banyak pesan dan telepon anonim beberapa minggu terakhir. Tidak diketahui siapa dan bagaimana si pengirim mengetahui alamat pribadi Jaz yang tidak pernah ia tampilkan. Kemungkinan besar Jaz menerima ancaman dari seseorang yang membencinya, mengingat Jaz Warden memiliki banyak haters dan saingan di dunia musik sejak karirnya mulai menaik.

    Hingga kini, pihak kepolisian masih mengadakan pencarian menyeluruh Jaz di daerah Jakarta. Polisi meminta siapa saja yang melihat atau mengetahui keberadan Jaz bisa menghubungi pihak polisi atau pihak manager supaya proses pencarian Jaz bisa cepat ditemukan.

    Berita itu cukup mengejutkan Aria. Bagaimana tidak? Aria dan keempat temannya merupakan penggemar lagu-lagu Jaz Warden semenjak SD. Lagu-lagunya yang menarik dan indah, mampu menyihir siapa saja yang mendengarnya. Tentunya Aria ingat dengan Meg Ross, salah satu penyanyi sekaligus model majalah fashionista ternama yang bersaing keras dengan Jaz. Yang pasti, besok keempat temannya akan mulai merengek seperti bayi, mengoceh panjang-lebar dengan kabar menghilangnya Jaz dan konsernya yang terpaksa dibatalkan. Sejujurnya Aria sebal dengan berita ini. Padahal ia ingin sekali menemui Jaz dan kalau bisa meminta tanda tangan di album sebelumnya.

    “Aaah! Kenapa konsernya harus dibatalkan sih?! Padahal aku harus menabung selama enam bulan demi beli tiketnya!” teriak Aria kesal.
    “Ari, berhenti berteriak! Aku sedang sibuk belajar!” sahut Akira dari balik dinding kamarnya. Sepertinya dia sudah pulang.
    Aria menghembus napas panjang lalu menatap jam kamarnya. Sepertinya dia perlu melakukan kegiatan lain hingga waktu tidur.

    Akira paling benci bila waktu belajarnya diganggu.
    Orang lain mungkin tidak akan mau belajar materi kelas 11 seperti yang Akira lakukan saat ini. Wajar saja, zaman sekarang remaja-remaja lebih malas dan lebih ingin santai. Apa ada orang yang ingin menghabiskan waktunya demi belajar materi pelajaran yang bahkan guru-guru di sekolah saja masih belum bahas? Mungkin hanya Akira saja yang akan melakukan hal semacam itu.

    Saat Akira hendak menjawab soal Matematika nomor 26, ponsel pintarnya bergetar di meja. Layar menampikan nama si penelepon yakni Riki.

    Akira menghembuskan napas pelan dan mengangkat panggilan. “Kenapa, Rik? Aku lagi belajar. Tolong jangan ganggu—”
    “Aki, kamu enggak bakal percaya dengan apa yang akan kusampaikan!”
    “Riki, jangan panggil aku Aki. Aku bukan mesin kendaraan.”
    “Whatever,” sahut Riki tidak peduli sama sekali. “Kembli ke pembicaraan, aku mau menyampaikan sesuatu—”
    “Kuharap ini bukan soal insiden batu semen seminggu lalu. Aku harus membersihkan seragamku sebanyak sepuluh kali.”
    “Tenang, kawan. Yang ini jauh lebih besar.”
    Akira menunggu hingga Riki berujar, “Philip udah punya pacar! Kali ini Leni!”
    Astaga. Lagi?, tanya Akira dalam hati.
    “Gila, bukan? Kudengar kali ini dia memakai lagu yang dia buat sendiri buat Leni mau jadi pacarnya! Aku yakin Yuno bakal menangis banget—”

    Tangan Akira langsung mengakhiri panggilan Riki yang sangat tidak bermutu. Riki meneleponnya demi memberikan kabar soal temannya yang sudah berpacaran lagi? Membuang waktu berharga Akira untuk belajar. Kalau Riki mau menyampaikan berita itu, lebih baik disampaikan kepada Aria saja. Mungkin Aria yang sedang kesal entah apa bisa sedikit terhibur dengan berita itu.

    Omong-omong soal tidak bermutu, Akira teringat dengan percakapan ia dengan Aria beberapa hari setelah ia pindah ke rumah. Saat itu ada salah satu teman Aria berkunjung ke rumah saat liburan sekolah—kalau tak salah, namanya Isabel. Isabel yang pertama kali melihat keberadaan Akira mulai menanyai berbagai hal padanya. Mulai dari yang pribadi seperti hobi, sekolah, pergaulan, lingkungan rumah, dan masih banyak lagi. Tapi yang membuat Akira cukup heran adalah pertanyaan: “Apa kamu sudah punya pacar?”
    “Hah?”
    “Pacar. Apa saat kamu bersekolah di LA, kamu sudah punya pacar?”
    “Pacar? Buat apa aku punya pacar?”
    “Buat apa? Buat apa? Kamu seharusnya tahu kan. Kenapa kamu malah bertanya buat apa punya pacar?”
    “Maksudku, memangnya untuk apa aku berpacaran? Bukannya masih ada hal-hal yang lebih penting seperti belajar?”
    “Belajar? Hanya itu yang ada di benakmu?”
    “Memangnya salah? Bukankah belajar adalah hal yang diperlukan pelajar sebelum kuliah? Berpacaran merupakan hal yang tidak bermanfaat untukku.”
    Saat itu Isabel menampikan ekspresi heran dan kejengkelan lalu berangsut pergi. Akira mendengar suara “Orang aneh” dari balik mulutnya. Orang lain mungkin tidak mendengarnya tapi ia mendengarnya. Sepertinya dia sengaja melakukannya.

    Sekitar beberapa menit kemudian, Aria menarik Akira ke koridor, menjauhinya dari teman-temannya yang berkumpul di ruang tamu, mengambil kue tar buatan Tante Ira.
    Aria melirik ke arah ruang tamu, mungkin sedang memastikan tidak ada yang mendengarnya. Setelah terlihat yakin, Aria berkata, “Kira, kamu tadi bilang apa sama Isabel?”
    “Bilang apa?” tanya Akira kembali. “Aku hanya memberitahunya tentang jawabanku.”
    “Kira, kamu buat Isabel kesal. Dia bilang kalau kamu secara respon sudah menyinggungnya.”
    Akira semakin kebingungan. “Menyinggungnya? Tapi aku hanya bilang untuk apa aku punya pacar dan pacaran enggak penting buatku. Memangnya itu menyinggungnya?”
    “Itu jelas menyinggungya. Isabel punya pacar bernama William. Kamu beruntung Will tak bisa datang karena ada urusan. Kalau dia ada di sini, kamu akan terkena masalah besar dengannya dan aku tidak bercanda soal itu.”
    “Tapi bukankah memang begitu kenyataannya?”
    Aria menghela napas panjang sebelum berkata, “Kira, enggak semua orang berpikir begitu—”
    “Mom berpikir begitu,” sela Akira.
    “Beda pendapat, Kira. Kamu seharusnya tahu. Bagi teman-temanku, hal itu cukup… Yah, sebut saja penting.”
    “Aku enggak paham kenapa penting.”
    “Karena pola pikirmu itu berbeda. Akira, kamu harus belajar untuk berubah dan mengerti keadaan. Terkadang pernyataanmu itu enggak selalu bisa diterima orang-orang di sini. Terkadang pola pikirmu itu dianggap aneh, gila, dan membosankan. Menurutmu kenapa kamu dijauhi orang lain selama ini?”

    Akira mengakui bila perkataan Aria mungkin ada benarnya. Tapi sampai sekarang pun, Akira belum mampu memahami pola pikir teman-teman sekolahnya. Tinggal bersama Mom di LA membuat Akira bersikap lebih mandiri dan lebih dewasa. Bahkan Akira saja masih belum memahami isi pikiran kakaknya sendiri yang berubah mood.

    Akira meletakkan pulpen di depannya, selesai merangkum tiga materi awal pelajaran Kimia.

    Lebih baik aku belajar Biologi untuk UAS daripada memikirkan hal yang enggak penting lagi, pikirnya.

    Cerpen Karangan: Kir Vanessa

    Artikel Terkait

    Nameless Circus (Part 1)
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email