Judul Cerpen Mimpi Kecil Dinda
Gadis kecil dengan rambut ekor kuda berjalan dengan tergesa-gesa membelah kesenyapan lorong rumah sakit. Tembok-tembok yang serba putih, dan aroma khas obat-obatan yang begitu mengusik ketenangan batinnya. Kekhawatiran hati tergambar di raut wajahnya yang lugu. Degup jantungnya berdetak cepat seirama dengan gerak langkah kaki yang tak sabar untuk segera tiba di ruang ICU pavilion Mawar. Dia terus saja berjalan dengan cepat tanpa mempedulikan seorang wanita yang sejak tadi kelelehan menyeimbangkan lajunya. Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya mereka berhasil menemukan ruangan yang dicari-cari sejak tadi.
Gadis itu berjalan lurus menghampiri kerumunan orang-orang yang berjarak sekitar lima meter dari pandangan matanya. Sedangkan, wanita yang mengikutinya masih berusaha mengatur helaan nafas yang tak beraturan di depan pintu masuk. Gadis itu kini berusaha untuk melangkah dengan lebih tenang dari sebelumnya, meski frekuensi denyut arteri masih menggebu-gebu di dalam rongga dada kirinya.
Dengan nafas yang masih terengah-engah, seketika gerak kaki gadis itu terhenti tepat di samping kaca ruang ICU. Lalu dia memalingkan kedua bola mata indahnya ke arah tempat tidur pasien-pasien yang terbaring lemah di atas bed rumah sakit. Kornea matanya terpusat pada tempat tidur nomor 2 dari kaca ruang ICU.
Tubuhnya terpaku saat mendapati sesosok pria paruh baya yang sedang asik terbuai dalam dunia mimpinya. Seolah acuh pada ribuan tatap mata yang selalu memperhatikannya dari kejauhan. Berbagai macam alat medis berserakan hampir di sekujur tubuh pria itu. Monitor alat pendeteksi denyut jantung mendobrak paksa kaca ruang ICU, membisikkan nada duka di telinga gadis itu. Pemandangan yang membuat dadanya begitu sesak, binar matanya menunjukan kesedihan hati yang mendalam. Sekuat tenaga dia menahan diri agar tak ada setitik pun mutiara yang keluar dari pelupuk matanya.
“Dinda. Kapan datang?”. Sapaan hangat seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berhasil memecah lamunannya dan membuat sejengkal jarak di sisi Dinda.
“Eh kamu Mas, baru aja datang.” Dinda menundukan kepalanya untuk menyeka mutiara yang sudah berada di sudut mata dan menoleh ke Heri
“Dateng sama siapa?”
“Sama Mba Nia. Mas Heri kesini sama siapa?”.
“Sama keluarga kita yang ada di Jakarta dan Jawa. Kamu udah pulang sekolah?”
“Harusnya sih belum Mas, tapi tadi Mba Nia jemput Dinda di sekolah. Terus kita langsung pergi ke rumah sakit. Dinda aja belum sempat ganti baju”. Dinda memamerkan seragam sekolah dasar yang masih ia kenakan dengan melebarkan roknya ke sisi kiri dan kanan.
Heri tersenyum mendengar jawaban sederhana dari mulut mungil Dinda. “oalah, Pantas saja Mas Heri mencium aroma yang tidak sedap saat ngobrol bareng Dinda.” Ledek Heri sambil mencapit lubang hidungnya dengan kedua jemari tangan kanan.
“Ihhh, Mas Heri mah nyebelin.” Dinda mencubit lengan kanan atas Heri sebagai bentuk protes darinya.
“Aduh Dinda sakit tahu.” Heri meringis kesakitan dan balik mencubit pipi kiri Dinda. Tawa renyah mereka pun akhirnya mengudara di langit-langit ruang tunggu ICU.
“Ikut Mas Heri yuk sebentar.” Heri langsung menarik tangan Dinda keluar dari ruang tunggu ICU. Tubuh Dinda tak kuasa menahan genggaman erat tangan Heri yang membawanya pergi dari ruangan.
Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit, menikmati setiap kesibukan orang-orang yang ada di dalamnya. Dokter, Perawat dan tenaga medis lainnya masih asik dengan aktivitas mereka dalam menjalankan tanggung jawab sebagai seorang tenaga medis. Sejenak, Dinda menekan langkahnya saat melihat ruang Neonatus yang berada di sisi kiri tubuhnya. Sebuah ruangan dengan pasien bayi dan balita yang nampak menggemaskan, Dinda sangat menyukai anak-anak, itulah sebabnya dia tak mau melewati moment yang paling langka dalam hidupnya. Dia sangat terhibur saat menemukan wujud malaikat-malaikat kecil yang begitu memanjakan mata bagi setiap orang yang melihatnya. Gerak tubuh kecil mereka mampu menggelitik hati, sehingga menimbulkan tawa bahagia di raut wajah para penggemar pasien Neonatus.
“Dinda, ayuk!” Ajak Heri yang baru menyadari bahwa Dinda telah menghilang dari sisinya.
“Ya Mas.” Dinda memenuhi panggilan Heri dan kembali berjalan bersamanya.
Setelah asik menyusuri setiap sudut-sudut rumah sakit, mereka beristirahat sejenak di kantin yang tak jauh dari ruang ICU. Dinda pun seketika lupa dengan kesedihannya. Mereka masih asik bersenda gurau di tempat duduk pengunjung. Beberapa menit kemudian, Bagas yang merupakan om dari Heri dan Dinda datang menghampiri mereka berdua. Kedatangan Bagas seketika menghentikan gelak tawa mereka. Suasana yang ramai di kantin rumah sakit berubah menjadi hening. Terasa begitu sunyi dan hanya helaan nafas Bagas yang terdengar nyaring di telinga Heri dan Dinda.
Bagas diam sejenak saat melihat Dinda ada di hadapannya. Sebenarnya, dia hanya ingin berbicara berdua dengan si kecil Heri. Namun, dia tak mungkin menyuruh Dinda pergi atau menarik Heri keluar dari sisi Dinda. Batin Bagas berkecamuk dan terpancar jelas di raut wajahnya. Dengan berat hati, Bagas menyampaikan pesan duka yang terasa begitu menyakitkan bagi para pendengarnya terutama bagi Dinda. “Her, bilangin bapak kamu kalo pakde Rano meninggal”.
“Hah? Kenapa om? Heri gak denger”. Heri mendekatkan tubuh kecilnya ke arah Bagas yang berada jauh darinya agar bisa menyimak dengan baik.
“Aduhhh Heriii. Kenapa harus minta diulang?” Gumam Bagas yang menyesali permintaan Heri, sebab posisi badan Bagas berada tepat di dekat Dinda.
Dengan berat hati, Bagas mengulang kembali kalimatnya dengan nada yang lebih jelas. Kali ini dia memberanikan diri untuk menghiraukan keberadaan Dinda meskipun masih dengan suara yang pelan dan berharap Dinda tidak mendengarnya. “Heri, tolong bilangin bapak, kalo pakde Rano ayahnya Dinda meninggal”.
Dinda tersontak kaget mendengar berita itu. Dia pun langsung pergi berlalu meninggalkan Heri dan Bagas. Dinda berlari secepat mungkin menuju ruang ICU untuk memastikan bahwa itu hanyalah mimpi atau hanyalah berita tentang seseorang yang memiliki nama serupa dengan ayahnya. Setibanya di depan pintu ruang tunggu ICU, gemuruh isak tangis menggema ke penjuru ruangan. Merambat melalui dinding-dinding putih yang menjadi ciri khas rumah sakit dan memaksa masuk ke telinga Dinda. Dengan dada yang sudah begitu sesak dan air mata yang tak mampu lagi dibendungnya, Dinda berusaha menguatkan langkah untuk mengahampiri kenyataan hidupnya. Akhirnya, tangisan Dinda pecah di pangkuan ibunya.
Sepuluh tahun telah berlalu, tetapi mimpi buruk itu masih sering hadir mengusik kebahagiaan Dinda. Berjalannya detik kehidupan, tidak jua membuat badai musim dingin berhenti menghantuinya. Sebab, kepergian ayahnya membuat dia harus menjadi tulang punggung keluarga. Penundaan pendidikan strata 1 nya, membuat dia begitu terpukul. Dengan sangat berat hati, Dinda harus mengesampingkan keinginannya untuk bisa lanjut kuliah, karena dia masih harus membantu ibunya untuk membiayai kebutuhan keluarga di tengah pengahasilan yang pas-pasan.
Berbeda dengan wanita seumurnya di luar sana yang bisa menghabiskan gaji bulanannya untuk memenuhi semua keinginan semu mereka. Tapi Dinda harus menahannya dalam-dalam agar dia bisa menghemat pengeluaran pribadinya. Kini Dinda bekerja di lembaga pendidikan tempat dia bersekolah dulu. Lingkungan yang tak asing membuat dia mudah beradaptasi dengan dunia kerjanya. “Beruntung, aku berada di lingkungan yang selalu membuatku tak pernah acuh dengan impianku”. Batin Dinda mengucap syukur.
Dinda pun satu divisi dengan Alex yang dulu menjabat sebagai wali kelasnya sewaktu kelas 2 SMK. Alex adalah seorang pria dengan postur tubuh yang tinggi semampai, bentuk wajah oval, dengan gaya rambut khas anak usia dua puluhan tahun. Hal itu membuatnya nampak sedikit lebih awet muda dan stylish. Alex memiliki karakter yang supel sehingga dia mudah bergaul dengan siapa saja, baik muda ataupun tua. Bahkan dia juga sering bersikap jail kepada rekan kerjanya agar dapat menghidupkan keceriaan dalam lingkungan kerja dan menepis rasa canggung di antara sesama rekan kerja. Alex memilih Dinda sebagai asistennya, karena dia merasa cocok dengan Dinda, sekaligus ingin menguji kualitas kinerja Dinda. Dinda selalu menemaninya menyelesaikan semua beban kerja yang mereka terima, bahkan tak jarang pula mereka harus lembur bersama. Itulah yang membuat Alex tak mau mengganti posisi Dinda dengan orang lain.
“Din, kamu masih sibuk gak?” Suara Alex terdengar dari belakang meja kerja Dinda. Mengamati monitor komputer milik Dinda untuk membandingkan nilai prioritas tugas kerjanya.
“Dinda masih sibuk bikin design Pak.” Dinda berbalik badan menuju arah datangnya suara.
“Kesini sebentar karena saya butuh bantuan kamu.” Pinta Alex pada Dinda.
Dinda pergi meninggalkan meja kerjanya dengan tugas design yang masih terpampang di layar monitor. Dia langsng mengambil posisi duduk tepat di samping Alex. Di setiap meja kerja, selalu terdapat dua bangku agar sesama rekan kerja bisa saling bahu membahu dalam menyelesaikan tugas pokok divisi yang belum terlaksana, sekaligus sebagai tempat singgah bagi karyawan yang ingin berkonsultasi.
“Yuk kita mulai.” Alex sudah dalam posisi yang sigap saat melihat Dinda duduk di sampingnya dan memegang hard copy bersampul kuning. “Nanti kamu tolong bacakan setiap data peserta yang telah terdaftar di hard copy itu, dan saya yang mengkroscek setiap data peserta yang ada di file komputer. Jangan lupa pegang stabilo atau pulpen untuk menandai nama-nama peserta yang telah terdaftar di file komputer. Kita harus selesai sebelum jam 1 karena saya mau mengirim datanya ke pusat” Terang Alex.
Bola mata Alex terpusat di depan komputernya, memperhatikan setiap huruf yang telah tersusun rapi dalam sebaris kata. Jemari tangan kirinya telah mengambil posisi di atas keyboard, sambil berjaga-jaga untuk segera mengedit ulang bila di temukan kesalahan pengetikan pada file datanya. Sedangkan jemari kanannya berada di atas mouse untuk menggerakan kursor pada layar. Tak terasa waktu menunjukan jam dua belas siang. Suara adzan menjadi pertanda tibanya waktu istirahat. ”Karena kita dikejar deadline, jadi hari ini kamu makan siang bareng sama saya.”
Tak lama kemudian tugas mereka terselesaikan dengan baik. “Bawa paket makan siangnya ke ruang tamu di sebelah, nanti saya kesana. Ada minumannya gak?” Alex menyenderkan sejenak tubuh rampingnya di kursi kerja berwarna hitam yang sedari tadi diduduki olehnya, sambil merogoh saku celananya untuk mengambil beberapa lembar rupiah. “Ada kok Pak.” Ucap Dinda sebelum pergi berlalu meninggalkan Alex. Ruang kerja Dinda berada di lantai dua dan di sebelah ruangannya terdapat ruang kosong yang digunakan untuk menjamu tamu. Bila sedang sepi, ruangan tersebut digunakan untuk tempat makan siang bagi para karyawan yang asik bekerja hingga lupa makan. Tiga menit setelah Dinda berada di ruang tamu, Alex datang dan duduk tak jauh dari sisi Dinda. Saat sedang makan, Alex sering bertanya banyak hal pada Dinda. Salah satunya adalah, “Apa impian dalam hidup Dinda?”
Seketika laju suapan tangan Alex terhenti saat mendengar jawaban yang terlontar dari bibir Dinda. “Impian Dinda sederhana kok Pak. Dinda cuma mau ngerasain bagaimana rasanya jadi seorang anak yang memiliki kedua orangtua lengkap. Ada ayah dan ada juga ibu. Selama ini Dinda cuma punya Mamah. Dinda gak pernah ngerasain bagaimana rasanya bisa membahagiakan seorang laki-laki dewasa yang selalu kita panggil dengan sebutan ayah. Bagaimana rasanya bisa diantar jemput setiap kali pulang dan berangkat sekolah? Bagaimana rasanya dipeluk dan dimanja sama ayah? Bagaimana rasanya bercanda dan tertawa dengannya? Target Dinda saat ini adalah, Dinda mau kuliah Pak. Dinda mau wujudin impian ayah Dinda.”
“Apa impian ayah Dinda?’. Potong Alex
“Ayah berharap bahwa salah satu anaknya ada yang berprofesi sebagai seorang bidan.” Lanjut Dinda dengan posisi kepala yang menunduk untuk menutupi kesedihan hatinya.
Seketika ruangan tersebut menjelma menjadi sedu, terdapat jeda kesedihan di antara keduanya. Alex pun meletakkan box paket makan siangnya yang sejak tadi di sangga di atas telapak tangan kirinya. “Din, dengerin saya baik-baik. Kamu gak perlu iri ataupun merasa kurang beruntung. Percayalah, bahwa akan selalu ada kebahagiaan yang diselipkan Allah di sela-sela kedukaan hamba-Nya. Kamu bisa anggap saya sebagai ayah kamu dan kamu boleh bercerita apa saja ke saya, seperti halnya yang saya lakukan ke kamu. Saya pun telah menganggap kamu sebagai anak saya sendiri. Maaf bila terkadang saya terlalu keras dalam mendidik kamu, semua itu saya lakukan sebagai bentuk kepedulian saya supaya kamu bisa jadi anak mandiri yang tak pernah menggantungkan hidup pada orang lain. Jadi kamu gak perlu sungkan kalo butuh bantuan saya, sebisa mungkin saya akan selalu bantu kamu.”
Senyum Dinda merekah di antara binar air mata yang sejak tadi ditahannya. Sebab Dinda tak pernah mau menunjukan kesedihannya di depan banyak orang, cukup dia saja yang menikmatinya. Kalimat penenang yang disampaikan Alex, membuat dia merasa menjadi seorang anak perempuan yang sempurna. Semenjak kejadian itu, tak ada lagi tombol enter yang datang tuk mengusik barisan kalimat yang telah mereka rangkai dalam sebait hubungan kekeluargaan. Hubungan antara seorang anak dan ayah.
TAMAT
Cerpen Karangan: Oryza Sativa
Blog: oryzasativa23.blogspot.co.id
Gadis kecil dengan rambut ekor kuda berjalan dengan tergesa-gesa membelah kesenyapan lorong rumah sakit. Tembok-tembok yang serba putih, dan aroma khas obat-obatan yang begitu mengusik ketenangan batinnya. Kekhawatiran hati tergambar di raut wajahnya yang lugu. Degup jantungnya berdetak cepat seirama dengan gerak langkah kaki yang tak sabar untuk segera tiba di ruang ICU pavilion Mawar. Dia terus saja berjalan dengan cepat tanpa mempedulikan seorang wanita yang sejak tadi kelelehan menyeimbangkan lajunya. Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya mereka berhasil menemukan ruangan yang dicari-cari sejak tadi.
Gadis itu berjalan lurus menghampiri kerumunan orang-orang yang berjarak sekitar lima meter dari pandangan matanya. Sedangkan, wanita yang mengikutinya masih berusaha mengatur helaan nafas yang tak beraturan di depan pintu masuk. Gadis itu kini berusaha untuk melangkah dengan lebih tenang dari sebelumnya, meski frekuensi denyut arteri masih menggebu-gebu di dalam rongga dada kirinya.
Dengan nafas yang masih terengah-engah, seketika gerak kaki gadis itu terhenti tepat di samping kaca ruang ICU. Lalu dia memalingkan kedua bola mata indahnya ke arah tempat tidur pasien-pasien yang terbaring lemah di atas bed rumah sakit. Kornea matanya terpusat pada tempat tidur nomor 2 dari kaca ruang ICU.
Tubuhnya terpaku saat mendapati sesosok pria paruh baya yang sedang asik terbuai dalam dunia mimpinya. Seolah acuh pada ribuan tatap mata yang selalu memperhatikannya dari kejauhan. Berbagai macam alat medis berserakan hampir di sekujur tubuh pria itu. Monitor alat pendeteksi denyut jantung mendobrak paksa kaca ruang ICU, membisikkan nada duka di telinga gadis itu. Pemandangan yang membuat dadanya begitu sesak, binar matanya menunjukan kesedihan hati yang mendalam. Sekuat tenaga dia menahan diri agar tak ada setitik pun mutiara yang keluar dari pelupuk matanya.
“Dinda. Kapan datang?”. Sapaan hangat seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berhasil memecah lamunannya dan membuat sejengkal jarak di sisi Dinda.
“Eh kamu Mas, baru aja datang.” Dinda menundukan kepalanya untuk menyeka mutiara yang sudah berada di sudut mata dan menoleh ke Heri
“Dateng sama siapa?”
“Sama Mba Nia. Mas Heri kesini sama siapa?”.
“Sama keluarga kita yang ada di Jakarta dan Jawa. Kamu udah pulang sekolah?”
“Harusnya sih belum Mas, tapi tadi Mba Nia jemput Dinda di sekolah. Terus kita langsung pergi ke rumah sakit. Dinda aja belum sempat ganti baju”. Dinda memamerkan seragam sekolah dasar yang masih ia kenakan dengan melebarkan roknya ke sisi kiri dan kanan.
Heri tersenyum mendengar jawaban sederhana dari mulut mungil Dinda. “oalah, Pantas saja Mas Heri mencium aroma yang tidak sedap saat ngobrol bareng Dinda.” Ledek Heri sambil mencapit lubang hidungnya dengan kedua jemari tangan kanan.
“Ihhh, Mas Heri mah nyebelin.” Dinda mencubit lengan kanan atas Heri sebagai bentuk protes darinya.
“Aduh Dinda sakit tahu.” Heri meringis kesakitan dan balik mencubit pipi kiri Dinda. Tawa renyah mereka pun akhirnya mengudara di langit-langit ruang tunggu ICU.
“Ikut Mas Heri yuk sebentar.” Heri langsung menarik tangan Dinda keluar dari ruang tunggu ICU. Tubuh Dinda tak kuasa menahan genggaman erat tangan Heri yang membawanya pergi dari ruangan.
Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit, menikmati setiap kesibukan orang-orang yang ada di dalamnya. Dokter, Perawat dan tenaga medis lainnya masih asik dengan aktivitas mereka dalam menjalankan tanggung jawab sebagai seorang tenaga medis. Sejenak, Dinda menekan langkahnya saat melihat ruang Neonatus yang berada di sisi kiri tubuhnya. Sebuah ruangan dengan pasien bayi dan balita yang nampak menggemaskan, Dinda sangat menyukai anak-anak, itulah sebabnya dia tak mau melewati moment yang paling langka dalam hidupnya. Dia sangat terhibur saat menemukan wujud malaikat-malaikat kecil yang begitu memanjakan mata bagi setiap orang yang melihatnya. Gerak tubuh kecil mereka mampu menggelitik hati, sehingga menimbulkan tawa bahagia di raut wajah para penggemar pasien Neonatus.
“Dinda, ayuk!” Ajak Heri yang baru menyadari bahwa Dinda telah menghilang dari sisinya.
“Ya Mas.” Dinda memenuhi panggilan Heri dan kembali berjalan bersamanya.
Setelah asik menyusuri setiap sudut-sudut rumah sakit, mereka beristirahat sejenak di kantin yang tak jauh dari ruang ICU. Dinda pun seketika lupa dengan kesedihannya. Mereka masih asik bersenda gurau di tempat duduk pengunjung. Beberapa menit kemudian, Bagas yang merupakan om dari Heri dan Dinda datang menghampiri mereka berdua. Kedatangan Bagas seketika menghentikan gelak tawa mereka. Suasana yang ramai di kantin rumah sakit berubah menjadi hening. Terasa begitu sunyi dan hanya helaan nafas Bagas yang terdengar nyaring di telinga Heri dan Dinda.
Bagas diam sejenak saat melihat Dinda ada di hadapannya. Sebenarnya, dia hanya ingin berbicara berdua dengan si kecil Heri. Namun, dia tak mungkin menyuruh Dinda pergi atau menarik Heri keluar dari sisi Dinda. Batin Bagas berkecamuk dan terpancar jelas di raut wajahnya. Dengan berat hati, Bagas menyampaikan pesan duka yang terasa begitu menyakitkan bagi para pendengarnya terutama bagi Dinda. “Her, bilangin bapak kamu kalo pakde Rano meninggal”.
“Hah? Kenapa om? Heri gak denger”. Heri mendekatkan tubuh kecilnya ke arah Bagas yang berada jauh darinya agar bisa menyimak dengan baik.
“Aduhhh Heriii. Kenapa harus minta diulang?” Gumam Bagas yang menyesali permintaan Heri, sebab posisi badan Bagas berada tepat di dekat Dinda.
Dengan berat hati, Bagas mengulang kembali kalimatnya dengan nada yang lebih jelas. Kali ini dia memberanikan diri untuk menghiraukan keberadaan Dinda meskipun masih dengan suara yang pelan dan berharap Dinda tidak mendengarnya. “Heri, tolong bilangin bapak, kalo pakde Rano ayahnya Dinda meninggal”.
Dinda tersontak kaget mendengar berita itu. Dia pun langsung pergi berlalu meninggalkan Heri dan Bagas. Dinda berlari secepat mungkin menuju ruang ICU untuk memastikan bahwa itu hanyalah mimpi atau hanyalah berita tentang seseorang yang memiliki nama serupa dengan ayahnya. Setibanya di depan pintu ruang tunggu ICU, gemuruh isak tangis menggema ke penjuru ruangan. Merambat melalui dinding-dinding putih yang menjadi ciri khas rumah sakit dan memaksa masuk ke telinga Dinda. Dengan dada yang sudah begitu sesak dan air mata yang tak mampu lagi dibendungnya, Dinda berusaha menguatkan langkah untuk mengahampiri kenyataan hidupnya. Akhirnya, tangisan Dinda pecah di pangkuan ibunya.
Sepuluh tahun telah berlalu, tetapi mimpi buruk itu masih sering hadir mengusik kebahagiaan Dinda. Berjalannya detik kehidupan, tidak jua membuat badai musim dingin berhenti menghantuinya. Sebab, kepergian ayahnya membuat dia harus menjadi tulang punggung keluarga. Penundaan pendidikan strata 1 nya, membuat dia begitu terpukul. Dengan sangat berat hati, Dinda harus mengesampingkan keinginannya untuk bisa lanjut kuliah, karena dia masih harus membantu ibunya untuk membiayai kebutuhan keluarga di tengah pengahasilan yang pas-pasan.
Berbeda dengan wanita seumurnya di luar sana yang bisa menghabiskan gaji bulanannya untuk memenuhi semua keinginan semu mereka. Tapi Dinda harus menahannya dalam-dalam agar dia bisa menghemat pengeluaran pribadinya. Kini Dinda bekerja di lembaga pendidikan tempat dia bersekolah dulu. Lingkungan yang tak asing membuat dia mudah beradaptasi dengan dunia kerjanya. “Beruntung, aku berada di lingkungan yang selalu membuatku tak pernah acuh dengan impianku”. Batin Dinda mengucap syukur.
Dinda pun satu divisi dengan Alex yang dulu menjabat sebagai wali kelasnya sewaktu kelas 2 SMK. Alex adalah seorang pria dengan postur tubuh yang tinggi semampai, bentuk wajah oval, dengan gaya rambut khas anak usia dua puluhan tahun. Hal itu membuatnya nampak sedikit lebih awet muda dan stylish. Alex memiliki karakter yang supel sehingga dia mudah bergaul dengan siapa saja, baik muda ataupun tua. Bahkan dia juga sering bersikap jail kepada rekan kerjanya agar dapat menghidupkan keceriaan dalam lingkungan kerja dan menepis rasa canggung di antara sesama rekan kerja. Alex memilih Dinda sebagai asistennya, karena dia merasa cocok dengan Dinda, sekaligus ingin menguji kualitas kinerja Dinda. Dinda selalu menemaninya menyelesaikan semua beban kerja yang mereka terima, bahkan tak jarang pula mereka harus lembur bersama. Itulah yang membuat Alex tak mau mengganti posisi Dinda dengan orang lain.
“Din, kamu masih sibuk gak?” Suara Alex terdengar dari belakang meja kerja Dinda. Mengamati monitor komputer milik Dinda untuk membandingkan nilai prioritas tugas kerjanya.
“Dinda masih sibuk bikin design Pak.” Dinda berbalik badan menuju arah datangnya suara.
“Kesini sebentar karena saya butuh bantuan kamu.” Pinta Alex pada Dinda.
Dinda pergi meninggalkan meja kerjanya dengan tugas design yang masih terpampang di layar monitor. Dia langsng mengambil posisi duduk tepat di samping Alex. Di setiap meja kerja, selalu terdapat dua bangku agar sesama rekan kerja bisa saling bahu membahu dalam menyelesaikan tugas pokok divisi yang belum terlaksana, sekaligus sebagai tempat singgah bagi karyawan yang ingin berkonsultasi.
“Yuk kita mulai.” Alex sudah dalam posisi yang sigap saat melihat Dinda duduk di sampingnya dan memegang hard copy bersampul kuning. “Nanti kamu tolong bacakan setiap data peserta yang telah terdaftar di hard copy itu, dan saya yang mengkroscek setiap data peserta yang ada di file komputer. Jangan lupa pegang stabilo atau pulpen untuk menandai nama-nama peserta yang telah terdaftar di file komputer. Kita harus selesai sebelum jam 1 karena saya mau mengirim datanya ke pusat” Terang Alex.
Bola mata Alex terpusat di depan komputernya, memperhatikan setiap huruf yang telah tersusun rapi dalam sebaris kata. Jemari tangan kirinya telah mengambil posisi di atas keyboard, sambil berjaga-jaga untuk segera mengedit ulang bila di temukan kesalahan pengetikan pada file datanya. Sedangkan jemari kanannya berada di atas mouse untuk menggerakan kursor pada layar. Tak terasa waktu menunjukan jam dua belas siang. Suara adzan menjadi pertanda tibanya waktu istirahat. ”Karena kita dikejar deadline, jadi hari ini kamu makan siang bareng sama saya.”
Tak lama kemudian tugas mereka terselesaikan dengan baik. “Bawa paket makan siangnya ke ruang tamu di sebelah, nanti saya kesana. Ada minumannya gak?” Alex menyenderkan sejenak tubuh rampingnya di kursi kerja berwarna hitam yang sedari tadi diduduki olehnya, sambil merogoh saku celananya untuk mengambil beberapa lembar rupiah. “Ada kok Pak.” Ucap Dinda sebelum pergi berlalu meninggalkan Alex. Ruang kerja Dinda berada di lantai dua dan di sebelah ruangannya terdapat ruang kosong yang digunakan untuk menjamu tamu. Bila sedang sepi, ruangan tersebut digunakan untuk tempat makan siang bagi para karyawan yang asik bekerja hingga lupa makan. Tiga menit setelah Dinda berada di ruang tamu, Alex datang dan duduk tak jauh dari sisi Dinda. Saat sedang makan, Alex sering bertanya banyak hal pada Dinda. Salah satunya adalah, “Apa impian dalam hidup Dinda?”
Seketika laju suapan tangan Alex terhenti saat mendengar jawaban yang terlontar dari bibir Dinda. “Impian Dinda sederhana kok Pak. Dinda cuma mau ngerasain bagaimana rasanya jadi seorang anak yang memiliki kedua orangtua lengkap. Ada ayah dan ada juga ibu. Selama ini Dinda cuma punya Mamah. Dinda gak pernah ngerasain bagaimana rasanya bisa membahagiakan seorang laki-laki dewasa yang selalu kita panggil dengan sebutan ayah. Bagaimana rasanya bisa diantar jemput setiap kali pulang dan berangkat sekolah? Bagaimana rasanya dipeluk dan dimanja sama ayah? Bagaimana rasanya bercanda dan tertawa dengannya? Target Dinda saat ini adalah, Dinda mau kuliah Pak. Dinda mau wujudin impian ayah Dinda.”
“Apa impian ayah Dinda?’. Potong Alex
“Ayah berharap bahwa salah satu anaknya ada yang berprofesi sebagai seorang bidan.” Lanjut Dinda dengan posisi kepala yang menunduk untuk menutupi kesedihan hatinya.
Seketika ruangan tersebut menjelma menjadi sedu, terdapat jeda kesedihan di antara keduanya. Alex pun meletakkan box paket makan siangnya yang sejak tadi di sangga di atas telapak tangan kirinya. “Din, dengerin saya baik-baik. Kamu gak perlu iri ataupun merasa kurang beruntung. Percayalah, bahwa akan selalu ada kebahagiaan yang diselipkan Allah di sela-sela kedukaan hamba-Nya. Kamu bisa anggap saya sebagai ayah kamu dan kamu boleh bercerita apa saja ke saya, seperti halnya yang saya lakukan ke kamu. Saya pun telah menganggap kamu sebagai anak saya sendiri. Maaf bila terkadang saya terlalu keras dalam mendidik kamu, semua itu saya lakukan sebagai bentuk kepedulian saya supaya kamu bisa jadi anak mandiri yang tak pernah menggantungkan hidup pada orang lain. Jadi kamu gak perlu sungkan kalo butuh bantuan saya, sebisa mungkin saya akan selalu bantu kamu.”
Senyum Dinda merekah di antara binar air mata yang sejak tadi ditahannya. Sebab Dinda tak pernah mau menunjukan kesedihannya di depan banyak orang, cukup dia saja yang menikmatinya. Kalimat penenang yang disampaikan Alex, membuat dia merasa menjadi seorang anak perempuan yang sempurna. Semenjak kejadian itu, tak ada lagi tombol enter yang datang tuk mengusik barisan kalimat yang telah mereka rangkai dalam sebait hubungan kekeluargaan. Hubungan antara seorang anak dan ayah.
TAMAT
Cerpen Karangan: Oryza Sativa
Blog: oryzasativa23.blogspot.co.id
Mimpi Kecil Dinda
4/
5
Oleh
Unknown