Judul Cerpen Jari Yang Cantik
“Bruugghh …”
Seorang perempuan terjatuh dengan beberapa kantung kresek belanjaannya yang berserakan di tanah. Malam itu sungguh sepi hanya ada beberapa kendaraan saja yang melintas. Perempuan itu mencoba memunguti barang-barangnya kembali. Rendi yang tak sengaja melintas melihat perempuan malang itu lalu menghampiri.
“Apa boleh kubantu?” tanya Rendi pada perempuan itu sambil sedikit membungkukan badannya.
“Tentu, terima kasih,” jawab perempuan itu sambil tersenyum, “Jalanan begitu licin bila sesudah hujan … aku jadi terjatuh,” tuturnya lagi.
“Yah, apalagi jika membawa barang sebanyak ini. Mungkin aku bisa membawakannya untukmu sampai rumah?” tawar Rendi untuk menolong perempuan itu.
“Aaahh … terima kasih, aku jadi merepotkanmu,”
“Tidak apa-apa, lagian perempuan berjalan sendirian itu berbahaya,” jawab Rendi sambil tersenyum, “Oh iyah, aku Rendi siapa namamu?”
“Namaku, Purwanti,” jawabnya sambil membalas senyuman Rendi
Mereka pun berjalan sambil berbicara tentang mereka masing-masing, dengan sedikit cahaya bulan yang menyinari mereka di balik awan. Setelah mereka berjalan yang agak cukup jauh, akhirnya merekapun sampai.
“Aaaahh, akhirnya sampai juga. Kalau begitu, aku pamit,” ucap Rendi sambil menurunkan kantung kresek di depan pintu.
“Iyah, terimakasih sudah membantu,” jawab Purwanti sambil tersenyum. Rendipun membalas senyumnya dan melangkah pergi.
“Rendi?” Rendi kembali membalikan badannya, “Mau mampir dulu? Aku mempunyai beberapa kopi saset,” Rendi mengangguk sambil tersenyum karena melihat tingkah Purwanti yang agak sedikit pemalu.
Rendi duduk di ruang tamu menunggu Purwanti menyeduhkan kopi untuknya. Rendi melihat ke sekeliling, begitu sepi. Ternyata hanya Purwanti seorang di rumah. Tak lama kemudian Purwanti pun datang dengan dua gelas cangkir kopi yang hangat.
“Di mana keluargamu?” tanya Rendi sambil meminum kopi yang Purwanti suguhkan.
“Mereka di Desa. Aku baru setahun pindah ke sini untuk bekerja,” jawab Purwanti
“Pasti keluargamu sangat kaya, karna bisa membeli rumah di tempat ini. Karena kudengar harga rumah di sini begitu mahal,”
“Tidak orangtuaku tidak begitu kayak. Aku hanya membeli rumah ini karena tidak terlalu jauh dari tempatku bekerja,” tutur Purwanti, “Dan rumah ini pun memiliki basement yang cukup besar, yang bisa aku pakai untuk menyimpan koleksiku,” sambungnya.
“Ohh, apa yang kau koleksi?” tanya Rendi tidak menyangka bahwa ternyata perempuan yang terlihat pemalu ini adalah seorang kolektor.
“Aku mengeoleksi banyak hal. Seperti tangan, kepala dan kaki. Bahkan aku banyak mengoleksi tubuh anak kecil,”
“Tubuh anak kecil?” Rendi mengerutkan dahinya. Namun tak lama kepalanya merasa sakit dan berat, yang akhirnya Rendi tak sadarkan diri.
Sedikit demi sedikit kesadaran Rendi mulai membaik. Tercium dengan jelas bau amis yang menyengat di sekitarnya. Rendi terkejut melihat dinding begitu banyak potongan-potongan tubuh manusia dan di depannya terletak sebuah meja yang penuh dengan pisau, matanya membulat karena seperti melihat tempat pejagalan bagi manusia.
Seseorang terdengar sedang membuka pintu. Rendi berusaha untuk berdiri. Tapi tubuhnya telah terikat pada kursi dengan kawat. Walaupun dia tidak tahu siapa yang berada di pintu, tapi dia yakin bahwa orang itulah yang melakukan semua ini.
“Purwanti?” Rendi terkejut setalah mengetahui bahwa itu adalah Purwanti, seorang yang dia tolong kemarin karena barang belanjaannya yang jatuh.
“Aaaahh, kau sudah bangun, Ren?” tanya Purwanti sambil tersenyum, “Sudah satu hari kau tertidur lelap di kursi itu,”
“Purwanti, apa yang kau lakukan?” Rendi meronta-ronta dari kursi melihat Purwanti mengambil pisau di meja itu.
“Aku hanya ingin sedikit bersenang-senang sebelum menambah koleksiku,” jawab Purwanti sambil mengasah-ngasah pisau itu di depan muka Rendi.
“Kau gila!”
“Hahahah! Kau benar aku gila!” Purwanti tertawa.
“Toloongg … toloongg!”
“Percumah kau akan berteriak sekeras apapun. Ruangan ini kedap pada suara dan ditambah lagi di luar sana sedang hujan deras,” Rendi kini benar-benar ketakutan.
“Arrggghhhh,”
Purwanti menyayat dada Rendi hingga kulitnya terlihat seperti sobek sepanjang dada. Lalu kemudian Purwanti kembali dan membawa garam dari meja. Dia taburkan garam itu di sekitar sayatan yang tadi dia buat. Mata rendi membulat
menahan rasa sakit dan perih yang luar biasa. Purwanti terus melakukan itu di sekujur tubuh lainnya. Rendi menjerit-jerit meminta ampun dan memohon.
“Hahahaha, kenapa kau menjerit seperti itu? Bukannya kau adalah lelaki yang kuat? Yang mampu menolong seorang perempuan karena belanjaan sialan itu?” Purwanti tertawa melihat Rendi kesakitan.
“Ampuni aku … kumohon!” Rendi memohon sambil menahan sakit. Bahkan dia terlihat mengucurkan air mata karena benar-benar ketakutan.
“Jangan memohon seperti itu, bukannya kau datang untuk bersenang senang, huh?” ucap Purwanti sambil tersenyum pada rendi. Senyuman yang begitu menakutkan.
Purwanti menari-nari mengelilingi Rendi. Kini Rendi tak bisa lagi menutup ketakutannya, dia menangis tersedu-sedu meminta ampun. Tapi, Purwanti hanya tertawa sambil berjalan menuju meja yang berada di depan kursi Rendi. Purwanti mengambil sebuah mesin bor dan menyalakannya. Purwanti berjalan pelan menuju Rendi dengan tatapan yang mengerikan.
“A-aku mohon, ampuni ak …” ucap Rendi terputus, merasakan bor itu telah menembus perut Rendi. Rendi menatap ke arah perutnya yang terus dibor hingga semua isinya berhamburan keluar. Purwanti terus saja mengebor perut Rendi meskipun Rendi sudah tak sadarkan diri. Merasa tak puas ia mencabut bor itu dan beralih pada kepala Rendi.
“Hahaha … bukankah ini menyenangkan, Rendi?” Purwanti tertawa dengan pucratan darah kental di wajahnya.
“Ah … kau memiliki jari kaki yang cantik untuk mengisi toplesku yang kosong,” gumamnya sambil memotong jari kaki Rendi satu-persatu.
Cerpen Karangan: Cepi Rahmat
Facebook: facebook.com/cepi.rahmat.107
“Bruugghh …”
Seorang perempuan terjatuh dengan beberapa kantung kresek belanjaannya yang berserakan di tanah. Malam itu sungguh sepi hanya ada beberapa kendaraan saja yang melintas. Perempuan itu mencoba memunguti barang-barangnya kembali. Rendi yang tak sengaja melintas melihat perempuan malang itu lalu menghampiri.
“Apa boleh kubantu?” tanya Rendi pada perempuan itu sambil sedikit membungkukan badannya.
“Tentu, terima kasih,” jawab perempuan itu sambil tersenyum, “Jalanan begitu licin bila sesudah hujan … aku jadi terjatuh,” tuturnya lagi.
“Yah, apalagi jika membawa barang sebanyak ini. Mungkin aku bisa membawakannya untukmu sampai rumah?” tawar Rendi untuk menolong perempuan itu.
“Aaahh … terima kasih, aku jadi merepotkanmu,”
“Tidak apa-apa, lagian perempuan berjalan sendirian itu berbahaya,” jawab Rendi sambil tersenyum, “Oh iyah, aku Rendi siapa namamu?”
“Namaku, Purwanti,” jawabnya sambil membalas senyuman Rendi
Mereka pun berjalan sambil berbicara tentang mereka masing-masing, dengan sedikit cahaya bulan yang menyinari mereka di balik awan. Setelah mereka berjalan yang agak cukup jauh, akhirnya merekapun sampai.
“Aaaahh, akhirnya sampai juga. Kalau begitu, aku pamit,” ucap Rendi sambil menurunkan kantung kresek di depan pintu.
“Iyah, terimakasih sudah membantu,” jawab Purwanti sambil tersenyum. Rendipun membalas senyumnya dan melangkah pergi.
“Rendi?” Rendi kembali membalikan badannya, “Mau mampir dulu? Aku mempunyai beberapa kopi saset,” Rendi mengangguk sambil tersenyum karena melihat tingkah Purwanti yang agak sedikit pemalu.
Rendi duduk di ruang tamu menunggu Purwanti menyeduhkan kopi untuknya. Rendi melihat ke sekeliling, begitu sepi. Ternyata hanya Purwanti seorang di rumah. Tak lama kemudian Purwanti pun datang dengan dua gelas cangkir kopi yang hangat.
“Di mana keluargamu?” tanya Rendi sambil meminum kopi yang Purwanti suguhkan.
“Mereka di Desa. Aku baru setahun pindah ke sini untuk bekerja,” jawab Purwanti
“Pasti keluargamu sangat kaya, karna bisa membeli rumah di tempat ini. Karena kudengar harga rumah di sini begitu mahal,”
“Tidak orangtuaku tidak begitu kayak. Aku hanya membeli rumah ini karena tidak terlalu jauh dari tempatku bekerja,” tutur Purwanti, “Dan rumah ini pun memiliki basement yang cukup besar, yang bisa aku pakai untuk menyimpan koleksiku,” sambungnya.
“Ohh, apa yang kau koleksi?” tanya Rendi tidak menyangka bahwa ternyata perempuan yang terlihat pemalu ini adalah seorang kolektor.
“Aku mengeoleksi banyak hal. Seperti tangan, kepala dan kaki. Bahkan aku banyak mengoleksi tubuh anak kecil,”
“Tubuh anak kecil?” Rendi mengerutkan dahinya. Namun tak lama kepalanya merasa sakit dan berat, yang akhirnya Rendi tak sadarkan diri.
Sedikit demi sedikit kesadaran Rendi mulai membaik. Tercium dengan jelas bau amis yang menyengat di sekitarnya. Rendi terkejut melihat dinding begitu banyak potongan-potongan tubuh manusia dan di depannya terletak sebuah meja yang penuh dengan pisau, matanya membulat karena seperti melihat tempat pejagalan bagi manusia.
Seseorang terdengar sedang membuka pintu. Rendi berusaha untuk berdiri. Tapi tubuhnya telah terikat pada kursi dengan kawat. Walaupun dia tidak tahu siapa yang berada di pintu, tapi dia yakin bahwa orang itulah yang melakukan semua ini.
“Purwanti?” Rendi terkejut setalah mengetahui bahwa itu adalah Purwanti, seorang yang dia tolong kemarin karena barang belanjaannya yang jatuh.
“Aaaahh, kau sudah bangun, Ren?” tanya Purwanti sambil tersenyum, “Sudah satu hari kau tertidur lelap di kursi itu,”
“Purwanti, apa yang kau lakukan?” Rendi meronta-ronta dari kursi melihat Purwanti mengambil pisau di meja itu.
“Aku hanya ingin sedikit bersenang-senang sebelum menambah koleksiku,” jawab Purwanti sambil mengasah-ngasah pisau itu di depan muka Rendi.
“Kau gila!”
“Hahahah! Kau benar aku gila!” Purwanti tertawa.
“Toloongg … toloongg!”
“Percumah kau akan berteriak sekeras apapun. Ruangan ini kedap pada suara dan ditambah lagi di luar sana sedang hujan deras,” Rendi kini benar-benar ketakutan.
“Arrggghhhh,”
Purwanti menyayat dada Rendi hingga kulitnya terlihat seperti sobek sepanjang dada. Lalu kemudian Purwanti kembali dan membawa garam dari meja. Dia taburkan garam itu di sekitar sayatan yang tadi dia buat. Mata rendi membulat
menahan rasa sakit dan perih yang luar biasa. Purwanti terus melakukan itu di sekujur tubuh lainnya. Rendi menjerit-jerit meminta ampun dan memohon.
“Hahahaha, kenapa kau menjerit seperti itu? Bukannya kau adalah lelaki yang kuat? Yang mampu menolong seorang perempuan karena belanjaan sialan itu?” Purwanti tertawa melihat Rendi kesakitan.
“Ampuni aku … kumohon!” Rendi memohon sambil menahan sakit. Bahkan dia terlihat mengucurkan air mata karena benar-benar ketakutan.
“Jangan memohon seperti itu, bukannya kau datang untuk bersenang senang, huh?” ucap Purwanti sambil tersenyum pada rendi. Senyuman yang begitu menakutkan.
Purwanti menari-nari mengelilingi Rendi. Kini Rendi tak bisa lagi menutup ketakutannya, dia menangis tersedu-sedu meminta ampun. Tapi, Purwanti hanya tertawa sambil berjalan menuju meja yang berada di depan kursi Rendi. Purwanti mengambil sebuah mesin bor dan menyalakannya. Purwanti berjalan pelan menuju Rendi dengan tatapan yang mengerikan.
“A-aku mohon, ampuni ak …” ucap Rendi terputus, merasakan bor itu telah menembus perut Rendi. Rendi menatap ke arah perutnya yang terus dibor hingga semua isinya berhamburan keluar. Purwanti terus saja mengebor perut Rendi meskipun Rendi sudah tak sadarkan diri. Merasa tak puas ia mencabut bor itu dan beralih pada kepala Rendi.
“Hahaha … bukankah ini menyenangkan, Rendi?” Purwanti tertawa dengan pucratan darah kental di wajahnya.
“Ah … kau memiliki jari kaki yang cantik untuk mengisi toplesku yang kosong,” gumamnya sambil memotong jari kaki Rendi satu-persatu.
Cerpen Karangan: Cepi Rahmat
Facebook: facebook.com/cepi.rahmat.107
Jari Yang Cantik
4/
5
Oleh
Unknown