Judul Cerpen Hujan Yang Sama Cerita Berbeda (Part 3)
Hujan mulai reda, bahkan berhenti sudah. Ku melirik sosok lelaki yang hampir dua jam ini menunggu derasnya hujan bersamaku, di halte bis tua ini. Oh Tuhan dia masih saja terdiam dengan pandangan kosong dan masih mengenakan jaket yang tadi sengaja ku kenakan padanya. Tak ingin membuang waktu karena masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di rumah, maka segera ku beranjak dari kursi dan berjalan ke luar dari halte bis, sesekali kulirik ke arah Nino namun ia masih saja menatap kosong ke arah depan entah ia melihat apa. Kusadari ku menyukainya, baru kali ini diriku menyukai laki-laki yang berusia lebih muda dari diriku. Ku berharap entah kapan tapi aku ingin bertemu dengannya lagi.
Sesampainya di rumah, kuketuk pintu sembari mengucapkan salam dan tak lama terdengar jawaban salam yang kuucap dari dalam rumah dan pintu pun terbuka oleh seorang perempuan paruh baya, ya dialah ibuku.
“Kok baru pulang nak?”
“Iya bu, tadi Resti berteduh dulu di halte.” Jawabku sembari mencium tangan ibu.
“Oh begitu, ya sudah sekarang kamu ganti baju terus makan ya, ibu sudah masak buat kamu tuh bahkan sudah agak dingin deh.” Ucap ibu dengan sedikit canda.
“Baik bu.”
Ya dialah ibuku, beliau benar-benar penyayang dan sabar dalam merawat aku, meskipun aku sudah sebesar ini namun kasih sayang beliau terhadapku tidak pernah berkurang. Ku bergegas menuju kamar untuk mengganti bajuku. Sebelum hendak ke luar, ku teringat akan seseorang yang selama ini terus menggangguku dengan pesan-pesannya, maka kuambil tas dan membuka resletingnya merogoh isinya dan mengambil handphone. Kutekan tombol guna menghidupkan kembali lampu latar handphoneku, membuka polanya, lalu menekan ikon pesan yang terdapan di pojok kiri bawah. Dan benar saja ada lebih dari lima pesan yang jika kulihat dari jam terkirimnya belum lama tadi. Kucek pesan tersebut dan dari semua pesan yang masuk itu berasal darinya. Kuhapus semua pesan yang berasal darinya tanpa kubaca terlebih dahulu, kulemparkan handphone ke kasur dan beranjak ke luar kamar, menuju meja makan untuk segera makan siang.
Adzan Subuh telah berkumandang dan adzanlah yang telah membangunkanku dari tidur, menghentikan mimpi indah yang kualami semalam. Semalam ku memimpikan Nino, kumelihat dirinya datang dalam mimpiku menghampiriku dengan membawa setangkai bunga mawar merah. Kualihkan pandangan mataku darinya yang semakin mendekat ke arahku, menatap ke sekelilingku yang ku perhatikan tampak seperti sebuah taman yang benar-benar sangat indah. Taman yang dipenuhi dengan bunga tulip dengan banyak warna yang berbeda-beda. Dan aku juga baru menyadari bahwa diriku tengah duduk di sebuah bangku di taman ini. Kualihkan pandanganku dari sekeliling dan berlanjut menatap sosok laki-laki yang telah berdiri di hadapanku ini. Dia tersenyum kepadaku, kubalas senyumannya. Dia membungkukkan badannya dengan posisi satu lutut kakinya sebagai tumpuan, seraya memberikan setangkai bunga mawar yang ia pegang tadi kepadaku. “Would you be mine?” itulah kata yang ia ucap kepadaku, kata-kata itu seakan menyihirku dan membuatku melamun sampai-sampai aku lupa kalau belum menunaikan kewajibanku (Shalat Subuh) kulirik jam menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit. Ku bergegas bangun dari kasur dan berlari menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Jam dinding menunjukkan pukul enam lebih lima menit, ku sudah siap berangkat kerja hari ini dan sebelum itu aku sarapan terlebih dahulu bersama ibu dan ayahku. Menu sarapan kali ini adalah “nasi goreng alakadarnya” ya seperti itulah ibuku menyebutnya, namun nasi goreng buatan ibu benar-benar lezat tidak kalah dengan masakan di restoran manapun itu. Setelah sarapan aku pamitan kepada kedua orangtuaku sambil mencium tangan keduanya dan lekas berangkat dengan mengucap salam sebelum diriku hendak keluar dari rumah. Kulangkahkan kakiku seraya berdoa untuk kebaikan di hari ini dan kalaupun bisa aku ingin bertemu dengannya lagi, ya bertemu dengan Nino.
Hujan deras kembali mengguyur di siang hari ini. Dan ku kembali duduk sendiri di halte bis ini, ku teringat akan novel yang baru saja kupinjam dari temanku tadi. Lantas kubuka tas, kuambil sebuah buku novel lalu membacanya guna menghilangkan rasa bosan yang sedari tadi menghinggapiku, seperti lalat terhadap makanan. Sekitar lima belas menit sudah aku membaca novel ini, tiba-tiba datang seorang laki-laki (anak sekolah) menghampiri halte bis ini seraya memarkirkan motor besarnya itu. Dia Nino, sedang apa dia disini? Mengapa ia berteduh lagi?. Seketika pertanyaan-pertanyaan muncul di pikiranku. Setelah memarkirkan motornya dia menghampiriku.
“Hai kak.”
“Oh kamu Nino, ada apa?” Tanyaku kepadanya dengan memberikan senyuman.
“Ini, aku mau kembaliin ini kak.” Ucap Nino terlihat agak gugup sambil merogoh tas yang ia kenakan.
“Oh jaketku, emang kamu udah gak menggigil?”
“E…udah engga kak, makasih ya.”
“Iya sama-sama.” Ucapku sambil tidak henti-hentinya memberikan senyuman terbaikku kepadanya.
Setelah itu dia duduk di sampingku, seandainya kau tahu Nino bahwa ku suka padamu. Aku dan Nino pun sama-sama terdiam dan memandang kosong ke arah hujan. Tiba-tiba saja terdengar lagu dari band Jamrud yang sengaja ku setel sebagai nada panggilan masuk, seketika buyar lamunanku dan Nino, lalu ku reject panggilan itu yang tidak lain dan tidak bukan dari orang aneh yang selama ini mengirim pesan padaku. Ku reject panggilan masuk dan tentu saja lagu pun berhenti dan bibir Nino pun mulai bergerak dan mengeluarkan suara membuka sebuah pertanyaan kepadaku.
“Kenapa enggak diangkat kak?” Tanya Nino dengan mimik wajah heran.
“Cuma orang enggak penting.” Jawabku sekenanya.
“Oh gitu.”
Dan lagi-lagi untuk kedua kalinya lagu panggilan masukku berbunyi lagi, tentu saja tidak ada lima detik ku sudah merejectnya.
Aku rasa sudah hampir satu jam aku dan Nino berada di halte bis ini, bersama-sama menunggu hujan reda dan sepertinya sama sekali tidak ada dari kita yang ingin membuka obrolan terlebih dahulu. Sampai hujan pun reda, kulihat Nino beranjak dari kursi yang ia duduki sedari tadi menuju motornya yang terparkir manis di depan halte, menunggu majikannya dengan setia dan sepertinya Nino hendak pulang. Entah mengapa hati ini terasa sakit, tiba-tiba saja aku teringat akan Rian (mantanku dan orang yang selalu menghubungiku) teringat akan kandasnya hubunganku dulu dengan cara yang terlalu menyakitkan. Entah siapa yang memerintahkan tanganku, kugapai tangan Nino yang tengah berdiri mempunggungiku dan wajahku menunduk disusul air bening yang mulai berjatuhan dari mataku ini. Kurasakan ada pergerakan dari tangan Nino. Benar saja begitu kutengadahkan wajahku menatap ke depan, kulihat Nino sedang bersimpuh di hadapanku memperhatikanku dengan mata teduhnya. Kuhapus air mataku dan tersenyum kepadanya, entah mengapa Nino jadi melamun sendiri. Berkali-kali kuajak dia berbicara namun lagi-lagi dia menjawab sedikit dan kembali melamun, Nino agak aneh hari ini. Siang itu ku pulang ke rumah dengan perasaan bahagia karena Nino mengantarkanku pulang walaupun hanya sampai gang, karena tidak mungkin untuk motor besarnya memasuki gang sempit ini.
—
Sabtu malam atau lebih tepatnya malam minggu, gua dan Resti pergi ke salah satu pasar malam yang selama dua minggu ini akan ada di daerahku. Malam itu Resti tampak cantik sekali dengan kemeja panjang bergaris warna pink dengan warna dasar putih dipadu dengan rok warna senada, menambah kesan anggun ia malam ini. Kuparkirkan motor kesayanganku, lalu menarik lebih tepatnya menggandeng tangan Resti ke tempat loket untuk membeli dua buah tiket untuk naik bianglala.
“Nino aku enggak mau naik bianglala, bisa-bisa nanti muntah.”
“Enggak apa-apa kak, lagian udah dibeli kok. Kalo kakak takut teriak aja!”
“Ih kamu tuh.”
“…”
“emmm, yaudah deh.” Ucapnya dengan bibir agak manyun.
Gua memberikan dua buah tiket milik gua dan Resti kepada abang-abang yang berjaga di dekat bianglala, kemudian gua dan Resti naik bianglala itu. Tidak perlu menunggu waktu lama, bianglala yang sebelumnya sepi telah terisi dengan banyak sekali orang tentunya dengan pasangannya masing-masing. Mulai dari yang muda sampai yang lanjut usia menaiki wahana ini. Abang-abang yang berjaga di dekat bianglala tadi yang bertugas mengambil tiket dari para pengunjung hendak menarik tuas di sebelah ia berdiri yang akan membuat bianglala ini bergerak dan berputar. Bianglala pun mulai berputar secara perlahan namun lama kelamaan semakin kencang saja. Gua lirik Resti yang duduk di sebelah gua tengah memeluk tangan gua erat seraya menutup kedua matanya, gua yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum memandangnya. Gua sama sekali tidak bersuara melainkan menampilkan ekspresi datar selama menaiki wahana ini, karena dibanding dengan wahana lain yang pernah gua coba, bianglala ini tidak ada apa-apanya. Gerakan bianglala pun melambat dan semakin melambat sampai akhirnya berhenti. Mengetahui bianglala yang telah berhenti, Resti pun segera berlari ke luar dari bilanglala menjauhi kerumunan orang di pasar malam ini dan menuju sebuah semak-semak. Gua yang melihat itu lalu berjalan mendekati Resti dan yang gua lihat adalah Resti Nampak sedang memuntahkan isi perutnya. Gua rasa dia mual setelah naik bianglala tadi.
Rasa manis mulai merasuki indra pengecap gua setelah gua memasukkan permen kapas ini ke dalam mulut. Gua memang paling suka sama makanan dan minuman yang manis, termasuk permen kapas ini yang tidak pernah ketinggalan gua beli kalau gua berkunjung ke pasar malam bersama keluarga gua. Dan mungkin kalau gua tidak suka kepada Resti gua pun akan memakannya karena dia manis. Sambil menikmati permen kapas yang mulai habis, gua lirik Resti di samping gua yang sedang mengoleskan minyak aromaterapi di bagian bawah hidungnya (tempat kumis berada, bagi yang laki-laki) sembari memijit-mijit pelan dahinya. Gua merasa iba melihat dia muntah-muntah tadi, tapi agak lucu juga sih mengingat dia yang sudah dewasa (lebih dewasa dari gua) muntah ketika naik bianglala yang tidak terlalu cepat berputarnya.
“Kakak naik bianglala aja muntah.” Ledek gua.
“…”
“Kak?”
“Apa sih? Aku pusing tau setiap naik itu, kamunya aja yang tetep maksa.”
“Ya maaf kak.” Ucap gua dengan wajah yang dibuat cemberut.
Seketika Resti pun melirik gua dan.
“Ushhhh udah dong kamu jangan cemberut gitu ah.” Ucapnya seraya mencubit pipi gua.
“Aduhh sakit tau kak.”
Resti pun tertawa lepas seakan-akan telah lupa akan rasa mual dan pusing yang menghinggapi dirinya. Dan malam itu gua menghabiskan waktu bersama Resti hanya untuk sekedar mengobrol atau kembali bermain wahana lain (selain bianglala) di pasar malam tersebut. Jam tangan gua sudah menunjukkan pukul sembilan dan gua pun pulang dengan mengantarkan Resti terlebih dahulu dan tentunya hanya sampai di depan gang rumahnya. Tidak gua sangka sebelumnya akan bisa sedekat ini dengan Resti, tapi gua senang dan gua berharap bisa terus seperti ini walau sampai detik ini gua belum mengungkapkan isi hati gua sama sekali.
Cerpen Karangan: Muhammad Ilham
Blog: mydaily241.blogspot.com
Hujan mulai reda, bahkan berhenti sudah. Ku melirik sosok lelaki yang hampir dua jam ini menunggu derasnya hujan bersamaku, di halte bis tua ini. Oh Tuhan dia masih saja terdiam dengan pandangan kosong dan masih mengenakan jaket yang tadi sengaja ku kenakan padanya. Tak ingin membuang waktu karena masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di rumah, maka segera ku beranjak dari kursi dan berjalan ke luar dari halte bis, sesekali kulirik ke arah Nino namun ia masih saja menatap kosong ke arah depan entah ia melihat apa. Kusadari ku menyukainya, baru kali ini diriku menyukai laki-laki yang berusia lebih muda dari diriku. Ku berharap entah kapan tapi aku ingin bertemu dengannya lagi.
Sesampainya di rumah, kuketuk pintu sembari mengucapkan salam dan tak lama terdengar jawaban salam yang kuucap dari dalam rumah dan pintu pun terbuka oleh seorang perempuan paruh baya, ya dialah ibuku.
“Kok baru pulang nak?”
“Iya bu, tadi Resti berteduh dulu di halte.” Jawabku sembari mencium tangan ibu.
“Oh begitu, ya sudah sekarang kamu ganti baju terus makan ya, ibu sudah masak buat kamu tuh bahkan sudah agak dingin deh.” Ucap ibu dengan sedikit canda.
“Baik bu.”
Ya dialah ibuku, beliau benar-benar penyayang dan sabar dalam merawat aku, meskipun aku sudah sebesar ini namun kasih sayang beliau terhadapku tidak pernah berkurang. Ku bergegas menuju kamar untuk mengganti bajuku. Sebelum hendak ke luar, ku teringat akan seseorang yang selama ini terus menggangguku dengan pesan-pesannya, maka kuambil tas dan membuka resletingnya merogoh isinya dan mengambil handphone. Kutekan tombol guna menghidupkan kembali lampu latar handphoneku, membuka polanya, lalu menekan ikon pesan yang terdapan di pojok kiri bawah. Dan benar saja ada lebih dari lima pesan yang jika kulihat dari jam terkirimnya belum lama tadi. Kucek pesan tersebut dan dari semua pesan yang masuk itu berasal darinya. Kuhapus semua pesan yang berasal darinya tanpa kubaca terlebih dahulu, kulemparkan handphone ke kasur dan beranjak ke luar kamar, menuju meja makan untuk segera makan siang.
Adzan Subuh telah berkumandang dan adzanlah yang telah membangunkanku dari tidur, menghentikan mimpi indah yang kualami semalam. Semalam ku memimpikan Nino, kumelihat dirinya datang dalam mimpiku menghampiriku dengan membawa setangkai bunga mawar merah. Kualihkan pandangan mataku darinya yang semakin mendekat ke arahku, menatap ke sekelilingku yang ku perhatikan tampak seperti sebuah taman yang benar-benar sangat indah. Taman yang dipenuhi dengan bunga tulip dengan banyak warna yang berbeda-beda. Dan aku juga baru menyadari bahwa diriku tengah duduk di sebuah bangku di taman ini. Kualihkan pandanganku dari sekeliling dan berlanjut menatap sosok laki-laki yang telah berdiri di hadapanku ini. Dia tersenyum kepadaku, kubalas senyumannya. Dia membungkukkan badannya dengan posisi satu lutut kakinya sebagai tumpuan, seraya memberikan setangkai bunga mawar yang ia pegang tadi kepadaku. “Would you be mine?” itulah kata yang ia ucap kepadaku, kata-kata itu seakan menyihirku dan membuatku melamun sampai-sampai aku lupa kalau belum menunaikan kewajibanku (Shalat Subuh) kulirik jam menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit. Ku bergegas bangun dari kasur dan berlari menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Jam dinding menunjukkan pukul enam lebih lima menit, ku sudah siap berangkat kerja hari ini dan sebelum itu aku sarapan terlebih dahulu bersama ibu dan ayahku. Menu sarapan kali ini adalah “nasi goreng alakadarnya” ya seperti itulah ibuku menyebutnya, namun nasi goreng buatan ibu benar-benar lezat tidak kalah dengan masakan di restoran manapun itu. Setelah sarapan aku pamitan kepada kedua orangtuaku sambil mencium tangan keduanya dan lekas berangkat dengan mengucap salam sebelum diriku hendak keluar dari rumah. Kulangkahkan kakiku seraya berdoa untuk kebaikan di hari ini dan kalaupun bisa aku ingin bertemu dengannya lagi, ya bertemu dengan Nino.
Hujan deras kembali mengguyur di siang hari ini. Dan ku kembali duduk sendiri di halte bis ini, ku teringat akan novel yang baru saja kupinjam dari temanku tadi. Lantas kubuka tas, kuambil sebuah buku novel lalu membacanya guna menghilangkan rasa bosan yang sedari tadi menghinggapiku, seperti lalat terhadap makanan. Sekitar lima belas menit sudah aku membaca novel ini, tiba-tiba datang seorang laki-laki (anak sekolah) menghampiri halte bis ini seraya memarkirkan motor besarnya itu. Dia Nino, sedang apa dia disini? Mengapa ia berteduh lagi?. Seketika pertanyaan-pertanyaan muncul di pikiranku. Setelah memarkirkan motornya dia menghampiriku.
“Hai kak.”
“Oh kamu Nino, ada apa?” Tanyaku kepadanya dengan memberikan senyuman.
“Ini, aku mau kembaliin ini kak.” Ucap Nino terlihat agak gugup sambil merogoh tas yang ia kenakan.
“Oh jaketku, emang kamu udah gak menggigil?”
“E…udah engga kak, makasih ya.”
“Iya sama-sama.” Ucapku sambil tidak henti-hentinya memberikan senyuman terbaikku kepadanya.
Setelah itu dia duduk di sampingku, seandainya kau tahu Nino bahwa ku suka padamu. Aku dan Nino pun sama-sama terdiam dan memandang kosong ke arah hujan. Tiba-tiba saja terdengar lagu dari band Jamrud yang sengaja ku setel sebagai nada panggilan masuk, seketika buyar lamunanku dan Nino, lalu ku reject panggilan itu yang tidak lain dan tidak bukan dari orang aneh yang selama ini mengirim pesan padaku. Ku reject panggilan masuk dan tentu saja lagu pun berhenti dan bibir Nino pun mulai bergerak dan mengeluarkan suara membuka sebuah pertanyaan kepadaku.
“Kenapa enggak diangkat kak?” Tanya Nino dengan mimik wajah heran.
“Cuma orang enggak penting.” Jawabku sekenanya.
“Oh gitu.”
Dan lagi-lagi untuk kedua kalinya lagu panggilan masukku berbunyi lagi, tentu saja tidak ada lima detik ku sudah merejectnya.
Aku rasa sudah hampir satu jam aku dan Nino berada di halte bis ini, bersama-sama menunggu hujan reda dan sepertinya sama sekali tidak ada dari kita yang ingin membuka obrolan terlebih dahulu. Sampai hujan pun reda, kulihat Nino beranjak dari kursi yang ia duduki sedari tadi menuju motornya yang terparkir manis di depan halte, menunggu majikannya dengan setia dan sepertinya Nino hendak pulang. Entah mengapa hati ini terasa sakit, tiba-tiba saja aku teringat akan Rian (mantanku dan orang yang selalu menghubungiku) teringat akan kandasnya hubunganku dulu dengan cara yang terlalu menyakitkan. Entah siapa yang memerintahkan tanganku, kugapai tangan Nino yang tengah berdiri mempunggungiku dan wajahku menunduk disusul air bening yang mulai berjatuhan dari mataku ini. Kurasakan ada pergerakan dari tangan Nino. Benar saja begitu kutengadahkan wajahku menatap ke depan, kulihat Nino sedang bersimpuh di hadapanku memperhatikanku dengan mata teduhnya. Kuhapus air mataku dan tersenyum kepadanya, entah mengapa Nino jadi melamun sendiri. Berkali-kali kuajak dia berbicara namun lagi-lagi dia menjawab sedikit dan kembali melamun, Nino agak aneh hari ini. Siang itu ku pulang ke rumah dengan perasaan bahagia karena Nino mengantarkanku pulang walaupun hanya sampai gang, karena tidak mungkin untuk motor besarnya memasuki gang sempit ini.
—
Sabtu malam atau lebih tepatnya malam minggu, gua dan Resti pergi ke salah satu pasar malam yang selama dua minggu ini akan ada di daerahku. Malam itu Resti tampak cantik sekali dengan kemeja panjang bergaris warna pink dengan warna dasar putih dipadu dengan rok warna senada, menambah kesan anggun ia malam ini. Kuparkirkan motor kesayanganku, lalu menarik lebih tepatnya menggandeng tangan Resti ke tempat loket untuk membeli dua buah tiket untuk naik bianglala.
“Nino aku enggak mau naik bianglala, bisa-bisa nanti muntah.”
“Enggak apa-apa kak, lagian udah dibeli kok. Kalo kakak takut teriak aja!”
“Ih kamu tuh.”
“…”
“emmm, yaudah deh.” Ucapnya dengan bibir agak manyun.
Gua memberikan dua buah tiket milik gua dan Resti kepada abang-abang yang berjaga di dekat bianglala, kemudian gua dan Resti naik bianglala itu. Tidak perlu menunggu waktu lama, bianglala yang sebelumnya sepi telah terisi dengan banyak sekali orang tentunya dengan pasangannya masing-masing. Mulai dari yang muda sampai yang lanjut usia menaiki wahana ini. Abang-abang yang berjaga di dekat bianglala tadi yang bertugas mengambil tiket dari para pengunjung hendak menarik tuas di sebelah ia berdiri yang akan membuat bianglala ini bergerak dan berputar. Bianglala pun mulai berputar secara perlahan namun lama kelamaan semakin kencang saja. Gua lirik Resti yang duduk di sebelah gua tengah memeluk tangan gua erat seraya menutup kedua matanya, gua yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum memandangnya. Gua sama sekali tidak bersuara melainkan menampilkan ekspresi datar selama menaiki wahana ini, karena dibanding dengan wahana lain yang pernah gua coba, bianglala ini tidak ada apa-apanya. Gerakan bianglala pun melambat dan semakin melambat sampai akhirnya berhenti. Mengetahui bianglala yang telah berhenti, Resti pun segera berlari ke luar dari bilanglala menjauhi kerumunan orang di pasar malam ini dan menuju sebuah semak-semak. Gua yang melihat itu lalu berjalan mendekati Resti dan yang gua lihat adalah Resti Nampak sedang memuntahkan isi perutnya. Gua rasa dia mual setelah naik bianglala tadi.
Rasa manis mulai merasuki indra pengecap gua setelah gua memasukkan permen kapas ini ke dalam mulut. Gua memang paling suka sama makanan dan minuman yang manis, termasuk permen kapas ini yang tidak pernah ketinggalan gua beli kalau gua berkunjung ke pasar malam bersama keluarga gua. Dan mungkin kalau gua tidak suka kepada Resti gua pun akan memakannya karena dia manis. Sambil menikmati permen kapas yang mulai habis, gua lirik Resti di samping gua yang sedang mengoleskan minyak aromaterapi di bagian bawah hidungnya (tempat kumis berada, bagi yang laki-laki) sembari memijit-mijit pelan dahinya. Gua merasa iba melihat dia muntah-muntah tadi, tapi agak lucu juga sih mengingat dia yang sudah dewasa (lebih dewasa dari gua) muntah ketika naik bianglala yang tidak terlalu cepat berputarnya.
“Kakak naik bianglala aja muntah.” Ledek gua.
“…”
“Kak?”
“Apa sih? Aku pusing tau setiap naik itu, kamunya aja yang tetep maksa.”
“Ya maaf kak.” Ucap gua dengan wajah yang dibuat cemberut.
Seketika Resti pun melirik gua dan.
“Ushhhh udah dong kamu jangan cemberut gitu ah.” Ucapnya seraya mencubit pipi gua.
“Aduhh sakit tau kak.”
Resti pun tertawa lepas seakan-akan telah lupa akan rasa mual dan pusing yang menghinggapi dirinya. Dan malam itu gua menghabiskan waktu bersama Resti hanya untuk sekedar mengobrol atau kembali bermain wahana lain (selain bianglala) di pasar malam tersebut. Jam tangan gua sudah menunjukkan pukul sembilan dan gua pun pulang dengan mengantarkan Resti terlebih dahulu dan tentunya hanya sampai di depan gang rumahnya. Tidak gua sangka sebelumnya akan bisa sedekat ini dengan Resti, tapi gua senang dan gua berharap bisa terus seperti ini walau sampai detik ini gua belum mengungkapkan isi hati gua sama sekali.
Cerpen Karangan: Muhammad Ilham
Blog: mydaily241.blogspot.com
Hujan Yang Sama Cerita Berbeda (Part 3)
4/
5
Oleh
Unknown