Demi Sebuah Asa

Baca Juga :
    Judul Cerpen Demi Sebuah Asa

    Hari berganti hari waktu kini terasa cepat berlalu namun aku masih tetap di sini bersama keluarga kecilku di istana yang jauh dari kemewahan dan kegelimangan harta. Bukan berarti aku tak mensyukuri. Aku hanya berusaha berjuang dan bertahan hidup bersama ibu, kakak dan adik bungsuku. Merekalah penyemangat di setiap hariku bahkan segala-galanya bagiku. Dari kecil aku sudah terbiasa hidup mandiri tanpa seorang kepala keluarga. Melewati hari hari tanpa belaian dan kasih sayang seorang ayah. Namun aku tak ingin terlarut dan membuat keadaanku menjadi semakin sukar. Sebagai tulang punggung keluarga, meski dengan upah yang kecil aku akan selalu berusaha bekerja sekeras mungkin.

    O, ya namaku Tio umurku delapan tahun aku dan keluargaku tinggal di sebuah desa yang tak begitu jauh dari pusat kota aku senang sekali menulis dan membaca buku. Sewaktu aku masih bersekolah dulu aku sangat ingat dengan pesan guruku bahwa ilmu tak kan berguna jika tidak dibagi dan diamalkan kepada orang lain. Oleh karena itu aku sangat bersukur karena aku masih sempat mengenyam banggku SD meskipun tek berselang lama.

    Aku anak kedua dari tiga bersaudara, kakak sulungku bernama Eka dan adik bungsu ku bernama Tria. Kakakku hanya senang berdiam diri di rumah entah apa yang dilamunkannya, tatapannya seakan kosong, terpaku dan terus membisu setiap pertanyaan yang terlontar dariku. Hal itu yang menjadi alasan mengapa hingga kini kakakku tidak bersekolah. Keterbatasan mental dan keadaan keluargaku yang tidak memungkinkan. Meskipun ia seperti itu aku tetap menghargai dan menyayanginya sebagai seorang kakak, apalagi dia adalah kakakku satu satunya. Sedangkan Tria, adikku yang sangat pandai dan lucu ini sungguh sangat cerdik bahkan lebih cerdik dariku. Aku berusaha umtuk mengajarkannya menulis dan membaca setauku. Pernah suatu malam dia bertanya padaku perihal ayahnya.
    “Ka, kata ibu dulu kita punya ayah. Ayah sekarang ada di mana kak. kok tidak bersama kita di sini?” katanya dengan muka penuh tanya padaku.
    “E… e… e.. ayah, sekarang sedang mencari pekerjaan di luar sana?” kataku dengan nada terbata bata.
    “Ooo… untuk kita kan kak? dan ayah akan kembalikan kak?” Ujarnya kembali bertanya.
    “Ya iya dik…” kataku sambil tersenyum kikuk.
    Maafkan kakak dik mungkin saat ini kakak belum bisa membicarakan yang sebenarnya kepadamu.

    Terkadang disela aktivitas, sering terpikirkan olehku tentang ayah, aku rindu sekali dengannya begitu juga yang dirasakan oleh keluarga kecilku. Terutama ibu dan Tria, mereka juga pasti menyimpan rasa kerinduan yang teramat mendalam sepertiku.

    Ayah kapan kau pulang, di mana kau sekarang, bagaimana keadaanmu. Ayah apakah kau tau bagaimana keadaan kami di sini. Di mana kau ayah, dimana?.tanyaku selalu dalam hati. Pernah terpikir olehku mencari ayah ke kota, demi orang yang kusayang. Namun aku tak cukup nyali tuk pergi dan melangkahkan kaki di sana. Apalagi bocah sekecilku paling hanya menjadi budak budak di pinggir jalan. Ya sudahlah mau diapakan lagi jika tangan tak sampai, mungkin ini sudah nasib. Sekarang yang sedang fokus kupikirkan adalah uang, uang, dan uang. Bagaimana caranya agar hari ini aku dapat makan bersama keluarga. Kami hanya tinggal berempat di rumah dan hidup serba kekurangan namun aku tak ingin berputus asa. Meski aku hidup miskin, tapi ku pantang mengemis. Allah maha bijaksana ia memberikanku anggota tubuh yang lengkap dan sempurna. Aku amat bersyukur dan dari itu aku memutar otak bagaimana caranya agar aku dapat menghidupi ibu, kakak, dan adikku.

    Aku juga sangat bersyukur karena allah telah memberiku kemudahan lewat perantara orang-orang yang ada di sekitarku. Seperti halnya pak Biro, beliau adalah juragan tanah di desaku. Beliau sangat terkenal dengan tanahnya yang begitu banyak. Salah satunya tanah yang sedang kutempati sekarang. Meskipun dengan rumah yang tak lagi layak dihuni namun aku sudah sangat berterimakasih kepada beliau yang mau memberikan tumpangan secara geratis. Pak Biro memang baik dan tak banyak celoteh tapi aku tetap tak enak hati dengannya. Maka dari itu aku selalu mengumpulkan uang untuk mengontrak di tempat lain, tetapi uang itu selalu saja habis.

    Ya, demi biaya berobat ibu, kuharap ibu bisa sembuh seperti yang kubayangkan sebelumnya. Aku ingin sekali melihat ibu kembali sehat seperti sedia kala. Tertawa, gembira, dan bercanda ria bersama kami di tengah rumah. Aku rindu saat-saat seperti itu, kini aku hamya bisa berharap semoga Allah mengangkat penyakit ibu dan melihat ibu kembali ceria.
    Aku tidak tega melihat ibuku yang buta harus menahan rasa sakitnya sendirian. Rasanya ingin sekali kupindahkan penyakit ibu ketubuhku. Biarlah aku yang merasakannya ibu…

    Mungkin ibu begini karena ayah. Mengapa ayah bisa setega ini meninggalkan kami. Sudah dua tahun lamanya ia pergi dan kini tak ada kabar. Mengingat semua ini rasanya hanya menyisakan pilu dan tanya yang menjadi dendam dihati. Tapi aku tak seharusnya seperti itu,
    Haruskah kucari ayah di sana?

    Hari ini adikku memintaku untuk membuatkannya sarapan tapi aku bingung, apa yang harus kumasak. Jangankan memikirkan sarapan tungku saja jarang menyala. Ya allah apa yang harus kusajikan pagi ini.
    “Tok tok assalamualaikum…” tiba tiba terdengar suara orang mengetok pintu.
    “Iya, waalaikumsalam”. Jawabku sembari membuka pintu.
    Ternyata yang datang ibu Hani tetangga di sebelah rumah, ia datang dengan membawa semangkuk bubur ayam dan sepiring nasi.
    “Ini nak ada sedikit makanan ibu beli dari tukang bubur yang lewat dimakan ya?. Ibu Hani, sambil menyodorkan makanan itu kedepanku.
    “Oh terimakasih banyak ya bu.” kataku.
    Syukurlah ada ibu hani yang berbaik hati mengantarkan makanan, kalau tidak aku harus mencari makanan di mana lagi pagi pagi begini.

    Setelah adik dan ibu selesai makan sekarang giliran kakak yang belum makan
    “Kakak, sarapan dulu yahhh” bujukku kepada eka yang sedang duduk termenung sambil bersandar di tiang teras rumah. Jika sudah begitu aku hanya bisa meletakkan sarapan dan segelas air putih di sampingnya. Miris rasanya melihat kakak seperti ini, tapi hal ini tidak membuatku malu dan berputus asa. Justru karena keterbatasan itu aku sangat menyayangi kakak perempuanku yang satu ini.

    Setelah itu aku segera ke pelabuhan pangkalan kelotok tempatku biasa bekerja, dan menjadi kuli angkat barang di kelotok pak Dadang yang bernomor kelotok 43. Kelotok adalah perahu yang berjalan lambat di daerahku. Sesampainya di sana seperti biasa hamparan kelotok yang belum melaju berjejer rapi, hembusan angin yang perlahan bertiup seakan selalu menyemangatiku. Ya, pak Dadang yang pada saat itu lebih dulu melihatku segera memanggilku.
    “Ali… sini cepat angkat barang barang bapak ini!!” teriaknya dari arah loket pembayaran karcis.
    “Siap pakkk”. Sembari berlari menuju penumpang yang terlihat membawa segerombol keluarganya itu.

    Tanpa memperhatikan dan pikir panjang langsung saja aku bertanya pada bapak penumpang itu.
    “Nomor kelotok 43 ya pak.” tanyaku kepada bapak itu sambil membwa barangnya dengan cepat.
    “Iya dek”. jawab bapak itu sambil mengambil dompet dari kantong celananya.

    Setelah semua barangnya telah kuangkut ke dalam kelotok. Tanpa kusadari ternyata bapak bersama keluarganya itu merupakan pak Rusli. Beliau adalah bapak yang pernah aku tolong.E ntah mengapa kami berdua sangat akrab semenjak hari itu apalagi dengan anak semata wayangnya yang bernama Haidar. Beliau dan sekeluarga memang sering berkunjung kendesaku.

    “Eh, pagi pak…!!!” seruku menyapanya.
    “Astaga ternyata kamu Ali. Maaf bapak kira siapa tadi”. sambil menepuk pundakku.
    “Iya pak ini saya, saya juga baru sadar ternyata barang yang sedari tadi saya angkat itu milik bapak sekeluarga.
    Oiya pak. Haidar mana?” tanyaku.
    “Haidar sedang dirawat di rumah sakit, dan ditemani ibunya di sana” ujar pak Rusli perihal anaknya yang terbaring sakit.
    “Haidar sakit apa pak?” tanyaku kembali.
    “Dia divonis menderita sakit jantung, dan sekarang om bingung harus bagaimana. oleh karena itu om ke sini untuk memberi tahu dan menjemput neneknya. O ya untung om ingat. Dia titip salam untukmu sebelum om berangkat tadi” jelas ayahnya.
    “Ya allah… innallilllahiwainnailaihi rojiun, semoga Haidar diberi kesembuhan oleh allah. Saya turut berduka cita ya pak.” ujarku sambil terkaget.

    Cerpen Karangan: Nur Alliyah
    Facebook: Nur Allyah

    Artikel Terkait

    Demi Sebuah Asa
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email