Seperti Bumi Kehilangan Gravitasi

Baca Juga :
    Judul Cerpen Seperti Bumi Kehilangan Gravitasi

    Semilir angin yang berhembus menebarkan pesona yang membuat tubuhku semakin nyaman bersandar di bawah pohon beringin yang tepatnya berada di kejauhan 10 meter dari depan pintu kelasku. Entah apa yang aku lakukan di sini, aku pun tak mengerti. Aku hanya berusaha mencari ketenangan tersendiri untuk diriku yang sedang depresi akibat remedial matematika! Siapa yang tak kenal dengan pelajaran matematika? Mungkin bagi sebagian orang itu adalah sebuah pelajaran yang sangat menyenangkan. Tapi bagi sebagian orang lagi… mungkin hanya sebagai beban tambahan dalam hidupnya, dan salah satu dari ribuan manusia yang tak menyukai hal tersebut adalah aku. Aku memang tak menyukainya, tetapi apakah akibat niat yang tertanam dulu, akhirnya saat aku ingin mempelajarinya dan menumbuhkan rasa ingin tahu tentang itu semua, tetapi hasil yang kudapat tak pernah berhasil dan selalu mendapat nilai yang menjijikkan!! Aku tak mengerti kenapa? Apakah aku kurang mempelajarinya dengan sungguh-sungguh? Kalau itu alasannya, sepertinya akhir-akhir ini, aku adalah orang yang paling rajin untuk mempelajarinya, dan sampai-sampai aku tidak menghiraukan pelajaran lain. Aku kesal dengan diriku sendiri!!! Tuhan… hukuman apa ini? Apakah ini merupakan kutukan untuk diriku?

    “Kanza, Ayo turun!!! Ini sudah pukul 6.45 wib. Nanti kamu terlambat sayang!”. Aku mendengar jeritan khas alarm setiap paginya. ya… itu suara bundaku, yang setiap pagi selalu memanggilku untuk segera turun dari lantai 2 rumahku, dan berangkat ke sekolah. Saat aku mulai menuruni anak tangga, Seketika ku ingat pelajaran matematika, mendadak rasanya aku sangat malas untuk pergi ke sekolah.
    “Kanza! turun sayang, Ayo kita sarapan…” Untuk ke empat kalinya bunda memanggilku. “Iya Bunda, sebentar.” Berat sekali rasanya untuk bergegas dari kamar ini. Tapi, pasti bunda sudah menyiapkan sarapan pagi untukku. Dengan langkah sedikit malas, kuhampiri Bunda dengan kelesuanku.
    “Kanza, Semangat dong Nak… Kamu kok berantakan gitu? Anak Bunda harus tampil cantik dan penuh semangat… Ayo, mana senyumnya??” Bunda mencoba menyemangati ku pagi ini. Perlahan kurenggangkan kerutan di dahiku.
    “Ayah, Bunda… Kanza berangkat dulu ya…”

    Kujemput sepeda kesayanganku digarasi tepat bersampingan dengan mobil Ayah. Hari ini aku mencoba memutar kebiasaan lamaku untuk melewati jalan lain selain jalan yang biasa aku lewati. Kulihat embun menyapa hamparan sawah, sejuk. Sekejap pelajaran matematika itu hilang di kerutan dahi. Kesegaran pagi ini membuatku terbuai. Ketika aku akan hampir sampai di depan pintu gerbang sekolah, kulihat dari kejauhan pintu pagar sekolah sudah mulai ditutup. Kutambah kecepatan dayunganku.
    “Pak, sebentar! jangan tutup dulu!!!” teriakku panjang di atas dayunganku. Nafasku bertabrakan dengan denyut jantungku. Kuparkirkan sepeda yang merupakan kado istimewa dari ayah dan bunda, saat ulang tahunku 3 tahun lalu. Tepatnya saat aku berumur 16 tahun.

    “Teeet…teet…” Bel masuk pun berbunyi. Tetapi aku memutuskan untuk tak memasuki kelas, dan memilih untuk tetap duduk di salah satu bangku di bagian pojok lorong dekat kelasku. Pikiranku bercabang-cabang mengingat tentang matematika, membuatku malas untuk mengikuti pelajarannya. “Tidak mungkin hanya karena Matematika aku bolos?” Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku ruang UKS. “Tapi Pak Andre?” kalau aku bolos, Aku tidak akan bisa melihat semangat dan kelembutannya saat ia mengajar. Dia itu beda dengan guru-guru yang lain. “Tapi kenapa harus dia yang mengajarkan Matematika? Pelajaran yang menyebalkan!!! Aaakkhh!!!” pikiranku kacau. Kutinggalkan bangku yang menjadi saksi bisu meluapnya emosiku pagi ini. Dan UKS lah sasaranku sekarang! dengan berpura-pura sakit aku bisa menghindari pelajaran matematika itu. Akan tetapi, setelah sampai di pintu UKS pikiranku berubah 180 derajat. Aku merasa lebih baik pergi, walaupun aku tak tau akan ke mana. Aku bergegas menuju tempat dimana sekitar 15 menit lalu aku memarkirkan sepeda kesayanganku. Walaupun aku tau bel masuk sudah berbunyi, langkahku tak mampu untuk kuhentikan.

    Kunaiki kembali sepedaku, kukayuh kencang dan menuju arah yang aku sendiri pun tak tau akan ke mana. Sambil air mata yang mulai deras membasahi wajahku, serta rasa penyesalan yang tak berkesudahan kepada diriku sendiri. Kayuhan kakiku terhenti pada sisa sapaan embun pagi ini. Kuhampiri sebuah gubuk yang terbuat dari jerami dan kayu-kayu. Duduk termangu aku sambil melihat ibu dan bapak-bapak menggoyangkan lonceng-loncengan pengusir burung. Kerentaan mereka tidak mengurangi semangatnya. Kulihat anak-anak berlari di pinggiran pembatas petak-petak sawah. Sambil membawa benang, umpan dan bermain layangan. Semangat terpancar dari wajah mereka. Hatiku terbakar. Merasakan semangatku yang hilang. “Kenapa aku tak pernah pandai matematika?” Aku malu! Aku ingin sekali pintar matematika… Walaupun ayah dan bunda tahu kelemahanku tentang matematika. Tapi aku ingin menunjukkan kepada meraka kalau aku mampu. Sayangnya, aku tetap gagal. Aku kesal dan kecewa terhadap diriku sendiri!!!

    Tetesan embun mulai membasahi pipiku. Tiba-tiba, ponselku bergetar terlihat ada pesan masuk. Pesan dari Vika, sahabat terbaikku sejak SMP. Tersentuh hati mengingat dia yang selalu menyemangatiku, menguatkanku untuk tak pernah berputus asa dalam hal apapun, termasuk tentang pelajaran matematika. Dia tak pernah putus asa untuk mengajariku dengan penuh kesabaran dan rela meluangkan waktunya untukku, walau sesibuk apapun kegiatan yang dia punya. Perlahan mulai kubuka isi pesan darinya: “Assalamualaikum… Kanza, kamu di mana? Kenapa hari ini kamu tidak ke sekolah? Kamu sakit atau gimana?” Kuabaikan untuk membalasnya. Lalu sebuah deringan berbunyi lagi. “Vika” tercantum dalam daftar panggilan ponselku. Deringan itu kuabaikan. Lagi dan lagi berdering. Pertanda penasaran Vika tentang ketidakhadiranku di sekolah. Aku tidak tega membiarkannya. Kuputuskan untuk menjawabnya.

    “Halo, assalamualikum…” sahutku. Menyapa dengan lemah.
    “Walaikumsalam. Kanza, kamu di mana? apa alasan kamu tidak hadir di sekolah hari ini? Apa kamu sakit?” tanya Vika. Aku berniat untuk berbohong. Namun, aku tidak tega berbohong dengan sahabatku sendiri.
    “Tidak, aku tidak sakit. Matematika membuat rumit semangatku.” Sahutku kembali dengan nada datar.
    “Ya allah Khanza… Lalu sekarang kamu di mana?” nada kecemasan tersirat dari intonasi pertanyaannya.
    “Aku di tempat dimana aku bisa melupakan kejenuhanku. Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak apa-apa…” Ponsel pun terputus.

    Sepuluh menit berlalu. Tiba-tiba sebuah tangan memukul pundakku. Tersentak aku membalikkan badan. Ternyata Vika. “Hei Kanza! Kamu melupakanku, Kamu meninggalkanku, Sedangkan aku selalu menunggu wajah ceria darimu”. Digenggamnya tanganku dengan erat. Vika mencoba menenangkanku, dengan mengelus lembut pundakku, dan perlahan jari-jemari tangannya yang lembut menghapus air mataku. “Istighfar Kanza… aku tau kamu sedang memikirkan hal-hal diluar kendalimu. Tapi bukan ini cara yang tepat untuk menyelesaikan masalahnya. Kamu bukan gak bisa matematika ataupun kamu bukanlah orang yang tak memiliki kemampuan apapun dalam bidang apapun.Hanya saja mungkin kamu kurang ikhtiar. Kam…” Belum selesai Vika berbicara, aku sudah lebih awal memotongnya, “Vika cukup!! Aku mau putus sekolah aja.Tidak ada gunanya aku sekolah. Aku hanya bisa nyusahin, dan gak ada yang bisa aku banggain sedikitpun dari diri aku untuk orang lain!! Aku gak seperti kamu Vika!!! dan aku gak mungkin bisa sepintar kamu, bahkan sehebat kamu. Kamu gampang bilang kata BISA ke aku, tapi apa kamu tau sakitnya di balik memperjuangkan apa yang kamu anggap aku bisa?!” Entah apa yang membuatku bisa berbicara selantang itu kepadanya. Tapi itulah Vika, sahabat paling baik yang pernah kutemukan. Dia hanya diam menatapku dengan matanya yang teduh itu, mencoba memahami kondisiku saat ini.

    Lima menit berlalu dengan hening. dan kini Vika kembali mencoba memecahkan suasana hening di antara kami. “Allah menciptakan manusia dengan kemampuan yang berbeda-beda, dan kitalah yang harus mengasah keahlian kita sendiri. Allah tau apa yang kita butuhkan, Kanza… Putus sekolah bukanlah cara yang tepat untuk menghindari kegagalan. Coba kamu flashback ke belakang. Dulu, saat kamu bayi kamu tidak bisa apa-apa bukan? Kemudian kamu tumbuh menjadi anak balita yang mulai bisa berjalan, dengan proses yang disebut belajar. Apa kamu belajar hanya cukup sekali kamu langsung bisa berjalan? Tidak Za!!! Pasti saat itu kamu pernah terjatuh, jatuh lagi, dan terjatuh lagi, sampai mungkin dari bagian tubuh kita ada yang terluka akibat proses itu. Tapi akhirnya, kamu bisa berjalan dengan lincah, bahkan berlari pun bisa.Dan satu hal yang harus kamu tau, proses belajar itu gak gampang. dan gak akan pernah susah kalau kita melakukannya dengan sunguh-sungguh. Belajar dari pengalaman yang terburuk itu lebih baik Za… Jadi, ketika suatu saat kita mencoba lagi kita akan tau di mana yang harus kita perbaiki. Satu kisah lagi deh aku ceritain ke kamu, kamu tau THOMAS ALFA EDISON?dia itu seseorang yang pertama kali menemukan lampu untuk menerangi gelapnya dunia saat malam tiba, dan apakah kamu tau? dia juga pernah gagal!! Hal yang perlu kamu camkan di mindset kamu adalah, orang-orang yang hari ini sukses, juga berawal dari suatu kegagalan yang akhirnya membuat mereka bangkit kembali! Termasuk Thomas Alfa Edison juga mengalami kegagalan, dan gagal hingga 999 kali za… Tapi, apa yang dia lakukan? dia bangit, dan terus mencoba lagi. Coba kamu bayangin jika dia putus asa dan berhenti di level 999? Kita gak bakal kenal sama yang namanya lampu!”

    Aku terdiam seribu bahasa saat mendengar kata-kata Vika. “Vika… tapi aku gak tau bakat diri aku itu apa? dan kamu tau, sampai sekarang aku gak pernah bilang ke ayah atau bunda kalau setiap ujian matematika aku selalu remedial, dan mendapat nilai yang sangat memalukan sekali. Aku takut Ka… Aku takut mereka kecewa. Aku takut!!!” Curhatku kembali tertuang pada dirinya. Namun dia hanya tersenyum dan kembali memegang tanganku “Kanza, kamu punya bakat, pasti punya!hanya saja kamu belum mengenal lebih dalamjati dirimu, hingga kamu tak bisa mengukur sejauh mana kemampuan dirimu. Sekali lagi ingat Za… gak ada manusia yang Allah ciptakan tanpa kemampuan! Manusia adalah makhluk paling sempurna yang Allah ciptakan. Kanza sahabatku, orangtua kamu adalah orangtua yang berpendidikan. Yang gak mungkin nge-judge kamu menjadi seorang anak yang gak pernah bisa membanggakan mereka. Mungkin kamu banggain mereka bukan dari sisi akademik. Cukup dengan akhlak yang baik, ketaatan kamu ke Allah, itu udah lebih dari cukup buat mereka. Orang tua kamu itu termasuk orang sukses, coba kamu tanya, pernah gak mereka gagal walaupun cuman 1 kali? Kanza… seseorang belum dikatakan sukses kalau belum pernah rasain yang namanya KEGAGALAN, walaupun cuman sekali!!!”.

    Aku serasa diberi suntikan yang membuatku bangkit lagi saat ini. Aku memeluknya kembali, dan mengatakan, “Kamu yakin aku bisa bangkit lagi Vika? Jika kamu yakin, bantu aku untuk mewujudkannya, bantu aku untuk benar-benar menjadi orang sukses dengan kegagalan yang hari ini akan ku akhiri!!! Aku janji, akan hijrah ke arah yang lebih baik!! dan kurasa aku cukup gagal hari ini!! dan aku akan berusaha sebanyak apapun usaha yang harus ku lakukan! Apakah kau mau untuk tetap setia membantuku?”
    “Khanza… Selagi Allah masih izinkan aku untuk hidup, dan masih diizinkan untuk tetap bersamamu, aku akan menemanimu, mengajarkan kepadamu ilmu yang dititipkan Allah di otakku saat ini untukmu Kanza, insyaallah!!! Sudah, jangan sedih lagi. Hari sudah semakin siang Za, pasti kamu belum makan kan? Sekarang kita pulang, jangan lupa solat zuhur saat sampai di rumah nanti ya…” Vika dan aku membalikkan badan mengambil sepeda masing-masing lalu pergi meninggalkan taman ini dengan arah pulang yang berbeda, karena memang rumah kami tak searah.

    Beberapa bulan kemudian…
    Sesuai janji yang pernah kuucapkan sekitar 6 bulan yang lalu, saat ini aku mulai merubah hidupku. lebih giat belajar, termasuk lebih giat untuk mencoba mengenali kemampuan diriku sendiri, dibantu oleh Vika… sempat sesekali aku mengeluh dan mulai lagi merasakan bosan dengan semua ini. Tapi tetap sahabatku itu menguatkanku dengan berbagai hal yang kemudian membuatku kembali bersemangat lagi. Tapi benar memang… saat proses mencoba aku memang menemukan berjuta-juta rintangan, tapi aku hanya menganggap itu semua hanya sebuah permainan yang harus segera aku selesaikan, dan akhirnya… aku mampu menyelesaikannya guys!!

    Aku ingat 6 bulan terakhir sebelumnya menjadi kegagalan yang terbesar bagiku, yang kini telah kukubur dalam-dalam rasa malas itu, dan dengan dorongan sahabat terbaikku. Vika. aku mampu mewujudkan mimpi-mimpi yang sempat terkubur dulu, karena kufikir aku tak mampu untuk mewujudkannya. Hari ini adalah hari yang telah kami tunggu-tunggu sekitar 3 tahun belakangan hingga sekarang hari itu menjadi nyata. ya, pengumuman kelulusan dari tingkat SMA. Dan betapa terkejutnya aku mendengar bahwa aku terpilih menjadi urutan ke 2 setelah yang pertama adalah Vika, menjadi wisudawati terbaik dari 1631 siswa di angkatanku tahun ini. Sumpah, rasanya… entahlah aku sampai tak mampu mendeskripsikannya lewat kata-kata.

    Aku maju melangkah dengan rasa haru bercampur bangga ke atas Podium. Dan juga, aku adalah orang yang hari ini menerima penghargaan nilai terbaik untuk seluruh siswi peserta UN tahun ini di bidang akademik yaitu MATEMATIKA!!! Sekarang aku sadar aku punya kemampuan yang lebih, dan lebih dari yang kutau. hanya saja aku perlu cukup lama waktu untuk mengasahnya, dan mewujudkannya sebagai impian yang nyata. Aku langsung memeluk kedua orangtuaku yang menyematkan medali di leherku, yang mereka tak mampu lagi untuk membendung air mata haru saat ini.

    Akhirnya… Aku bisa!!! Aku bisa membahagiakan mereka dengan kemampuanku, Terima kasih ya Allah… Tak lupa aku juga memeluk erat Vika sahabatku. yang juga telah berkorban banyak untukku, dan dia adalah orang yang juga menjadi sumber penyemangat bagi diriku, kuberikan ucapan selamat untuknya, karena dia juga adalah siswi yang menerima penghargaan nilai terbaik seluruh sekolah yang berada di kota ini, yang juga di bidang akademik dengan mata pelajaran IPA. Saat ini serasa kami berdua seperti kumpulan bintang–bintang yang bekerja sama untuk menciptakan suasana malam yang indah. Kurasakan ukhuwah yang sangat melekat di antara kami. “Terima kasih vika… kau adalah orang yang mampu membuatku hijrah kembali kepada kebaikan, dan sekarang aku mensyukuri buah dari hasil kerja kerasku selama ini” gumamku dalam hati saat aku menatap matanya. “Ya Allah… jangan pernah cabut nikmat ukhuwah yang indah ini dari diri kami… jaga kami agar tetap berada dalam lindunganmu ya Rabb… karena aku merasa aku tanpanya adalah hampa “seperti bumi kehilangan gravitasi”.

    Cerpen Karangan: Alma Alkhaira
    Facebook: Alma Alkhaira

    Artikel Terkait

    Seperti Bumi Kehilangan Gravitasi
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email