Judul Cerpen Terlahir Kembali
Kau tahu? Aku bukan tidak bersyukur, hanya saja meminta kehidupan yang sedikit lebih baik. Ah, ya. Tepatnya memang aku ini sedikit kurang bersyukur dengan apa yang kujalani selama 16 tahun ini.
Aku hidup dan dibesarkan oleh keluarga yang sedikit berantakan. Tidak separah broken home, memang. Tetapi setiap harinya selalu saja kudengar pertengkaran kecil besar dari mulut kedua orangtuaku. Mereka membesarkan suatu masalah kecil, tapi tidak pernah mengecilkan masalah besar. Ya, mungkin di antara kalian pernah merasakan hal seperti ini.
‘Afnan Faizah’ sebuah nama pemberian dari kakek ketika satu bulan sebelum aku terlahir ke dunia. Nama itulah yang nyaris tak dikenali siapapun selain kakek, orangtuaku, dan beberapa teman yang memiliki daya ingat bagus untuk orang sepertiku. Bahkan, teman-teman yang lain, juga guru, atau sekedar kerabat sering terlupa akan nama itu. Yang mereka ingat tentangku hanyalah ‘Izah’ -seorang gadis pendiam. Kupikir begitu.
Sebenarnya aku ini bukanlah orang yang anti sosial, hanya saja keberadaanku ini yang jarang dianggap. Dari pertamaku masuk Sekolah Dasar, hal yang paling sulit bukanlah soal matematika ataupun membaca, tetapi mencari teman!
Walaupun mungkin aku selalu terlihat tegar dan baik-baik saja dikala sendiri, sebenarnya aku merasa amat kesepian. Seorang ‘Izah’ membutuhkan teman walaupun hanya satu. Ya, satu saja tak apa.
Semilir angin dimalam hari terasa amat menenangkan, indahnya cahaya bulan yang sesekali tertutup awan hitam itu pun membuatku semakin larut dalam lamunan. Sebuah lamunan harapan dan berbagai kemungkinan.
Aku selalu berkhayal, bagaimana kalau suatu hari nanti aku terbangun menjadi aku yang baru. Bak terlahir kembali. Dengan nama baru, lingkungan baru, kehidupan yang baru! Ah, tampaknya akan menyenangkan sekali, ya. Jikalau di lingkungan tersebut aku benar-benar menjadi seseorang yang kuinginkan.
Refleks, senyumanku pudar ketika mendengar suara petir menyambar. Bukankah sedari tadi langit baik-baik saja? Apa Yang Maha Kuasa marah terhadap lamunanku?
Seketika hujan deras. Aku menutup jendela kamar dan segera berbaring di atas kasur sederhana, membalut tubuhku dengan selimut tipis peninggalan kakakku yang telah meninggal dua tahun lalu.
Malam amat terasa singkat, hingga pagi ini aku kembali menjalani rutinitas membosankan. Aku harus pergi ke sekolah dengan sedikit berjalan kaki terlebih dahulu untuk sampai di jalan besar.
Sepagi ini jalanan masih sepi, aku terpaksa berangkat lebih awal karena harus piket di kelas. Pikiranku masih tertuju pada lamunan semalam, benar-benar terasa nyata! Sembari menunggu angkutan umum, aku asyik membayangkan hal-hal indah jikalau aku terlahir kembali. Menyenangkan sekali, sampai bibir ini tak bisa berhenti tersenyum.
Kalau aku terlahir kembali, apa aku boleh menentukan sendiri namaku? Haha. Aku sangat jatuh cinta pada nama ‘Sena’ entah mengapa. Tetapi nama itu seperti memiliki makna tersendiri di hatiku.
Bunyi klakson mobil yang bising mengganggu telingaku. Hampir saja aku meledak, dan memarahi sang pengendara. Tetapi itu tidak mungkin, karena saat ku menoleh, beberapa detik lagi mobil mewah berwarna silver itu akan menghantam tubuhku.
Aku tak bisa merasakan apapun, penglihatanku kabur. Yang kulihat hanyalah langit biru tanpa awan sedikitpun, dan seseorang sepertinya tengah membanting pintu mobil, “Apa kau tidak apa-apa?”. Ah, apa aku akan mati?
Semerbak bau obat-obatan merasuki hidungku. Aku terbangun dengan keadaan lemas, aku tak tahu apa yang terjadi. Di ambang pintu sana, terlihat olehku seorang lelaki yang mungkin satu atau dua tahun lebih tua dariku tengah berbicang serius dengan seorang dokter, di sampingnya ada wanita yang tidak tergolong muda, tetapi tidak tergolong tua pula menatapku dengan khawatir. Yang pertamakali keluar dari mulutku ini adalah kata, “Mama.”
Ketiga orang itu pun menghampiriku dengan langkah yang cepat. Dokter memberitahu aku harus banyak beristirahat.
“Mama.” Entah apa tujuanku terus memanggil ‘Mama’ yang padahal, saat ini aku tak tahu di mana mamaku, dan bahkan aku tak tahu siapa aku. Lelaki dan wanita itu saling berpandangan, “Iya sayang, ini mama.” Wanita yang sama sekali tak kukenali itu memegang tanganku dengan erat.
Satu minggu berlalu, aku sudah boleh meninggalkan rumah sakit sekarang. Dengan wanita dan lelaki yang selalu menjagaku di rumah sakit, aku memasuki rumah yang asing. Mereka berkata kalau ini rumahku, juga rumah mereka. Wanita itu ternyata ibuku, dan lelaki itu bernama Karel, dia kakakku. Kenapa aku tak bisa mengingatnya sama sekali?
“Kalau ada apa-apa, panggil saja aku di ruang TV.” Lelaki berpipi tirus itu tersenyum dan menutup pintu kamar.
Melihat foto-foto itu, rasanya aku sudah tak sabar untuk segera pulih dan mengingat semuanya yang terjadi padaku. Pasti aku ini gadis periang dan memiliki banyak teman!
Kamar ini tampak sudah lama sekali tak terpakai, padahal aku hanya dirumah sakit selama satu minggu? Ah, aku lupa menanyakan namaku!
“Kakak!” panggilku pada Karel, seraya menuruni setiap anak tangga. Samar-samar terdengar suara Karel menyahut, “Ada apa?”
“Siapa namaku?” tanyaku dengan polosnya duduk disamping Karel, kakakku.
Ia mengernyit, berpikir untuk beberapa detik, “Kurasa, aku akan memanggilmu ‘Sena’.”
“Sena?” aku seperti mengenali nama itu. Seketika kepalaku pusing, pandanganku kabur. Aku seperti tengah berusaha mengingat sesuatu. Argh! Tapi apa itu?
“Hei apa kau tidak apa-apa?” -suara Karel itu hanya membuat kepalaku semakin berat.
Bagai ada sebuah film tayangan yang hinggap di pikiranku saat ini. Aku terus memegangi kepala yang seakan hendak pecah ini. ‘Film’ itu terus menayangkan seorang gadis yang kesepian, keluarga yang berantakan, jalanan yang sepi, mobil berwarna silver, sebuah kecelakaan, dan … Dan gadis itu adalah aku! Benar, itu aku. Aku yang kesepian, lahir dari keluarga yang tak pernah akur, dan kecelakaan itu, kecelakaan itulah awal mulanya!
Aku ingat sekarang! Aku ingat siapa diriku, dan aku ingat apa yang menimpaku.
Tetapi …
“Apa kau sakit?” tanya Karel.
“Ah?” aku menggeleng, “Aku menyukai nama itu.” kataku tersenyum.
Tetapi, bukankah ini yang kuinginkan? Mungkin, saat ini dan kedepannya aku tak pernah lagi merasa kesepian, karena aku memiliki Kakak, sekarang. Aku pun tak perlu risau dengan pertengkaran orangtua, karena Mamaku yang sekarang ini adalah seorang janda kaya raya. Aku pun pasti akan memiliki banyak teman. Haha. Tuhan memang selalu punya banyak cara untuk mengabulkan harapanku. Haha.
Cerpen Karangan: Dina Ans
Facebook: facebook.com/CerpenAnsDina
Kau tahu? Aku bukan tidak bersyukur, hanya saja meminta kehidupan yang sedikit lebih baik. Ah, ya. Tepatnya memang aku ini sedikit kurang bersyukur dengan apa yang kujalani selama 16 tahun ini.
Aku hidup dan dibesarkan oleh keluarga yang sedikit berantakan. Tidak separah broken home, memang. Tetapi setiap harinya selalu saja kudengar pertengkaran kecil besar dari mulut kedua orangtuaku. Mereka membesarkan suatu masalah kecil, tapi tidak pernah mengecilkan masalah besar. Ya, mungkin di antara kalian pernah merasakan hal seperti ini.
‘Afnan Faizah’ sebuah nama pemberian dari kakek ketika satu bulan sebelum aku terlahir ke dunia. Nama itulah yang nyaris tak dikenali siapapun selain kakek, orangtuaku, dan beberapa teman yang memiliki daya ingat bagus untuk orang sepertiku. Bahkan, teman-teman yang lain, juga guru, atau sekedar kerabat sering terlupa akan nama itu. Yang mereka ingat tentangku hanyalah ‘Izah’ -seorang gadis pendiam. Kupikir begitu.
Sebenarnya aku ini bukanlah orang yang anti sosial, hanya saja keberadaanku ini yang jarang dianggap. Dari pertamaku masuk Sekolah Dasar, hal yang paling sulit bukanlah soal matematika ataupun membaca, tetapi mencari teman!
Walaupun mungkin aku selalu terlihat tegar dan baik-baik saja dikala sendiri, sebenarnya aku merasa amat kesepian. Seorang ‘Izah’ membutuhkan teman walaupun hanya satu. Ya, satu saja tak apa.
Semilir angin dimalam hari terasa amat menenangkan, indahnya cahaya bulan yang sesekali tertutup awan hitam itu pun membuatku semakin larut dalam lamunan. Sebuah lamunan harapan dan berbagai kemungkinan.
Aku selalu berkhayal, bagaimana kalau suatu hari nanti aku terbangun menjadi aku yang baru. Bak terlahir kembali. Dengan nama baru, lingkungan baru, kehidupan yang baru! Ah, tampaknya akan menyenangkan sekali, ya. Jikalau di lingkungan tersebut aku benar-benar menjadi seseorang yang kuinginkan.
Refleks, senyumanku pudar ketika mendengar suara petir menyambar. Bukankah sedari tadi langit baik-baik saja? Apa Yang Maha Kuasa marah terhadap lamunanku?
Seketika hujan deras. Aku menutup jendela kamar dan segera berbaring di atas kasur sederhana, membalut tubuhku dengan selimut tipis peninggalan kakakku yang telah meninggal dua tahun lalu.
Malam amat terasa singkat, hingga pagi ini aku kembali menjalani rutinitas membosankan. Aku harus pergi ke sekolah dengan sedikit berjalan kaki terlebih dahulu untuk sampai di jalan besar.
Sepagi ini jalanan masih sepi, aku terpaksa berangkat lebih awal karena harus piket di kelas. Pikiranku masih tertuju pada lamunan semalam, benar-benar terasa nyata! Sembari menunggu angkutan umum, aku asyik membayangkan hal-hal indah jikalau aku terlahir kembali. Menyenangkan sekali, sampai bibir ini tak bisa berhenti tersenyum.
Kalau aku terlahir kembali, apa aku boleh menentukan sendiri namaku? Haha. Aku sangat jatuh cinta pada nama ‘Sena’ entah mengapa. Tetapi nama itu seperti memiliki makna tersendiri di hatiku.
Bunyi klakson mobil yang bising mengganggu telingaku. Hampir saja aku meledak, dan memarahi sang pengendara. Tetapi itu tidak mungkin, karena saat ku menoleh, beberapa detik lagi mobil mewah berwarna silver itu akan menghantam tubuhku.
Aku tak bisa merasakan apapun, penglihatanku kabur. Yang kulihat hanyalah langit biru tanpa awan sedikitpun, dan seseorang sepertinya tengah membanting pintu mobil, “Apa kau tidak apa-apa?”. Ah, apa aku akan mati?
Semerbak bau obat-obatan merasuki hidungku. Aku terbangun dengan keadaan lemas, aku tak tahu apa yang terjadi. Di ambang pintu sana, terlihat olehku seorang lelaki yang mungkin satu atau dua tahun lebih tua dariku tengah berbicang serius dengan seorang dokter, di sampingnya ada wanita yang tidak tergolong muda, tetapi tidak tergolong tua pula menatapku dengan khawatir. Yang pertamakali keluar dari mulutku ini adalah kata, “Mama.”
Ketiga orang itu pun menghampiriku dengan langkah yang cepat. Dokter memberitahu aku harus banyak beristirahat.
“Mama.” Entah apa tujuanku terus memanggil ‘Mama’ yang padahal, saat ini aku tak tahu di mana mamaku, dan bahkan aku tak tahu siapa aku. Lelaki dan wanita itu saling berpandangan, “Iya sayang, ini mama.” Wanita yang sama sekali tak kukenali itu memegang tanganku dengan erat.
Satu minggu berlalu, aku sudah boleh meninggalkan rumah sakit sekarang. Dengan wanita dan lelaki yang selalu menjagaku di rumah sakit, aku memasuki rumah yang asing. Mereka berkata kalau ini rumahku, juga rumah mereka. Wanita itu ternyata ibuku, dan lelaki itu bernama Karel, dia kakakku. Kenapa aku tak bisa mengingatnya sama sekali?
“Kalau ada apa-apa, panggil saja aku di ruang TV.” Lelaki berpipi tirus itu tersenyum dan menutup pintu kamar.
Melihat foto-foto itu, rasanya aku sudah tak sabar untuk segera pulih dan mengingat semuanya yang terjadi padaku. Pasti aku ini gadis periang dan memiliki banyak teman!
Kamar ini tampak sudah lama sekali tak terpakai, padahal aku hanya dirumah sakit selama satu minggu? Ah, aku lupa menanyakan namaku!
“Kakak!” panggilku pada Karel, seraya menuruni setiap anak tangga. Samar-samar terdengar suara Karel menyahut, “Ada apa?”
“Siapa namaku?” tanyaku dengan polosnya duduk disamping Karel, kakakku.
Ia mengernyit, berpikir untuk beberapa detik, “Kurasa, aku akan memanggilmu ‘Sena’.”
“Sena?” aku seperti mengenali nama itu. Seketika kepalaku pusing, pandanganku kabur. Aku seperti tengah berusaha mengingat sesuatu. Argh! Tapi apa itu?
“Hei apa kau tidak apa-apa?” -suara Karel itu hanya membuat kepalaku semakin berat.
Bagai ada sebuah film tayangan yang hinggap di pikiranku saat ini. Aku terus memegangi kepala yang seakan hendak pecah ini. ‘Film’ itu terus menayangkan seorang gadis yang kesepian, keluarga yang berantakan, jalanan yang sepi, mobil berwarna silver, sebuah kecelakaan, dan … Dan gadis itu adalah aku! Benar, itu aku. Aku yang kesepian, lahir dari keluarga yang tak pernah akur, dan kecelakaan itu, kecelakaan itulah awal mulanya!
Aku ingat sekarang! Aku ingat siapa diriku, dan aku ingat apa yang menimpaku.
Tetapi …
“Apa kau sakit?” tanya Karel.
“Ah?” aku menggeleng, “Aku menyukai nama itu.” kataku tersenyum.
Tetapi, bukankah ini yang kuinginkan? Mungkin, saat ini dan kedepannya aku tak pernah lagi merasa kesepian, karena aku memiliki Kakak, sekarang. Aku pun tak perlu risau dengan pertengkaran orangtua, karena Mamaku yang sekarang ini adalah seorang janda kaya raya. Aku pun pasti akan memiliki banyak teman. Haha. Tuhan memang selalu punya banyak cara untuk mengabulkan harapanku. Haha.
Cerpen Karangan: Dina Ans
Facebook: facebook.com/CerpenAnsDina
Terlahir Kembali
4/
5
Oleh
Unknown