Judul Cerpen Hujan Yang Sama Cerita Berbeda (Part 4)
“Ayo ke luar Nino, kita sarapan dulu!.” Teriak ibu dari luar kamar gua.
“Iya bu, sebentar lagi Nino ke luar dan turun.”
“Baiklah terserah kamu saja.”
“…”
“Payah, gua masih aja belum bisa lupain dia.” Gumam gua dalam hati, dengan mata yang masih memandang kosong ke arah hujan di luar jendela kamar.
Tidak berapa lama pun akhirnya gua beranjak dari lamunan panjang gua dan segera menuju meja makan, yang disana sudah ada ayah, ibu dan tentunya istri gua.
“Cepat kemari Nino kita makan sama-sama, ini Shinta yang masak loh.”
“Iya bu.”
Shinta baru mulai belajar masak dan sepertinya yang mengajarinya masak itu ibu gua. Kemudian gua mencicipi ayam bakar madu buatan Shinta dan ternyata rasanya benar-benar enak bahkan lebih enak dari buatan ibu.
“Wahhh enak banget masakannya dek (panggilan gua untuk Shinta), bahkan masakan ibu kalah enaknya.” Ucap gua seraya mengusap kepala Shinta yang tertutup jilbab.
“Ah kamu bisa aja mas (panggilan Shinta untuk gua).”
“Ehmmm, itu ibu yang ngajarin loh.” Ucap ibu yang membuat kita semua yang ada di meja makan ini tertawa.
Selesai makan gua kembali menuju kamar gua dan tentu saja mentap kosong ke arah luar jendela yang terdapat hujan semakin deras. Belum sampai gua terbawa terlalu jauh dalam lamunan gua, pintu kamar pun terbuka dan masuklah seorang bidadari yang hendak pamit kepada gua untuk bekerja di hari ini. Ya tidak lain dan tidak bukan bidadari itu adalah istri gua, istri gua mengajar di salah satu Sekolah Dasar Negeri di kota ini. Mengajar adalah cita-citanya dan meski kehidupan kami telah sangat cukup ia tetap ingin mengajar dan tentu saja istri gua mengajar bukan karena ingin membantu gua dalam mencari nafkah.
“Mas aku berangkat dulu ya.” Sambil mencium tangan gua.
“Iya hati-hati ya sayang.”
Istri gua pun berbalik dan sekarang gua tatap punggungnya yang kemudian menghilang ketika ia keluar dari kamar ini. Gua kembali menatap ke arah luar jendela. Ah sial, gua lupa kalau pagi ini hujan. Gua langsung menyusul istri gua dan sampainya disana ayah gua berteriak.
“Nino, kamu tuh gimana sih? Hujan deras begini, istri disuruh berangkat sendiri cepat pakai mobil ayah! Lagipula ayah belum berangkat.” Ucap ayah gua sambil melemparkan kunci mobilnya.
“Baik yah.” Ucap gua dengan sigap menangkap kunci mobil yang ayah lemparkan.
Gua berlari ke arah luar rumah mendapati istri gua yang sedang memakai sepatunya, segera gua menghampirinya.
“Dek di luar hujan, ayo mas antar.”
“Hmm, baik mas.”
Gua menggandeng tangan istri gua menuju mobil ayah dan membukakan pintu untuknya. Gua pacu mobil ayah dalam kecepatan sedang di tengah hujan yang mengguyur kota ini dengan derasnya. Sekembalinya dari mengantar istri gua, gua kembali ke kamar dan meneruskan lamunan panjang gua tentang “dia” tentang “Resti”.
—
Siang itu sekaligus hari dimana kami (gua dan Resti) akan berpisah. Siang itu hujan turun dengan derasnya yang membuat gua kembali menunggu di halte bis dan tentunya ada Resti di samping gua. Sebenarnya pertemuan kali ini bukan karena kebetulan lagi, melainkan Resti yang meminta gua untuk menemuinya di halte ini, siang ini. Dengan wajah menunduk Resti pun mulai berbicara.
“Kita udah lama saling kenal Nino, bahkan hubungan kita semakin dekat…”
“Dan… dan sampai sekarang aku belum tau soal perasaanmu terhadapku.”
“…” Gua terdiam.
“Mungkin ini aneh karena aku duluan yang bertanya, karena aku rasa kamu sebagai laki-laki sama sekali enggak punya keberanian untuk itu.”
Jleb kata-kata Resti kena di hati gua. Resti pun berdiri dari duduknya dan memandang hujan, tapi gua? Ya gua memang pengecut dan pada saat itu gua hanya mendengarkan Resti bicara.
“Aku ingin ada kepastian Nino!”
“Tentang hubungan kita, tentang perasaanmu padaku!”
“…” Gua masih terdiam.
“Hujan ini memang deras, tapi selalu ada kepastian bahwa akan reda.”
“Aku lebih memilih menerobos hujan ini yang masih ada kepastiannya, daripada aku disini terus bersamamu lelaki yang tidak memiliki kepastian apa-apa terhadapku, terhadap hubungan ini.” Ucapan terakhir Resti sebelum ia pergi menerobos derasnya hujan.
Gua terbelalak dengan apa yang baru saja Resti katakan dan perbuat. Namun sama sekali tidak membuat gua beranjak dari duduk gua, seketika air bening mulai ke luar dari kelopak mata meratapi kepedihan di hati ini, sekaligus mengutuki kepengecutan gua selama ini. Dan setelah itu gua tidak pernah mendengar akan kabar Resti lagi.
Bertahun-tahun sudah gua lewati, namun tetap saja tidak bisa membuat gua lupa akan Resti, lupa akan akhir cerita kita. Bahkan sampai gua menemukannya (Shinta) sosok yang telah menjadi pendamping gua sekarang ini, belum bisa membuat gua lupa total akan Resti. Gua lirik jam dinding bulat di kamar gua yang telah menampilkan jarum panjang dan jarum pendek diangka dua belas, yang artinya waktu mengajar Shinta telah selesai. Dengan terburu-buru gua mengambil handphone di meja rias kamar gua, lalu membuka kontak nomor mencari sebuah kontak yang bernamakan istri gua setelah ketemu langsung gua menghubunginya.
“Assalamualaikum dek.”
“Waalaikumsalam mas, iya ada apa?”
“Adek masih di sekolahan kan? Mas kesana ya mas jemput.”
“Mas pakai motor nanti mas bawakan jas hujan, soalnya mobil sudah dipakai ayah.”
“Baik mas aku tunggu yah.”
“Ya sudah mas mau siap-siap dulu, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Gua akhiri panggilan dan bergegas ke bagasi untuk mengeluarkan motor sport fairing kesayangan gua dengan membawa jas hujan lalu melesat di jalan. Sial di jalan ban motor gua terkena paku dan mengharuskannya di tambal, lekas gua memberitahu istri gua untuk tetap menunggu. Untung saja gua sampai di halte bis ini yang di seberangnya terdapat tambal ban. Setelah menyuruh tukang tambal ban untuk menambal ban motor gua, lekas gua menuju halte bis ini untuk sekedar berteduh. Gua berteduh sambil duduk di samping seorang perempuan yang kira-kira berumur diatas gua sedang menunduk membaca novel sembari memakai headset di telinganya. Tidak menunggu waktu lama, seorang mekanik di seberang melambaikan tangannya kearah gua mengisyaratkan bahwa ban motor gua telah selesai ditambal. Lantas mengetahui hal tersebut gua lalu beranjak dari duduk gua dan hendak berjalan keluar dari halte, namun sebuah suara yang tak asing di telinga gua menghentikan langkah kaki ini.
“Nino, kamu mau kemana?”
“…” Gua menengok ke arah sumber suara.
“Udah lama kita engga ketemu, kamu apa kabar?”
“Kamu Resti?”
“Iya, kamu fikir siapa lagi?”
“…”
Kami pun terdiam sesaat sampai mekanik itu memanggil gua lagi. Dan gua hendak memutar tubuh lagi ingin menghampirinya namun seketika tangan gua ditahan dan gua berbalik, Resti memeluk gua.
“Kamu terlalu dingin, bahkan lebih dingin dari cuaca siang ini.” Ucap Resti dengan tertatih.
“…” Gua masih terdiam, terutama dengan apa yang Resti lakukan.
Kemudian Resti melepaskan pelukannya dan menatap mata gua.
“Aku rindu padamu Nino dan sampai sekarang aku belum bisa melupakanmu.”
“A..aaku pun begitu kak.” Ucap gua dengan ragu.
“Kenapa tidak dari dulu? Kenapa tidak dari dulu kau membutuhkan kehadiranku?”
“Aku tidak bisa berkata banyak di depanmu dan selalu begitu.”
“…”
“Melihat kau pergi dengan menorobos hujan deras di siang itu, membuatku sakit.”
“…”
“Membuat aku benci terhadap diriku sendiri yang selalu bertindak seperti pengecut di depanmu kak.”
“Dan pastinya kau pun sama denganku, kita telah memiliki kehidupan masing-masing.”
“Iya kak, aku baru aja mau menjemput istriku.”
“Dan aku disini menunggu suamiku, untuk menjemputku Nino.” Ucapnya seraya tersenyum kepadaku.
Hujan pun mulai reda dan berhenti. Setelah percakapan singkat itu gua ijin kepada Resti untuk mengambil motor dan segera menuju tempat dimana istri gua tengah menunggu.
“Aku berharap dengan pertemuan ini, membuat kita…” Ucap Resti sambil menyeka air bening yang hendak keluar dari matanya.
“Bisa saling melupakan satu sama lain.” Sambung gua meneruskan kalimat Resti.
Resti pun tersenyum dan masih senyuman yang sama seperti dahulu.
Setelah mengambil motor dari tambal ban, gua langsung melesat ke sekolah istri gua mengajar.
“Kok lama mas?”
“Iya tadi di jalan ban motor aku bocor jadi ditambal dulu dan kebetulan ketemu teman lama di halte jadi ya ngobrol dulu.”
“Teman lama? Siapa?” Tanya istri gua seraya naik ke motor gua.
“Ada lah temen lama aku.”
“Ohh.”
—
Tidak aku sangka aku bertemu dengan Nino di siang ini, di halte yang sama dengan hujan yang sama. Tidak bertemu selama bertahun-tahun membuat Nino telah memiliki kehidupannya sendiri, begitupun denganku. Dan pertemuan kali ini, aku berharap bisa melupakannya, melupakan kenangan bersamanya karena kini telah hadir sosok Ardi di sampingku yang selalu berusaha menjadi yang terbaik untukku dan ku bangga telah memilikinya. Tinnn… tinnn, bunyi klakson mobil yang tak asing di telingaku seraya berhenti sebuah mobil di depan halte ini. Kaca mobil pun segera turun menampilkan sosok wajah laki-laki yang kucinta.
“Ayo sayang naik, kita pulang.”
“Baik sayang.” Ucapku sembari melangkahkan kaki menuju suamiku yang menunggu di mobil.
Ku masuk ke mobil, duduk di samping suamiku dan membiarkan kaca mobil di sampingku terbuka sambil memandang langit. Kuputar memoriku tentang kebersamaanku dengan Nino di selingi dengan senyuman kecil. Aku dan Nino bertemu di halte itu dengan hujan yang sama dan kini dengan cerita yang berbeda.
Cerpen Karangan: Muhammad Ilham
Blog: mydaily241.blogspot.com
“Ayo ke luar Nino, kita sarapan dulu!.” Teriak ibu dari luar kamar gua.
“Iya bu, sebentar lagi Nino ke luar dan turun.”
“Baiklah terserah kamu saja.”
“…”
“Payah, gua masih aja belum bisa lupain dia.” Gumam gua dalam hati, dengan mata yang masih memandang kosong ke arah hujan di luar jendela kamar.
Tidak berapa lama pun akhirnya gua beranjak dari lamunan panjang gua dan segera menuju meja makan, yang disana sudah ada ayah, ibu dan tentunya istri gua.
“Cepat kemari Nino kita makan sama-sama, ini Shinta yang masak loh.”
“Iya bu.”
Shinta baru mulai belajar masak dan sepertinya yang mengajarinya masak itu ibu gua. Kemudian gua mencicipi ayam bakar madu buatan Shinta dan ternyata rasanya benar-benar enak bahkan lebih enak dari buatan ibu.
“Wahhh enak banget masakannya dek (panggilan gua untuk Shinta), bahkan masakan ibu kalah enaknya.” Ucap gua seraya mengusap kepala Shinta yang tertutup jilbab.
“Ah kamu bisa aja mas (panggilan Shinta untuk gua).”
“Ehmmm, itu ibu yang ngajarin loh.” Ucap ibu yang membuat kita semua yang ada di meja makan ini tertawa.
Selesai makan gua kembali menuju kamar gua dan tentu saja mentap kosong ke arah luar jendela yang terdapat hujan semakin deras. Belum sampai gua terbawa terlalu jauh dalam lamunan gua, pintu kamar pun terbuka dan masuklah seorang bidadari yang hendak pamit kepada gua untuk bekerja di hari ini. Ya tidak lain dan tidak bukan bidadari itu adalah istri gua, istri gua mengajar di salah satu Sekolah Dasar Negeri di kota ini. Mengajar adalah cita-citanya dan meski kehidupan kami telah sangat cukup ia tetap ingin mengajar dan tentu saja istri gua mengajar bukan karena ingin membantu gua dalam mencari nafkah.
“Mas aku berangkat dulu ya.” Sambil mencium tangan gua.
“Iya hati-hati ya sayang.”
Istri gua pun berbalik dan sekarang gua tatap punggungnya yang kemudian menghilang ketika ia keluar dari kamar ini. Gua kembali menatap ke arah luar jendela. Ah sial, gua lupa kalau pagi ini hujan. Gua langsung menyusul istri gua dan sampainya disana ayah gua berteriak.
“Nino, kamu tuh gimana sih? Hujan deras begini, istri disuruh berangkat sendiri cepat pakai mobil ayah! Lagipula ayah belum berangkat.” Ucap ayah gua sambil melemparkan kunci mobilnya.
“Baik yah.” Ucap gua dengan sigap menangkap kunci mobil yang ayah lemparkan.
Gua berlari ke arah luar rumah mendapati istri gua yang sedang memakai sepatunya, segera gua menghampirinya.
“Dek di luar hujan, ayo mas antar.”
“Hmm, baik mas.”
Gua menggandeng tangan istri gua menuju mobil ayah dan membukakan pintu untuknya. Gua pacu mobil ayah dalam kecepatan sedang di tengah hujan yang mengguyur kota ini dengan derasnya. Sekembalinya dari mengantar istri gua, gua kembali ke kamar dan meneruskan lamunan panjang gua tentang “dia” tentang “Resti”.
—
Siang itu sekaligus hari dimana kami (gua dan Resti) akan berpisah. Siang itu hujan turun dengan derasnya yang membuat gua kembali menunggu di halte bis dan tentunya ada Resti di samping gua. Sebenarnya pertemuan kali ini bukan karena kebetulan lagi, melainkan Resti yang meminta gua untuk menemuinya di halte ini, siang ini. Dengan wajah menunduk Resti pun mulai berbicara.
“Kita udah lama saling kenal Nino, bahkan hubungan kita semakin dekat…”
“Dan… dan sampai sekarang aku belum tau soal perasaanmu terhadapku.”
“…” Gua terdiam.
“Mungkin ini aneh karena aku duluan yang bertanya, karena aku rasa kamu sebagai laki-laki sama sekali enggak punya keberanian untuk itu.”
Jleb kata-kata Resti kena di hati gua. Resti pun berdiri dari duduknya dan memandang hujan, tapi gua? Ya gua memang pengecut dan pada saat itu gua hanya mendengarkan Resti bicara.
“Aku ingin ada kepastian Nino!”
“Tentang hubungan kita, tentang perasaanmu padaku!”
“…” Gua masih terdiam.
“Hujan ini memang deras, tapi selalu ada kepastian bahwa akan reda.”
“Aku lebih memilih menerobos hujan ini yang masih ada kepastiannya, daripada aku disini terus bersamamu lelaki yang tidak memiliki kepastian apa-apa terhadapku, terhadap hubungan ini.” Ucapan terakhir Resti sebelum ia pergi menerobos derasnya hujan.
Gua terbelalak dengan apa yang baru saja Resti katakan dan perbuat. Namun sama sekali tidak membuat gua beranjak dari duduk gua, seketika air bening mulai ke luar dari kelopak mata meratapi kepedihan di hati ini, sekaligus mengutuki kepengecutan gua selama ini. Dan setelah itu gua tidak pernah mendengar akan kabar Resti lagi.
Bertahun-tahun sudah gua lewati, namun tetap saja tidak bisa membuat gua lupa akan Resti, lupa akan akhir cerita kita. Bahkan sampai gua menemukannya (Shinta) sosok yang telah menjadi pendamping gua sekarang ini, belum bisa membuat gua lupa total akan Resti. Gua lirik jam dinding bulat di kamar gua yang telah menampilkan jarum panjang dan jarum pendek diangka dua belas, yang artinya waktu mengajar Shinta telah selesai. Dengan terburu-buru gua mengambil handphone di meja rias kamar gua, lalu membuka kontak nomor mencari sebuah kontak yang bernamakan istri gua setelah ketemu langsung gua menghubunginya.
“Assalamualaikum dek.”
“Waalaikumsalam mas, iya ada apa?”
“Adek masih di sekolahan kan? Mas kesana ya mas jemput.”
“Mas pakai motor nanti mas bawakan jas hujan, soalnya mobil sudah dipakai ayah.”
“Baik mas aku tunggu yah.”
“Ya sudah mas mau siap-siap dulu, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Gua akhiri panggilan dan bergegas ke bagasi untuk mengeluarkan motor sport fairing kesayangan gua dengan membawa jas hujan lalu melesat di jalan. Sial di jalan ban motor gua terkena paku dan mengharuskannya di tambal, lekas gua memberitahu istri gua untuk tetap menunggu. Untung saja gua sampai di halte bis ini yang di seberangnya terdapat tambal ban. Setelah menyuruh tukang tambal ban untuk menambal ban motor gua, lekas gua menuju halte bis ini untuk sekedar berteduh. Gua berteduh sambil duduk di samping seorang perempuan yang kira-kira berumur diatas gua sedang menunduk membaca novel sembari memakai headset di telinganya. Tidak menunggu waktu lama, seorang mekanik di seberang melambaikan tangannya kearah gua mengisyaratkan bahwa ban motor gua telah selesai ditambal. Lantas mengetahui hal tersebut gua lalu beranjak dari duduk gua dan hendak berjalan keluar dari halte, namun sebuah suara yang tak asing di telinga gua menghentikan langkah kaki ini.
“Nino, kamu mau kemana?”
“…” Gua menengok ke arah sumber suara.
“Udah lama kita engga ketemu, kamu apa kabar?”
“Kamu Resti?”
“Iya, kamu fikir siapa lagi?”
“…”
Kami pun terdiam sesaat sampai mekanik itu memanggil gua lagi. Dan gua hendak memutar tubuh lagi ingin menghampirinya namun seketika tangan gua ditahan dan gua berbalik, Resti memeluk gua.
“Kamu terlalu dingin, bahkan lebih dingin dari cuaca siang ini.” Ucap Resti dengan tertatih.
“…” Gua masih terdiam, terutama dengan apa yang Resti lakukan.
Kemudian Resti melepaskan pelukannya dan menatap mata gua.
“Aku rindu padamu Nino dan sampai sekarang aku belum bisa melupakanmu.”
“A..aaku pun begitu kak.” Ucap gua dengan ragu.
“Kenapa tidak dari dulu? Kenapa tidak dari dulu kau membutuhkan kehadiranku?”
“Aku tidak bisa berkata banyak di depanmu dan selalu begitu.”
“…”
“Melihat kau pergi dengan menorobos hujan deras di siang itu, membuatku sakit.”
“…”
“Membuat aku benci terhadap diriku sendiri yang selalu bertindak seperti pengecut di depanmu kak.”
“Dan pastinya kau pun sama denganku, kita telah memiliki kehidupan masing-masing.”
“Iya kak, aku baru aja mau menjemput istriku.”
“Dan aku disini menunggu suamiku, untuk menjemputku Nino.” Ucapnya seraya tersenyum kepadaku.
Hujan pun mulai reda dan berhenti. Setelah percakapan singkat itu gua ijin kepada Resti untuk mengambil motor dan segera menuju tempat dimana istri gua tengah menunggu.
“Aku berharap dengan pertemuan ini, membuat kita…” Ucap Resti sambil menyeka air bening yang hendak keluar dari matanya.
“Bisa saling melupakan satu sama lain.” Sambung gua meneruskan kalimat Resti.
Resti pun tersenyum dan masih senyuman yang sama seperti dahulu.
Setelah mengambil motor dari tambal ban, gua langsung melesat ke sekolah istri gua mengajar.
“Kok lama mas?”
“Iya tadi di jalan ban motor aku bocor jadi ditambal dulu dan kebetulan ketemu teman lama di halte jadi ya ngobrol dulu.”
“Teman lama? Siapa?” Tanya istri gua seraya naik ke motor gua.
“Ada lah temen lama aku.”
“Ohh.”
—
Tidak aku sangka aku bertemu dengan Nino di siang ini, di halte yang sama dengan hujan yang sama. Tidak bertemu selama bertahun-tahun membuat Nino telah memiliki kehidupannya sendiri, begitupun denganku. Dan pertemuan kali ini, aku berharap bisa melupakannya, melupakan kenangan bersamanya karena kini telah hadir sosok Ardi di sampingku yang selalu berusaha menjadi yang terbaik untukku dan ku bangga telah memilikinya. Tinnn… tinnn, bunyi klakson mobil yang tak asing di telingaku seraya berhenti sebuah mobil di depan halte ini. Kaca mobil pun segera turun menampilkan sosok wajah laki-laki yang kucinta.
“Ayo sayang naik, kita pulang.”
“Baik sayang.” Ucapku sembari melangkahkan kaki menuju suamiku yang menunggu di mobil.
Ku masuk ke mobil, duduk di samping suamiku dan membiarkan kaca mobil di sampingku terbuka sambil memandang langit. Kuputar memoriku tentang kebersamaanku dengan Nino di selingi dengan senyuman kecil. Aku dan Nino bertemu di halte itu dengan hujan yang sama dan kini dengan cerita yang berbeda.
Cerpen Karangan: Muhammad Ilham
Blog: mydaily241.blogspot.com
Hujan Yang Sama Cerita Berbeda (Part 4)
4/
5
Oleh
Unknown