Suatu hari Tira ingin pergi memancing. Ia menaiki sepeda hijau miliknya. Di perjalanan, ia melihat seorang penjual cimol yang sedang menjajakan dagangannya. Karena cimol adalah makanan favoritnya, ia langsung ingin membeli cimol itu hingga melupakan niatnya tadi. Sayangnya, ia tidak membawa uang sepeser pun. Lalu ia segera mencari ide.
Tiba-tiba, ide pun muncul. Ia mengambil alat pancingnya, lalu mengendap-endap mendekati penjual cimol. Dia menurunkan tali pancingnya. Kebetulan, penjual cimol itu kelelahan, lalu tertidur pulas di dekat gerobak cimolnya yang biasa saja.
Tira pun melemparkan tali pancingnya ke arah cimol yang tidak ditutupi. Ia memang pandai dalam hal ini. Kemudian, ia mengambil salah satu cimol dan sewadah bumbu yang terisi bumbu setengah bagiannya. Sebutir cimol dimasukkannya ke dalam wadah bumbu itu dan dimakannya. Itu saja belum cukup mengenyangkan. Tapi ia tidak memakan cimol yang lainnya, karena takut ketahuan si penjual cimol.
Saat ia duduk di dekat penjual cimol, penjual cimol itu terbangun dan bermaksud akan melanjutkan pekerjaannya. Sebelum itu, cimol-cimolnya dihitung terlebih dahulu. Ternyata cimolnya hanya tersisa 19. Padahal, sebelum ia tidur, cimolnya ada 20. Pasti dia yang mencuri cimolku, katanya sambil melirik seorang anak di dekatnya, yang tak lain ialah Tira. Dugaan itu sudah pasti tepat karena tidak ada orang lain lagi di sana selain mereka. Tira merasa dicurigai. Tanpa berpikir panjang lagi, ia bergegas menaiki sepedanya dan mengayuhnya secepat mungkin. Ia tidak ingin penjual cimol itu mengejarnya.
Penjual cimol itu benar-benar marah dan mengejarnya. Tibalah mereka di jalan buntu. Tak mungkin Tira melarikan diri lebih jauh lagi. Ia hanya dapat berhenti dan menunggu si penjual cimol itu melakukan aksinya. Benar saja, penjual cimol itu segera menangkapnya dan melaporkannya pada polisi. Ia menelepon polisi dengan smartphone samsung miliknya.
“Halo pak. Ada keadaan darurat di sini,” kata penjual cimol memulai percakapan melalui telepon.
“Ini polisi, bukan ambulan,” jawab polisi menanggapi.
“Maaf pak. Tapi saya memang membutuhkan polisi. Sekarang juga anda harus ke alamat ini: Jalan Buntu no. 19 Kota X. Cepat ya pak… Keburu kabur buronannya,” kata penjual cimol sambil mencengkeram tangan Tira dengan kuat supaya tidak kabur.
“Ya, ya pak. Saya akan ke sana secepatnya,” jawab polisi yang kemudian mematikan handphone milik temannya, karena dia sendiri tidak punya.
Setelah polisi sampai di lokasi kejadian, Tira diantar menuju ke pengadilan tertinggi, yaitu Mahkamah Agung. Berita kasus langka itu dengan cepat ditayangkan di televisi. Pengadilan itu memang bersifat terbuka. Seluruh penonton yang menyaksikan berita itu merasa tegang.
“Pak hakim! Saya akan menceritakan masalah besar ini!” teriak penjual cimol dengan lantang.
“Itu masalah kecil pak. Aku cuma mencuri sebutir cimol,” jawab Tira meralat kata-kata penjual cimol.
“Sudahlah, biar aku yang berbicara. Sekarang aku bertanya padamu, wahai panjual cimol yang mudah marah!” kata ketua hakim sambil menunjuk penjual cimol itu.
“Hei, jangan meremehkan aku! Mentang-mentang pejabat tinggi, bisa berbuat seenaknya! Seharusnya kamu membantuku mengatasi kemiskinan ini! Berikan peekerjaan yang baik kepadaku. Bukannya mengejekku seperti itu!” kata penjual cimol berapi-api. Seluruh penonton tertawa.
“Sebaiknya Anda tidak perlu menceramahiku. Seharusnya aku yang melakukannya. Anda hanya rakyat biasa yang tidak tau apa-apa. Itu bukan tugasku, tapi tugas pemerintah! Bukan pengadilan! Tugasku hanya memberi keputusan dengan bijaksana!” ujar ketua hakim menjelaskan.
“Pak, kalau begini terus, kapan selesainya pengadilan ini?” tanya Tira tiba-tiba.
“Ya! Sekarang kau ceritakan kasus itu. Jangan kelamaan, nanti penonton bosan menonton!” kata ketua hakim yang lagi-lagi menunjuk penjual cimol dengan tatapan heran.
“Begini pak. Tadi saat aku berjualan cimol di Lapangan QY, anak ini mencuri cimolku,” kata penjual cimol memulai ceritanya.
“Itu salah bapak sendiri. Kalau bapak nggak tidur, ceritanya jadi lain pak,” jawab Tira memotong pembicaraan.
“Diamlah kau anak nakal! Sekarang biarkan bapak ini melanjutkan ceritanya!” bentak wakil ketua hakim.
“Lalu aku menghitung cimolnya berkurang satu. Aku mengejarnya sampai Jalan Buntu no. 19. Dengan mudah aku menangkap dia. Sambil memegang tangannya, aku menelepon polisi, polisi membawa kami ke sini” jawab penjual cimol yang kemudian mengakhiri ceritanya.
“Baiklah,” kata ketua hakim mengambil napas panjang. Palunya digunakan untuk memukul mejanya sendiri sebanyak 3 kali. TOK! TOK! TOK!
“Ini kasus yang sangat sederhana, bahkan terlalu sederhana. Keputusan yang kuberikan sudah tentu akan diterima. Aku memberi keputusan, bahwa tersangka dibebaskan dari hukuman apa pun!” ujar ketua hakim yang kemudian memukul meja dengan palunya lagi sebanyak 3 kali. TOK! TOK! TOK!
“Tapi pak, dia mencuri cimol saya. Sekarusnya dia dihukum. Nggak papa, walaupun hanya denda,” kata penjual cimol protes.
“Keputusanku sudah bulat. Tidak ada yang boleh melawan! Pengadilan dibubarkan!” teriak ketua hakim mengakhiri pengadilan. Seperti biasanya, palu khas andalannya digunakan untuk memukul meja khususnya lagi sebanyak 3 kali. TOK! TOK! TOK! Tentu saja Tira sangat gembira.
Pengadilan pun dibubarkan. Ternyata berita sekilas yang sangat sederhana itu ramai dibicarakan orang. Teman-teman dan guru sekolah Tira pun juga ada yang membicarakannya.
Tapi Tira tidak menyadari kalau kasus itu selalu dibicarakan teman sekelasnya juga, karena temannya selalu membicarakannya di waktu yang tepat, yaitu saat Tira tidak berada di dekat mereka. Tapi Tira tak peduli dan tidak jera. Ia tetap akan berada di pendiriannya, yaitu meluncurkan aksi pencurian cimol.
Pada hari-hari berikutnya, ia tetap mencuri cimol. Lebih baik aku mencuri cimol saja. Tidak perlu membayar dan tidak mendapat hukuman, gumamnya saat mencuri cimol. Anehnya, cimol yang dicuri hanya sebutir dan dilakukan ketika cimol di gerobak penjualnya berjumlah 20. Sudah 19 hari ia mencuri tanpa ketahuan.
Tiba-tiba, pada hari ke-20, ia tertangkap basah oleh penjual cimol. Polisi memberinya hukuman penjara selama sehari, karena cimol yang dicuri Tira setiap harinya hanya satu.
Saat keluar dari penjara, betapa senangnya hati Tira.
“Baiklah, sekarang kamu dibebaskan. Tapi ingat, jangan mencuri cimol lagi. Selain berdosa, kamu juga merugikan penjualnya, dan juga dipenjara kayak kemarin. Sekarang pulanglah dan ingat nasihatku” kata penjaga penjara memberikan nasihat.
“Ya, pak. Aku pulang dulu,” jawab Tira seraya pamit untuk pulang.
Keesokan harinya, ia memang sudah tidak mencuri cimol lagi. Tapi benda yang dicurinya adalah… Gerobak cimol! Benar-benar penggemar cimol sejati. Bendanya pun ingin dimiliki. Ia mencuri gerobak cimol itu saat penjualnya sedang tidur. Rupanya, itulah penjual cimol yang pernah kecurian cimol oleh Tira.
Tali yang dibawanya diikatkan pada sepeda dan juga diikatkan di tiang payung gerobak cimol. Kemudian ia menaiki dan mengayuh sepedanya yang menarik gerobak cimol menuju ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia melepaskan ikatan tali pada sepeda dan gerobak cimol itu. lalu, gerobak cimol itu didorong ke gudangnya yang penuh debu dan noda. Ia memang belum membersihkannya.
Di lapangan QY, penjual cimol itu kaget melihat sebungkus cimol berisi 19 cimol matang. Gerobaknya lenyap begitu saja bagaikan tertiup angin. Ia langsung emosi setelah melihat Tira mendorong gerobak cimol menuju tebing. Tira tidak menyadari dan ingin pulang secepatnya. Karena jalan kaki, perjalanannya agak lama.
Pada saat itu, teman sekelasnya Tira yang bernama Tina datang menghampiri penjual cimol itu.
“Maaf pak. Apakah bapak adalah penjual cimol?” tanya Tina yang tidak sengaja mengagetkan penjual cimol.
“Ya, kamu mencari penjual cimol yang tepat. Dari mana kamu tahu itu?” tanya penjual cimol.
“Kayaknya aku pernah membeli cimol di tempat bapak. Tapi, di mana gerobak cimol bapak?”
“Apa kamu tidak tahu? Selain mencuri gerobak cimol, dia juga pernah mencuri cimol! Jika kamu menonton beritanya kemarin, kamu pasti akan tahu pelakunya. Kalau nggak tahu, juga nggak papa,”
Ternyata kamu, Tira, bisik hati Tina. Setelah membeli cimol, ia bermaksud akan pulang. Tapi pak penjual cimol melarangnya.
“Apa kau kenal dia?” tanya penjual cimol memastikan.
“Eh, iya. Memangnya… Kenapa pak?” tanya Tina sedikit gugup.
“Tolong sebutkan alamatnya. Kalau bisa, berikan denahnya. Aku mohon. Jika kau berikan alamat itu, aku akan memberimu 4 butir cimol,”
“Hm… Setuju!” jawab Tina. Kemudian ia menjelaskan arah menuju rumah Tira yang tidak perlu disebutkan ke pembaca supaya tidak dikunjungi.
Penjual cimol diantarkannya melewati jalan pintas sampai di depan pintu. Setelah berterima kasih, mereka berpisah. Tina ke rumahnya, penjual cimol ke rumah Tira.
Ternyata Tira yang berada di dalam rumahnya sangat terkejut luar biasa.
“Pak, saya minta maaf ya…” kata Tira pura-pura memelas.
“Nggak boleh! Kamu harus membayar kerugianku,” tolak penjual cimol.
“Tapi aku nggak punya uang sekarang. Keluargaku belum mengirimkan uang ke rumahku,” jawab Tira berbohong.
“Baiklah, aku maafkan. Tapi suatu saat nanti, aku akan ke sini lagi untuk menagih hutangmu,” kata penjual cimol, kemudian pergi.
Setelah penjual itu hilang dari pandangan, Tira sangat senang karena penjual cimol itu sudah tidak bisa berjualan cimol lagi. Sekarang, Tira ingin pindah rumah supaya penjual cimol tidak dapat ke rumahnya.
TAMAT
Cerpen Karangan: Utami Putri Ilahi
Tiba-tiba, ide pun muncul. Ia mengambil alat pancingnya, lalu mengendap-endap mendekati penjual cimol. Dia menurunkan tali pancingnya. Kebetulan, penjual cimol itu kelelahan, lalu tertidur pulas di dekat gerobak cimolnya yang biasa saja.
Tira pun melemparkan tali pancingnya ke arah cimol yang tidak ditutupi. Ia memang pandai dalam hal ini. Kemudian, ia mengambil salah satu cimol dan sewadah bumbu yang terisi bumbu setengah bagiannya. Sebutir cimol dimasukkannya ke dalam wadah bumbu itu dan dimakannya. Itu saja belum cukup mengenyangkan. Tapi ia tidak memakan cimol yang lainnya, karena takut ketahuan si penjual cimol.
Saat ia duduk di dekat penjual cimol, penjual cimol itu terbangun dan bermaksud akan melanjutkan pekerjaannya. Sebelum itu, cimol-cimolnya dihitung terlebih dahulu. Ternyata cimolnya hanya tersisa 19. Padahal, sebelum ia tidur, cimolnya ada 20. Pasti dia yang mencuri cimolku, katanya sambil melirik seorang anak di dekatnya, yang tak lain ialah Tira. Dugaan itu sudah pasti tepat karena tidak ada orang lain lagi di sana selain mereka. Tira merasa dicurigai. Tanpa berpikir panjang lagi, ia bergegas menaiki sepedanya dan mengayuhnya secepat mungkin. Ia tidak ingin penjual cimol itu mengejarnya.
Penjual cimol itu benar-benar marah dan mengejarnya. Tibalah mereka di jalan buntu. Tak mungkin Tira melarikan diri lebih jauh lagi. Ia hanya dapat berhenti dan menunggu si penjual cimol itu melakukan aksinya. Benar saja, penjual cimol itu segera menangkapnya dan melaporkannya pada polisi. Ia menelepon polisi dengan smartphone samsung miliknya.
“Halo pak. Ada keadaan darurat di sini,” kata penjual cimol memulai percakapan melalui telepon.
“Ini polisi, bukan ambulan,” jawab polisi menanggapi.
“Maaf pak. Tapi saya memang membutuhkan polisi. Sekarang juga anda harus ke alamat ini: Jalan Buntu no. 19 Kota X. Cepat ya pak… Keburu kabur buronannya,” kata penjual cimol sambil mencengkeram tangan Tira dengan kuat supaya tidak kabur.
“Ya, ya pak. Saya akan ke sana secepatnya,” jawab polisi yang kemudian mematikan handphone milik temannya, karena dia sendiri tidak punya.
Setelah polisi sampai di lokasi kejadian, Tira diantar menuju ke pengadilan tertinggi, yaitu Mahkamah Agung. Berita kasus langka itu dengan cepat ditayangkan di televisi. Pengadilan itu memang bersifat terbuka. Seluruh penonton yang menyaksikan berita itu merasa tegang.
“Pak hakim! Saya akan menceritakan masalah besar ini!” teriak penjual cimol dengan lantang.
“Itu masalah kecil pak. Aku cuma mencuri sebutir cimol,” jawab Tira meralat kata-kata penjual cimol.
“Sudahlah, biar aku yang berbicara. Sekarang aku bertanya padamu, wahai panjual cimol yang mudah marah!” kata ketua hakim sambil menunjuk penjual cimol itu.
“Hei, jangan meremehkan aku! Mentang-mentang pejabat tinggi, bisa berbuat seenaknya! Seharusnya kamu membantuku mengatasi kemiskinan ini! Berikan peekerjaan yang baik kepadaku. Bukannya mengejekku seperti itu!” kata penjual cimol berapi-api. Seluruh penonton tertawa.
“Sebaiknya Anda tidak perlu menceramahiku. Seharusnya aku yang melakukannya. Anda hanya rakyat biasa yang tidak tau apa-apa. Itu bukan tugasku, tapi tugas pemerintah! Bukan pengadilan! Tugasku hanya memberi keputusan dengan bijaksana!” ujar ketua hakim menjelaskan.
“Pak, kalau begini terus, kapan selesainya pengadilan ini?” tanya Tira tiba-tiba.
“Ya! Sekarang kau ceritakan kasus itu. Jangan kelamaan, nanti penonton bosan menonton!” kata ketua hakim yang lagi-lagi menunjuk penjual cimol dengan tatapan heran.
“Begini pak. Tadi saat aku berjualan cimol di Lapangan QY, anak ini mencuri cimolku,” kata penjual cimol memulai ceritanya.
“Itu salah bapak sendiri. Kalau bapak nggak tidur, ceritanya jadi lain pak,” jawab Tira memotong pembicaraan.
“Diamlah kau anak nakal! Sekarang biarkan bapak ini melanjutkan ceritanya!” bentak wakil ketua hakim.
“Lalu aku menghitung cimolnya berkurang satu. Aku mengejarnya sampai Jalan Buntu no. 19. Dengan mudah aku menangkap dia. Sambil memegang tangannya, aku menelepon polisi, polisi membawa kami ke sini” jawab penjual cimol yang kemudian mengakhiri ceritanya.
“Baiklah,” kata ketua hakim mengambil napas panjang. Palunya digunakan untuk memukul mejanya sendiri sebanyak 3 kali. TOK! TOK! TOK!
“Ini kasus yang sangat sederhana, bahkan terlalu sederhana. Keputusan yang kuberikan sudah tentu akan diterima. Aku memberi keputusan, bahwa tersangka dibebaskan dari hukuman apa pun!” ujar ketua hakim yang kemudian memukul meja dengan palunya lagi sebanyak 3 kali. TOK! TOK! TOK!
“Tapi pak, dia mencuri cimol saya. Sekarusnya dia dihukum. Nggak papa, walaupun hanya denda,” kata penjual cimol protes.
“Keputusanku sudah bulat. Tidak ada yang boleh melawan! Pengadilan dibubarkan!” teriak ketua hakim mengakhiri pengadilan. Seperti biasanya, palu khas andalannya digunakan untuk memukul meja khususnya lagi sebanyak 3 kali. TOK! TOK! TOK! Tentu saja Tira sangat gembira.
Pengadilan pun dibubarkan. Ternyata berita sekilas yang sangat sederhana itu ramai dibicarakan orang. Teman-teman dan guru sekolah Tira pun juga ada yang membicarakannya.
Tapi Tira tidak menyadari kalau kasus itu selalu dibicarakan teman sekelasnya juga, karena temannya selalu membicarakannya di waktu yang tepat, yaitu saat Tira tidak berada di dekat mereka. Tapi Tira tak peduli dan tidak jera. Ia tetap akan berada di pendiriannya, yaitu meluncurkan aksi pencurian cimol.
Pada hari-hari berikutnya, ia tetap mencuri cimol. Lebih baik aku mencuri cimol saja. Tidak perlu membayar dan tidak mendapat hukuman, gumamnya saat mencuri cimol. Anehnya, cimol yang dicuri hanya sebutir dan dilakukan ketika cimol di gerobak penjualnya berjumlah 20. Sudah 19 hari ia mencuri tanpa ketahuan.
Tiba-tiba, pada hari ke-20, ia tertangkap basah oleh penjual cimol. Polisi memberinya hukuman penjara selama sehari, karena cimol yang dicuri Tira setiap harinya hanya satu.
Saat keluar dari penjara, betapa senangnya hati Tira.
“Baiklah, sekarang kamu dibebaskan. Tapi ingat, jangan mencuri cimol lagi. Selain berdosa, kamu juga merugikan penjualnya, dan juga dipenjara kayak kemarin. Sekarang pulanglah dan ingat nasihatku” kata penjaga penjara memberikan nasihat.
“Ya, pak. Aku pulang dulu,” jawab Tira seraya pamit untuk pulang.
Keesokan harinya, ia memang sudah tidak mencuri cimol lagi. Tapi benda yang dicurinya adalah… Gerobak cimol! Benar-benar penggemar cimol sejati. Bendanya pun ingin dimiliki. Ia mencuri gerobak cimol itu saat penjualnya sedang tidur. Rupanya, itulah penjual cimol yang pernah kecurian cimol oleh Tira.
Tali yang dibawanya diikatkan pada sepeda dan juga diikatkan di tiang payung gerobak cimol. Kemudian ia menaiki dan mengayuh sepedanya yang menarik gerobak cimol menuju ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia melepaskan ikatan tali pada sepeda dan gerobak cimol itu. lalu, gerobak cimol itu didorong ke gudangnya yang penuh debu dan noda. Ia memang belum membersihkannya.
Di lapangan QY, penjual cimol itu kaget melihat sebungkus cimol berisi 19 cimol matang. Gerobaknya lenyap begitu saja bagaikan tertiup angin. Ia langsung emosi setelah melihat Tira mendorong gerobak cimol menuju tebing. Tira tidak menyadari dan ingin pulang secepatnya. Karena jalan kaki, perjalanannya agak lama.
Pada saat itu, teman sekelasnya Tira yang bernama Tina datang menghampiri penjual cimol itu.
“Maaf pak. Apakah bapak adalah penjual cimol?” tanya Tina yang tidak sengaja mengagetkan penjual cimol.
“Ya, kamu mencari penjual cimol yang tepat. Dari mana kamu tahu itu?” tanya penjual cimol.
“Kayaknya aku pernah membeli cimol di tempat bapak. Tapi, di mana gerobak cimol bapak?”
“Apa kamu tidak tahu? Selain mencuri gerobak cimol, dia juga pernah mencuri cimol! Jika kamu menonton beritanya kemarin, kamu pasti akan tahu pelakunya. Kalau nggak tahu, juga nggak papa,”
Ternyata kamu, Tira, bisik hati Tina. Setelah membeli cimol, ia bermaksud akan pulang. Tapi pak penjual cimol melarangnya.
“Apa kau kenal dia?” tanya penjual cimol memastikan.
“Eh, iya. Memangnya… Kenapa pak?” tanya Tina sedikit gugup.
“Tolong sebutkan alamatnya. Kalau bisa, berikan denahnya. Aku mohon. Jika kau berikan alamat itu, aku akan memberimu 4 butir cimol,”
“Hm… Setuju!” jawab Tina. Kemudian ia menjelaskan arah menuju rumah Tira yang tidak perlu disebutkan ke pembaca supaya tidak dikunjungi.
Penjual cimol diantarkannya melewati jalan pintas sampai di depan pintu. Setelah berterima kasih, mereka berpisah. Tina ke rumahnya, penjual cimol ke rumah Tira.
Ternyata Tira yang berada di dalam rumahnya sangat terkejut luar biasa.
“Pak, saya minta maaf ya…” kata Tira pura-pura memelas.
“Nggak boleh! Kamu harus membayar kerugianku,” tolak penjual cimol.
“Tapi aku nggak punya uang sekarang. Keluargaku belum mengirimkan uang ke rumahku,” jawab Tira berbohong.
“Baiklah, aku maafkan. Tapi suatu saat nanti, aku akan ke sini lagi untuk menagih hutangmu,” kata penjual cimol, kemudian pergi.
Setelah penjual itu hilang dari pandangan, Tira sangat senang karena penjual cimol itu sudah tidak bisa berjualan cimol lagi. Sekarang, Tira ingin pindah rumah supaya penjual cimol tidak dapat ke rumahnya.
TAMAT
Cerpen Karangan: Utami Putri Ilahi
Tira dan Penjual Cimol
4/
5
Oleh
Unknown