Judul Cerpen Dingin Salju Di Musim Semi
Hembusan angin pagi mengantar Saki untuk sampai di sekolahnya. Hari pertama di musim semi, kita masih bisa merasakan sisa-sisa salju di tanah tapi itu hanya rasa yang semu.
Seperti gadis SMA pada umumnya, Saki berusaha membuat hidupnya sendiri bahagia. Diawali dengan belajar di kelas dan diakhiri dengan pulang bersama teman-temannya.
“Saki-chan. Ohayou,” seorang gadis terlihat berlari kecil kearah Saki.
“Ohira-chan. Ohayou. Genki desuka?” ucap saki saat melihat sahabatnya itu.
“Haii. Genki desu. Anata?” seperti biasa Ohira selalu ceria.
“Watashi mo, genki,”
“Apa kau bertambah tinggi selama libur musim dingin?” Ohira mengerutkan keningnya dan menyetarakan tingginya dengan saki, tentu saja dia harus bersusah payah.
“Nee, Ohi-chan. Kau selalu lupa, kau lebih pendek dari aku,” segera setelah mengucapkan kalimat itu Saki berlari meninggalkan Ohira karena dia tau sahabatnya itu akan kesal.
“Nee. Baka Saki,”
Benar saja, baru beberapa detik Saki berlari dia sudah mendengar teriakan Ohira.
Seperti dua anak gadis yang masih berusia 6 tahun, dengan kaki kecil mereka melewati lapangan olahraga dan memaksa orang lain melihat perilaku aneh mereka ditambah dengan omelan Ohira yang belum berhenti.
“Ahh aku lelah. Gomen ne Ohi-chan,” tatapan mata memelas milik saki membuat omelan Ohira akhirnya berhenti tepat di depan pintu kelas mereka.
“Kau ini, aku tetap marah dan aku akan bertambah tinggi. Lihat saja,” dengan nada kesal Ohira masuk ke kelas lebih dulu dan membiarkan Saki di belakangnya.
“Ohi-chan, kau tidak bertambah tinggi saat marah tapi kerutanmu akan bertambah,” entah mengapa pagi ini sifat jahil Saki tidak terhindarkan.
Bukkk… Tubuh Saki menghantam sebuah tubuh di depannya yang tiba-tiba berhenti.
“Ohi-chan??”
“Kau punya penggemar?” tiba-tiba Ohira membalikkan tubunya dan menatap Saki dengan bingung.
“Penggemar? Apa itu? Makanan?” terasa aneh saat Saki mendengar kata itu.
“Sore.. Anata no tsukue?”
Saki terkejut saat melihat di atas mejanya ada sebuah mawar merah berpita biru dan secarik surat di bawahnya.
Saki mendekati mejanya dan mengamati benda-benda yang tergeletak di atasnya.
“Dari siapa?” Ohira sangat penasaran dengan orang yang memberikan semua itu.
“Shiranai. Tidak ada nama di surat ini,”
Saki tidak membaca surat itu dengan detail hanya mencari sebuah nama tapi tak menemukan apapun.
“Hei, apa kalian tau siapa yang meletakkan bunga ini disini,” Ohira bertanya pada teman-teman sekelasnya yang duduk tidak terlalu jauh dari tempat Saki. “Entah,” tapi mereka hanya menggelengkan kepala dan kembali melakukan aktifitas mereka.
“Ah. Mengecewakan,”
“Hei, Ohira! Mungkin orang yang sedang berdiri di depan pintu itu,” ucap Seiji.
Mendengar hal itu, Saki dan Ohira segera memalingkan wajah mereka dan melihat siapa yang ada di depan pintu kelas mereka.
“Itu kan..”
Ohira masih berperang dengan logikanya tapi saki langsung melangkah dan menemui laki-laki itu. Dan mereka idak terlihat lagi dari mata Ohira.
“Kau yang memberikan ini?” Saki memperlihatkan surat yang dia bawa ke hadapan laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya.
“Sepertinya begitu,” jawab laki-laki itu dengan mudahnya.
“Kau yakin tidak salah memberikannya? Ini tidak terlihat seperti mu. Shin,”
“Terlihat sekali ya,” sontak laki-laki yang dipanggil Shin itu mengusap belakang kepalnya dan tersenyum malu. Sangat lucu hingga membuat Saki tertawa melihat perilaku temannya itu. “Kau tidak pandai menyembunyikan ini. Tapi terimakasih, ini hadiah pertama yang kuterima darimu,”
“Ah, kau membuat ini terdengar seperti aku orang jahatnya,”
Saki tertawa kecil saat Shin memperlihatkan wajah kesalnya.
“3 tahun bukan waktu yang sebentar Shin,”
“Aku tau. Karena itu aku tidak bisa memastikan akan memberikan hadiah lagi padamu,” kali ini raut wajah Shin berubah lebih sendu, bahkan dia tidak menatap Saki seperti sebelumnya.
“Maksudmu?”
“Ini yang pertama dan terakhir, setelah ini bukan dirimu lagi yang menerima hadiah dariku,” Shin memberanikan menatap mata Saki meski dengan tatapan dinginnya.
Sejenak saki terkejut dengan kalimat itu. “Jadi, sudah berakhir ya,” ucapnya lirih. Terasa sakit, tapi tidak aka nada yang berubah saat sakit itu terekspresikan jadi lebih baik Saki menyimpan semua ini di balik matanya.
“Tidak menyenangkan bermain sendirian,”
Saat ini sudah musim semi tapi mengapa Saki harus merasakan dinginnya sisa musim dingin disaat seperti ini.
“Aku terlambat,”
Terucap dengan lirih di bibir Saki kalimat penyesalan itu, tapi tetap saja Shin bisa mendengar itu dengan jelas karena lorong sedang sangat sepi sekarang.
“Bukan salahmu, kau akan baik-baik saja seperti sebelumnya,” kali ini Shin memberikan senyum di wajahnya dan tatapan hangat dari matanya tapi hal itu justru membuat Saki merasakan lagi dinginnya diselimuti salju tak terlihat.
“Semoga saja,”
Sebuah senyuman terpaksa terlukis di wajah Saki, bersamaan dengan Shin yang meninggalkannya. Bahu itu, punggung itu, tubuh itu perlahan tapi pasti mulai memudar dari hadapan Saki, bayangan yang awalnya dapat digenggam akhirnya hilang bersama salju yang memilih menjadi air dan entah pergi kemana.
Saki merasakan sakit yang awalnya dia berikan pada Shin, sebuah takdir dan karma diperankan dengan baik dalam drama hidup Saki yang sekarang hanya mampu menerima keadaan.
Surat yang tadi dipegang Saki, ia lemparkan di atas mejanya dan menenggelamkan wajahnya di antara kedua lengannya.
“Sudahlah Saki. Kau akan baik-baik saja,” Ohira menepuk pelan bahu saki dan berusaha menghiburnya, sejak Saki kembali ke kelas, sikapnya berubah bahkan tidak ada sepatah katapun yang terucap dan Ohira tidak tau apapun yang telah terjadi.
Mawar itu masih di meja Saki, tapi perasaan di mawar itu sudah pudar.
“Ohi, harus kuapakan hadiah pertama dan terakhir yang kuterima dari Shin ini?”
Masih dengan wajah yang ia tenggelamkan, Saki berusah menata kembali perasaanya.
“Eh? Saki-chan,” raut wajah Ohira menjadi sedih saat mendengar kalimat dan nada bicara Saki yang terasa hampa.
Cerpen Karangan: Adien
Facebook: Lenyadifa
Hembusan angin pagi mengantar Saki untuk sampai di sekolahnya. Hari pertama di musim semi, kita masih bisa merasakan sisa-sisa salju di tanah tapi itu hanya rasa yang semu.
Seperti gadis SMA pada umumnya, Saki berusaha membuat hidupnya sendiri bahagia. Diawali dengan belajar di kelas dan diakhiri dengan pulang bersama teman-temannya.
“Saki-chan. Ohayou,” seorang gadis terlihat berlari kecil kearah Saki.
“Ohira-chan. Ohayou. Genki desuka?” ucap saki saat melihat sahabatnya itu.
“Haii. Genki desu. Anata?” seperti biasa Ohira selalu ceria.
“Watashi mo, genki,”
“Apa kau bertambah tinggi selama libur musim dingin?” Ohira mengerutkan keningnya dan menyetarakan tingginya dengan saki, tentu saja dia harus bersusah payah.
“Nee, Ohi-chan. Kau selalu lupa, kau lebih pendek dari aku,” segera setelah mengucapkan kalimat itu Saki berlari meninggalkan Ohira karena dia tau sahabatnya itu akan kesal.
“Nee. Baka Saki,”
Benar saja, baru beberapa detik Saki berlari dia sudah mendengar teriakan Ohira.
Seperti dua anak gadis yang masih berusia 6 tahun, dengan kaki kecil mereka melewati lapangan olahraga dan memaksa orang lain melihat perilaku aneh mereka ditambah dengan omelan Ohira yang belum berhenti.
“Ahh aku lelah. Gomen ne Ohi-chan,” tatapan mata memelas milik saki membuat omelan Ohira akhirnya berhenti tepat di depan pintu kelas mereka.
“Kau ini, aku tetap marah dan aku akan bertambah tinggi. Lihat saja,” dengan nada kesal Ohira masuk ke kelas lebih dulu dan membiarkan Saki di belakangnya.
“Ohi-chan, kau tidak bertambah tinggi saat marah tapi kerutanmu akan bertambah,” entah mengapa pagi ini sifat jahil Saki tidak terhindarkan.
Bukkk… Tubuh Saki menghantam sebuah tubuh di depannya yang tiba-tiba berhenti.
“Ohi-chan??”
“Kau punya penggemar?” tiba-tiba Ohira membalikkan tubunya dan menatap Saki dengan bingung.
“Penggemar? Apa itu? Makanan?” terasa aneh saat Saki mendengar kata itu.
“Sore.. Anata no tsukue?”
Saki terkejut saat melihat di atas mejanya ada sebuah mawar merah berpita biru dan secarik surat di bawahnya.
Saki mendekati mejanya dan mengamati benda-benda yang tergeletak di atasnya.
“Dari siapa?” Ohira sangat penasaran dengan orang yang memberikan semua itu.
“Shiranai. Tidak ada nama di surat ini,”
Saki tidak membaca surat itu dengan detail hanya mencari sebuah nama tapi tak menemukan apapun.
“Hei, apa kalian tau siapa yang meletakkan bunga ini disini,” Ohira bertanya pada teman-teman sekelasnya yang duduk tidak terlalu jauh dari tempat Saki. “Entah,” tapi mereka hanya menggelengkan kepala dan kembali melakukan aktifitas mereka.
“Ah. Mengecewakan,”
“Hei, Ohira! Mungkin orang yang sedang berdiri di depan pintu itu,” ucap Seiji.
Mendengar hal itu, Saki dan Ohira segera memalingkan wajah mereka dan melihat siapa yang ada di depan pintu kelas mereka.
“Itu kan..”
Ohira masih berperang dengan logikanya tapi saki langsung melangkah dan menemui laki-laki itu. Dan mereka idak terlihat lagi dari mata Ohira.
“Kau yang memberikan ini?” Saki memperlihatkan surat yang dia bawa ke hadapan laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya.
“Sepertinya begitu,” jawab laki-laki itu dengan mudahnya.
“Kau yakin tidak salah memberikannya? Ini tidak terlihat seperti mu. Shin,”
“Terlihat sekali ya,” sontak laki-laki yang dipanggil Shin itu mengusap belakang kepalnya dan tersenyum malu. Sangat lucu hingga membuat Saki tertawa melihat perilaku temannya itu. “Kau tidak pandai menyembunyikan ini. Tapi terimakasih, ini hadiah pertama yang kuterima darimu,”
“Ah, kau membuat ini terdengar seperti aku orang jahatnya,”
Saki tertawa kecil saat Shin memperlihatkan wajah kesalnya.
“3 tahun bukan waktu yang sebentar Shin,”
“Aku tau. Karena itu aku tidak bisa memastikan akan memberikan hadiah lagi padamu,” kali ini raut wajah Shin berubah lebih sendu, bahkan dia tidak menatap Saki seperti sebelumnya.
“Maksudmu?”
“Ini yang pertama dan terakhir, setelah ini bukan dirimu lagi yang menerima hadiah dariku,” Shin memberanikan menatap mata Saki meski dengan tatapan dinginnya.
Sejenak saki terkejut dengan kalimat itu. “Jadi, sudah berakhir ya,” ucapnya lirih. Terasa sakit, tapi tidak aka nada yang berubah saat sakit itu terekspresikan jadi lebih baik Saki menyimpan semua ini di balik matanya.
“Tidak menyenangkan bermain sendirian,”
Saat ini sudah musim semi tapi mengapa Saki harus merasakan dinginnya sisa musim dingin disaat seperti ini.
“Aku terlambat,”
Terucap dengan lirih di bibir Saki kalimat penyesalan itu, tapi tetap saja Shin bisa mendengar itu dengan jelas karena lorong sedang sangat sepi sekarang.
“Bukan salahmu, kau akan baik-baik saja seperti sebelumnya,” kali ini Shin memberikan senyum di wajahnya dan tatapan hangat dari matanya tapi hal itu justru membuat Saki merasakan lagi dinginnya diselimuti salju tak terlihat.
“Semoga saja,”
Sebuah senyuman terpaksa terlukis di wajah Saki, bersamaan dengan Shin yang meninggalkannya. Bahu itu, punggung itu, tubuh itu perlahan tapi pasti mulai memudar dari hadapan Saki, bayangan yang awalnya dapat digenggam akhirnya hilang bersama salju yang memilih menjadi air dan entah pergi kemana.
Saki merasakan sakit yang awalnya dia berikan pada Shin, sebuah takdir dan karma diperankan dengan baik dalam drama hidup Saki yang sekarang hanya mampu menerima keadaan.
Surat yang tadi dipegang Saki, ia lemparkan di atas mejanya dan menenggelamkan wajahnya di antara kedua lengannya.
“Sudahlah Saki. Kau akan baik-baik saja,” Ohira menepuk pelan bahu saki dan berusaha menghiburnya, sejak Saki kembali ke kelas, sikapnya berubah bahkan tidak ada sepatah katapun yang terucap dan Ohira tidak tau apapun yang telah terjadi.
Mawar itu masih di meja Saki, tapi perasaan di mawar itu sudah pudar.
“Ohi, harus kuapakan hadiah pertama dan terakhir yang kuterima dari Shin ini?”
Masih dengan wajah yang ia tenggelamkan, Saki berusah menata kembali perasaanya.
“Eh? Saki-chan,” raut wajah Ohira menjadi sedih saat mendengar kalimat dan nada bicara Saki yang terasa hampa.
Cerpen Karangan: Adien
Facebook: Lenyadifa
Dingin Salju Di Musim Semi
4/
5
Oleh
Unknown