Rabu Dini Hari

Baca Juga :
    Judul Cerpen Rabu Dini Hari

    “Toolloonggg!!”

    Aku langsung terbangun dengan nafas tercekat. Tubuhku menegang seketika. Kaku dan tidak bisa digerakkan sama sekali. Tubuhku merasa seolah-olah aku yang merasakan itu ketika terdengar jeritan itu. Tanganku mengepal kuat, seolah-olah menahan sakit. Jeritan itu terus saja terulang dan membuatku semakin menegang.

    “Toloo…!!”

    Jeritan ke-5 selalu sama. Seolah tertelan sesuatu. Dan kemudian senyap. Aku pun sama. Tubuhku mulai mengendur. Hanya deru nafasku yang kudengar sendiri. Meskipun debaran jantungku tidak lagi sekencang tadi, tapi tetap saja aku belum berani bergerak.

    Aku baru berani bergerak setelah setengah jam. Aku melakukan kegiatan yang sama, yaitu melirik melalui jendela yang mengarah langsung ke rumah kosong di samping rumahku. Sumber suara selalu sama. Tapi entah mengapa selalu tidak ada yang mendengarnya. Kenapa hanya aku yang mendengarnya?

    Kejadian ini terjadi sejak 3 bulan yang lalu. Selalu setiap Rabu dini hari, aku mendengar suara jeritan dari rumah sebelah. Di awal-awal kejadian aku mengira itu perbuatan makhluk halus. Siapa yang tidak beropini seperti itu? Di rumah kosong terdengar suara jeritan, bukankah itu ulah hantu?

    Seperti biasa, aku tidak bisa melihat apa-apa karena gelap. Rumah itu benar-benar tanpa penerangan. Bahkan salah seorang temanku mengira rumahku ini dekat hutan, karena tumbuhan yang lebat di depan rumah, seolah-olah rumah itu ditutupi hutan belantara.

    Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku keluar dari rumahku. Aku berangkat kerja sekaligus ingin memastikan tebakanku. Sebelum itu aku hanya berdiri di depan pintu dan mengamati warga-warga lain yang berlalu lalang dengan panik dan penasaran. Pemandangan yang biasa setiap harinya di hari Rabu.

    Benar saja, orang-orang sudah berkumpul di depan rumah kosong itu. Aku pun langsung menyusul mereka. Garis polisi telah terpasang menutup pintu masuk perkarangan rumah itu. Para wartawan tengah memotret kejadian tersebut. Sementara aku, aku hanya menyapa polisi yang biasa menanyaiku diawal-awal kejadian.

    “Apa masih sama?” Tanyaku pada polisi tersebut. Polisi itu datang setiap hari Rabu pagi. Seperti rutinitas.
    “Kamu benar-benar tidak tahu apa-apa? Kamu tidak mencoba mengintip?” Tanyanya. Sebenarnya dia sudah berhenti menanyaiku sejak 2 minggu yang lalu. Dia mungkin sudah bosan mendengar bahwa aku tidak melihat apa-apa
    “Gelap. Aku tidak bisa melihatnya. Tubuhku saja sudah kaku ketika mendengar jeritan itu. Dan aku sendirian, aku takut.” Jawabku. Juga jawaban yang sama dengan sebelum-sebelumnya.
    “Jawab pertanyaanku yang tadi, apa masih sama?”
    “Ya, Luka-luka sayatan dan sulutan rokok. Ahhh… kenapa aku memberitahumu?” Jawabnya menyesal, tapi ia masih tersenyum.

    Aku keluar dari kerumunan setelah memastikan polisi itu kembali bekerja. Aku berjalan dengan santai. Ya, aku bisa santai di pagi harinya jika korban ditemukan. Namun, ketika korban tidak ditemukan seperti 3 minggu yang lalu, aku selalu berjalan dengan was-was meskipun di siang hari.

    Langkahku terhenti setelah merasa jauh dari kerumunan. Ketika berjalan tadi, mataku menangkap sosok laki-laki dengan tudung jaket menutupi kepalanya. Tidak salah lagi, laki-laki itu yang selalu hadir di tengah keramaian dan menghilang tiba-tiba. Siapa laki-laki itu? Aku mengenal seluruh orang di kompleks, tapi kenapa aku tidak bisa mengenalinya? Benar memang dia tertutup seperti itu, tapi biasanya aku bisa mengenali dengan mudah. Siapa dia?

    Di kantor, berita tentang pembunuhan berantai sudah menyebar. Aku hanya mengamati rekan kerja di depanku yang sedang membaca berita dari salah satu media online. Aku sudah bisa menebak apa headlinenya, jadi aku tidak perlu membaca lagi. Dan kejadiannya? Aku juga tidak perlu untuk bertanya ada apa. Ini sudah biasa.

    “Kamu tidak takut? Kejadian ini terus berlanjut, loh.” Tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
    “Aku ketakutan setengah mati. Jeritannya terdengar sampai kamarku, bagaimana aku tidak ketakutan? Kamu bisa bayangkan, ditengah malam –tidak, itu dini hari… Wanita itu berteriak dan di pagi harinya seorang wanita ditemukan tewas di samping rumahku? Tidak bukan…” Aku menjelaskan dengan panjang lebar. Antara rasa takut dan emosi.
    “Bukannya kamu ingin mereka mati seperti itu?” Tanyanya kali ini membuatku meremang. Dan aku memandangnya. Dan aku terdiam seketika.
    “Malam itu, kamu bilang padaku kamu ingin wanita-wanita tuna susila itu mati dengan cara mengenaskan, bukan? Bukannya harusnya kau merasa senang sekarang?”
    Aku masih memandang rekan yang duduk di bangku depan itu dengan tatapan ngeri. Rekanku itu hanya memandangku dengan biasa. Bahkan sangat biasa.
    “Kenapa memandangku seperti itu?”

    Hari ini datang, teror Rabu dini hari akan segera dimulai. Aku tidak akan berada di kamar itu ketika terror itu berlangsung. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.15. Itu artinya 15 menit lagi terror itu terjadi. Aku masih mengerjakan pekerjaanku di ruang tamu ini. Akankah itu menjadi lebih menakutkan?

    Aku menoleh ke arah jendela. Kengerian kembali menjalari diriku. Aku tidak tahu ini perasaanku saja atau memang ada seseorang yang sedang berlari. Dia berlari sambil berteriak. Itu yang kudengarkan saat ini. Suara itu semakin lama semakin mendekat.

    Aku mengambil ponselku di meja secepat mungkin. Semakin suara itu mendekat tubuhku semakin kaku. Aku tidak peduli adanya kesalahan pengetikan dalam pesanku, yang penting aku sudah mengirimnya. Tapi tetap saja aku aku masih belum merasa aman. Suara itu semakin terdengar.

    Dor… dor… dor

    Nafasku tercekat. Tubuhku semakin kaku ketika mendengar suaranya. Suara itu begitu miris terdengar. Sambil memohon untuk dibukakan pintu, ia terus saja berteriak.

    “Aku mohon… Tolooonggg! Buka pintunya!!!!!” Teriaknya sambil manangis.

    Aku terbangun dari dudukku. Jantungku berdebar begitu kencang. Tapi rasa penasaranku selama 3 bulan ini begitu kuat. Dan ini saatnya aku mengetahui itu… atau bahkan menyelamatkan wanita itu.

    Pintu terbuka dan wanita itu langsung masuk. Aku membiarkannya. Ia berdiri menahan pintu. Deru nafasnya begitu memburu dan matanya tertutup.

    Rambut wanita itu berantakan. Make up-nya lebih berantakan. Bajunya sangat ketat dan berkilauan. Korban selanjutnya?

    Dor… dor… dor

    Nafasku kembali tercekat. Ia juga merasakan hal yang sama. Kami saling berpandangan. Tatapannya begitu nanar dan mungkin tatapannya sama denganku.

    Tanganku menariknya menjauh dari pintu. Aku tidak tahu itu tindakan yang benar atau salah. Tapi aku rasa lebih aman jika aku menariknya. Bayangan dia tertusuk benda tajam dari luar mendorongku untuk melakukan itu. Tuhan… selamatkan kami.

    Gedoran pintu itu semakin keras. Aku rasa gedoran itu bukan lagi berasal dari tangan. Pintuku sepertinya tidak lagi diketuk menggunakan tangan tetapi sebuah benda tumpul yang mungkin itu kayu. Dan kemudian aku sadar akan sesuatu.

    Tidak lama pintu itu terbuka dengan paksa. Seorang laki-laki dengan pemukul kayu dan rokok terlihat. Ia menggunakan celana jeans dan jaket hitam dengan tudung yang melindungi kepalanya. Laki-laki itu langsung menampilkan wajahnya dan menatap kami.

    “Kemarikan wanita itu, Alana,” Ucapnya dingin.

    Tubuhku menegang begitu mendengar ucapannya. Mataku menatapnya tajam sementara wanita itu terus memegangi tanganku. Bagaimana bisa? Kenapa?

    “Apa yang kamu lakukan?” Jawabku.

    Suaraku bergetar, aku bisa merasakannya. Bahkan sebenarnya aku tidak yakin apakah suaraku bisa muncul. Tapi sepertinya memang bisa ia dengar. Nafasku semakin tercekat begitu ia membuka tudungnya.

    “Bukankah kamu yang meminta ini? Jadi serahkan wanita itu padaku biar bisa kubunuh sekarang,” ucapnya semakin dingin. Kali ini disertai seringai di wajahnya.
    “Jangan! Aku tidak memintamu… Aku tidak pernah memintamu Davin.” Ucapku berusaha menyadarkannya.

    Ia memukul lantai dengan pemukulnya. Kami langsung menegang. Pegangan wanita itu semakin kencang. Tuhan… selamatkan kami.

    “Kamu ingat malam itu? Kamu ingin wanita seperti itu lenyap bukan? Aku mewujudkannya untukmu agar kamu senang, Lana. Dan sekarang kenapa kamu melarangku?”

    Ia mendekat. Kami tidak bisa apa-apa. Kami di pojok ruangan ini sekarang. Aku hanya bisa berdoa agar tidak terjadi apa-apa sekarang.

    “Lana, aku mohon serahkan wanita itu.” ucapnya semakin mendekat hingga ia berada tepat di depanku. Tapi ia tidak melakukan apapun.
    “Kamu gila, aku tidak akan menyerahkannya. Sebentar lagi polisi akan datang Davin,” ucapku gemetar. Oke, aku mengatakan hal yang salah.

    Matanya memerah. Ia menatapku dengan tajam. Tubuhku menegang seketika. Ya, aku melakukan kesalahan.

    Tiba-tiba ia mengayunkan pemukulnya ke tubuh wanita itu. Aku berteriak. Dia juga berteriak. Tapi, Davin terus saja memukuli wanita itu meskipun aku dan wanita itu terus memohon.

    Tidak lama, seorang pria yang kukenali masuk rumahku beserta rombongan. Ia menodongkan sebuah pistol ke arah Davin. Sementara rombongannya hanya mengekor tetapi mereka juga bersiap mengeluarkan sebuah pistol.

    “Hentikan!” ucapnya membuat Davin berhenti.

    Aku dengan jelas melihat seringai di wajahnya. Tapi ia terlihat pasrah. Entah apa maunya. Dan saat itu rombongan menangkapnya. Ia tidak melawan.

    Aku terheran. Begitupula orang-orang yang ada di sana. Wanita di sampingku terisak kesakitan. Sementara seseorang yang kukenal itu menatapku.

    “Baiklah, aku melakukannya untuk membuatmu bahagia. Saat ini maupun dulu, Alana.”

    Cerpen Karangan: Eka Indrayani
    Blog: mewkakara.blogspot.com

    Artikel Terkait

    Rabu Dini Hari
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email