Bumi Perkemahan (Part 2)

Baca Juga :
    Judul Cerpen Bumi Perkemahan (Part 2)

    Esok hari adalah jum’at. Mereka akan mengadakan senam. Salah seorang memohon izin kepada Pak Wali Jorong dan penjaga mesjid untuk mengundang warga yang mau berpartisipasi dalam senam pagi yang akan dilaksanakan di lapangan melalui pengeras suara mesjid.
    Hanya para orang tua yang hadir ketika itu. karena anak-anak tengah sekolah hari itu. bapak-bapak tak kalah semangat saat senam bersama. Pemanasan telah dilakukan sebelum senam. Usai senam, mereka membagikan makanan dan minuman kepada para orang tua dan yang ikut senam pagi. Terjalinlah kedekatan dan keakraban dari cerita-cerita yang mereka kemukakan setelah senam sembari menikmati hidangan. Kebetulan wianda yang piket hari ini. Ia sangat senang amak, apak dan kakaknya yang telah menikah datang kelapangan untuk senam pagi.

    Waktu cepat berlalu tanpa mempedulikan keinginan mereka untuk terus bercerita, bercanda dalam tawa. Saat yang mewajibkan seorang laki-laki menuju mesjid menunaikan kewajiban jum’atnya hampir tiba. Mereka yang laki-laki berombongan menuju sungai untuk membersihkan diri dan melangkah ke mesjid.
    Rianda tampak gagah dengan baju koko batik dan celana dasar panjang. Kopiah angku-angku menyapu rambutnya nan memperlihatkan sinara keningnya. Wajah teduh dan senyumannya terpancar saat kain sarung melingkar di lehernya. Jama’ah mesjid malah meminta rianda menjadi khatib jum’at.

    “Ketika Allah masih memberi kita waktu dan kehidupan yang baik, maka nikmat Tuhan yang manakah yang engkau dustakan”, akhir rianda. Semua mata tertunduk dalam mengenang diri nan tak luput dari dosa dan khilaf. Do’a dari khatib menjadikan mereka lebih tenang dan menyadari bahwa Allah segala penguasa alam dan isinya.

    Jum’at pun berlalu. Sabtu pun menjelang. Sabtu adalah hari gotong royong wajib bagi warga jorong. Mereka pun berpartisipasi di dalamnya. Mereka membersihkan sepanjang jalan yang dipenuhi rerumputan, membuang sampah yang bertebaran didalam selokan serta membersihkan selokan tersebut. Mereka menyewa truk pembawa sampah untuk mengumpulkan sampah yang ada. Sepanjang jalan raya, mereka menanam bunga dan tumbuhan palawija. Karena tepian jalanan hampir semua beraspal, mereka menanamnya di dalam pot plastik. Bunga-bunga dan tumbuhan palawija itu, ada yang mereka minta kepada warga dan ada yang mereka beli. Semua itu bagian perempuan yang mengerjakan. Mereka memiliki gagasan “Mari Menana Seribu Bunga Untuk Kesejukan Mata Melihatnya”.
    Sementara yang membersihkan jalanan, hanya diikuti yang laki-laki. Yang perempuan hanya menyiapkan minuman bagi para lelaki setelah mereka bekerja.

    Tak hanya itu, mereka juga meletakkan Bak Sampah dibeberapa tempat yang memang banyak sekali sampah berserakan. Bak sampah terdiri dari sampah organik dan anorganik. Mereka menjelaskan kegunaan masing-masing bak sampah kepada warga.
    Mata lepas memandang. Melihat bunga berlenggang-lenggok disapa angin. Bewarna-warni memenuhi hamparan tepian jalanan. Agar tidak dirusak, mereka memagarinya dengan bambu yang dipotong kecil-kecil. Salah seorang warga menyumbangkan bambu miliknya untuk digunakan memagari bunga dan tumbuhan palawija yanng berada ditepian jalan. Tak lupa pula mereka membuat slogan pada pagar.
    “Jangan merusak jika tak mau merawatnya”
    “Tunjukkan bahwa anda senang karenanya”
    “Kami juga perlu dilindungi”
    Dan berbagai macam slogan menjadi pelengkap keindahan jorong.

    Waktu cepat bergulir. Ahad pun tak terasa akan mengalir. Ahad adalah hari mereka memasangkan nama-nama pohon yang mereka anggap langka dan perlu dilindungi. Tentunya mereka mengunjungi pemilik pohon itu, meminta izin dan menggali info mengenai pepohonan. Mereka memilih wilayah atas untuk kegiatan ini, karena daerah ini sangat dekat dengan perbukitan. Dan tentunya sangat mendukung dengan yang mereka rencanakan.

    Wianda ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini. Rianda dari jauh mengamatinya. Tak berapa lama setelah itu. semua sibuk memancangkan nama-nama tumbuhan itu dan bercerita panjang mengenai pohon yang mereka temui. Rianda seakan lupa akan kehadiran wianda. Hingga ia menyadari, bahwa wianda telah hilang dari pengawasannya. Kekhawatiran rianda meningkat karena tak melihat wianda di antara mereka. Ia mencari disekitaran perbukitan dan keramaian, tak ia temukan.

    Ia akhirnya menemukan wianda tengah berdiri mematung seperti melihat sesuatu. Rianda menyusuli wianda dan memanggil namanya. Wianda hanya diam. Rianda semakin cemas ada berbagai ketakutan menggelabui otaknya.
    Ia berdiri di samping wianda dan mnegikuti arah pandangannya. Ia terkejut luar biasa melihat ular kobra yang berdiri tegak satu meter di depan wianda. Ular itu menjulurkan lidahnya.
    “Pergilah!! Ia sangat ketakutan melihatmu. Kami tidak ingin mengganggumu. Pergilah!!!”, bujuk rianda ke ular kobra itu. Entah keberanian apa yang menggelutinya yang membuatnya mampu berkatan seperti itu. dan sepertinya ular itu memahami apa yang dikatakan rianda, ia memutuskan untuk pergi ke balik dedaunan kering dan hilang dari pandangannya.
    Rianda menyentuh tangan wianda. Ia pucat dan dingin. seketika wianda tumbang dengan air mata yang mengalir di pipinya. Rianda tidak menduga, hal ini akan terjadi jika wianda melihat ular. Hanya dia yang tahu hal ini. Orangtua wianda tak pernah tahu kalau wianda phobia ular.

    Rianda memanggil yang lain untuk meminta bantuan membawa wianda ke rumah sakit. tak berapa orang yang tahu, karena semua tengah sibuk dengan agenda kegiatan mereka. Yogi menyarankan untuk membawa wianda dengan mobilnya, sekaligus menyupirinya.

    Wianda belum siuman setelah dokter memeriksanya. Dokter menyarankan untuk menunggu diluar, karena sebenarnya telah ia sadar. Hanya saja dokter memberinya obat penenag agar ia tidak terlalu ketakutan. Rianda menyesali dirinya. Ia lalai menjaga wianda. Ia cemas karena belum bisa melihat wianda sadar. Ia bersimpuh di musholla rumah sakit. dalam do’a ia menangis dan berharap wianda cepat sadar dan melepaskan ketakutannya. Yogi turut bersedih atas wianda. Ia memang tak begitu dekat dengan wianda, tapi dari hari pertama perkemahan, wianda sangat aktif dan bersemangat.

    Wianda, yogi dan beberapa diantara mereka menunggu di luar ruangan wianda. Rianda berdiri mematung sambil mendongakkan kepala di pintu ruangan wianda. Tak henti-hentinya ia terus mengucap dan berdo’a agar wianda cepat sadar. Yogi menawarkan untuk makan siang ke rianda.
    “Aku belum lapar. Aku akan kenyang jika wianda sudah sadar”, jawabnya dengan rasa bersalahnya. Ada berling di mata rianda. Tapi ia tahan. Ia tak pernah menangis di depan orang lain, siapapun itu. ia malah meminta yang lain untuk makan terlebih dahulu dan akan mengabarkan kalau wianda telah sadar. Tapi sepertinya mereka juga kehilangan rasa lapar melihat wianda yang masih terbaring kaku.

    Dokter kembali masuk untuk memeriksa. Wianda pun sadar.
    “Bang rianda mana?”, tanya wianda bersimbah tangis dengan deraian air matanya. Suster keluar dan memanggil rianda. Rianda langsung masuk. Wianda menangis tersedu-sedu dalam ketakutannya. Rianda memeluk erat ketakutan wianda.
    “Wian takut bang”, lirihnya dalam ketakutan. Yogi tak sampai hati melihat wianda menangis seperti itu. itu kali pertama ia melihat orang yang phobia ular, pingsan dan tak kuasa menahan ketakutan itu. rianda tak menyadari berlingan itu pun pecah dan mengalir di pipinya. Hangat dan perih. Ia tak pernah membayangkan semua terjadi diluar dugaannya. dokter pun menyarankan untuk tidak meninggalkan wianda sendirian. Ia masih trauma dengan phobianya, sulit baginya untuk menolak ketakutan itu.
    Rianda menenangkan wianda dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Wianda mulai bisa menguasai dirinya. Ketakutan itu pun terjadi. Ia tak pernah menyadari jika harus berada dalam kondisi yang sangat buruk.

    Dokter meminta wianda untuk istirahat dan menenangkan diri dulu. Tak henti-hentinya ia memuji Asma Allah dalam air mata yang tak bisa ia tahan. Ketakutan itu telah memecahkan bendungan yang selama ini ia tahan.
    “Ia terlalu ketakutan terhadap phobianya. Hingga ia pingsan karena tak mampu menahannya”, ujar dokter ke rianda saat ia diminta menemui beliau di ruangannya.
    “Saya sarankan, bawalah dia ke psikater agar kejadian ini tidak menggrogoti mentalnya. Trauma yang berlebihan tak baik bagi mental seseorang. Dan anda jangan berfikir, bahwa psikiater adalah tempat pemulihan orang gila. Itu salah fatal. Di sana, mereka akan mengetahui prilaku dan tindakan kita. Mereka juga bisa menangani masalah mental seseorang”, lanjut dokter. Rianda juga berencana membawa wianda ke tempat terapi mental dan ingin melepaskan ketakutan wianda yang telah lama ia pendam dan hadapi seorang diri.

    Sorenya. Wianda meminta segera pulang dan kembali ke perkemahan. Rianda menolak keras keinginannya. Tapi permohonan dan butiran air matanya mengalahkan kerasnya kata “tidak” rianda. Menjelang magrib. Mereka tiba di perkemahan dan semua memeluk wianda erat. Mereka merasa bersalah karena baru tahu kabar buruk itu dan tak sempat mengunjunginya ke rumah sakit.
    “Jangan kasihani aku dengan air mata itu dan jangan bilang ke orang tuaku mengenai hal ini”, pinta wianda ke aisyah yang menangis memeluk wianda. Wianda mengusap air mata aisyah dan menyapunya dengan senyuman lesung pipit itu. aisyah semakin berderai dan keluar dari gerobolan itu. ia menangis karena terharu karena wianda mampu tersenyum dalam ketakutan dan kejadian yang baru saja terjadi. Ia menganggap semua akan baik-baik saja.

    Malam yang ditunggu pun tiba. Api unggun menjadi akhir dari perkemahan ini. Malam menangis saat mereka menyanyikan lagu Api Unggun darinya Odi Malik. Wianda menikmati kebersamaan dalam pelukan kakak-kakaknya di tengah kobaran api yang melahap habis kayu yang berdiri pasrah uuntuk disantap si jago merah.
    “Ini akan menjadi akhir dari perkemahan kita. Namun akan menjadi awal dari kebersamaan kita. Banyak hal yang telah kita lalui. Suka, duka, lelah dan penatnya perjalanan yang kita tempuh. Jika ada yang ingin menyampaikan unek-uneknya di depan api unggun ini dan kita dengar sama-sama. Silahkan!!”, pinta salman memandangi seluruh anggotanya. Berharap ada yang berdiri memenuhi permintaanya.

    Wianda berdiri dengan semangat karena kobaran api membuatnya kembali menjadi dirinya dan sedikit mengurangi ketakutannya.
    “Assalamu’alaikumussalam Warhomatullahi Wabarhookaatuuh”, salam wianda. Mereka tercengang melihat yang berdiri di antara mereka adalah wianda. Rianda lebih tidak menyangka lagi karena wianda baru saja pulang dari rumah sakit dan kondisinya belum stabil. Salam terjawab dalam kehangatan malam nan dingin berkat api unggun.
    “Tidak mudah menyatukan warna pelangi yang beragam. Tapi akan indah bila dipandang, jika 7 warna itu disatukan. Begitupun dengan kita. Tak mudah menyatukan 100 kepala dalam satu misi dan agenda. Akan banyak pertentangan dan perbedaan. Tapi berkat bang salman selaku ketua camp, mampu memainkan perbedaan menjadi satu tujuan. Itu sangatlah tidak mudah”, ujar wianda. Applause memeriahkan terima kasih atas kerja keras salman. Salman tersenyum haru dengan wianda. Ia tak pernah mengharapkan ungkapan terima kasih itu. jika mereka suka dengan kebijakan yang ia buat, itu sudah lebih dari cukup baginya.
    “Dan tentunya, untuk kita semua. Kita juga sangat bersyukur karena Allah telah memenuhi keiginan kita untuk sampai ke tahap akhir ini. Aku sangat berterima kasih kepada Senior dari Kampus salah satu yang terkenal di tanah Jawa. Karena telah datang ke Ranah Minang dan mengajak kami para pemuda untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini. Memang itu jauh dari mungkin, tapi hari ini telah terwujud. Bahwa tidak mungkin akan menjadi mungkin jika kita ada kemauan dan kebersamaan”, lanjut wianda mengakhiri.
    “Dan, jangan biarkan ketakutan itu menutupi dirimu yang sebenarnya. Takut itu dalam hati. Jangan terlalu lama mengurungnya. Jika tidak, akan semakin kelam jalan untuk pulang”, ujar sebuah suara. Semua mata memandang ke arah suara itu. dan suara itu yogi. Rianda tahu, kalau kata-kata itu dialamatkan ke wianda. Wianda tersenyum terima kasih dan akan mencoba resep dari yogi.
    “Hhhmmm, kenapa pada tegang sih, masih ingat kan dengan sebuah “mata” yang saat agenda Hiking”, seru bagas. Seketika semua memutar otak ke beberapa hari yang lalu. Wianda mendebar jantung. Rianda memanas karena berada tak jauh dari api yang masih menyala. Zaid berharap itu adalah dirinya. Ada dilema segitiga di antara mereka.
    “Siapa, gas?” teriak yogi bersebrangan dengan rianda. Ia seolah membaca raut muka rianda dan wianda. ia berfikir ketika di rumah sakit, itulah yang menjadi hubungan mereka. Semua bersorak meminta bagas mengatakannya. Bagas memang pandai mensiasati keadaan.
    “Rianda kan, gas?”, ujar yogi. Wajah rianda yang memerah saat menunduk karena kepanasan, mendongak kaku. Wianda terdiam dan hanyut dalam merah muda hatinya. Mereka membully rianda dan saling melempari sampah kacang tanah yang telah mereka santap saat api unggun.
    “Kau tahu darimana, gi?”, tanya bagas. Keadaan berpindah ke arah yogi. Penonton mulai meninggalkan mata mereka untuk bagas. Giliran yogi yang tak mau berkutik. Ia hanya mengatakan nama rianda saja dan tak menjelaskan darimana ia tahu. Karena ia tak akan mengumbarkan kedekatan rianda dan wianda. biarkan mereka mengetahuinya dengan perlahan. Itulah kebiasaan yogi.

    Malam berlanjut menuju pagi. Pagi yang dingin menjadi akhir dari perkemahan mereka. Penutupan tetag digelar sama seperti pembukaan. Akan ada kedatangan dan sambutan dari Wali Nagari, Wali Jorong, Ketua Camp dan Perwakilan dari masyarakat.
    Mereka saling bertukar barang dan berpose bersama sebagai kenangan yang tak akan terhapus oleh waktu. Yogi memberikan Handycamnya ke wianda. banyak sekali rekaman semua agenda yang mereka lalui. Rianda cukup iri dengan hal itu. aisyah juga memberinya tas ransel miliknya. Ia membawa dua. Karena tidak terpakai makanya ia memberikannya pada wianda. dan wianda mengeluarkan kain putih seperti bendera, tapi hanya bewarna putih sepanjang 2 meter. Ia meminta tanda tangan semua yang ikut perkemahan dan akan menempelnya di dinding rumahnya.

    Lokasi perkemahan telah dirapikan. Bus kampus telah menjemput. Dan kenangan itu takkan hilang meski kabut datang menyambut kepergian yang menjadi awal keakraban itu.
    Terima kasih gunung Singgalang. Yang tetap mengizinkan kami meinginjakmu.

    Cerpen Karangan: Wilhami Wati
    Facebook: Wilhami Wati

    Artikel Terkait

    Bumi Perkemahan (Part 2)
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email