Reuni Mia

Baca Juga :
    Judul Cerpen Reuni Mia

    Aku menghela nafasku. Setelah menempuh perjalanan selama lima jam akhirnya aku sampai di rumah masa kecilku. Ya, aku sudah menyelesaikan kuliahku, hanya tinggal menunggu wisuda saja. Untuk mengisi waktu yang ada, aku memutuskan untuk kembali ke kampung halamanku.

    Setelah merebahkan tubuhku di kasur kamarku, aku memutuskan untuk menghubungi Triana. Aku ingin mengatakan padanya kalau aku sudah pulang dan tak sabar untuk bertemu dengannya.
    “Alhamdulillah, kalau kamu udah sampai di rumah dengan selamat. Yang udah mau lulus kuliah, selamat ya. Oleh-oleh dari kota ada nggak buat aku?” cerocos Triana dalam obrolan kami di Blackberry Messenger. “Ada nggak ya, sepertinya tidak ada oleh-oleh untukmu,” balasku.
    “Kamu jahat, Mi. Kok nggak ada hadiah buatku? Tapi, ya udah nggak apa-apa deh. Oh, ya kamu udah tahu belum kalau teman-teman SMA kita mau mengadakan reuni, alumni kita saja satu angkatan.” Triana memberitahuku kabar terbaru. Apa? Reuni. Rasanya baru kemarin aku lulus SMA, padahal sudah hampir empat tahun berlalu.
    “Oh, ya. Kapan reuninya? Tempatnya dimana?” tanyaku pada Triana. Aku baru tahu jika teman-teman mau mengadakan reuni. Mungkin karena saking sibuknya aku mempersiapkan ujian skripsi sehingga tidak tahu hal itu.
    “Rencananya dua minggu lagi, Mi. Hari minggu tanggal 18 nanti, kata teman-teman. Tempatnya di sekolah kita. Kamu datang, kan. Sayang lho kalau kamu tidak datang. Semua teman-teman seangkatan kita saja kok. Nggak ada kakak kelas ataupun adik kelas. Datang ya, Mia sayang. Aku juga mau ikut rencananya.” Triana membujukku.

    Sebenarnya aku tidak terlalu semangat untuk menghadiri acara tersebut. Otakku kembali mengingat masa putih abu-abuku dulu. Serangkaian kenangan hadir di kepalaku. Mulai dari teman-teman karibku, guruku, hingga dia.
    Ya, dia. Orang yang akan selalu hadir saat aku mengingat masa SMA-ku. Roby Azka Rahman, orang yang coba aku lupakan semenjak beberapa tahun terakhir ini. Orang yang kupikir jika aku meninggalkan kota kelahiranku ini, aku akan melupakan dia. Nyatanya, tidak.

    “Bagaimana, ya? Aku bingung. Memangnya semua teman-teman kita juga datang nggak, Tri? Aku sih ingin ketemu teman-teman, tapi bagaimana kalau aku ketemu dia?” Apa Triana tahu siapa yang aku maksud. Aku betul-betul mau bertemu teman-temanku yang lain. Tapi, jika aku bertemu dia, apa yang harus kulakukan?
    “Ya, ampun. Kamu takut ketemu Roby, Mi? Kenapa mesti takut, sih? Kata Putra dia bisa tidak ikut. Kalau dia ikut kenapa juga, Mi? Santai saja, bukankah hal itu sudah lama berlalu.” Triana membesarkan hatiku. Tapi, tetap saja aku bingung dengan perasaanku sendiri.

    Aku dan Roby dulu memang pernah dekat. Kami pernah menjalin hubungan selama beberapa waktu, tapi kemudian berakhir. Semenjak itu, aku tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun lagi. Entahlah, apa karena aku masih menyayangi dia sehingga aku tidak pernah berhubungan lagi dengan orang lain.
    Tetapi, hal berbeda berlaku dengan Roby. Ya, dia pernah menjalin hubungan dengan orang lain setelah perpisahan kami. Tapi, semenjak lulus SMA sampai saat ini, aku tidak tahu siapa kekasihnya. Aku tidak pernah berhubungan lagi dengannya semenjak kelulusan SMA kami, dan tak pernah bertemu dengannya lagi.

    “Ya, sudah. Nanti aku pikirkan lagi. Kalau aku mau datang, aku bisa menghubungi kamu lagi, Tri. Aku mau istirahat dulu, ya?” aku segera mengakhiri obrolan kami. Kulihat Tri mengatakan oke di pesan terakhirnya.
    Sebenarnya, aku mau ikut reuni. Aku mau melihat perubahan teman-temanku. Dan, jujur di dalam hatiku yang terdalam, aku juga ingin bertemu Roby. Tapi, separuh hatiku yang lain memintaku untuk tidak datang. Jika bertemu lagi, aku takut kalau aku semakin tidak bisa melupakan dia. Padahal, saat ini pun aku tidak tahu apakah dia masih ada di hatiku atau tidak. Dan, ku tahu aku mulai merindukannya lagi. Setelah empat tahun berlalu aku masih belum bisa untuk melupakannya.



    Roby Azka Rahman
    Aku sedang duduk santai di kasurku ketika ibu mengetuk pintu kamar. Beliau mengatakan jika ada temanku yang sedang menungguku di depan. Astaga, ini hari minggu dan hari reuni SMA ku dilaksanakan.
    “Hei, Putra. Ada apa? Sudah kubilang kan kalau aku tidak mau datang ke acara hari ini.” Aku menghampiri Putra yang sedang duduk di kursi tamu. Kulihat ia hanya tersenyum jahil melihat kedatanganku.
    “Kamu yakin nggak mau ikut? Kupikir kamu sudah berubah pikiran sekarang? Kenapa sih kamu nggak ikut aja. Takut ketemu Mia, ya?” Kulihat ia tertawa setelah mengucapkan kalimat tadi. Dasar, aku bukannya takut bertemu dia.
    Mia, ah sudah lama aku tidak mendengar nama gadis itu. Sejak kelulusan kami, aku tak pernah menghubungi dia lagi. Ya, hubungan kami bisa dibilang tidak terlalu baik semenjak perpisahan kami dulu. Aku sengaja menghindari dia, hanya agar dia tidak terlalu terluka ketika mengingatku.
    Aku tahu semua salahku. Tapi, kami sama-sama tahu jika dulu kami masih terlalu muda untuk menjalin suatu hubungan. Dan, akhirnya hanya penyesalanku yang masih tersisa. Aku begitu merasa bersalah karena tidak memperlakukannya dengan baik, dulu. Sehingga aku selalu mencoba untuk menghindari dia. Aku tak punya keberanian untuk meminta maaf padanya.
    “Hei, kamu kok melamun sih, By. Ditanya ikut atau tidak malah diam.” Putra mengagetkanku saja, bayangan wajah Mia perlahan menghilang. “Aku tetap tidak ikut, Putra. Ini bukan karena gadis itu. Aku hanya tidak berminat saja.” Ya, aku memang tidak berminat karena aku yakin dia pasti datang. Aku belum bisa bertemu dia. Walaupun aku berusaha menghindarinya, tidak berhubungan dengannya lagi, aku tetap tidak bisa melupakan gadis itu. Entah kenapa, ada hal berbeda dari Mia dibanding gadis-gadis yang pernah aku sayangi. Sehingga membuatku tak bisa melupakannya.
    “Ya, sudah kalau kamu tetap nggak mau. Aku berangkat sekarang, ya. Ada yang mau disampaikan kalau aku bertemu Mia?” Putra kembali menggodaku. Kontan saja langsung kubilang tidak.
    Sebenarnya, aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang. Apakah dia masih tetap sama seperti empat tahun yang lalu, ah, seperti enam tahun yang lalu sejak kami berpisah? Hanya saja aku terlalu takut untuk menemuinya lagi.



    Mia Adilla
    “Akhirnya kamu datang juga, Mi. Kenapa lambat sekali?” Triana langsung menghampiriku sesaat aku datang di acara reuni ini. Aku hanya tersenyum sambil melihat sekeliling panggung acara. Sekolahku tidak banyak berubah semenjak terakhir dua tahun lalu aku berkunjung kesini.
    “Aku hanya mau terlambat saja sesekali. Kan dulu aku siswa teladan.” Triana tersenyum mendengar kalimatku barusan. “Aku datang sama Alya, Tri. Dia yang terlambat menjemputku,” sambungku lagi.
    “Ya, maaf deh, Mi, Tri. Aku tadi agak sibuk membantu bibiku. Hanya kita bertiga saja kah yang datang, 9 Menara yang lain mana?” Tanya Alya. Ah, benar. Aku belum melihat teman-temanku yang lain.
    Saat kelas XII dulu, aku berteman dengan delapan sahabatku yang lain. Saking akrabnya, kami menamai diri kami dengan 9 menara. Aku, Triana, Alya, Raina, Eka, Vivi, Reni, Andrea dan Zia. Tapi, saat ini aku hanya melhat Triana saja.
    “Teman-teman yang lain pada sibuk, Al. Makanya, hanya aku dan Raina saja yang datang. Tuh, Raina lagi mengobrol dengan Putra dan yang lainnya. Ayo, kita kesana!” Triana menggandeng tanganku dan Alya. Kami hanya menurut saja mengikuti langkah kakinya.

    Kami langsung mengobrol dengan teman-teman yang lain. Acara sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Sekarang sedang ada sambutan dari panitia pelaksana dan perwakilan guru yang mengikuti acara ini.
    Aku tidak terlalu menikmati acara hari ini. Mataku masih mencari sosok keberadaannya. Sepertinya Roby memang tidak datang hari ini. Sampai menjelang acara penutup, aku masih belum melihat batang hidungnya.
    “Kamu mencari Roby, Mi?” Putra mengejutkanku dengan pertanyaan itu. Langsung saja kugelengkan kepalaku. “Dia nggak bakalan datang, Mi. aku tadi sudah menjemputnya, tapi dia tetap menolak untuk hadir,” sambung Putra lagi.
    “Oh, begitu. Tapi, aku tidak sedang mencari dia, kok.” Aku berbohong pada Putra. Mana mungkin kuceritakan yang sebenarnya, apalagi jika kukatakan kalau aku merindukan Roby dan ingin bertemu dengannya. “Sudah, ya. Aku mau pulang dulu. Udah dijemput soalnya.” Aku langsung bergegas menjauh dari Putra. Aku ingin pulang saja. Perasaanku sedang kacau sekarang.

    Aku langsung mengatakan pada Alya kalau aku pulang lebih dulu. Triana ingin menahanku karena acara reuni belum selesai. Tapi, aku langsung melenggang pergi meninggalkan mereka.
    Aku berhenti melangkah, terduduk di depan pagar sekolahku. Sudah kuduga, dia tidak akan datang. Padahal, aku sangat ingin bertemu dia. Bukan apa-apa, aku hanya ingin melihatnya. Sudah empat tahun berlalu sejak terakhir kali kulihat wajahnya. Tanpa kusadari air mataku menetes. Lagi, aku kembali merindukannya. Jika ada yang bertanya apakah aku masih menyayanginya atau tidak, mungkin ini akan menjawab pertanyaan itu. Hatiku sepertinya masih mengharapkannya kembali.



    Roby Azka Rahman
    Aku tidak tahu apa yang saat ini sedang kulakukan. Tiba-tiba saja aku menyadari jika aku sudah berada di depan sekolahku. Ah, acara reuni pasti masih berlangsung. Tapi, kakiku sepertinya enggan untuk melangkah masuk kesana.
    Aku masih termenung ketika menyadari seseorang keluar dari depan sekolahku. Dia, gadis itu adalah Mia. Ia berjalan dengan cepat sebelum akhirnya terduduk lunglai. Apa yang sedang terjadi padanya?
    Aku melihat ia meneteskan air matanya. Ah, gadis itu, kenapa dia menangis? Ingin sekali aku menghampirinya dan mengusap air matanya. Kenapa sekarang dadaku yang terasa sesak setelah melihat dia menangis?
    Aku mulai melangkahkan kakiku, tetapi hanya sesaat saja aku langsung berhenti. Aku bingung dengan perasaanku sendiri. Di satu sisi aku ingin menemuinya dan berbicara padanya, tapi setengah hatiku yang lain memintaku untuk tetap tinggal. Aku takut jika aku menghampirinya, tidak menyembuhkan luka hatinya, malah akan semakin melukainya.
    Kulihat Mia sudah berhenti menangis. Ia sudah mengusap habis air matanya. Tetapi sampai saat ini ia belum juga melihat kehadiranku. Mungkin karena tubuhku terlindung pohon akasia yang besar ini. Ah, Tuhan, aku harus bagaimana?



    Mia Adilla
    “Apa yang sedang kau lakukan, Mi? Kenapa duduk di luar sini, tidak masuk ke dalam?” Sebuah suara yang sangat aku nantikan terdengar di telingaku. Aku langsung berdiri dan melihat sesosok laki-laki yang sangat aku rindukan. Tuhan, dia sedang berdiri di hadapanku sekarang, setelah empat tahun aku tidak melihatnya.
    “Aku sedang menunggu seseorang. Aku mau pulang dan sedang menunggu jemputan,” balasku sambil mengamati wajahnya. Dia tidak berubah. Roby masih sama seperti yang dulu. Hanya saja sekarang kulitnya agak lebih gelap.
    “Kamu kenapa nggak masuk ke dalam saja? Acara reuninya masih belum selesai. Mungkin saja kamu mau bertemu dengan teman-teman.” Aku kembali melanjutkan kalimatku. Kulihat dia hanya menatapku saja, tanpa bicara lagi.
    Hening menyelimuti kami berdua. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Aku mencoba bersikap wajar dengan kembali bertanya padanya. “Apa kabar, Roby? Lama tidak berjumpa. Hampir empat tahun ya semenjak kelulusan kita,” kataku.
    “Kabarku baik, Mi. Kamu belum berubah, masih sama seperti dulu, ya,” jawabnya. Aku hanya tersenyum. Tuhan, aku kembali bertemu dengannya. Kupikir aku takkan melihatnya lagi.
    “Aku malas saja masuk ke dalam, Mi. Kamu, apa kabar? Kelihatannya kamu baik-baik saja,” Roby bertanya balik padaku. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Kulihat dia tersenyum menatapku.
    “Maaf, Mi. Kamu sudah menunggu lama, ya. Tadi ibuku memintaku untuk mengantar adikku lebih dulu, baru aku bisa menjemputmu. Maaf, Mi.” Belum sempat aku menjawab pertanyaan Roby tadi, aku dikejutkan oleh kedatangan Radit. Ya, aku memang meminta Radit untuk menjemputku. Karena tadi pagi aku sudah diminta untuk makan siang bersamanya.
    “Nggak apa-apa, Dit. Oh, ya ini temanku Roby. Roby, perkenalkan ini Radit.” Aku memperkenalkan Radit kepada Roby. Kulihat raut wajah Roby berubah, tidak seperti tadi saat pertama kali aku melihatnya.
    “Roby, maaf ya aku mau pulang dulu sama Radit. Terima kasih sudah mengajakku mengobrol tadi.” Aku kemudian mengajak Radit untuk meninggalkan tempat ini. Kulihat Roby menganggukkan kepalanya. Seandainya Radit terlambat menjemputku, aku mungkin masih bisa mengobrol dengan Roby.
    Aku menatap Roby untuk terakhir kalinya, dan ia masih tersenyum padaku. Terima kasih untuk hari ini, Tuhan. Aku bertemu dengannya lagi. Aku akhirnya bisa melihat sosok yang aku rindukan selama bertahun-tahun ini. Padahal, kukira aku takkan bertemu dia lagi.



    Roby Azka Rahman
    Aku merebahkan tubuhku di ranjang. Sudah pukul 10 malam sekarang dan aku masih belum bisa memejamkan mata. Aku senang karena hari ini bisa bertemu gadis itu. Dan memastikan kalau keadaannya baik-baik saja. Tapi, siapa laki-laki yang menjemputnya tadi? Entah kenapa, hatiku terasa sesak setiap mengingat laki-laki itu. Apakah aku cemburu?
    Aku kemudian memutuskan untuk menghubungi Mia. Aku ingin tahu siapa laki-laki tadi siang. Dengan segera kuketikkan pesan padanya melalui Blackberry Messengerku. Walaupun kami tidak pernah berhubungan lagi, tapi namanya masih ada dalam kontak BBM ku.
    “Maaf jika aku mengganggumu, Mia. Kalau boleh aku bertanya, Radit itu siapanya kamu?” langsung saja kuketik kalimat tersebut. Dan sialnya, pesanku tidak terkirim. Hanya tanda ceklis yang muncul.
    Aku mencoba berpikir positif. Mungkin saja laki-laki itu temannya. Tapi, aku tidak mengenal Radit. Apa mereka baru kenal? Tapi sepertinya mereka sudah lama kenal dilihat dari sikap Radit kepada Mia tadi.
    Aku kembali bermain dengan pikiranku sendiri. Mia, apa yang sedang kau lakukan? Kenapa aku jadi seperti ini? Aku hanya bisa mengecek kronologi Facebook Mia. Dia tidak terlalu aktif karena kulihat status terakhirnya dua minggu yang lalu.
    Ah, gadis itu membuatku ingin berteriak saja. Aku begitu penasaran dengan hubungan mereka berdua. Ya, jika Radit orang yang istimewa untuk Mia, aku mungkin tidak akan menghubunginya lagi dan tidak akan memintanya bertemu denganku.
    Waktu semakin berjalan. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 11. Dan dia masih belum menjawab pertanyaanku. Aku kemudian mencoba memejamkan mataku. Mungkin aku bisa tertidur sekarang.
    “Kamu tidak menggangguku, By. Radit itu anaknya teman ibuku. Kami hanya berteman saja. Kebetulan tadi dia mengajakku makan siang karena dia ingin bertemu dengan sahabatnya. Dan teman-temannya lagi sibuk semua hingga akhirnya dia mengajakku.” Akhirnya Mia membalas pesanku dan menjawab pertanyaanku. Syukurlah, mereka hanya berteman saja. Ada kelegaan yang menyeruak di dalam hatiku.
    “Oh, begitu. Syukurlah. Kamu kapan ada waktu? Aku boleh nggak berkunjung ke rumahmu?” Astaga pesan itu terlanjur kukirim padanya. Ada apa dengan otakku saat ini? “Aku akhir-akhir ini ada terus kok di rumah. Kalau kamu mau ke rumah, nanti kabarin aku lagi, ya.” Balasnya. Untung saja dia tidak bertanya yang aneh-aneh padaku.
    “Baiklah. Tapi, kamu nggak apa-apa jika aku ke rumahmu?” tanyaku lagi. Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa aku mau berkunjung ke rumahnya. Aku hanya menuruti kata hatiku saja. “Iya, nggak apa-apa kok. Santai saja,” jawab Mia.
    Gadis ini, ternyata tidak berubah. Aku belum tahu apa yang akan aku katakan jika bertemu dengannya lagi. Terlalu banyak yang ingin aku bicarakan dengannya. Dan, jika dia mau. Aku ingin memintanya kembali. Bukan sebagai kekasih, tapi sebagai teman hidupku. Semoga, ya.

    Cerpen Karangan: Rahmi Pratiwi
    Blog / Facebook: rahmipratiwibiologi14.blogspot.com / Rahmi Pratiwi

    Artikel Terkait

    Reuni Mia
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email