Judul Cerpen Hidup Itu…
Hidup itu ibarat ikan yang hidup di kolam. Ikan yang paling besar dan paling berwarnalah yang akan dilirik.
“Wah, Jessica itu perfect ya. Sudah cantik, pintar, jago main voli, ceria dan murah senyum! Gak ada cacatnya deh!”
“Iya! Dia bagaikan mawar di antara rumput berduri! Paling indah dan menawan!”
“Eh, tahu gosip terbaru? Jessica pacaran sama dia! Perfect banget ya, dia kan sekertaris OSIS, jago main biola, kapten klub tenis…”
Ikan kecil hanya akan menjadi penyemarak kolam, hanya akan dilirik jika berada di sekeliling ikan besar tersebut.
“Wah Vanessa, nilaimu lebih tinggi dari Jessica! Sela..”
“Hei lihat! Vanessa dapat nilai 98! Sedikit lagi lho Jess..”
“Oh tapi ada yang mendapat 100 lho! Itu Vanessa!”
“Oh? Si kutu buku? Gak heran kacamatanya tambah tebal”
“Orang seperti dia gak ada yang bisa dibanggakan selain otak encer!”
Ketika pembagian makanan pun, hanya ikan besarlah yang menguasai. Ikan kecil akan dipaksa pergi, dan berharap tuannya akan melempar makanan ke arahnya.
“Apa kau tahu? Sebanarnya Vanessa lho yang dipilih menjadi perwakilan sekolah kita di kompetisi minggu lalu!”
“Terus kenapa malah jadi Jessica? Kan lebih jago Vanessa dalam bermain gitar”
“Nah itu dia masalahnya! Backing Jessica kan kuat, pasti karena pacarnya sekertaris OSIS!”
“Salah salah. Tahu kan fansclub Jessica? Katanya sih mereka yang mem-bully Vanessa sampai Vanessa gak mau ikut lagi!”
“Yang benar? Keterlaluan! Mereka pikir Jessica dewi yang jatuh dari surga apa? Sampai sebegitunya.”
“Aku tak mempersalahkan Jessica, hanya saja fansclub itu selalu membuat masalah! Kasihan kan Vanessa..”
Tapi apa sang tuan akan memberikannya? Jika iya pun apa benar sang ikan kecil yang akan memakannya, bukan ikan-ikan besar itu?
“Hei kutu buku! Masih belum menyerah ya?”
“Iya nih. Sudah kubilang penampilan lebih penting dari otak! Kau kan tak bisa berbicara di depan umum!”
“Iya, jangan terlalu banyak berharap deh! Jessica kan lebih baik darimu, dia pasti menang!”
Kertas pidato Vanessa dibuang ke tempat sampah dengan santainya. Mungkin mereka tidak tahu betapa berharapnya Vanessa pada lomba kali ini. Vanessa menunduk, tapi mendongak kembali karena rambut panjangnya yang dikepang ditarik.
“Orang sepertimu terlalu freak! Kami benci orang sepertimu”
Orang-orang yang tergabung dalam Jessica’s fansclub itu pergi sambil tertawa sinis nan menjijikan. Puas karena berhasil membully Vanessa untuk ke- ah sudah terlalu banyak untuk dihitung dan senang karena berhasil menyingkirkan sang freak –menurut mereka-.
Harusnya mereka bersyukur masih bisa tertawa dengan begitu puasnya. Mereka tidak menyadari senyuman Vanessa yang terasa dingin dan mengerikan..
Cukup sudah.
Tapi bagaimana kalau ikan kecil tersebut adalah ikan arwana? Cantik nan mematikan, predator yang memangsa ikan lainnya bahkan ikan sejenisnya.
“Akh!”
Vanessa menatap datar pemandangan di hadapannya. Dia menendang salah satu tubuh yang bergerak sedikit sampai akhirnya tidak bergerak lagi. Orang-orang yang selalu menganggap dirinya rendah kini sudah tiada, mati bahasa kasarnya meninggal bahasa halusnya.
“Sekali sampah, mau dipoles bagaimana pun tetaplah sampah.”
Vanessa melepas kacamata tebalnya, matanya memang minus tapi dia memakai lensa kotak. Penampilan serba rapinya berganti menjadi dandanan modis dengan aksen cukup seksi sehingga orang yang menggangap Vanessa cupu dan freak akan memotong lidahnya saking menyesalnya.
‘Persetan dengan taruhan itu!’
Vanessa berjalan malas sambil menyeret kapak berlumuran darahnya. Pikirannya melayang pada kejadian satu tahun yang lalu, dimana dia pertama kali menantang Vanessa menjadi seorang kutu buku. Jika dia tahan tidak melakukan apapun pada orang yang membully-nya selama 3 tahun, dia akan diterima kembali di rumah.
‘Apa-apaan dia? Ini sudah batasku! Apa dia..’
“Tak pernah memikirkan hal seperti ini akan terjadi?”
Seorang laki-laki berjalan mendekati Vanessa santai. Vanessa yang baru saja hendak menyerang siapa pun orang yang menyapanya, mengendurkan kesiagaannya tatkala matanya menatap wajah laki-laki tersebut. Laki-laki tersebut tersenyum, namun Vanessa tahu bahwa dia tak seramah yang semua orang pikirkan.
‘Pas sekali, baru mencacinya orangnya muncul.’
“Senior, tidakkah hadiahku yang paling bagus?”
Sangat kentara perkataan Vanessa dengan nada sinis. Namun bila didengarkan baik-baik terdapat sisipan penuh harap di dalamnya. Sang senior hanya berjalan mendekati salah satu korban –atau bahasa kasarnya sampah- itu dengan tenang.
“Kau tidak menghancurkan kepalanya.”
Satu kalimat yang dikenali sebagai suatu pujian. Sang senior bukan tipe orang yang suka memuji, itulah yang membuat Vanessa menghembuskan nafas lega dan malas.
“Pertaruhan kita batal, oke?”
“Terserah, aku juga sudah capek menyamar terus.”
Sang senior mengambil kapak dari tangan Vanessa lalu melemparnya. Dipeluknya Vanessa erat.
“Ada apa ini? Kau menjadi lebih melankolis dari sebelumnya.”
“Diam atau kutebas lehermu”
“Kau berani?”
Vanessa terdiam. Dia masih seperti dulu.
“Akan lebih baik jika aku yang membunuhmu lebih dulu.”
Atau tidak. Dia bahkan berani mengambil tindakan sekarang.
Tawa sang senior pecah, Vanessa hanya menatapnya kesal.
“Oh ayolah, aku sudah membolehkanmu pulang kok. Tapi bersihkan dirimu dulu, oke?”
Cerpen Karangan: Sheren0709
Blog: lunarniaaa.wordpress.com
Hidup itu ibarat ikan yang hidup di kolam. Ikan yang paling besar dan paling berwarnalah yang akan dilirik.
“Wah, Jessica itu perfect ya. Sudah cantik, pintar, jago main voli, ceria dan murah senyum! Gak ada cacatnya deh!”
“Iya! Dia bagaikan mawar di antara rumput berduri! Paling indah dan menawan!”
“Eh, tahu gosip terbaru? Jessica pacaran sama dia! Perfect banget ya, dia kan sekertaris OSIS, jago main biola, kapten klub tenis…”
Ikan kecil hanya akan menjadi penyemarak kolam, hanya akan dilirik jika berada di sekeliling ikan besar tersebut.
“Wah Vanessa, nilaimu lebih tinggi dari Jessica! Sela..”
“Hei lihat! Vanessa dapat nilai 98! Sedikit lagi lho Jess..”
“Oh tapi ada yang mendapat 100 lho! Itu Vanessa!”
“Oh? Si kutu buku? Gak heran kacamatanya tambah tebal”
“Orang seperti dia gak ada yang bisa dibanggakan selain otak encer!”
Ketika pembagian makanan pun, hanya ikan besarlah yang menguasai. Ikan kecil akan dipaksa pergi, dan berharap tuannya akan melempar makanan ke arahnya.
“Apa kau tahu? Sebanarnya Vanessa lho yang dipilih menjadi perwakilan sekolah kita di kompetisi minggu lalu!”
“Terus kenapa malah jadi Jessica? Kan lebih jago Vanessa dalam bermain gitar”
“Nah itu dia masalahnya! Backing Jessica kan kuat, pasti karena pacarnya sekertaris OSIS!”
“Salah salah. Tahu kan fansclub Jessica? Katanya sih mereka yang mem-bully Vanessa sampai Vanessa gak mau ikut lagi!”
“Yang benar? Keterlaluan! Mereka pikir Jessica dewi yang jatuh dari surga apa? Sampai sebegitunya.”
“Aku tak mempersalahkan Jessica, hanya saja fansclub itu selalu membuat masalah! Kasihan kan Vanessa..”
Tapi apa sang tuan akan memberikannya? Jika iya pun apa benar sang ikan kecil yang akan memakannya, bukan ikan-ikan besar itu?
“Hei kutu buku! Masih belum menyerah ya?”
“Iya nih. Sudah kubilang penampilan lebih penting dari otak! Kau kan tak bisa berbicara di depan umum!”
“Iya, jangan terlalu banyak berharap deh! Jessica kan lebih baik darimu, dia pasti menang!”
Kertas pidato Vanessa dibuang ke tempat sampah dengan santainya. Mungkin mereka tidak tahu betapa berharapnya Vanessa pada lomba kali ini. Vanessa menunduk, tapi mendongak kembali karena rambut panjangnya yang dikepang ditarik.
“Orang sepertimu terlalu freak! Kami benci orang sepertimu”
Orang-orang yang tergabung dalam Jessica’s fansclub itu pergi sambil tertawa sinis nan menjijikan. Puas karena berhasil membully Vanessa untuk ke- ah sudah terlalu banyak untuk dihitung dan senang karena berhasil menyingkirkan sang freak –menurut mereka-.
Harusnya mereka bersyukur masih bisa tertawa dengan begitu puasnya. Mereka tidak menyadari senyuman Vanessa yang terasa dingin dan mengerikan..
Cukup sudah.
Tapi bagaimana kalau ikan kecil tersebut adalah ikan arwana? Cantik nan mematikan, predator yang memangsa ikan lainnya bahkan ikan sejenisnya.
“Akh!”
Vanessa menatap datar pemandangan di hadapannya. Dia menendang salah satu tubuh yang bergerak sedikit sampai akhirnya tidak bergerak lagi. Orang-orang yang selalu menganggap dirinya rendah kini sudah tiada, mati bahasa kasarnya meninggal bahasa halusnya.
“Sekali sampah, mau dipoles bagaimana pun tetaplah sampah.”
Vanessa melepas kacamata tebalnya, matanya memang minus tapi dia memakai lensa kotak. Penampilan serba rapinya berganti menjadi dandanan modis dengan aksen cukup seksi sehingga orang yang menggangap Vanessa cupu dan freak akan memotong lidahnya saking menyesalnya.
‘Persetan dengan taruhan itu!’
Vanessa berjalan malas sambil menyeret kapak berlumuran darahnya. Pikirannya melayang pada kejadian satu tahun yang lalu, dimana dia pertama kali menantang Vanessa menjadi seorang kutu buku. Jika dia tahan tidak melakukan apapun pada orang yang membully-nya selama 3 tahun, dia akan diterima kembali di rumah.
‘Apa-apaan dia? Ini sudah batasku! Apa dia..’
“Tak pernah memikirkan hal seperti ini akan terjadi?”
Seorang laki-laki berjalan mendekati Vanessa santai. Vanessa yang baru saja hendak menyerang siapa pun orang yang menyapanya, mengendurkan kesiagaannya tatkala matanya menatap wajah laki-laki tersebut. Laki-laki tersebut tersenyum, namun Vanessa tahu bahwa dia tak seramah yang semua orang pikirkan.
‘Pas sekali, baru mencacinya orangnya muncul.’
“Senior, tidakkah hadiahku yang paling bagus?”
Sangat kentara perkataan Vanessa dengan nada sinis. Namun bila didengarkan baik-baik terdapat sisipan penuh harap di dalamnya. Sang senior hanya berjalan mendekati salah satu korban –atau bahasa kasarnya sampah- itu dengan tenang.
“Kau tidak menghancurkan kepalanya.”
Satu kalimat yang dikenali sebagai suatu pujian. Sang senior bukan tipe orang yang suka memuji, itulah yang membuat Vanessa menghembuskan nafas lega dan malas.
“Pertaruhan kita batal, oke?”
“Terserah, aku juga sudah capek menyamar terus.”
Sang senior mengambil kapak dari tangan Vanessa lalu melemparnya. Dipeluknya Vanessa erat.
“Ada apa ini? Kau menjadi lebih melankolis dari sebelumnya.”
“Diam atau kutebas lehermu”
“Kau berani?”
Vanessa terdiam. Dia masih seperti dulu.
“Akan lebih baik jika aku yang membunuhmu lebih dulu.”
Atau tidak. Dia bahkan berani mengambil tindakan sekarang.
Tawa sang senior pecah, Vanessa hanya menatapnya kesal.
“Oh ayolah, aku sudah membolehkanmu pulang kok. Tapi bersihkan dirimu dulu, oke?”
Cerpen Karangan: Sheren0709
Blog: lunarniaaa.wordpress.com
Hidup Itu…
4/
5
Oleh
Unknown