Judul Cerpen Aku Tidak Buta Tak Juga Tuli Ataupun Bisu
Bumi adalah tempatku dilahirkan. Bumi pulalah tempatku berpijak sehingga aku dapat berdiri dan melangkahkan kaki untuk menjalani setiap detik waktuku.
Selama hidupku, aku tak pernah mengenal kata ‘persahabatan’. Tak sekalipun aku mengerti makna dari ‘cinta’ atau ‘dicintai’. Aku hanya bisa mengaguminya dari jauh. Walaupun hanya melalui gambar, setidaknya aku masih bisa mengagumi. Kehampaan seakan menjadi makanan sehari-hari bagiku.
Dalam segala liku-liku hidupku, tak pernah sekalipun aku melihat seseorang di sekitarku walaupun sebenarnya mereka ada di sekelilingku.
Tak seorangpun dari mereka yang mampu mendengarku disaat aku berbicara. Bahkan saat aku berteriak sekalipun, mereka tak mendengar.
Mungkin itu adalah sebuah balasan karena aku tak pernah bisa untuk mendengar setiap perkataan mereka. Bukan karena aku tak mengerti apa yang dikatakannya, tapi karena tak sedikitpun aku bisa merasakan getaran suaranya di telingaku. Aku hanya bisa menerka ucapannya dengan memperhatikan setiap gerak mulutnya saat berbicara padaku.
Terkadang aku mulai jenuh dengan semua takdirku yang aneh. Tapi, apa yang dapat kulajukan selain pasrah? Setiap hari aku hanya bisa mengeluh pada Penciptaku tentang semua takdirku yang lengkap dengan segala kekurangan. Namun, tak sedikitpun Ia memberi perubahan pada diriku. Entah sampai kapan aku harus menderita seperti ini.
Pernah suatu hari, Penciptaku berkata padaku. Demikian kata-Nya: ‘janganlah kau selalu melihat ke atas, karena di atas itu tak indah. Lihatlah ke bawah, maka kau akan kagum akan segala ciptaan-Ku. Karena di bawah itu banyak sekali warna yang indah’.
Aku tak mengerti dengan apa yang dikatakannya itu. Tapi pada kenyataannya saat kulihat ke atas, aku melihat cerahnya sinar mentari disaat siang hari dan indahnya bulan bertabur bintang dengan berbagai ukuran di malan hari.
Sedangkan saat aku melihat ke bawah, tak ada yang kulihat selain bumi tempatku berpijak. Yang dalam pelajaran IPA-ku disebutkan kalau bumi itu dipenuhi oleh berbagai macam hewan dan tumbuhan. Dan berdasarkan pelajaran Geografiku dituliskan bahwa bumi terdiri dari beberapa lapisan dan oada lapisan paling bawah disusun oleh logam seperti nikel.
Semakin lama aku hidup di bumi ini, tak sedikitpun ada perubahan selain rasa jenuhku yang kian menjadi-jadi. Hingga pada akhirnya aku duduk dalam sebuah lingkaran yang kusebut ‘doa’. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhku. Aku merasa seperti sedang terbang. Mulutku kini sudah bisa berbicara. Telingaku pun telah manpu mendengar setiap ucapan orang-orang di sekitarku. Kini aku sudah sama dengan yang lainnya.
Namun, saat aku sudah bisa mendegar dan berbicara, aju mendengar beberapa orang sedang membicarakanku. Sejenak kutatap mereka yang melemparkan tatapan sinis padaku.
“Sombong sekali, ya dia” ucap seorang dari mereka.
“Iya. Serasa dialah pemilik bumi. Tak mau komunikasi dan tak peduli dengan sesama” timpal yang satunya diiringi derai tawa temannya yang lain.
Aku segera melangkah mendekati mereka dan menumpahkan semua kejenuhanku pada mereka. Kukatakan pada mereka bahwa selama aku berada di bumi, aku tak pernah merasakan ada keramaian di sana. Aku seperti tak dianggap. Dan akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengenal manusia, meskipun sebenarnya aku tengah mengagumi seorang manusia.
Setelah aku puas telah menumpahkan semua rasa jenuhku selama di bumi, aku segera meninggalkan mereka menuju ke tempat Sang Penciptaku, sedangkan mereka masih sinis padaku.
Cerpen Karangan: Linggom Nababan
Blog: linggomnababan.blogspot.com
Bumi adalah tempatku dilahirkan. Bumi pulalah tempatku berpijak sehingga aku dapat berdiri dan melangkahkan kaki untuk menjalani setiap detik waktuku.
Selama hidupku, aku tak pernah mengenal kata ‘persahabatan’. Tak sekalipun aku mengerti makna dari ‘cinta’ atau ‘dicintai’. Aku hanya bisa mengaguminya dari jauh. Walaupun hanya melalui gambar, setidaknya aku masih bisa mengagumi. Kehampaan seakan menjadi makanan sehari-hari bagiku.
Dalam segala liku-liku hidupku, tak pernah sekalipun aku melihat seseorang di sekitarku walaupun sebenarnya mereka ada di sekelilingku.
Tak seorangpun dari mereka yang mampu mendengarku disaat aku berbicara. Bahkan saat aku berteriak sekalipun, mereka tak mendengar.
Mungkin itu adalah sebuah balasan karena aku tak pernah bisa untuk mendengar setiap perkataan mereka. Bukan karena aku tak mengerti apa yang dikatakannya, tapi karena tak sedikitpun aku bisa merasakan getaran suaranya di telingaku. Aku hanya bisa menerka ucapannya dengan memperhatikan setiap gerak mulutnya saat berbicara padaku.
Terkadang aku mulai jenuh dengan semua takdirku yang aneh. Tapi, apa yang dapat kulajukan selain pasrah? Setiap hari aku hanya bisa mengeluh pada Penciptaku tentang semua takdirku yang lengkap dengan segala kekurangan. Namun, tak sedikitpun Ia memberi perubahan pada diriku. Entah sampai kapan aku harus menderita seperti ini.
Pernah suatu hari, Penciptaku berkata padaku. Demikian kata-Nya: ‘janganlah kau selalu melihat ke atas, karena di atas itu tak indah. Lihatlah ke bawah, maka kau akan kagum akan segala ciptaan-Ku. Karena di bawah itu banyak sekali warna yang indah’.
Aku tak mengerti dengan apa yang dikatakannya itu. Tapi pada kenyataannya saat kulihat ke atas, aku melihat cerahnya sinar mentari disaat siang hari dan indahnya bulan bertabur bintang dengan berbagai ukuran di malan hari.
Sedangkan saat aku melihat ke bawah, tak ada yang kulihat selain bumi tempatku berpijak. Yang dalam pelajaran IPA-ku disebutkan kalau bumi itu dipenuhi oleh berbagai macam hewan dan tumbuhan. Dan berdasarkan pelajaran Geografiku dituliskan bahwa bumi terdiri dari beberapa lapisan dan oada lapisan paling bawah disusun oleh logam seperti nikel.
Semakin lama aku hidup di bumi ini, tak sedikitpun ada perubahan selain rasa jenuhku yang kian menjadi-jadi. Hingga pada akhirnya aku duduk dalam sebuah lingkaran yang kusebut ‘doa’. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhku. Aku merasa seperti sedang terbang. Mulutku kini sudah bisa berbicara. Telingaku pun telah manpu mendengar setiap ucapan orang-orang di sekitarku. Kini aku sudah sama dengan yang lainnya.
Namun, saat aku sudah bisa mendegar dan berbicara, aju mendengar beberapa orang sedang membicarakanku. Sejenak kutatap mereka yang melemparkan tatapan sinis padaku.
“Sombong sekali, ya dia” ucap seorang dari mereka.
“Iya. Serasa dialah pemilik bumi. Tak mau komunikasi dan tak peduli dengan sesama” timpal yang satunya diiringi derai tawa temannya yang lain.
Aku segera melangkah mendekati mereka dan menumpahkan semua kejenuhanku pada mereka. Kukatakan pada mereka bahwa selama aku berada di bumi, aku tak pernah merasakan ada keramaian di sana. Aku seperti tak dianggap. Dan akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengenal manusia, meskipun sebenarnya aku tengah mengagumi seorang manusia.
Setelah aku puas telah menumpahkan semua rasa jenuhku selama di bumi, aku segera meninggalkan mereka menuju ke tempat Sang Penciptaku, sedangkan mereka masih sinis padaku.
Cerpen Karangan: Linggom Nababan
Blog: linggomnababan.blogspot.com
Aku Tidak Buta Tak Juga Tuli Ataupun Bisu
4/
5
Oleh
Unknown