Partner

Baca Juga :
    Judul Cerpen Partner

    “Kamu dengan siapa?”
    “Entahlah, mungkin aku menulis dengan dinding.”
    “Apa yang akan kau tulis?”
    “Entahlah, tidak ada yang patut kutulis dalam situasi yang entah seperti ini.”
    “Selanjutnya, kalau kamu menulis dengan dinding, aku menulis dengan siapa?”
    “Baiklah, daripada aku menulis dengan dinding yang diam, menulislah denganku.”
    Tak berlanjut lama percakapan antara lelaki dan wanita yang duduk di kafe tersebut. Tangan Meta yang lalu mencengkeram laptop berganti menghujani huruf-hurufnya.

    Mereka bertemu seminggu yang lalu. Keduanya dipertemukan pada sebuah acara pelatihan penulis. Saat itu kegiatan yang dilangsungkan ialah menulis bersama. Setiap peserta disuruh untuk mencari partner sebagai lawan sepenulisnya.

    Hendra mengamati cara bagaimana Meta menulis dengan tenang. Jemarinya perlahan namun pasti menciptakan rangkaian kalimat-kalimat. Selang beberapa menit ia berhenti dan menyodorkan laptop kepada lelaki di depannya tanpa suara. Hendra membaca dengan cepat apa yang wanita itu tulis.
    Sangat bagus penilaiannya sebagai seorang pemula. Lelaki itu melanjutkan dengan tulisan yang ia rangkai sendiri. Sesekali gelas di sebelah laptop ia gapai untuk diteguk guna menghapus dahaga. Jemarinya kembali bergerak melahirkan huruf-huruf di layar laptop. Tiba-tiba otaknya kehabisan stok kata-kata. Jemarinya hanya menyentuh. Tak menekan. Berfikir keras.

    “Sudah? Apa saya saja yang melanjutkan?” Tawar wanita itu. Membuat jantung lawan bicaranya berhenti berdetak. Hendra hanya mengangguk kecil. Meta mulai menengadahkan laptop dan membaca tulisan yang diciptakan lelaki itu.

    Penilaiannya, begitu awam. Sangat pemula jika dilihat dari postur tulisannya. Sangat di bawah standar dan begitu berbeda dengan tulisan pertama yang sebenarnya sudah amat lama berpengalaman dalam dunia tulis-menulis. Meta pun melanjutkan. Ia berharap semoga ini tidak menjadi karya yang buruk. Tapi lihatlah! Pada tulisan bawah terdapat tanda bintang dengan kata-kata yang tak ia mengerti. Pertama kali aku bertemu denganmu, kulihat hidung mancung dan mata berkilau dengan aksesoris bulu mata lentik. Ketenanganmu dalam menuis semakin membuat jantungku berdetak tak keruan.
    Meta segera membalasnya di bawahnya dengan awalan tanda pagar: menulislah sesuai alur cerita. Aku tak ingin ini menjadi karya yang buruk.
    Namun, bukannya menulis sesuai rencana awal, kami mengganti tema dengan sendirinya. Yaitu mengenai curahan hati terhadap sosok yang berhadap-hadapan ini. Saling balas-membalas dalam diam. Jarilah yang berbicara menciptakan tulisan. Laptoplah perantara untuk menampung tulisan yang dibaca. Saat Hendra menulis balasan, terjadi sebuah kecelakaan. Matanya tak berkedip beberapa saat. Melihat layar laptop yang tak memancarkan cahaya. Mati. Mulailah dengan obrolan melalui mulut yang berbicara.

    “Jadi, bagaimana selanjutnya?” Hendra menutup laptop dan menjauhkannya beberapa senti.
    “Selanjutnya?” Meta menggapai gelas yang isinya sudah hampir habis. Begitu juga dengan Hendra.
    “Kau menerimaku?”
    “Ya. Aku menerimamu. Tapi jangan sampai ada orang dalam pelatihan penulis ada yang mengerti. Kita harus menyembunyikan hubungan ini.”
    “Hubungan gelap?”
    “Ya. Sama dengan gelapnya laptop di depan kita.”

    Cerpen Karangan: Hayah
    Facebook: Hayah Nisrine Firda / Hayah Nisrina

    Artikel Terkait

    Partner
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email