Judul Cerpen Sunset And The Misterious Girl
Sore ini, sebuah keinginan untuk menyapa “dirinya” pun muncul secara spontan. Entah mengapa, perasaan ini harus muncul secara spontanitas di pantai yang indah dan sepi ini.
Aku memandangi pantai dari kejauhan. Tidak, bukan pantai yang kupandang, tetapi perempuan yang duduk di tepi pantai. Di pantai ini hanya ada aku dan perempuan itu.
Perempuan itu… lucu, imut dan manis. dia sedang menulis sesuatu pada buku tebal dengan penanya. Entah apa yang ia tulis. Jujur, aku penasaran dengan tulisan-tulisan yang telah ia tulis.
Aku sering memperhatikan dia dari jauh secara diam-diam, di sekolah dan di pantai. dia adalah sesosok perempuan yang pendiam dan misterius. Setiap sore menjelang tergelincirnya matahari, dia (hampir) selalu berada di tepi pantai dan menulis-nulis sesuatu pada buku tebal miliknya.
Aku dan dia bersekolah di satu SMA yang sama. Bahkan, kami mendapat angkatan yang sama, tepatnya angkatan para anak kelas 3 SMA. Namun, kami tak pernah mendapat kelas yang sama.
Aku dan dia (lumayan) sering berpapasan di sekolah. Pernah pula beberapa kali kami saling bercakap-cakap, dan hanya sekali kami mengobrol dan bercanda, itu pun hanya berdua. Namun, aku sama sekali tak tahu dan tak pernah tahu siapa namanya.
Berbagai cara kulakukan untuk mengetahui siapa namanya, tapi tak pernah berhasil. Bahkan, banyak teman sekelasnya yang tak tahu siapa namanya. Dan hal ini semakin membuatku penasaran siapa namanya yang sebenarnya.
dia memang sangat misterius. Sulit untuk menebak tentang dirinya. Bahkan, hanya sekedar mengetahui namanya sangat sulit bagiku.
Aku pernah beberapa kali menanyakan langsung padanya tentang siapa namanya, namun jawabannya selalu, “Kau akan tahu saat wisuda nanti.”. Dan, kalimat itu semakin membuatku penasaran. Hatiku terus merindukannya, sedangkan otakku terus penasaran tentang dirinya.
Aku dan dia tak pernah sekalipun berpapasan di pantai. Aku selalu bersembunyi darinya di pantai. Aku belum siap terpergok olehnya bahwa aku sering mengamatinya.
Aku menatap matahari. Senja. Sebentar lagi, matahari akan tergelincir.
Kembali kutatap dia. Ia menutup buku tebalnya dan meletakkannya di sebelahnya, tepatnya di peparisan pantai yang kering. Lalu, pena miliknya pun ia masukkan ke dalam saku celananya. Ia duduk memeluk lutut dan menikmati betapa indahnya langit senja.
Dia terus menatap langit yang senja. Aku bingung padanya. Apakah ia tak merasa bosan memandangi langit senja dari pantai? Hampir setiap hari ia melakukannya.
Baru menatap langit senja selama semenit, aku sudah merasa bosan. Tapi, dia?
Tibalah saat dimana matahari tergelincir. Biasanya, dia akan pergi meninggalkan pantai bersama buku tebal beserta penanya di saat-saat seperti ini.
Pernah beberapa kali aku membuntutinya ketika ia berjalan pulang dari pantai. Aku ingin tahu dimana rumahnya. Namun, selalu saja gagal. Aku selalu kehilangan jejaknya. Padahal, ia biasa berjalan dengan kecepatan yang biasa saja.
Dia bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan pantai. Aku penasaran dimana rumahnya. Aku ingin mengetahuinya. Mungkin, bila aku mengikuti langkahnya KALI INI, aku akan gagal lagi. Tapi tak ada salahnya berusaha kembali setelah gagal, kan? Walau, aku tak ingin jatuh ke lubang yang sama untuk yang kesekian kalinya.
Dia masih berada di pantai. Ia terus berjalan pergi meninggalkan pantai. Semakin lama, jarakku dengannya semakin jauh.
Tunggu. dia berjalan pulang dari pantai tanpa membawa buku tebalnya. Aku mengalihkan pandanganku darinya dan menatap sekitaran tempat dimana tadi ia duduki. Buku miliknya masih tergeletak di tepi pantai!
Aku keluar dari tempat persembunyianku dan berlari menuju tempat dimana buku tebalnya berada. Aku mengambil buku tersebut, lalu memutar badanku seratus delapan puluh derajat.
Dia masih berada di pantai ini. Namun, sebentar lagi kakinya akan menginjak permukaan bumi yang tak berpasir.
Aku membawa buku tebal tersebut dengan tangan kiriku. Aku berdiri tegak dan menatap dirinya dari kejauhan. Ia berjalan dengan begitu tenang. Pasti ia tak sadar bahwa “barang berharga” milliknya ini tertinggal di tepi pantai.
Aku harus berlari mengejarnya dan memberikan buku ini padanya. Aku yakin, pasti buku ini sangat berharga di mata dan hatinya.
Dia belum menghilang dari pandangan mataku. Namun dirinya sudah sekecil semut di mataku.
Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus berteriak memanggilnya? Apa aku harus berlari menghampirinya?
Di pantai ini hanya ada kami berdua. Walau jarak kami sangat jauh, mungkin ia masih dapat mendengar suara teriakanku. Kalau begitu, akan kucoba berteriak memanggilnya.
“HEY!!!” teriakku dengan suara terbesar yang aku mampu. Namun, ia sama sekali tak merespon. Bodohnya, tak mungkin ia akan mendengar suaraku. Kalau begitu, berarti aku harus berlari mengejarnya seraya berteriak memanggilnya.
Aku berlari mengejar dia. “HEY! TUNGGU DULU!!!” teriakku sekuat tenaga seraya berlari mengejarnya. Namun, tetap saja ia tak menyahut. Pasti ia masih tak dapat mendengar suara teriakanku.
Tiba-tiba, angin bertiup kencang. Aku yang sedang berlari seraya membawa buku tebal milik dia pun merasakan suatu rasa perih pada kedua mataku, tentunya karena butiran-butiran halus pasir memasuki mataku. Secara refleks, aku menutup mataku dan menggosok-gosok mataku dengan tangan kananku, namun aku tetap berlari.
Kaki kananku tersandung batu, sehingga badanku terhempas ke perpasiran. Buku yang kubawa dengan tangan kiriku pun terpental sekitar beberapa meter dari posisi tubuhku.
Aku mengangkat badanku perlahan-lahan. Sakit sekali rasanya, tetapi syukurlah, tak ada satu pun luka yang menempel pada tubuhku.
Astaga, aku sudah kehilangan jejak “perempuan itu”. Benar-benar sulit untuk menggapai dirinya.
Aku berjalan dengan kecepatan yang pelan. Aku lalu membungkukkan badanku dan mengambil buku tebal yang terlepas dari tangan kiriku ketika terjatuh tadi.
Mungkin, aku memang tak bisa mengembalikan buku ini padanya hari ini. Tapi masih ada hari esok. Besok adalah Hari Kamis. Dan pastinya, kami akan bertemu di sekolah.
Aku pun memutuskan untuk pulang. Aku berjalan ke luar dari pantai dan pulang ke rumahku.
Aku menghempaskan tubuhku di atas ranjang yang berada di kamarku. Kini, jam dinding kamarku telah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh menit. Aku menatap buku tebal yang berada di sebelah kepalaku. Buku tebal itu adalah buku milik dia.
Aku merasa bahagia seketika. Buku ini adalah buku yang berisi tulisan-tulisan miliknya kan? Selama ini, rasa penasaranku tentang apa yang ditulisnya pada buku ini terus menghantuiku. Namun, pasti rasa penasaran ini akan segera hilang. Aku akan membaca isi buku tebal ini.
Aku mengubah posisiku, yang tadinya berbaring, kini menjadi duduk di tepi ranjangku dan mengambil buku tebal tersebut. Buku ini memiliki panjang sekitar 28 cm sampai 30 cm dan lebar 5 cm sampai 8 cm. Waw, tebal sekali buku ini.
Aku memangku buku tebal ini dengan pahaku. Kutatap sampul buku ini. Sepertinya buku ini adalah buku jadul.
Aku mulai membuka buku ini. Muncullah lembaran pertama dari isi buku ini. Pada lembaran pertama ini tertulis sebuah tulisan kaligrafi, “Diariku”. Benar dugaanku, buku ini adalah buku diari alias buku harian.
Di bawah tulisan kaligrafi tersebut tertulis sebuah tanda tangan. Sudah pasti pemilik tanda tangan ini adalah dia. Di bawah tanda tangan dia tertulis, “Minggu, 15 Januari 1984”. Di samping kanan tanda tangan dia tertulis sebuah tulisan kecil, “ACP”.
“ACP”? Singkatan apa itu? Apakah itu adalah sebuah kode rahasia?
Di bawah tulisan “ACP” terdapat tulisan yang lebih kecil, “(inisial namaku)”. Oh, ternyata ACP adalah singkatan dari nama lengkapnya. Tapi siapa namanya? Mengapa ia tak menulis nama lengkapnya saja? Mengapa harus inisialnya? Perempuan misterius.
Aku pun mulai membaca lembaran-lembaran pada buku tersebut.
Minggu, 15 Januari 1984
Diari,
Ini adalah hari pertamaku menulis diari. Um… aku harus mengawalinya dengan apa ya?
Kamis, 2 Februari 1984
Aku suka senja. Aku juga menyukai pantai. Karena itulah aku sering menatap senja di pantai…
Menyukai senja? Senja memang indah, tapi membosankan untuk terus menerus dilihat, menurutku. Aku bingung padanya.
Aku pun terus membaca dan membaca. Ternyata, dia adalah seorang penyuka cerita ya. Aku dapat menebaknya dari caranya menulis diari.
Senin, 2 Agustus 1985
Diari,
Ini adalah hari pertamaku menjadi murid SMA. Selama sepekan ini, angkatanku akan menjalani MOS.
…
dia pun menceritakan pengalamannya pada tanggal 2 Agustus 1985 di dalam bukunya. Aku pun terus membaca dan membaca.
Rabu, 26 Maret 1986
Diari,
Aku merasa aneh dengan diriku sendiri. Akhir-akhir ini, jantungku selalu berdebar-debar ketika melihat, bertemu, ataupun berbicara dengan lelaki itu. Dan debaran ini terasa begitu menyenangkan. Apakah ini yang namanya cinta?
Lelaki itu bernama… tak perlu kuberitahu padamu ya, hehe. Aku tahu siapa namanya serta nama lengkapnya. Namun tak penting untuk kutulis…
Polos sekali dirinya. Bila hal itu terjadi, ya sudah pasti gejala tersebut bernama cinta. Tapi, siapa ya lelaki yang ia maksud? Kuharap, lelaki itu adalah aku.
Aku terus membaca dan membaca. Semenjak tanggal 25 Maret 1986, dia menjadi sering menulis tentang lelaki yang ia sukai. Namun, sampai sekarang aku belum menemukan siapa nama lelaki yang ia maksud. Aku belum melihat tulisan yang menuliskan siapa nama lelaki itu.
Selasa, 10 Maret 1987
Diari,
Tepat 17 tahun yang lalu adalah hari lahirku. Hari ini adalah hari pertamaku menginjak usia yang ke-17.
Memang, sebelumnya aku sama sekali tak pernah memberitahumu tentang hari ulangtahunku. Tetapi, hal itu ada alasannya. Tak mungkin aku melakukan sesuatu tanpa alasan sama sekali, kan?
Alasannya adalah… karena aku sedih. Aku selalu sedih bila mengingat hari lahirku. Kenapa? Karena, tak pernah sekalipun ada seseorang yang mengucapkan selamat untuk hari ulang tahunku, diberi kado ulang tahun pun tak pernah. Bahkan, orangtuaku cenderung lupa akan hari ulangtahunku, karena saking sibuknya bekerja.
Sebenarnya, hal ini adalah salahku. Aku tak pernah memberitahu pada siapapun kapan aku berulang tahun, sekalipun mereka sudah bertanya padaku…
Jadi, hari ulang tahunnya jatuh pada tanggal 10 Maret 1970? Tetapi, aku malah semakin penasaran. Kenapa dia tak pernah memberitahu kepada setidaknya satu orang saja bahwa pada tanggal tersebutlah ia terlahir di dunia, padahal dia juga ingin hari ulang tahunnya dirayakan, atau setidaknya diucapkan “selamat” oleh seseorang? Masih misterius.
Sabtu, 14 Maret 1987
Diari,
Aku takut. Kenapa ya, akhir-akhir ini aku sering merasa seperti ada seseorang yang mengamatiku, menguntitku, dan mengikutiku? Dan perasaan ini cenderung muncul ketika aku berada di sekolah dan atau pantai. Kuharap, ini hanya sekdar perasaanku dan bukan realita…
Jadi, selama ini ia merasa seperti ada yang mengikutinya? Namun ia tak tahu bahwa yang sering mengikutinya adalah aku.
Aku menatap jam dinding kamarku. Astaga, waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari? Aku sampai lupa waktu karena membaca buku harian milik dia.
Aku melanjutkan bacaanku.
Rabu, 9 Maret 1988
Diari,
Aku takut. Hampir setiap hari aku merasa seperti ada seseorang yang menguntitku. Dan perasaan itu muncul saat ini.
Diari, hari ini adalah hari terakhirku menginjak usia yang ke-17, karena mulai besok, usiaku akan bertambah setahun.
Diari, banyak sekali hal yang kuharapkan tentang “lelaki itu”.
Aku harap, cintaku tak bertepuk sebelah tangan.
Aku harap, besok ia memberiku hadiah ulang tahun.
Aku harap, besok ia mengucapkan selamat atas hari ulang tahunku.
Aku harap, ia menghampiriku di pantai ketika aku sedang menikmati indahnya senja.
Aku harap, aku dapat menikmati senja berdua dengannya.
Dan masih banyak harapanku tentang dia, tentunya tak mungkin ku tulis semua harapanku itu. Aku tak yakin harapan-harapan itu akan terwujud. Tak mungkin lelaki itu juga mencintaiku. Banyak perempuan yang akrab dengannya. Banyak pula perempuan yang jatuh hati padanya. Sedangkan aku? Akrab pun tidak.
Aku belum pernah memberitahumu siapa lelaki yang selama ini ku cintai. Baiklah, aku akan memberitahukanmu siapa nama lelaki itu. Lelaki itu bernama Royfenn Alexander Rominde, atau biasa dipanggil Roy.
Diari, aku takut. Hampir setiap hari aku merasa seperti ada seseorang yang menguntitku. Dan perasaan itu muncul saat ini.
Aku membaca ulang kalimat tersebut, Lelaki itu bernama Royfenn Alexander Rominde, atau biasa dipanggil Roy. Untuk memastikan bahwa aku tidak salah membaca. Ternyata memang benar, aku tak salah membaca.
Jantungku berdebar-debar dengan cepat dan kencang. Royfenn Alexander Rominde (Roy) adalah aku! Jadi, selama ini cintaku tak bertepuk sebelah tangan…?
Dari kelima harapannya tersebut yang telah terwujud hanya satu, cintanya tak bertepuk sebelah tangan.
Hari ini adalah hari ulang tahun dia, 10 Maret 1988. Aku akan menjadikan hari ini adalah hari ulang tahun terspesial yang pernah ia alami. Aku akan mewujudkan keempat harapannya tentang aku yang belum terwujud hari ini.
Aku menatap jam dinding kamarku. Astaga, sudah pukul setengah empat pagi! Lama sekali aku membaca buku hariannya ini. Aku sama sekali tidak tidur malam ini hanya karena ingin membuang rasa penasaranku ini. Padahal, aku masih bisa membaca buku hariannya besok dan besok.
Semenjak tanggal 15 Januari 1984, dia sama sekali tak pernah absen menulis buku hariannya. Setiap hari, hal tersebut selalu dilakukan oleh dirinya.
Aku memang sudah selesai membaca buku hariannya, tetapi rasa penasaran ini tetap ada. Banyak teka-teki yang bermunculan di dalam benakku ketika dan setelah membaca buku hariannya. dia bahkan sama sekali tak pernah menuliskan siapa namanya di dalam buku hariannya.
Aku menutup buku tersebut dan membiarkannya tergeletak di atas ranjangku. Aku lalu bangkit dari dudukku dan ke luar dari kamarku. Aku akan berangkat ke sekolah lebih cepat dari biasanya, karena aku akan membeli sebuah hadiah untuk dia sebelum aku tiba di sekolah, jadi aku harus mandi lebih pagi dari biasanya.
Aku sudah siap berangkat ke sekolah. Aku menatap jam dinding kamarku. Waktu masih menunjukkan pukul lima pagi.
Jarak antara rumahku ke sekolah lumayan jauh. Wajar saja, jumlah SMA di Indonesia tidak terlalu banyak. Akan membutuhkan waktu sekitar setengah jam bila perjalanan dari rumah ke sekolah atau sebaliknya ditempuh dengan sepeda. Biasanya, aku berangkat dan pulang sekolah dengan mengendarakan sepedaku.
Aku berjalan ke luar dari rumah dan menduduki tempat duduk yang merekat pada sepedaku. Aku pun pergi meninggalkan rumah bersama sepeda dan tas ranselku.
Sekitar sepuluh menit kemudian, aku tiba di depan pasar tradisional. Pasar ini masih sepi. Wajar saja, matahari masih belum terbit. Biarpun sepi, tapi ada beberapa kios yang telah buka.
Aku turun dari sepedaku. Aku menghampiri salah satu kios yang sudah buka dan membeli sesuatu disana. Aku juga meminta Si Penjual untuk membungkuskan benda tersebut dengan kertas kado.
Setelah benda tersebut terbungkus kertas kado dengan rapi, aku memasukkan calon hadiah dia ke dalam ranselku. Aku meninggalkan kios tersebut, menaiki sepedaku dan berangkat ke sekolah.
Aku pulang dari sekolah dengan perasaan kecewa. Jam sekolah sudah habis, namun seharian ini aku sama sekali belum melihat dia di sekolah. Ada apa dengannya? Apa ia tak masuk sekolah? Aku tak ingin menggagalkan rencanaku ini. Aku masih memiliki sore hari untuk bertemu dengannya di pantai. Bagaimanapun juga, aku akan tetap berambisi untuk mewujudkan keempat harapannya itu. Hari ini akan menjadi hari terspesial bagiku dan baginya. Pasti.
Aku duduk di tepi ranjangku. Sebentar lagi waktu akan menunjukkan pukul lima sore. Baru saja satu jam aku berada di rumah, aku sudah bergegas pergi dari rumah lagi dengan membawa kado ulang tahun. Namun, tentunya aku sudah mandi sepulang sekolah tadi.
Aku mengendarai sepedaku menuju pantai. Beberapa menit kemudian aku tiba di pantai. Aku memarkirkan sepedaku di tempat biasa aku bersembunyi di pantai. Aku tak melihat dia berada di sekitar sini. Kurasa, akulah satu-satunya manusia yang saat ini berada di pantai ini.
Aku melirik arlojiku. Waktu telah menunjukkan pukul setengah enam sore. Namun, hingga sekarang, aku belum bertemu dengan dia. Aku jadi khawatir padanya. Aku merindukannya. Aku ingin tahu dimana keberadaannya sekarang. Aku ingin tahu apa kabarnya.
Mataku tertuju pada gubuk jelek dan kecil yang berada di salah satu sudut pantai. Mungkin saja, di dalam gubuk tersebut ada seseorang yang mengenali dia. Aku berjalan menuju gubuk tersebut. Begitu tiba di depan gubuk tersebut, aku mengetuk pintu yang terbuat dari bambu.
“Halo, ada orang di dalam?” tanyaku dengan nada suara yang ramah. Namun aku tak mendapat jawaban. Aku mengetuk kembali pintu bambu tersebut seraya berkata, “Ada orang di dalam?”
Terdengar sebuah jawaban dari dalam gubuk tersebut, “Masuklah,”. Rasanya, suara ini terdengar familiar di kupingku. Ah, mungkin hanya perasaanku.
Dengan ragu, aku pun membuka pintu gubuk tersebut dengan pelan. Aku lalu memasuki gubuk tersebut. Namun, tak ada siapapun di dalam. Tiba-tiba, rambut-rambut pada tanganku berdiri. Di dalam gubuk tak ada orang, tetapi tadi ada seseorang yang menjawab kata-kataku dari dalam gubuk. Kalau tidak ada siapapun, lalu siapa yang membalas kata-kataku barusan?
“Halo…?” kataku ketakutan. Aku menelusuri isi gubuk ini. Namun tak ada satu pun orang di dalam. Aku menjadi merasa semakin takut. Sebaiknya, aku ke luar saja dari gubuk kecil ini.
Aku pun ke luar dari gubuk tersebut dan menutup pintu bambu dengan cepat. Aku lalu berlari terbirit-birit menuju tempat persembunyianku. Gubuk yang menyeramkan. Untung hari masih sore, belum malam.
APA!? Apakah aku tidak salah lihat? Ada dia di tepi pantai! Mustahil. Ini mustahil. Bagaimana mungkin ia muncul di tepi pantai secepat itu?
Aku terus memperhatikan perempuan yang sedang duduk memeluk lututnya di tepi pantai itu. Perempuan itu benar-benar dia! Aku tidak salah lihat!
Aku harus menghampirinya sekarang. Harus. Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk membuat hari ini adalah hari ulang tahun terspesial bagi dia dan aku tak boleh mengingkari janjiku.
Aku melirik arlojiku. Waktu telah menunjukkan pukul setengah enam sore lewat sepuluh menit. Lalu, kutujukan mataku pada langit. Senja sudah muncul. Inilah saat yang tepat untuk menghampirinya.
Aku mengambil kado yang berada di keranjang sepedaku. Kado tersebut berukuran sekitar 10 cm x 15 cm. Kado tersebut aku umpati di belakang tubuhku dengan tangan kiriku.
Aku berjalan pelan menuju tepi pantai untuk menghampiri dia. Aku berjalan dan berusaha untuk tidak bersuara agar menjadi kejutan manis untuk dia.
Sebentar lagi, aku akan sampai di sebelahnya. Jantungku berdebar-debar. Aku berusah untuk merilekskan debaran ini, namun aku tak bisa.
Aku menaruh kado yang kubawa tepat di belakang tubuhnya, pada perpasiran yang kering tentunya. Uh, jantungku sangat berdebar-debar. Aku tak boleh gugup untuk memberinya kejutan manis.
Aku pun duduk memeluk lutut tepat di sebelah kirinya dan menghadapkan wajahku padanya. Secara refleks, dia memalingkan wajahnya ke arahku. Aku pun melemparkannya sebuah senyuman tipis. Sebenarnya, aku bisa saja dengan sangat mudah melemparkannya sebuah senyuman lebar, namun tidak kulakukan untuk kali ini.
Aku dan dia saling bertatap wajah dalam waktu yang singkat. Jarak antara wajahku dan wajahnya sangat dekat. Ini adalah pertama kalinya aku menatap wajahnya dengan jarak yang sedekat ini. Debaran jantung ini… semakin lama semakin keras. Aku terus berusaha menenangkan jantungku walau sulit sekali.
Begitu menyadari bahwa lelaki yang duduk di sebelahnya adalah aku, ia langsung mengembalikan posisi wajahnya lalu menundukkan wajahnya. Jantungku semakin berdebar-debar.
Dua harapannya telah terwujud. Aku telah menghampirinya ketika ia sedang duduk di tepi pantai.
“Kenapa? Kamu terkejut ya? Haha,” kataku dengan senyuman lebar. “Bagaimana… kamu bisa berada disini?” tanyanya. “Sore ini, aku merasa bosan berada di rumah. Sekali-sekali aku ingin pergi ke pantai dan memandang senja. Saat aku berjalan menuju tepi pantai, tiba-tiba aku melihat ada kamu disini. Karena itulah aku menghampirimu,” kataku dengan dipadukan bumbu kebohongan.
“Kamu juga menyukai senja?” tanyanya. “Sebenarnya sih, aku tak suka menatap senja, namun tidak pula tak suka. Ya, biasa saja,” kataku. Aku menghadapkan kepalaku ke arah matahari yang berada di depan mataku.
“Aku bingung padamu. Kamu tidak tertarik menatap senja, tetapi kamu malah datang ke pantai untuk menatap senja. Dan mengapa kamu menghampiriku?” ucapnya dengan nada suara yang sendu. Aku menghadapkan wajahku ke arahnya. Wajahnya sedikit menunduk dan matanya menatap lautan pantai. “Memangnya kenapa? Dan, mengapa kamu tampak bersedih?” tanyaku lembut.
“Tidak apa-apa, hehe. Aku sedang tidak sedih kok,” ucapnya. Aku yakin, pasti dia sedih karena kehilangan buku hariannya. Namun ada aku disini untuk menghiburnya. Di balik kesedihannya karena kehilangan buku harian, pasti ia senang karena ada aku disini. Pasti jantungnya berdebar-debar. Bukan hanya jantungnya yang berdebar-debar, tetapi jantungku juga berdebar-debar.
Aku kembali menatap senja. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” lanjut dia. Hah? Pertanyaan? “Pertanyaan apa?” tanyaku. “Hahaha, bisa-bisanya dirimu lupa. Padahal belum sampai semenit aku menanyakan hal ini padamu,”
“Maaf, aku tak ingat, hehe. Ulangi lagi dong,”
“Mengapa kamu menghampiriku?”
Kenapa dia harus menanyakan hal itu? Apa ia tak senang ada aku disisni? Tidak, tak mungkin ia tak suka.
“Aku menghampirimu karena…” kataku. Karena aku mencintaimu. Karena aku ingin mewujudkan impianmu. Tapi, aku tak boleh memberitahu alasan itu padanya. Aku belum siap ia mengetahuinya. “Karena aku ingin menatap senja bersamamu.”
Begitu mendengar kalimat yang keluar dari bibirku, ia langsung mengangkat wajahnya yang tertunduk. Tatapan matanya tampak seperti sedang menatap senja, padahal tatapannya kosong.
Aku menatapnya. Wajahnya tampak sedang menahan sebuah senyuman. Pasti jantungnya berdebar-debar.
“Woy, kenapa kamu bengong?” tanyaku. Ia pun tersadar dari lamunannya. “E-enggak, hehe. Aku sedang menatap senja,” jawabnya. Aku pun menatap senja bersamanya.
Aku meluruskan kakiku. Dengan ragu, aku mendekatkan tangan kiriku mendekati pundak kirinya dari belakang tubuhnya. Aku ingin merangkul pundaknya. Tetapi, aku takut dia marah. Tidak, aku harus tetap merangkul pundaknya. Aku harus menghapus keraguanku ini.
Sampailah tangan kiriku pada pundak kirinya yang dilapisi pakaian berlengan panjang. Ia sangat terkejut karena aku merangkul pundaknya. Namun, aku berpura-pura tidak tahu bahwa ia terkejut. Aku mencoba untuk bersikap tenang dan tidak salah tingkah.
“Hampir saja aku lupa. Hari ini kamu ulang tahun kan? Selamat ulang tahun, ya…!” kataku dengan nada yang menyenangkan. Selesai sudah empat harapannya terwujud. Hanya sisa satu lagi harapan yang telah ia tulis kemarin tentang diriku.
Aku menatap wajahnya dengan senyuman. Ia terus menatap ke arah depan dan menahan senyuman salah tingkahnya.
“Eh, maaf ya aku memegang pundakmu,” kataku dan melepaskan tangan kiriku dari pundaknya. “I- iy- iya,” ucapnya terpatah-patah. Dengan tangan kiriku, aku mengambil yang telah kuletakkan tepat di belakangnya. Aku memegang kado tersebut dengan kedua tanganku.
“Aku akan sangat kecewa bila kamu tak menerima hadiah ini,” kataku seraya menjulurkan kedua tangan yang sedang memegang kado. Matanya melirik kado yang berada di kedua tanganku. Ia pun menerima kado itu dan kini kado tersebut berada di tangannya.
Aku menatapnya. Wajahnya tertunduk menatap kado yang kuberikan dan… pipinya merah sekali! Astaga, sedari tadi, jantungku berdebar-debar.
Akhirnya, selesai sudah misiku untuk mewujudkan kelima impiannya. Namun, aku belum menyatakan perasaanku padanya, sehingga belum tentu ia tahu bahwa ia tak bertepuk sebelah tangan. Berarti, ia menganggap bahwa hanya empat harapannya tentangku (yang ia tulis pada buku hariannya kemarin) yang telah terwujud. Kalau begitu, aku akan menyatakan perasaanku padanya.
“Aku…” kataku. Aku menatap wajahnya yang merah padam dan menahan senyuman salah tingkah. Tiba-tiba, ia menutup matanya dan kepala beserta setengah badanku terjatuh di atas kakiku. Sebelum dirinya menyentuhku, aku telah menangkap kedua pundaknya dengan kedua tanganku.
“Kamu kenapa!?” tanyaku khawatir. Segera saja aku sadar bahwa ia pingsan. Aku pun mengangkatnya dan aku pun bangkit dari dudukku. Kado yang sebelumnya ia pegang kini terjatuh ke tepi pantai dan terkena sedikit air laut.
Kado bukanlah hal yang penting diperhatikan saat ini. Yang terpenting adalah, apa yang harus kulakukan?! Aku tak tahu aku harus bagaimana. Apakah aku harus meminta pertolongan pertama? Tetapi kepada siapa? Di pantai ini hanya ada aku dan dia, sedangkan dia memerlukan sebuah pertolongan.
Gubuk! Ya, gubuk aneh itu! Mungkin saja, kini di dalamnya sudah ada seseorang, dan aku bisa meminta pertolongan kepada orang yang berada di dalam sana.
Aku mengangkat tubuhnya dan berlari membawanya menuju gubuk aneh itu. Begitu tiba di dalam gubuk tersebut, aku membaringkannya di atas ranjang yang berada di gubuk tersebut.
Aku duduk di kursi yang berada di sebelah ranjang tersebut. Aku menatap dia. Wajahnya lucu sekali. Aku menjadi merasa iba padanya, karena wajah polosnya yang sedang pingsan.
Aku terus menunggunya siuman. Apa aku harus memberinya napas buatan? Tidak, aku tidak boleh. Aku tak boleh ‘menghancurkan’ dirinya.
Lima belas menit telah berlalu. Tibalah saat dimana dia mulai membuka matanya. “Akhirnya, kamu sudah sadar!” ujarku antusias. dia menatapku lemas. “Kamu terkejut ya?” tebakku. Ia menarik nafas sebelum akhirnya berkata, “Iya, sangat terkejut.”
“Bagaimana kau tahu gubuk ini adalah rumahku?” tanyanya. Jadi, gubuk jelek ini adalah rumahnya? Kukira, ia akan menanyakan padaku tentang sepengatahuanku mengenai hari ulang tahunnya. “Tahu, lah.”
“Ngomong-ngomong, kamu tak tahu ya?” tanyaku. Ia tampak heran. “Tak tahu apa?” tanyanya kembali. Inikah saatnya yang tepat untukku menyatakan perasaanku yang sebenarnya padanya? Ya, mungkin. Aku harus.
“Aku suka kamu,” aku menyatakan perasaanku. dia tampak sangat terkejut. Dapat kulihat, kulit wajahnya yang putih bersih mulai tercemar oleh warna merah muda. dia tersipu malu?!
Aku telah menyatakan perasaanku yang sesungguhnya padanya, tetapi hingga sekarang aku tak tahu siapa namanya. Apa aku harus menanyakan hal itu? Tidak, kurasa tidak. Aku takut bila aku menanyakan hal itu, ia sakit hati. Aku tak ingin ia berpikir bahwa aku hanya berpura-pura jatuh hati padanya.
Aku tak ingin hal itu terjadi. Tapi aku ingin tahu siapa namanya. Tidak, aku tak boleh menanyakan hal ini padanya. Aku harus menahan rasa penasaranku. Aku harus mencari tahu siapa namanya tanpa menanyakan hal ini secara langsung padanya.
Mungkin Tuhan telah menakdirkan dia untuk menjadi misterius selamanya…
Cerpen Karangan: Mufidah Nurul Azizah
Blog: mufidahna.blogspot.com
Nama: Mufidah Nurul Azizah
ig: @mufidahna
Sore ini, sebuah keinginan untuk menyapa “dirinya” pun muncul secara spontan. Entah mengapa, perasaan ini harus muncul secara spontanitas di pantai yang indah dan sepi ini.
Aku memandangi pantai dari kejauhan. Tidak, bukan pantai yang kupandang, tetapi perempuan yang duduk di tepi pantai. Di pantai ini hanya ada aku dan perempuan itu.
Perempuan itu… lucu, imut dan manis. dia sedang menulis sesuatu pada buku tebal dengan penanya. Entah apa yang ia tulis. Jujur, aku penasaran dengan tulisan-tulisan yang telah ia tulis.
Aku sering memperhatikan dia dari jauh secara diam-diam, di sekolah dan di pantai. dia adalah sesosok perempuan yang pendiam dan misterius. Setiap sore menjelang tergelincirnya matahari, dia (hampir) selalu berada di tepi pantai dan menulis-nulis sesuatu pada buku tebal miliknya.
Aku dan dia bersekolah di satu SMA yang sama. Bahkan, kami mendapat angkatan yang sama, tepatnya angkatan para anak kelas 3 SMA. Namun, kami tak pernah mendapat kelas yang sama.
Aku dan dia (lumayan) sering berpapasan di sekolah. Pernah pula beberapa kali kami saling bercakap-cakap, dan hanya sekali kami mengobrol dan bercanda, itu pun hanya berdua. Namun, aku sama sekali tak tahu dan tak pernah tahu siapa namanya.
Berbagai cara kulakukan untuk mengetahui siapa namanya, tapi tak pernah berhasil. Bahkan, banyak teman sekelasnya yang tak tahu siapa namanya. Dan hal ini semakin membuatku penasaran siapa namanya yang sebenarnya.
dia memang sangat misterius. Sulit untuk menebak tentang dirinya. Bahkan, hanya sekedar mengetahui namanya sangat sulit bagiku.
Aku pernah beberapa kali menanyakan langsung padanya tentang siapa namanya, namun jawabannya selalu, “Kau akan tahu saat wisuda nanti.”. Dan, kalimat itu semakin membuatku penasaran. Hatiku terus merindukannya, sedangkan otakku terus penasaran tentang dirinya.
Aku dan dia tak pernah sekalipun berpapasan di pantai. Aku selalu bersembunyi darinya di pantai. Aku belum siap terpergok olehnya bahwa aku sering mengamatinya.
Aku menatap matahari. Senja. Sebentar lagi, matahari akan tergelincir.
Kembali kutatap dia. Ia menutup buku tebalnya dan meletakkannya di sebelahnya, tepatnya di peparisan pantai yang kering. Lalu, pena miliknya pun ia masukkan ke dalam saku celananya. Ia duduk memeluk lutut dan menikmati betapa indahnya langit senja.
Dia terus menatap langit yang senja. Aku bingung padanya. Apakah ia tak merasa bosan memandangi langit senja dari pantai? Hampir setiap hari ia melakukannya.
Baru menatap langit senja selama semenit, aku sudah merasa bosan. Tapi, dia?
Tibalah saat dimana matahari tergelincir. Biasanya, dia akan pergi meninggalkan pantai bersama buku tebal beserta penanya di saat-saat seperti ini.
Pernah beberapa kali aku membuntutinya ketika ia berjalan pulang dari pantai. Aku ingin tahu dimana rumahnya. Namun, selalu saja gagal. Aku selalu kehilangan jejaknya. Padahal, ia biasa berjalan dengan kecepatan yang biasa saja.
Dia bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan pantai. Aku penasaran dimana rumahnya. Aku ingin mengetahuinya. Mungkin, bila aku mengikuti langkahnya KALI INI, aku akan gagal lagi. Tapi tak ada salahnya berusaha kembali setelah gagal, kan? Walau, aku tak ingin jatuh ke lubang yang sama untuk yang kesekian kalinya.
Dia masih berada di pantai. Ia terus berjalan pergi meninggalkan pantai. Semakin lama, jarakku dengannya semakin jauh.
Tunggu. dia berjalan pulang dari pantai tanpa membawa buku tebalnya. Aku mengalihkan pandanganku darinya dan menatap sekitaran tempat dimana tadi ia duduki. Buku miliknya masih tergeletak di tepi pantai!
Aku keluar dari tempat persembunyianku dan berlari menuju tempat dimana buku tebalnya berada. Aku mengambil buku tersebut, lalu memutar badanku seratus delapan puluh derajat.
Dia masih berada di pantai ini. Namun, sebentar lagi kakinya akan menginjak permukaan bumi yang tak berpasir.
Aku membawa buku tebal tersebut dengan tangan kiriku. Aku berdiri tegak dan menatap dirinya dari kejauhan. Ia berjalan dengan begitu tenang. Pasti ia tak sadar bahwa “barang berharga” milliknya ini tertinggal di tepi pantai.
Aku harus berlari mengejarnya dan memberikan buku ini padanya. Aku yakin, pasti buku ini sangat berharga di mata dan hatinya.
Dia belum menghilang dari pandangan mataku. Namun dirinya sudah sekecil semut di mataku.
Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus berteriak memanggilnya? Apa aku harus berlari menghampirinya?
Di pantai ini hanya ada kami berdua. Walau jarak kami sangat jauh, mungkin ia masih dapat mendengar suara teriakanku. Kalau begitu, akan kucoba berteriak memanggilnya.
“HEY!!!” teriakku dengan suara terbesar yang aku mampu. Namun, ia sama sekali tak merespon. Bodohnya, tak mungkin ia akan mendengar suaraku. Kalau begitu, berarti aku harus berlari mengejarnya seraya berteriak memanggilnya.
Aku berlari mengejar dia. “HEY! TUNGGU DULU!!!” teriakku sekuat tenaga seraya berlari mengejarnya. Namun, tetap saja ia tak menyahut. Pasti ia masih tak dapat mendengar suara teriakanku.
Tiba-tiba, angin bertiup kencang. Aku yang sedang berlari seraya membawa buku tebal milik dia pun merasakan suatu rasa perih pada kedua mataku, tentunya karena butiran-butiran halus pasir memasuki mataku. Secara refleks, aku menutup mataku dan menggosok-gosok mataku dengan tangan kananku, namun aku tetap berlari.
Kaki kananku tersandung batu, sehingga badanku terhempas ke perpasiran. Buku yang kubawa dengan tangan kiriku pun terpental sekitar beberapa meter dari posisi tubuhku.
Aku mengangkat badanku perlahan-lahan. Sakit sekali rasanya, tetapi syukurlah, tak ada satu pun luka yang menempel pada tubuhku.
Astaga, aku sudah kehilangan jejak “perempuan itu”. Benar-benar sulit untuk menggapai dirinya.
Aku berjalan dengan kecepatan yang pelan. Aku lalu membungkukkan badanku dan mengambil buku tebal yang terlepas dari tangan kiriku ketika terjatuh tadi.
Mungkin, aku memang tak bisa mengembalikan buku ini padanya hari ini. Tapi masih ada hari esok. Besok adalah Hari Kamis. Dan pastinya, kami akan bertemu di sekolah.
Aku pun memutuskan untuk pulang. Aku berjalan ke luar dari pantai dan pulang ke rumahku.
Aku menghempaskan tubuhku di atas ranjang yang berada di kamarku. Kini, jam dinding kamarku telah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh menit. Aku menatap buku tebal yang berada di sebelah kepalaku. Buku tebal itu adalah buku milik dia.
Aku merasa bahagia seketika. Buku ini adalah buku yang berisi tulisan-tulisan miliknya kan? Selama ini, rasa penasaranku tentang apa yang ditulisnya pada buku ini terus menghantuiku. Namun, pasti rasa penasaran ini akan segera hilang. Aku akan membaca isi buku tebal ini.
Aku mengubah posisiku, yang tadinya berbaring, kini menjadi duduk di tepi ranjangku dan mengambil buku tebal tersebut. Buku ini memiliki panjang sekitar 28 cm sampai 30 cm dan lebar 5 cm sampai 8 cm. Waw, tebal sekali buku ini.
Aku memangku buku tebal ini dengan pahaku. Kutatap sampul buku ini. Sepertinya buku ini adalah buku jadul.
Aku mulai membuka buku ini. Muncullah lembaran pertama dari isi buku ini. Pada lembaran pertama ini tertulis sebuah tulisan kaligrafi, “Diariku”. Benar dugaanku, buku ini adalah buku diari alias buku harian.
Di bawah tulisan kaligrafi tersebut tertulis sebuah tanda tangan. Sudah pasti pemilik tanda tangan ini adalah dia. Di bawah tanda tangan dia tertulis, “Minggu, 15 Januari 1984”. Di samping kanan tanda tangan dia tertulis sebuah tulisan kecil, “ACP”.
“ACP”? Singkatan apa itu? Apakah itu adalah sebuah kode rahasia?
Di bawah tulisan “ACP” terdapat tulisan yang lebih kecil, “(inisial namaku)”. Oh, ternyata ACP adalah singkatan dari nama lengkapnya. Tapi siapa namanya? Mengapa ia tak menulis nama lengkapnya saja? Mengapa harus inisialnya? Perempuan misterius.
Aku pun mulai membaca lembaran-lembaran pada buku tersebut.
Minggu, 15 Januari 1984
Diari,
Ini adalah hari pertamaku menulis diari. Um… aku harus mengawalinya dengan apa ya?
Kamis, 2 Februari 1984
Aku suka senja. Aku juga menyukai pantai. Karena itulah aku sering menatap senja di pantai…
Menyukai senja? Senja memang indah, tapi membosankan untuk terus menerus dilihat, menurutku. Aku bingung padanya.
Aku pun terus membaca dan membaca. Ternyata, dia adalah seorang penyuka cerita ya. Aku dapat menebaknya dari caranya menulis diari.
Senin, 2 Agustus 1985
Diari,
Ini adalah hari pertamaku menjadi murid SMA. Selama sepekan ini, angkatanku akan menjalani MOS.
…
dia pun menceritakan pengalamannya pada tanggal 2 Agustus 1985 di dalam bukunya. Aku pun terus membaca dan membaca.
Rabu, 26 Maret 1986
Diari,
Aku merasa aneh dengan diriku sendiri. Akhir-akhir ini, jantungku selalu berdebar-debar ketika melihat, bertemu, ataupun berbicara dengan lelaki itu. Dan debaran ini terasa begitu menyenangkan. Apakah ini yang namanya cinta?
Lelaki itu bernama… tak perlu kuberitahu padamu ya, hehe. Aku tahu siapa namanya serta nama lengkapnya. Namun tak penting untuk kutulis…
Polos sekali dirinya. Bila hal itu terjadi, ya sudah pasti gejala tersebut bernama cinta. Tapi, siapa ya lelaki yang ia maksud? Kuharap, lelaki itu adalah aku.
Aku terus membaca dan membaca. Semenjak tanggal 25 Maret 1986, dia menjadi sering menulis tentang lelaki yang ia sukai. Namun, sampai sekarang aku belum menemukan siapa nama lelaki yang ia maksud. Aku belum melihat tulisan yang menuliskan siapa nama lelaki itu.
Selasa, 10 Maret 1987
Diari,
Tepat 17 tahun yang lalu adalah hari lahirku. Hari ini adalah hari pertamaku menginjak usia yang ke-17.
Memang, sebelumnya aku sama sekali tak pernah memberitahumu tentang hari ulangtahunku. Tetapi, hal itu ada alasannya. Tak mungkin aku melakukan sesuatu tanpa alasan sama sekali, kan?
Alasannya adalah… karena aku sedih. Aku selalu sedih bila mengingat hari lahirku. Kenapa? Karena, tak pernah sekalipun ada seseorang yang mengucapkan selamat untuk hari ulang tahunku, diberi kado ulang tahun pun tak pernah. Bahkan, orangtuaku cenderung lupa akan hari ulangtahunku, karena saking sibuknya bekerja.
Sebenarnya, hal ini adalah salahku. Aku tak pernah memberitahu pada siapapun kapan aku berulang tahun, sekalipun mereka sudah bertanya padaku…
Jadi, hari ulang tahunnya jatuh pada tanggal 10 Maret 1970? Tetapi, aku malah semakin penasaran. Kenapa dia tak pernah memberitahu kepada setidaknya satu orang saja bahwa pada tanggal tersebutlah ia terlahir di dunia, padahal dia juga ingin hari ulang tahunnya dirayakan, atau setidaknya diucapkan “selamat” oleh seseorang? Masih misterius.
Sabtu, 14 Maret 1987
Diari,
Aku takut. Kenapa ya, akhir-akhir ini aku sering merasa seperti ada seseorang yang mengamatiku, menguntitku, dan mengikutiku? Dan perasaan ini cenderung muncul ketika aku berada di sekolah dan atau pantai. Kuharap, ini hanya sekdar perasaanku dan bukan realita…
Jadi, selama ini ia merasa seperti ada yang mengikutinya? Namun ia tak tahu bahwa yang sering mengikutinya adalah aku.
Aku menatap jam dinding kamarku. Astaga, waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari? Aku sampai lupa waktu karena membaca buku harian milik dia.
Aku melanjutkan bacaanku.
Rabu, 9 Maret 1988
Diari,
Aku takut. Hampir setiap hari aku merasa seperti ada seseorang yang menguntitku. Dan perasaan itu muncul saat ini.
Diari, hari ini adalah hari terakhirku menginjak usia yang ke-17, karena mulai besok, usiaku akan bertambah setahun.
Diari, banyak sekali hal yang kuharapkan tentang “lelaki itu”.
Aku harap, cintaku tak bertepuk sebelah tangan.
Aku harap, besok ia memberiku hadiah ulang tahun.
Aku harap, besok ia mengucapkan selamat atas hari ulang tahunku.
Aku harap, ia menghampiriku di pantai ketika aku sedang menikmati indahnya senja.
Aku harap, aku dapat menikmati senja berdua dengannya.
Dan masih banyak harapanku tentang dia, tentunya tak mungkin ku tulis semua harapanku itu. Aku tak yakin harapan-harapan itu akan terwujud. Tak mungkin lelaki itu juga mencintaiku. Banyak perempuan yang akrab dengannya. Banyak pula perempuan yang jatuh hati padanya. Sedangkan aku? Akrab pun tidak.
Aku belum pernah memberitahumu siapa lelaki yang selama ini ku cintai. Baiklah, aku akan memberitahukanmu siapa nama lelaki itu. Lelaki itu bernama Royfenn Alexander Rominde, atau biasa dipanggil Roy.
Diari, aku takut. Hampir setiap hari aku merasa seperti ada seseorang yang menguntitku. Dan perasaan itu muncul saat ini.
Aku membaca ulang kalimat tersebut, Lelaki itu bernama Royfenn Alexander Rominde, atau biasa dipanggil Roy. Untuk memastikan bahwa aku tidak salah membaca. Ternyata memang benar, aku tak salah membaca.
Jantungku berdebar-debar dengan cepat dan kencang. Royfenn Alexander Rominde (Roy) adalah aku! Jadi, selama ini cintaku tak bertepuk sebelah tangan…?
Dari kelima harapannya tersebut yang telah terwujud hanya satu, cintanya tak bertepuk sebelah tangan.
Hari ini adalah hari ulang tahun dia, 10 Maret 1988. Aku akan menjadikan hari ini adalah hari ulang tahun terspesial yang pernah ia alami. Aku akan mewujudkan keempat harapannya tentang aku yang belum terwujud hari ini.
Aku menatap jam dinding kamarku. Astaga, sudah pukul setengah empat pagi! Lama sekali aku membaca buku hariannya ini. Aku sama sekali tidak tidur malam ini hanya karena ingin membuang rasa penasaranku ini. Padahal, aku masih bisa membaca buku hariannya besok dan besok.
Semenjak tanggal 15 Januari 1984, dia sama sekali tak pernah absen menulis buku hariannya. Setiap hari, hal tersebut selalu dilakukan oleh dirinya.
Aku memang sudah selesai membaca buku hariannya, tetapi rasa penasaran ini tetap ada. Banyak teka-teki yang bermunculan di dalam benakku ketika dan setelah membaca buku hariannya. dia bahkan sama sekali tak pernah menuliskan siapa namanya di dalam buku hariannya.
Aku menutup buku tersebut dan membiarkannya tergeletak di atas ranjangku. Aku lalu bangkit dari dudukku dan ke luar dari kamarku. Aku akan berangkat ke sekolah lebih cepat dari biasanya, karena aku akan membeli sebuah hadiah untuk dia sebelum aku tiba di sekolah, jadi aku harus mandi lebih pagi dari biasanya.
Aku sudah siap berangkat ke sekolah. Aku menatap jam dinding kamarku. Waktu masih menunjukkan pukul lima pagi.
Jarak antara rumahku ke sekolah lumayan jauh. Wajar saja, jumlah SMA di Indonesia tidak terlalu banyak. Akan membutuhkan waktu sekitar setengah jam bila perjalanan dari rumah ke sekolah atau sebaliknya ditempuh dengan sepeda. Biasanya, aku berangkat dan pulang sekolah dengan mengendarakan sepedaku.
Aku berjalan ke luar dari rumah dan menduduki tempat duduk yang merekat pada sepedaku. Aku pun pergi meninggalkan rumah bersama sepeda dan tas ranselku.
Sekitar sepuluh menit kemudian, aku tiba di depan pasar tradisional. Pasar ini masih sepi. Wajar saja, matahari masih belum terbit. Biarpun sepi, tapi ada beberapa kios yang telah buka.
Aku turun dari sepedaku. Aku menghampiri salah satu kios yang sudah buka dan membeli sesuatu disana. Aku juga meminta Si Penjual untuk membungkuskan benda tersebut dengan kertas kado.
Setelah benda tersebut terbungkus kertas kado dengan rapi, aku memasukkan calon hadiah dia ke dalam ranselku. Aku meninggalkan kios tersebut, menaiki sepedaku dan berangkat ke sekolah.
Aku pulang dari sekolah dengan perasaan kecewa. Jam sekolah sudah habis, namun seharian ini aku sama sekali belum melihat dia di sekolah. Ada apa dengannya? Apa ia tak masuk sekolah? Aku tak ingin menggagalkan rencanaku ini. Aku masih memiliki sore hari untuk bertemu dengannya di pantai. Bagaimanapun juga, aku akan tetap berambisi untuk mewujudkan keempat harapannya itu. Hari ini akan menjadi hari terspesial bagiku dan baginya. Pasti.
Aku duduk di tepi ranjangku. Sebentar lagi waktu akan menunjukkan pukul lima sore. Baru saja satu jam aku berada di rumah, aku sudah bergegas pergi dari rumah lagi dengan membawa kado ulang tahun. Namun, tentunya aku sudah mandi sepulang sekolah tadi.
Aku mengendarai sepedaku menuju pantai. Beberapa menit kemudian aku tiba di pantai. Aku memarkirkan sepedaku di tempat biasa aku bersembunyi di pantai. Aku tak melihat dia berada di sekitar sini. Kurasa, akulah satu-satunya manusia yang saat ini berada di pantai ini.
Aku melirik arlojiku. Waktu telah menunjukkan pukul setengah enam sore. Namun, hingga sekarang, aku belum bertemu dengan dia. Aku jadi khawatir padanya. Aku merindukannya. Aku ingin tahu dimana keberadaannya sekarang. Aku ingin tahu apa kabarnya.
Mataku tertuju pada gubuk jelek dan kecil yang berada di salah satu sudut pantai. Mungkin saja, di dalam gubuk tersebut ada seseorang yang mengenali dia. Aku berjalan menuju gubuk tersebut. Begitu tiba di depan gubuk tersebut, aku mengetuk pintu yang terbuat dari bambu.
“Halo, ada orang di dalam?” tanyaku dengan nada suara yang ramah. Namun aku tak mendapat jawaban. Aku mengetuk kembali pintu bambu tersebut seraya berkata, “Ada orang di dalam?”
Terdengar sebuah jawaban dari dalam gubuk tersebut, “Masuklah,”. Rasanya, suara ini terdengar familiar di kupingku. Ah, mungkin hanya perasaanku.
Dengan ragu, aku pun membuka pintu gubuk tersebut dengan pelan. Aku lalu memasuki gubuk tersebut. Namun, tak ada siapapun di dalam. Tiba-tiba, rambut-rambut pada tanganku berdiri. Di dalam gubuk tak ada orang, tetapi tadi ada seseorang yang menjawab kata-kataku dari dalam gubuk. Kalau tidak ada siapapun, lalu siapa yang membalas kata-kataku barusan?
“Halo…?” kataku ketakutan. Aku menelusuri isi gubuk ini. Namun tak ada satu pun orang di dalam. Aku menjadi merasa semakin takut. Sebaiknya, aku ke luar saja dari gubuk kecil ini.
Aku pun ke luar dari gubuk tersebut dan menutup pintu bambu dengan cepat. Aku lalu berlari terbirit-birit menuju tempat persembunyianku. Gubuk yang menyeramkan. Untung hari masih sore, belum malam.
APA!? Apakah aku tidak salah lihat? Ada dia di tepi pantai! Mustahil. Ini mustahil. Bagaimana mungkin ia muncul di tepi pantai secepat itu?
Aku terus memperhatikan perempuan yang sedang duduk memeluk lututnya di tepi pantai itu. Perempuan itu benar-benar dia! Aku tidak salah lihat!
Aku harus menghampirinya sekarang. Harus. Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk membuat hari ini adalah hari ulang tahun terspesial bagi dia dan aku tak boleh mengingkari janjiku.
Aku melirik arlojiku. Waktu telah menunjukkan pukul setengah enam sore lewat sepuluh menit. Lalu, kutujukan mataku pada langit. Senja sudah muncul. Inilah saat yang tepat untuk menghampirinya.
Aku mengambil kado yang berada di keranjang sepedaku. Kado tersebut berukuran sekitar 10 cm x 15 cm. Kado tersebut aku umpati di belakang tubuhku dengan tangan kiriku.
Aku berjalan pelan menuju tepi pantai untuk menghampiri dia. Aku berjalan dan berusaha untuk tidak bersuara agar menjadi kejutan manis untuk dia.
Sebentar lagi, aku akan sampai di sebelahnya. Jantungku berdebar-debar. Aku berusah untuk merilekskan debaran ini, namun aku tak bisa.
Aku menaruh kado yang kubawa tepat di belakang tubuhnya, pada perpasiran yang kering tentunya. Uh, jantungku sangat berdebar-debar. Aku tak boleh gugup untuk memberinya kejutan manis.
Aku pun duduk memeluk lutut tepat di sebelah kirinya dan menghadapkan wajahku padanya. Secara refleks, dia memalingkan wajahnya ke arahku. Aku pun melemparkannya sebuah senyuman tipis. Sebenarnya, aku bisa saja dengan sangat mudah melemparkannya sebuah senyuman lebar, namun tidak kulakukan untuk kali ini.
Aku dan dia saling bertatap wajah dalam waktu yang singkat. Jarak antara wajahku dan wajahnya sangat dekat. Ini adalah pertama kalinya aku menatap wajahnya dengan jarak yang sedekat ini. Debaran jantung ini… semakin lama semakin keras. Aku terus berusaha menenangkan jantungku walau sulit sekali.
Begitu menyadari bahwa lelaki yang duduk di sebelahnya adalah aku, ia langsung mengembalikan posisi wajahnya lalu menundukkan wajahnya. Jantungku semakin berdebar-debar.
Dua harapannya telah terwujud. Aku telah menghampirinya ketika ia sedang duduk di tepi pantai.
“Kenapa? Kamu terkejut ya? Haha,” kataku dengan senyuman lebar. “Bagaimana… kamu bisa berada disini?” tanyanya. “Sore ini, aku merasa bosan berada di rumah. Sekali-sekali aku ingin pergi ke pantai dan memandang senja. Saat aku berjalan menuju tepi pantai, tiba-tiba aku melihat ada kamu disini. Karena itulah aku menghampirimu,” kataku dengan dipadukan bumbu kebohongan.
“Kamu juga menyukai senja?” tanyanya. “Sebenarnya sih, aku tak suka menatap senja, namun tidak pula tak suka. Ya, biasa saja,” kataku. Aku menghadapkan kepalaku ke arah matahari yang berada di depan mataku.
“Aku bingung padamu. Kamu tidak tertarik menatap senja, tetapi kamu malah datang ke pantai untuk menatap senja. Dan mengapa kamu menghampiriku?” ucapnya dengan nada suara yang sendu. Aku menghadapkan wajahku ke arahnya. Wajahnya sedikit menunduk dan matanya menatap lautan pantai. “Memangnya kenapa? Dan, mengapa kamu tampak bersedih?” tanyaku lembut.
“Tidak apa-apa, hehe. Aku sedang tidak sedih kok,” ucapnya. Aku yakin, pasti dia sedih karena kehilangan buku hariannya. Namun ada aku disini untuk menghiburnya. Di balik kesedihannya karena kehilangan buku harian, pasti ia senang karena ada aku disini. Pasti jantungnya berdebar-debar. Bukan hanya jantungnya yang berdebar-debar, tetapi jantungku juga berdebar-debar.
Aku kembali menatap senja. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” lanjut dia. Hah? Pertanyaan? “Pertanyaan apa?” tanyaku. “Hahaha, bisa-bisanya dirimu lupa. Padahal belum sampai semenit aku menanyakan hal ini padamu,”
“Maaf, aku tak ingat, hehe. Ulangi lagi dong,”
“Mengapa kamu menghampiriku?”
Kenapa dia harus menanyakan hal itu? Apa ia tak senang ada aku disisni? Tidak, tak mungkin ia tak suka.
“Aku menghampirimu karena…” kataku. Karena aku mencintaimu. Karena aku ingin mewujudkan impianmu. Tapi, aku tak boleh memberitahu alasan itu padanya. Aku belum siap ia mengetahuinya. “Karena aku ingin menatap senja bersamamu.”
Begitu mendengar kalimat yang keluar dari bibirku, ia langsung mengangkat wajahnya yang tertunduk. Tatapan matanya tampak seperti sedang menatap senja, padahal tatapannya kosong.
Aku menatapnya. Wajahnya tampak sedang menahan sebuah senyuman. Pasti jantungnya berdebar-debar.
“Woy, kenapa kamu bengong?” tanyaku. Ia pun tersadar dari lamunannya. “E-enggak, hehe. Aku sedang menatap senja,” jawabnya. Aku pun menatap senja bersamanya.
Aku meluruskan kakiku. Dengan ragu, aku mendekatkan tangan kiriku mendekati pundak kirinya dari belakang tubuhnya. Aku ingin merangkul pundaknya. Tetapi, aku takut dia marah. Tidak, aku harus tetap merangkul pundaknya. Aku harus menghapus keraguanku ini.
Sampailah tangan kiriku pada pundak kirinya yang dilapisi pakaian berlengan panjang. Ia sangat terkejut karena aku merangkul pundaknya. Namun, aku berpura-pura tidak tahu bahwa ia terkejut. Aku mencoba untuk bersikap tenang dan tidak salah tingkah.
“Hampir saja aku lupa. Hari ini kamu ulang tahun kan? Selamat ulang tahun, ya…!” kataku dengan nada yang menyenangkan. Selesai sudah empat harapannya terwujud. Hanya sisa satu lagi harapan yang telah ia tulis kemarin tentang diriku.
Aku menatap wajahnya dengan senyuman. Ia terus menatap ke arah depan dan menahan senyuman salah tingkahnya.
“Eh, maaf ya aku memegang pundakmu,” kataku dan melepaskan tangan kiriku dari pundaknya. “I- iy- iya,” ucapnya terpatah-patah. Dengan tangan kiriku, aku mengambil yang telah kuletakkan tepat di belakangnya. Aku memegang kado tersebut dengan kedua tanganku.
“Aku akan sangat kecewa bila kamu tak menerima hadiah ini,” kataku seraya menjulurkan kedua tangan yang sedang memegang kado. Matanya melirik kado yang berada di kedua tanganku. Ia pun menerima kado itu dan kini kado tersebut berada di tangannya.
Aku menatapnya. Wajahnya tertunduk menatap kado yang kuberikan dan… pipinya merah sekali! Astaga, sedari tadi, jantungku berdebar-debar.
Akhirnya, selesai sudah misiku untuk mewujudkan kelima impiannya. Namun, aku belum menyatakan perasaanku padanya, sehingga belum tentu ia tahu bahwa ia tak bertepuk sebelah tangan. Berarti, ia menganggap bahwa hanya empat harapannya tentangku (yang ia tulis pada buku hariannya kemarin) yang telah terwujud. Kalau begitu, aku akan menyatakan perasaanku padanya.
“Aku…” kataku. Aku menatap wajahnya yang merah padam dan menahan senyuman salah tingkah. Tiba-tiba, ia menutup matanya dan kepala beserta setengah badanku terjatuh di atas kakiku. Sebelum dirinya menyentuhku, aku telah menangkap kedua pundaknya dengan kedua tanganku.
“Kamu kenapa!?” tanyaku khawatir. Segera saja aku sadar bahwa ia pingsan. Aku pun mengangkatnya dan aku pun bangkit dari dudukku. Kado yang sebelumnya ia pegang kini terjatuh ke tepi pantai dan terkena sedikit air laut.
Kado bukanlah hal yang penting diperhatikan saat ini. Yang terpenting adalah, apa yang harus kulakukan?! Aku tak tahu aku harus bagaimana. Apakah aku harus meminta pertolongan pertama? Tetapi kepada siapa? Di pantai ini hanya ada aku dan dia, sedangkan dia memerlukan sebuah pertolongan.
Gubuk! Ya, gubuk aneh itu! Mungkin saja, kini di dalamnya sudah ada seseorang, dan aku bisa meminta pertolongan kepada orang yang berada di dalam sana.
Aku mengangkat tubuhnya dan berlari membawanya menuju gubuk aneh itu. Begitu tiba di dalam gubuk tersebut, aku membaringkannya di atas ranjang yang berada di gubuk tersebut.
Aku duduk di kursi yang berada di sebelah ranjang tersebut. Aku menatap dia. Wajahnya lucu sekali. Aku menjadi merasa iba padanya, karena wajah polosnya yang sedang pingsan.
Aku terus menunggunya siuman. Apa aku harus memberinya napas buatan? Tidak, aku tidak boleh. Aku tak boleh ‘menghancurkan’ dirinya.
Lima belas menit telah berlalu. Tibalah saat dimana dia mulai membuka matanya. “Akhirnya, kamu sudah sadar!” ujarku antusias. dia menatapku lemas. “Kamu terkejut ya?” tebakku. Ia menarik nafas sebelum akhirnya berkata, “Iya, sangat terkejut.”
“Bagaimana kau tahu gubuk ini adalah rumahku?” tanyanya. Jadi, gubuk jelek ini adalah rumahnya? Kukira, ia akan menanyakan padaku tentang sepengatahuanku mengenai hari ulang tahunnya. “Tahu, lah.”
“Ngomong-ngomong, kamu tak tahu ya?” tanyaku. Ia tampak heran. “Tak tahu apa?” tanyanya kembali. Inikah saatnya yang tepat untukku menyatakan perasaanku yang sebenarnya padanya? Ya, mungkin. Aku harus.
“Aku suka kamu,” aku menyatakan perasaanku. dia tampak sangat terkejut. Dapat kulihat, kulit wajahnya yang putih bersih mulai tercemar oleh warna merah muda. dia tersipu malu?!
Aku telah menyatakan perasaanku yang sesungguhnya padanya, tetapi hingga sekarang aku tak tahu siapa namanya. Apa aku harus menanyakan hal itu? Tidak, kurasa tidak. Aku takut bila aku menanyakan hal itu, ia sakit hati. Aku tak ingin ia berpikir bahwa aku hanya berpura-pura jatuh hati padanya.
Aku tak ingin hal itu terjadi. Tapi aku ingin tahu siapa namanya. Tidak, aku tak boleh menanyakan hal ini padanya. Aku harus menahan rasa penasaranku. Aku harus mencari tahu siapa namanya tanpa menanyakan hal ini secara langsung padanya.
Mungkin Tuhan telah menakdirkan dia untuk menjadi misterius selamanya…
Cerpen Karangan: Mufidah Nurul Azizah
Blog: mufidahna.blogspot.com
Nama: Mufidah Nurul Azizah
ig: @mufidahna
Sunset And The Misterious Girl
4/
5
Oleh
Unknown