Judul Cerpen Semanis Teh
Jumat pukul 7.40 malam. Akhirnya aku melangkah juga masuk ke kafe tenda, memaksakan diri untuk duduk di meja yang bersebelahan dengannya walaupun semua meja lain masih kosong tersedia. Udara terasa hangat dan dipenuhi bau laut dan bumbu ikan bakar. Cahaya-cahaya malam meriah berpantulan di riak-riak ombak di bawah sana. Siluet hitam kapal-kapal berlabuh berserakan mengisi mulut teluk di kejauhan. Seorang pemuda menghampiriku dengan lembaran daftar menu dan berdiri menunggu di depanku. Kubilang pada pemuda itu aku akan memanggilnya kembali kalau sudah memutuskan pesananku, yang dibalasnya dengan anggukan datar tanpa ekspresi lalu kembali ke tempatnya semula di dekat jalan masuk kafe tenda. Dengan tangan membolak-balik lembaran menu aku mencuri pandang ke arah meja sebelahku. Gadis manis itu mengenakan sweater slim-fit biru muda yang lengannya digulung sampai siku. Sebuah arloji yang juga berwarna biru melingkar di lengannya rampingnya. Tidak ada cincin di jari maupun anting di daun telinga. Wajahnya juga tampak tanpa riasan, namun tetap terlihat putih dan bersemu merah muda. Kali ini rambut panjangnya dilepas tanpa ikatan, yang pasti akan melambai-lambai indah andaikan angin bertiup sedikit lebih bersemangat. Dan seperti biasa dia duduk dengan tangan terlipat di atas meja sambil menatap diam ke arah lautan. Dilihat dari dekat, ternyata dia tidak murung seperti yang selama ini kukira. Mungkin dia hanya terlihat murung dari seberang jalan, dimana biasanya aku mencuri-curi pandang sebelumnya, sambil melangkah-langkah pelan, dengan lagak acuh tak acuh.
Kuletakkan lembaran menu di atas meja dan pemuda pramusaji tadi dengan sigap segera menoleh kepadaku. Kuangkat kembali lembaran itu menutupi wajahku. Tadinya kupikir aku punya rencana. Aku akan datang menghampiri gadis itu dan menggeser bangku di depannya dan duduk disana. Lalu dia akan menatap heran ke arahku. Lalu aku akan tersenyum semanis yang kubisa dan berkata “Jangan khawatir, Pak Tua Santiago pasti akan segera kembali.” Kupikir itu cukup cerdas. Dia jelas-jelas sedang menatap ke arah laut, sekalian juga menunjukkan kalau aku seorang yang suka membaca dan punya selera yang bagus. Kemudian dia akan menjawab “Tapi tidak ada marlin disini, hanya kumpulan hiu.” yang diiringinya dengan senyum usil. Lalu aku akan menjawab “Yah, makanya tadi kubilang kalau dia akan segera kembali.” Lalu kami akan serentak tertawa dan lanjut berbincang sampai larut menjelang.
Tapi bagaimana aku bisa begitu yakin? Mungkin saja dia tidak pernah membaca buku yang kumaksud. Mungkin saja dia penggemar Faulkner. Atau bahkan dia tidak suka membaca sama sekali. Tapi aku pernah melihatnya memegang buku, walau aku tidak tahu itu buku apa. Lagipula tidak mungkin gadis elegan seperti itu tidak suka membaca bukan? Tapi bagaimana aku bisa begitu yakin? Semakin aku berpikir, semakin aku menjadi ragu. Sekarang aku bahkan tidak yakin lagi kalau pak tua itu benar-benar bernama Santiago. Apa aku berimprovisasi saja? Berdehem keras untuk menarik perhatian? Terlalu klise. Pura-pura bertanya tentang makanan apa yang sebaiknya kupesan? Terlalu transparan. Menjatuhkan sapu tangan? Aku bahkan tidak punya benda seperti itu. Secara refleks kulirik kembali meja di sebelahku sambil melepas nafas pasrah. Gadis itu sekarang duduk bersandar dengan tangan bersilang di dada, dengan sepasang matanya menatap lurus ke arahku. Tajam. Mengingatkanku pada tatapan ibuku saat hendak memukul mati kecoak yang nekat muncul di kamar mandi.
Bisa kurasakan keringat bertimbulan di belakang leherku. Sebutirnya lalu meluncur turun sampai ke pinggang. Apa dia marah? Tapi aku tidak melakukan apa-apa bukan? Sebagai pelanggan, aku berhak memilih duduk dimana saja asalkan mejanya kosong. Aku juga tidak meribut, aku bahkan belum memesan makanan. Sepanjang tadi aku hanya membolak-balik lembaran menu sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Aah… dia menyadarinya? Gadis itu baru hendak membuka mulut saat sebuah suara lain tiba-tiba datang mendahului. Suara yang kasar dan dalam dan merambat cepat dari arah jalan masuk. Dari seorang pria kekar berkumis berwajah galak dengan rantai emas melingkar di lehernya yang hitam kecoklatan. Tatapan mata si gadis yang tadinya tajam langsung berubah ramah, tersenyum lebar menyambut pria yang baru datang. Pria itu berbicara beberapa patah kata dan dari logat bahasanya aku langsung tahu kalau dia orang Negara Tetangga. Ah, tentu saja. Seharusnya aku sudah curiga dari awal. Kenapa gadis itu hanya terlihat pada jumat malam saja. Kenapa dia selalu duduk di sini sendirian tanpa teman dan tidak seorangpun laki-laki yang tergerak ingin menggodanya. Karena dia adalah “kekasih” orang kaya dari seberang lautan. Dan sepertinya orang-orang sekitar juga sudah maklum tentang itu dan seharusnya aku pun begitu, seandainya aku tidak terlalu dibutakan pesona. Yang ditunggunya bukan Pak Tua Santiago atau hiu atau marlin tapi Rahwana. Walau kupikir itu hampir tidak ada bedanya juga. “Tapi kenapa?” kudengar batinku bertanya. Pasti pria itu yang mendekatinya duluan. Merayunya dengan bahasanya yang bersajak dan membujuknya dengan hartanya yang berserak-serak. Yang dikerjakannya setiap jumat malam dengan keras hati sampai akhirnya si gadis pun melunak dan tunduk dan menyerah. “Tapi kenapa?” Ah sudahlah, dijawab juga percuma. Lagipula siapa yang tahu hati wanita.
Kulihat jam di tanganku, pukul 7.50 malam. Dalam sepuluh menit jantungku yang tadinya merah berdebar berubah menyusut dan berkerut. Akhirnya aku mengangguk ke arah pemuda pramusaji tadi dan dia datang mendekat dengan langkah malas. Aku pesan teh manis saja, kataku. Dia menaikkan sebelah alisnya menanggapi, tapi tidak kuhiraukan. Tidak lama kemudian pemuda itu kembali membawa segelas teh manis. Kutarik minuman merah mengepul itu ke dekatku lalu kuaduk dengan pelan, membuat butir-butir gula di dalamnya berputar berhamburan. Perlahan butiran-butiran itupun larut mengecil, sampai akhirnya mereka lenyap sama sekali. Kuletakkan sendok di atas piring tatakan dan kuangkat gelasnya ke mulutku dan kuseruput tehnya dalam-dalam. Seandainya hidup semanis ini.
Cerpen Karangan: Abdul Hafez Mubarak
Jumat pukul 7.40 malam. Akhirnya aku melangkah juga masuk ke kafe tenda, memaksakan diri untuk duduk di meja yang bersebelahan dengannya walaupun semua meja lain masih kosong tersedia. Udara terasa hangat dan dipenuhi bau laut dan bumbu ikan bakar. Cahaya-cahaya malam meriah berpantulan di riak-riak ombak di bawah sana. Siluet hitam kapal-kapal berlabuh berserakan mengisi mulut teluk di kejauhan. Seorang pemuda menghampiriku dengan lembaran daftar menu dan berdiri menunggu di depanku. Kubilang pada pemuda itu aku akan memanggilnya kembali kalau sudah memutuskan pesananku, yang dibalasnya dengan anggukan datar tanpa ekspresi lalu kembali ke tempatnya semula di dekat jalan masuk kafe tenda. Dengan tangan membolak-balik lembaran menu aku mencuri pandang ke arah meja sebelahku. Gadis manis itu mengenakan sweater slim-fit biru muda yang lengannya digulung sampai siku. Sebuah arloji yang juga berwarna biru melingkar di lengannya rampingnya. Tidak ada cincin di jari maupun anting di daun telinga. Wajahnya juga tampak tanpa riasan, namun tetap terlihat putih dan bersemu merah muda. Kali ini rambut panjangnya dilepas tanpa ikatan, yang pasti akan melambai-lambai indah andaikan angin bertiup sedikit lebih bersemangat. Dan seperti biasa dia duduk dengan tangan terlipat di atas meja sambil menatap diam ke arah lautan. Dilihat dari dekat, ternyata dia tidak murung seperti yang selama ini kukira. Mungkin dia hanya terlihat murung dari seberang jalan, dimana biasanya aku mencuri-curi pandang sebelumnya, sambil melangkah-langkah pelan, dengan lagak acuh tak acuh.
Kuletakkan lembaran menu di atas meja dan pemuda pramusaji tadi dengan sigap segera menoleh kepadaku. Kuangkat kembali lembaran itu menutupi wajahku. Tadinya kupikir aku punya rencana. Aku akan datang menghampiri gadis itu dan menggeser bangku di depannya dan duduk disana. Lalu dia akan menatap heran ke arahku. Lalu aku akan tersenyum semanis yang kubisa dan berkata “Jangan khawatir, Pak Tua Santiago pasti akan segera kembali.” Kupikir itu cukup cerdas. Dia jelas-jelas sedang menatap ke arah laut, sekalian juga menunjukkan kalau aku seorang yang suka membaca dan punya selera yang bagus. Kemudian dia akan menjawab “Tapi tidak ada marlin disini, hanya kumpulan hiu.” yang diiringinya dengan senyum usil. Lalu aku akan menjawab “Yah, makanya tadi kubilang kalau dia akan segera kembali.” Lalu kami akan serentak tertawa dan lanjut berbincang sampai larut menjelang.
Tapi bagaimana aku bisa begitu yakin? Mungkin saja dia tidak pernah membaca buku yang kumaksud. Mungkin saja dia penggemar Faulkner. Atau bahkan dia tidak suka membaca sama sekali. Tapi aku pernah melihatnya memegang buku, walau aku tidak tahu itu buku apa. Lagipula tidak mungkin gadis elegan seperti itu tidak suka membaca bukan? Tapi bagaimana aku bisa begitu yakin? Semakin aku berpikir, semakin aku menjadi ragu. Sekarang aku bahkan tidak yakin lagi kalau pak tua itu benar-benar bernama Santiago. Apa aku berimprovisasi saja? Berdehem keras untuk menarik perhatian? Terlalu klise. Pura-pura bertanya tentang makanan apa yang sebaiknya kupesan? Terlalu transparan. Menjatuhkan sapu tangan? Aku bahkan tidak punya benda seperti itu. Secara refleks kulirik kembali meja di sebelahku sambil melepas nafas pasrah. Gadis itu sekarang duduk bersandar dengan tangan bersilang di dada, dengan sepasang matanya menatap lurus ke arahku. Tajam. Mengingatkanku pada tatapan ibuku saat hendak memukul mati kecoak yang nekat muncul di kamar mandi.
Bisa kurasakan keringat bertimbulan di belakang leherku. Sebutirnya lalu meluncur turun sampai ke pinggang. Apa dia marah? Tapi aku tidak melakukan apa-apa bukan? Sebagai pelanggan, aku berhak memilih duduk dimana saja asalkan mejanya kosong. Aku juga tidak meribut, aku bahkan belum memesan makanan. Sepanjang tadi aku hanya membolak-balik lembaran menu sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Aah… dia menyadarinya? Gadis itu baru hendak membuka mulut saat sebuah suara lain tiba-tiba datang mendahului. Suara yang kasar dan dalam dan merambat cepat dari arah jalan masuk. Dari seorang pria kekar berkumis berwajah galak dengan rantai emas melingkar di lehernya yang hitam kecoklatan. Tatapan mata si gadis yang tadinya tajam langsung berubah ramah, tersenyum lebar menyambut pria yang baru datang. Pria itu berbicara beberapa patah kata dan dari logat bahasanya aku langsung tahu kalau dia orang Negara Tetangga. Ah, tentu saja. Seharusnya aku sudah curiga dari awal. Kenapa gadis itu hanya terlihat pada jumat malam saja. Kenapa dia selalu duduk di sini sendirian tanpa teman dan tidak seorangpun laki-laki yang tergerak ingin menggodanya. Karena dia adalah “kekasih” orang kaya dari seberang lautan. Dan sepertinya orang-orang sekitar juga sudah maklum tentang itu dan seharusnya aku pun begitu, seandainya aku tidak terlalu dibutakan pesona. Yang ditunggunya bukan Pak Tua Santiago atau hiu atau marlin tapi Rahwana. Walau kupikir itu hampir tidak ada bedanya juga. “Tapi kenapa?” kudengar batinku bertanya. Pasti pria itu yang mendekatinya duluan. Merayunya dengan bahasanya yang bersajak dan membujuknya dengan hartanya yang berserak-serak. Yang dikerjakannya setiap jumat malam dengan keras hati sampai akhirnya si gadis pun melunak dan tunduk dan menyerah. “Tapi kenapa?” Ah sudahlah, dijawab juga percuma. Lagipula siapa yang tahu hati wanita.
Kulihat jam di tanganku, pukul 7.50 malam. Dalam sepuluh menit jantungku yang tadinya merah berdebar berubah menyusut dan berkerut. Akhirnya aku mengangguk ke arah pemuda pramusaji tadi dan dia datang mendekat dengan langkah malas. Aku pesan teh manis saja, kataku. Dia menaikkan sebelah alisnya menanggapi, tapi tidak kuhiraukan. Tidak lama kemudian pemuda itu kembali membawa segelas teh manis. Kutarik minuman merah mengepul itu ke dekatku lalu kuaduk dengan pelan, membuat butir-butir gula di dalamnya berputar berhamburan. Perlahan butiran-butiran itupun larut mengecil, sampai akhirnya mereka lenyap sama sekali. Kuletakkan sendok di atas piring tatakan dan kuangkat gelasnya ke mulutku dan kuseruput tehnya dalam-dalam. Seandainya hidup semanis ini.
Cerpen Karangan: Abdul Hafez Mubarak
Semanis Teh
4/
5
Oleh
Unknown