Judul Cerpen Hujan Yang Sama Cerita Berbeda (Part 2)
Hari ini benar-benar menyebalkan, bagaimana tidak menyebalkan kalau gua sedari tadi harus mendengarkan ejekan dari teman gua karena gua mendapatkan hukuman. Dan pastinya orang yang berani mengejek gua tidak akan bisa tertawa lebih lama. Sedang asik-asiknya mengerjai teman gua yang ngejek gua tadi bel pulang pun berbunyi disusul dengan hujan yang turun tiba-tiba dengan sangat deras. Gua masukkan buku pelajaran, beberapa alat tulis dan jaket Resti ke dalam tas, kemudian bergegas ke parkiran, menyalakan mesin motor dan melesat ke luar sekolah menuju ke halte bis tempat gua bertemu dengan Resti kemarin. Baju dan celana seragam gua lumayan basah terkena air hujan, tapi semua itu tidak sia-sia karena begitu gua menginjakkan kaki di lantai halte bis ini seketika mata gua menangkap sosok manis yang selama ini berada di fikiran gua tengah duduk diam sambil membaca sebuah buku, sepertinya buku novel.
“Hai kak.” Gua selalu memanggilnya dengan sebutan kak, karena gua rasa dia lebih tua daripada gua.
Pandangan Resti pun teralih dari buku yang sedang dibacanya ke gua yang sedang berdiri di hadapannya, sambil memicingkan matanya memastikan siapakah gerangan yang memanggil dirinya dan begitu ia tau siapa orang tersebut, senyum indah terlukis di bibirnya. Oh Tuhan senyum itu lagi.
“Oh kamu Nino, ada apa?” Tanya Resti masih dengan senyum di bibirnya.
“Ini, aku mau kembaliin ini kak.” Ucap gua agak gugup sambil merogoh tas guna mengambil jaket Resti yang gua masukkan tadi agar tidak basah terkena air hujan. Dan setelah mendapatkan apa yang gua cari, gua pun memberikannya kepada Resti.
“Oh jaketku, emang kamu udah gak menggigil?”
“E… udah engga kak, makasih ya.”
“Iya sama-sama.” Ucapnya diselingi senyum yang makin bertambah manis. Gua rasa senyumnya bisa mengundang penyakit diabetes karena manisnya.
Setelah itu gua pun duduk di sampingnya sambil menunggu hujan reda, tidak! Gua tidak mau hujan ini reda.
Tiga puluh menit,
Kita disini, tanpa suara.
Dan aku resah, harus menunggu lama
Kata darimu.
Mungkin butuh kursus, merangkai kata,
Untuk bicara…
Resti dan gua sama-sama terdiam, dan tiba-tiba saja melantun lagu lawas dari band ternama di negeri gua ini yang merupakan nada panggilan masuk dari handphone milik Resti. Tak sampai lagu selesai, Resti langsung mereject panggilan masuk tersebut.
“Kenapa enggak diangkat kak?”
“Cuma orang enggak penting.”
“Oh gitu.”
Lagi-lagi gua dan Resti kembali terdiam. Kemudian bersenandung lagi lagu tadi untuk kedua kalinya, dan untuk yang kedua kalinya pula Resti mereject panggilan masuk dari orang yang “enggak penting” menurut Resti itu. Gua rasa lagu itu seakan-akan tengah menggambarkan ketidak beranian gua untuk membuka suara dan berbicara kepada Resti. Ah betapa cupunya gua.
Hampir satu jam gua dan Resti duduk di kursi penunggu di halte bis ini. Dan sama sekali tidak ada dari gua ataupun Resti yang berbicara, atau mungkin saja dengan adanya gua disini Resti merasa risih atau sebagainya. Hujan pun sudah reda, kalau benar dugaan gua tadi maka lebih baik gua bergegas pulang sekarang. Gua mulai beranjak bangun dari duduk, duduk lama yang membuat bokong gua mulai terasa pegal dan agak terasa panas. Namun saat hendak kaki ini melangkah menuju motor yang terparkir persis di depan halte bis ini, tiba-tiba saja tangan kanan gua seperti ada yang menahan dari arah samping dan tentu saja orang yang menahan tangan gua itu adalah Resti. Sontak gua membalikkan badan gua menghadap ke arahnya menatap wajahnya yang tengah tertunduk dengan tangannya yang masih saja menggenggam tangan gua, bahkan lebih erat. Gua perhatikan wajahnya yang masih saja tertunduk yang diselingi dengan butiran air bening yang turun jatuh dan membasahi lantai halte bis yang agak penuh debu dan air hujan tadi. Gua turunkan badan gua mengambil posisi setengah duduk dengan mata masih memandang ke arah wajahnya yang masih tidak berubah posisi dari tadi. Kekuatan genggamannya mulai mengendur dan mulai melepas tangan gua, sambil menghapus air matanya Resti menengadahkan wajahnya menghadap wajah gua dan tersenyum. Bahkan setelah menangis pun senyumannya tetap saja manis, oh Tuhan ciptaan-Mu yang satu ini benar-benar indah. Gua dibuat terpana oleh senyuman manisnya, dan tanpa gua sadari Resti telah menghilang dari hadapan gua.
“Woy Nino motor kamu keren nih, boleh lah aku nebeng.” Teriak Resti seraya mengusap tangki motor gua.
Gua balikkan wajah gua ke belakang melihat ke arah Resti dan ya gua masih saja dalam keadaan seperti tadi, sampai Resti menghampiri gua.
“Nino… aku tuh manggil kamu, kamu malah melamun aja.”
“Eh… iya kak ada apa?”
“Aku nebeng ya sampe depan gang aja, boleh gak?” Tanya Resti dengan senyuman manjanya.
“…” Lagi-lagi gua dibuat terpana oleh senyumannya dan kembali dalam lamunan gua.
“Nino ih kamu malah diem lagi.” Ucap Resti sambil mencubit pipi gua.
“Aduh sakit kak, ii..iiya boleh kok kak.”
Kemudian gua beranjak dan menaiki motor gua, menyalakan mesin dan disusul oleh Resti yang kemudian naik ke bangku boncengan dan memeluk pinggang gua. Motor gua melaju cepat dan berhenti di sebuah gang yang bertempat tidak jauh dari halte bis tadi, gua berhenti dikarenakan tangan Resti menepuk bahu gua.
“Udah Nino sampe sini aja, makasih ya.” Ucap Resti seraya turun dari motor gua dan tentunya dia menyunggingkan senyum yang sama.
“Iya kak sama-sama.” Jawab gua sambil membalas senyuman manisnya.
Lalu Resti pun masuk ke dalam gang tersebut, ingin rasanya gua menyusulnya tapi buru-buru gua urungkan niat gua itu, mengingat waktu yang sudah semakin sore dan kemudian gua pacu motor gua untuk kembali ke rumah. Dan semenjak kejadian hari ini, hubungan gua sama Resti menjadi semakin dekat meskipun belum ada kepastian apa-apa tentang status hubungan kita. Bahkan gua masih bingung dengan apa yang gua rasakan saat ini.
—
Perkenalkan namaku Resti, aku anak pertama dari dua bersaudara, tapi sekarang Cuma tinggal aku saja anak yang tersisa dari keluargaku ini setelah adikku satu-satunya meninggal dunia dua tahun yang lalu dikarenakan sebuah penyakit yang menyerang organ hatinya pada waktu itu. Keluargaku bisa dibilang hanya keluarga sederhana dengan hidup apa adanya, namun dengan hidup yang sederhana aku, ayah dan ibuku masih bisa bahagia. Aku belajar dari kedua orangtuaku bahwa hidup itu bukan sekedar apa yang kita miliki, melainkan apakah kita sudah mensyukuri apa yang telah kita miliki itu. Aku bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran cepat saji yang telah tumbuh subur di Negara ini, sebuah restoran cepat saji yang pemilik sekaligus pendirinya merupakan warga luar negeri. Aku bekerja part time dari jam tujuh pagi hingga jam dua belas siang, selebihnya aku menghabiskan waktu di rumah dengan membantu ibu mengurus rumah. Dan juga aku merupakan designer freelance yang bekerja mengedit foto seseorang yang mereka kirimkan via email dan pembayarannya tentu saja dengan transfer ke rekeningku. Bekerja menjadi designer juga merupakan alasanku untuk bekerja part time sebagai pelayan di restoran, meskipun bekerja mengedit foto tidak selalu saja setiap hari ada orang yang order namun aku benar-benar senang melakukannya. Edit vector, manipulasi, pop art, lowpolly, wpap, siluet, line art merupakan contoh kecil dari teknik mengedit yang sering aku lakukan dalam pekerjaan ini dan pastinya sebelum pelanggan order mereka akan bertanya tentang apa itu vector apa itu manipulasi dan lebih bagus mana antara keduanya. Dan lagi-lagi meskipun pertanyaan mereka seputar keingin tahuan tentang teknik edit itu semua, yang menentukan mereka order adalah price atau harga dari setiap teknik edit yang ingin mereka terapkan dalam foto mereka. Semakin sulit tekniknya maka akan semakin mahal. Dan Alhamdulillah dengan pekerjaanku yang sekarang ini, aku bisa membantu orangtua ya walau tidak seberapa tapi aku akan terus berusaha. Dalam urusan asmara, aku pernah mengalami kegagalan cinta yang tidak akan pernah aku ungkit lagi, karena itu benar-benar menyakitkan dan sempat membuat diriku terpuruk terlalu lama, bahkan ibu pun sampai khawatir sekali terhadapku. Semua apa yang telah aku alami tentang cinta, membuat penilaian buruk tentang pandanganku pada seorang laki-laki, namun tidak selamanya begitu terlebih saat aku bertemu dengan seorang laki-laki bernama Nino di siang hari itu.
—
Siang itu seperti biasa aku pulang dari pekerjaanku sebagai pelayan di restoran cepat saji. Saat ku hendak turun dari bis dan melangkahkan kaki menuju halte, tiba-tiba saja hujan turun, walaupun awalnya hujan turun dengan intensitas yang bisa dibilang kecil namun lama-kelamaan hujan turun secara derasnya. Hujan disertai angin yang lumayan bertiup kencang tidak begitu saja membuat tubuhku dingin dan menggigil, dikarenakan saat ini aku sedang memakai sebuah jaket yang entah dari bahan apa namun sukses membuat tubuhku hangat dan terhindar dari dinginnya cuaca di siang ini. Tidak lama saat diriku sedang bernyanyi-nyanyi dalam sendiri di halte bis ini, mataku menangkap sosok laki-laki mengendarai sebuah motor besar dengan spakbor belakang yang telah dicopot, yang kemudian terburu-buru memarkirkan motor besarnya itu di depan halte ini. Ia segera turun dari motornya dan berdiri membelakangiku, dari seragam yang ia kenakan aku dapat menyimpulkan bahwa ia adalah seorang siswa dari sekolah yang tepat berada di samping halte bis ini. Ku mencoba mengabaikannya dan beralih pada sebuah handphoneku yang sedari tadi muncul notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak aku kenali. Hampir tiga puluh menit lamanya aku menunggu di halte bis ini dan hujan pun juga tak kunjung reda. Layaknya hujan yang masih enggan untuk berhenti, laki-laki di hadapanku ini juga sama sekali tidak mengeluarkan suara sepatah katapun dan masih mempertahankan posisinya. Entah dia menyadari akan adanya diriku atau tidak, kuberanikan diriku mulai membuka suara.
“deras banget ya hujannya.”
“Oh iya kak.” Jawabnya sembari membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku.
“Nama kamu siapa?”
“Nino.”
Tiba-tiba kami pun terdiam dan hujan pun belum menampakkan tanda-tanda bahwa ia akan berhenti mengguyur bumi. Kulihat tangannya menggigil, lalu dengan inisiatif diriku sendiri ku lepas jaket yang sedang kukenakan dan memberikan kepadanya.
“Nih pake aja, biar gak menggigil gitu!”
“Gak usah kak, makasih.”
“Gak apa apa.”
Kukenakan jaketku kepadanya dan sepertinya ia pun sempat terkejut dengan yang kulakukan.
“Santai aja Nino!” Ucapku karena melihatnya gugup.
“ehh i…iiya kak.” Ucap Nino dengan terbata-bata.
“Nama aku Resti.” Ucapku seraya menyunggingkan sebuah senyuman termanis yang kupunya kepadanya.
Entah mengapa saat ini juga diriku ingin rasanya membuka hati kembali kepada seorang laki-laki. Nino kurasa berbeda, ia berbeda dengan laki-laki pada umumnya. Ah, aku mulai menyukainya pada pandangan pertama.
Cerpen Karangan: Muhammad Ilham
Blog: mydaily241.blogspot.com
Hari ini benar-benar menyebalkan, bagaimana tidak menyebalkan kalau gua sedari tadi harus mendengarkan ejekan dari teman gua karena gua mendapatkan hukuman. Dan pastinya orang yang berani mengejek gua tidak akan bisa tertawa lebih lama. Sedang asik-asiknya mengerjai teman gua yang ngejek gua tadi bel pulang pun berbunyi disusul dengan hujan yang turun tiba-tiba dengan sangat deras. Gua masukkan buku pelajaran, beberapa alat tulis dan jaket Resti ke dalam tas, kemudian bergegas ke parkiran, menyalakan mesin motor dan melesat ke luar sekolah menuju ke halte bis tempat gua bertemu dengan Resti kemarin. Baju dan celana seragam gua lumayan basah terkena air hujan, tapi semua itu tidak sia-sia karena begitu gua menginjakkan kaki di lantai halte bis ini seketika mata gua menangkap sosok manis yang selama ini berada di fikiran gua tengah duduk diam sambil membaca sebuah buku, sepertinya buku novel.
“Hai kak.” Gua selalu memanggilnya dengan sebutan kak, karena gua rasa dia lebih tua daripada gua.
Pandangan Resti pun teralih dari buku yang sedang dibacanya ke gua yang sedang berdiri di hadapannya, sambil memicingkan matanya memastikan siapakah gerangan yang memanggil dirinya dan begitu ia tau siapa orang tersebut, senyum indah terlukis di bibirnya. Oh Tuhan senyum itu lagi.
“Oh kamu Nino, ada apa?” Tanya Resti masih dengan senyum di bibirnya.
“Ini, aku mau kembaliin ini kak.” Ucap gua agak gugup sambil merogoh tas guna mengambil jaket Resti yang gua masukkan tadi agar tidak basah terkena air hujan. Dan setelah mendapatkan apa yang gua cari, gua pun memberikannya kepada Resti.
“Oh jaketku, emang kamu udah gak menggigil?”
“E… udah engga kak, makasih ya.”
“Iya sama-sama.” Ucapnya diselingi senyum yang makin bertambah manis. Gua rasa senyumnya bisa mengundang penyakit diabetes karena manisnya.
Setelah itu gua pun duduk di sampingnya sambil menunggu hujan reda, tidak! Gua tidak mau hujan ini reda.
Tiga puluh menit,
Kita disini, tanpa suara.
Dan aku resah, harus menunggu lama
Kata darimu.
Mungkin butuh kursus, merangkai kata,
Untuk bicara…
Resti dan gua sama-sama terdiam, dan tiba-tiba saja melantun lagu lawas dari band ternama di negeri gua ini yang merupakan nada panggilan masuk dari handphone milik Resti. Tak sampai lagu selesai, Resti langsung mereject panggilan masuk tersebut.
“Kenapa enggak diangkat kak?”
“Cuma orang enggak penting.”
“Oh gitu.”
Lagi-lagi gua dan Resti kembali terdiam. Kemudian bersenandung lagi lagu tadi untuk kedua kalinya, dan untuk yang kedua kalinya pula Resti mereject panggilan masuk dari orang yang “enggak penting” menurut Resti itu. Gua rasa lagu itu seakan-akan tengah menggambarkan ketidak beranian gua untuk membuka suara dan berbicara kepada Resti. Ah betapa cupunya gua.
Hampir satu jam gua dan Resti duduk di kursi penunggu di halte bis ini. Dan sama sekali tidak ada dari gua ataupun Resti yang berbicara, atau mungkin saja dengan adanya gua disini Resti merasa risih atau sebagainya. Hujan pun sudah reda, kalau benar dugaan gua tadi maka lebih baik gua bergegas pulang sekarang. Gua mulai beranjak bangun dari duduk, duduk lama yang membuat bokong gua mulai terasa pegal dan agak terasa panas. Namun saat hendak kaki ini melangkah menuju motor yang terparkir persis di depan halte bis ini, tiba-tiba saja tangan kanan gua seperti ada yang menahan dari arah samping dan tentu saja orang yang menahan tangan gua itu adalah Resti. Sontak gua membalikkan badan gua menghadap ke arahnya menatap wajahnya yang tengah tertunduk dengan tangannya yang masih saja menggenggam tangan gua, bahkan lebih erat. Gua perhatikan wajahnya yang masih saja tertunduk yang diselingi dengan butiran air bening yang turun jatuh dan membasahi lantai halte bis yang agak penuh debu dan air hujan tadi. Gua turunkan badan gua mengambil posisi setengah duduk dengan mata masih memandang ke arah wajahnya yang masih tidak berubah posisi dari tadi. Kekuatan genggamannya mulai mengendur dan mulai melepas tangan gua, sambil menghapus air matanya Resti menengadahkan wajahnya menghadap wajah gua dan tersenyum. Bahkan setelah menangis pun senyumannya tetap saja manis, oh Tuhan ciptaan-Mu yang satu ini benar-benar indah. Gua dibuat terpana oleh senyuman manisnya, dan tanpa gua sadari Resti telah menghilang dari hadapan gua.
“Woy Nino motor kamu keren nih, boleh lah aku nebeng.” Teriak Resti seraya mengusap tangki motor gua.
Gua balikkan wajah gua ke belakang melihat ke arah Resti dan ya gua masih saja dalam keadaan seperti tadi, sampai Resti menghampiri gua.
“Nino… aku tuh manggil kamu, kamu malah melamun aja.”
“Eh… iya kak ada apa?”
“Aku nebeng ya sampe depan gang aja, boleh gak?” Tanya Resti dengan senyuman manjanya.
“…” Lagi-lagi gua dibuat terpana oleh senyumannya dan kembali dalam lamunan gua.
“Nino ih kamu malah diem lagi.” Ucap Resti sambil mencubit pipi gua.
“Aduh sakit kak, ii..iiya boleh kok kak.”
Kemudian gua beranjak dan menaiki motor gua, menyalakan mesin dan disusul oleh Resti yang kemudian naik ke bangku boncengan dan memeluk pinggang gua. Motor gua melaju cepat dan berhenti di sebuah gang yang bertempat tidak jauh dari halte bis tadi, gua berhenti dikarenakan tangan Resti menepuk bahu gua.
“Udah Nino sampe sini aja, makasih ya.” Ucap Resti seraya turun dari motor gua dan tentunya dia menyunggingkan senyum yang sama.
“Iya kak sama-sama.” Jawab gua sambil membalas senyuman manisnya.
Lalu Resti pun masuk ke dalam gang tersebut, ingin rasanya gua menyusulnya tapi buru-buru gua urungkan niat gua itu, mengingat waktu yang sudah semakin sore dan kemudian gua pacu motor gua untuk kembali ke rumah. Dan semenjak kejadian hari ini, hubungan gua sama Resti menjadi semakin dekat meskipun belum ada kepastian apa-apa tentang status hubungan kita. Bahkan gua masih bingung dengan apa yang gua rasakan saat ini.
—
Perkenalkan namaku Resti, aku anak pertama dari dua bersaudara, tapi sekarang Cuma tinggal aku saja anak yang tersisa dari keluargaku ini setelah adikku satu-satunya meninggal dunia dua tahun yang lalu dikarenakan sebuah penyakit yang menyerang organ hatinya pada waktu itu. Keluargaku bisa dibilang hanya keluarga sederhana dengan hidup apa adanya, namun dengan hidup yang sederhana aku, ayah dan ibuku masih bisa bahagia. Aku belajar dari kedua orangtuaku bahwa hidup itu bukan sekedar apa yang kita miliki, melainkan apakah kita sudah mensyukuri apa yang telah kita miliki itu. Aku bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran cepat saji yang telah tumbuh subur di Negara ini, sebuah restoran cepat saji yang pemilik sekaligus pendirinya merupakan warga luar negeri. Aku bekerja part time dari jam tujuh pagi hingga jam dua belas siang, selebihnya aku menghabiskan waktu di rumah dengan membantu ibu mengurus rumah. Dan juga aku merupakan designer freelance yang bekerja mengedit foto seseorang yang mereka kirimkan via email dan pembayarannya tentu saja dengan transfer ke rekeningku. Bekerja menjadi designer juga merupakan alasanku untuk bekerja part time sebagai pelayan di restoran, meskipun bekerja mengedit foto tidak selalu saja setiap hari ada orang yang order namun aku benar-benar senang melakukannya. Edit vector, manipulasi, pop art, lowpolly, wpap, siluet, line art merupakan contoh kecil dari teknik mengedit yang sering aku lakukan dalam pekerjaan ini dan pastinya sebelum pelanggan order mereka akan bertanya tentang apa itu vector apa itu manipulasi dan lebih bagus mana antara keduanya. Dan lagi-lagi meskipun pertanyaan mereka seputar keingin tahuan tentang teknik edit itu semua, yang menentukan mereka order adalah price atau harga dari setiap teknik edit yang ingin mereka terapkan dalam foto mereka. Semakin sulit tekniknya maka akan semakin mahal. Dan Alhamdulillah dengan pekerjaanku yang sekarang ini, aku bisa membantu orangtua ya walau tidak seberapa tapi aku akan terus berusaha. Dalam urusan asmara, aku pernah mengalami kegagalan cinta yang tidak akan pernah aku ungkit lagi, karena itu benar-benar menyakitkan dan sempat membuat diriku terpuruk terlalu lama, bahkan ibu pun sampai khawatir sekali terhadapku. Semua apa yang telah aku alami tentang cinta, membuat penilaian buruk tentang pandanganku pada seorang laki-laki, namun tidak selamanya begitu terlebih saat aku bertemu dengan seorang laki-laki bernama Nino di siang hari itu.
—
Siang itu seperti biasa aku pulang dari pekerjaanku sebagai pelayan di restoran cepat saji. Saat ku hendak turun dari bis dan melangkahkan kaki menuju halte, tiba-tiba saja hujan turun, walaupun awalnya hujan turun dengan intensitas yang bisa dibilang kecil namun lama-kelamaan hujan turun secara derasnya. Hujan disertai angin yang lumayan bertiup kencang tidak begitu saja membuat tubuhku dingin dan menggigil, dikarenakan saat ini aku sedang memakai sebuah jaket yang entah dari bahan apa namun sukses membuat tubuhku hangat dan terhindar dari dinginnya cuaca di siang ini. Tidak lama saat diriku sedang bernyanyi-nyanyi dalam sendiri di halte bis ini, mataku menangkap sosok laki-laki mengendarai sebuah motor besar dengan spakbor belakang yang telah dicopot, yang kemudian terburu-buru memarkirkan motor besarnya itu di depan halte ini. Ia segera turun dari motornya dan berdiri membelakangiku, dari seragam yang ia kenakan aku dapat menyimpulkan bahwa ia adalah seorang siswa dari sekolah yang tepat berada di samping halte bis ini. Ku mencoba mengabaikannya dan beralih pada sebuah handphoneku yang sedari tadi muncul notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak aku kenali. Hampir tiga puluh menit lamanya aku menunggu di halte bis ini dan hujan pun juga tak kunjung reda. Layaknya hujan yang masih enggan untuk berhenti, laki-laki di hadapanku ini juga sama sekali tidak mengeluarkan suara sepatah katapun dan masih mempertahankan posisinya. Entah dia menyadari akan adanya diriku atau tidak, kuberanikan diriku mulai membuka suara.
“deras banget ya hujannya.”
“Oh iya kak.” Jawabnya sembari membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku.
“Nama kamu siapa?”
“Nino.”
Tiba-tiba kami pun terdiam dan hujan pun belum menampakkan tanda-tanda bahwa ia akan berhenti mengguyur bumi. Kulihat tangannya menggigil, lalu dengan inisiatif diriku sendiri ku lepas jaket yang sedang kukenakan dan memberikan kepadanya.
“Nih pake aja, biar gak menggigil gitu!”
“Gak usah kak, makasih.”
“Gak apa apa.”
Kukenakan jaketku kepadanya dan sepertinya ia pun sempat terkejut dengan yang kulakukan.
“Santai aja Nino!” Ucapku karena melihatnya gugup.
“ehh i…iiya kak.” Ucap Nino dengan terbata-bata.
“Nama aku Resti.” Ucapku seraya menyunggingkan sebuah senyuman termanis yang kupunya kepadanya.
Entah mengapa saat ini juga diriku ingin rasanya membuka hati kembali kepada seorang laki-laki. Nino kurasa berbeda, ia berbeda dengan laki-laki pada umumnya. Ah, aku mulai menyukainya pada pandangan pertama.
Cerpen Karangan: Muhammad Ilham
Blog: mydaily241.blogspot.com
Hujan Yang Sama Cerita Berbeda (Part 2)
4/
5
Oleh
Unknown