Aku dan Skenario Nya

Baca Juga :
    Judul Cerpen Aku dan Skenario Nya

    Ratusan bintang masih terlihat kelap-kelipnya pada malam itu, angin malam pun bertiup semakin kencang membuat wajahku tersapu olehnya, langit seolah mengisyaratkan bahwa hari semakin malam. Merenung serta mencoba untuk menyudahi segala kerinduan, kekaguman dan kecintaanku padanya. Semuanya berawal dari dia. Dan secara tidak langsung dia pula yang memaksaku tuk menghakhiri perasaanku selama ini. Kegelisahan yang saat itu mendominasi perasaanku, sedih, tak tenang, bahkan malu pun menyatu pada diri ini. Ingin rasanya aku marah, tapi bingung pada siapa, karena ini memang seluruhnya kesalahanku. Aku yang terlalu berharap dan.. ah sudahlah! Ini juga memang pilihanku sendiri.

    Air mataku semakin deras, saat aku mengingat-ingat kejadian di siang hari itu, pun kejadian sebelum-sebelumnya. “De, gimana dong? Kata mas Ridwan, hari ini dia mau dateng ke sini, ke abi!” ucapku saat Zana berada di kamarku. “Ya udah. Terus ada apa gitu mbak?” jawab Zana polos. Zana adalah adikku, nama lengkapnya Zanaira Annisa, namanya tak beda jauh dengan namaku, Zenaira Asysyifa. “Ya, mau apalagi kalau bukan… ihh mbak jadi flashback. Waktu mbak mutusin dia, dulu, dia gak terima. Uhh, malah dia sampe janji nantinya bakal datengin abi. Dulu, sebelum dia ikut berubah kaya gini, mbak gak suka banget sama kelakuannya sih. Ya sekarang dia udah berubah drastis mbak jadi kagum banget sama dia, tapi sekarang, dia dateng di waktu yang gak tepat de..! Mbak buat target nikah itu satu tahun lagi loh, jadi tahun ini mumpung masih single, mau dipuas-puasin dulu..” ucapku panjang lebar, layaknya orang yang sedang curhat saja.

    Suasana ruang tamu yang berada di dalam rumahku, agak menegangkan, tapi tetap santai di sore itu. Abiku, mas Ridwan serta Nizar, ada di dalamnya. Sedangkan umi, menyiapkan makanan di dapur. Aku dan adeku pun tak lupa untuk mambantunya. Setelah selesai membatu umi, aku sedikit menguping pembicaraan mereka dikarenakan aku ingin memastikannya. Dari balik tembok ruang keluarga, aku mendengarkan dengan serius dan was-was, takut akan ketahuan oleh umiku. Tidak sopan memang, juga sangat konyolnya aku melakukan itu. Tapi aku tak peduli.

    “Jadi maksud kedatangan mas ke sini apa?” Tanya abiku pada tamu yang sudah tak asing lagi bagiku. “Gini om, saya mau melamar putri om..” jawab pria yang berkacamata dan bertubuh tinggi itu dengan tenangnya. Abiku sedikit tertawa, lebih tepatnya berdehem atau batuk dengan sengaja, sedangkan mas Ridwan masih tak terdengar suaranya dari balik tembok tempatku berdiri. “Emm, putri yang mana nih? Kebetulan om punya dua putri, putri yang pertama umurnya mungkin beda dikit sama mas ya, dulunya sekelas kan?! Nah, kalau putri yang kedua, bedanya dua tahun di bawah putri yang pertama.”
    Duh, bener juga ya, aku kan punya adik perempuan.. kenapa aku lupa gini? Batinku. Ada kemungkinan juga dia bukan ngelamar aku. Ahh tiba-tiba saja tubuhku menjadi tegang, lemas. Pikiranku sudah mulai tidak karuan, jantungku berdegup begitu kencang, ada insting yang tak enak. Baru saja aku akan melangkahkan kakiku untuk beranjak menuju kamarku, tapi terlanjur suara lembutnya Nizar terdengar olehku ia mulai menjawab apa yang tadi abiku tanyakan padanya, “Yang bungsu om, Zana.” Jawabnya dengan kemantapan. Deg!

    Langit sore cerah namun mulai memudar itu, seolah ambruk bagai atap rusak yang menimpa tubuhku. Ohh Allah, apa aku gak salah denger? Ahh mungkin Nizar salah. Syifaa! tenang Syif! Ingin rasanya aku menjerit di tempat itu pula, tapi apa daya, rasa malu menahanku untuk tidak melakukannya dan setelah itu pun aku melanjutkan langkahku menuju kamar dan sejak itu aku tak tau lagi apa yang mereka bicarakan.

    Aku memang tak suka melihat orang yang menangis hanya karena hal cinta, kuanggap itu sangat berlebihan. Tapi saat itu, malah aku sendiri yang meneteskan air mata karenanya, dan ini untuk pertama kalinya buatku, karena dari dulu pun aku memang dicap cuek untuk soal asmara oleh teman-temanku. Nizar, dia mantan pacarku tapi dia juga adalah korban atas kecuekanku. “Aku memang bodoh!” Ejekku pada diriku sendiri. Segera aku hapus air mata yang terlanjur mengalir di pipiku, dengan kedua tanganku. Kututup dengan pelan jendela yang ada di kamarku, rasanya untuk apa aku membuat pusing serta menangisi suatu hal yang sudah terjadi? Menangisinya adalah hal yang sangat sia-sia dan juga membuat banyak waktuku yang terbuang olehnya.

    Di satu sisi, memang hatiku retak, tapi di sisi lain juga aku merasa sangat malu, pasalnya sebelum Nizar datang ke rumah pun aku sudah ge-er duluan. Aku sangat percaya diri dengan pikiranku, ya pede bahwa Nizar datang ke abiku untuk melamarku, bukan adikku. Aku terlalu berharap dengan ucapannya pada masa lalu saat ia mungkin masih mencintaiku.

    Saat itu adalah waktuku untuk meyakinkan pada diriku sendiri atas pilihanku, aku tak bisa menyalahkan semua yang sudah terjadi ataupun yang sudah ditetapkan oleh Allah. Di balik semua itu aku tau, Allah pasti memiliki skenario hidup yang terbaik untukku, dan mungkin itu adalah salah satu hal yang memang baik untukku.

    Sudah hampir satu tahun, dari kejadian yang dulu kuanggap miris itu. Waktu terus berjalan dan aku tetap hidup, walau dengan awal yang tak begitu ridho pada adikku karena dia menikah mendahuluiku dan awalnya pun diriku dipenuhi oleh rasa menyesal dengan sebuah target yang sudah ku buat. Tapi, ya inilah warna-warni hidupku, tak mungkin semuanya berjalan dengan mulus, sama halnya saat aku mulai giat untuk menyampaikan risalah-Nya, bisikan setan mencoba menghalangi agar aku berhenti dari harokah dakwah. Aku sadar bukan orang yang mudah menyerah, apalagi hanya dengan hal yang sepele-sepele. Ya kenyataanya kini aku bahagia, dan bersyukur dengan pilihanku satu tahun yang lalu itu, menikmati waktu dan mempersiapkan diri sebelum mengarungi kehidupan baru alias berkeluarga.

    Aku pun senang untuk menanti kehadiran keponakanku, karena sebentar lagi keponakanku itu akan lahir ke dunia, tinggal menunggu beberapa jam lagi sepertinya. Tenang, aku sudah ikhlas, dan sudah melupakannya, ya melupakan harapanku padanya. Aku nikmati kehidupan dengan ringannya, jarang aku menganggap berbagai masalah sebagai beban, karena jika kita menjalani hidup dengan kelapangdadaan, pasti hidup pun akan terasa begitu indah walaupun dengan berbagai masalah sebagai hiasannya. Apalagi jika segala hal yang kita lakukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ridho Allah semata. Kita hanya perlu bersyukur dan menerima atas apa yang sudah Allah tetapkan, karena Allah memiliki rencana yang lebih baik dari pada keinginan dan rencana kita.

    Saking tidak sabarnya menanti kehadiran sang keponakan, aku bela-belain seharian gak pulang ke rumah, hanya untuk ketika nanti ia lahiran aku bisa menyaksikannya langsung dengan mata kepala sendiri. 22 jam berlalu, aku masih cemas, bahagia gimana ya, sulit untuk diungkapkan. Memang bukan aku yang lahiran, tapi aku heboh sendiri. Akhirnya adikku pun sudah berada di ruang bersalin, karena katanya ia sudah memasuki pembukaan ke delapan. Aku yang sudah menemaninya dari awal ia masuk rumah sakit, masa aja gak ikut masuk ke tempat bersalinnya, pastinya sampai bayi itu lahir pun aku harus ada untuk mendampinginya, ya selain umiku dan Nizar.

    Gagal semua harapanku hari itu, untuk melihat perjuangan seorang ibu mengeluarkan anak dari dalam perutnya. Kacau hatiku saat dimana hanya Nizar saja yang boleh mendapingi adikku di dalam ruangan sana. Ya sudahlah, aku terima saja, jika itu memang peraturan di rumah sakit ini. It’s oke. Setelah sekitar 30 menit kemudian, aku yang mondar-mandir di depan ruangan bersalin, seketika saja berhenti melangkahkan kakiku lagi, ketika pintu ruangan itu terbuka dan keluarlah sosok yang sudah tak asing lagi bagiku pun umiku, ya dia Nizar dengan baju hijau yang dikenakannya, pun dengan kacamata yang ada di genggamannya. Tangis haru yang terlihat dari wajah bersihnya, mungkin karena begitu bahagianya dirinya, hingga meneteskan air mata saat ia keluar dari ruangan tersebut. Aku dan umi tersenyum bahagia, sambil melangkahkan kaki menuju pria berbaju hijau itu. Aku yang sejak itu sudah tidak sabar untuk melihat bayi miliknya, dan sebelum memasuki rungan tersebut, langsung saja aku bertanya pada pria yang sudah ada di depanku juga umiku, ya agar rasa penasaranku sedikitnya berkurang. “Gimana Zar? Bayinya nisa atau rijal?” tanyaku dengan mimik wajah kegirangan. Ia pun sedikit tersenyum dan menjawab dengan singkatnya “Rijal, mbak.”

    Sebelumnya sudah kubayangkan kebahagiaan tak terkira yang akan dirasakan oleh kami sekeluarga di hari lahirnya si mungil calon pembela Islam itu. Khususnya bagi Zana juga Nizar yang saat itu statusnya sudah menjadi orangtua. Tapi apa yang kubayangkan sebelumnya itu salah. Jika saat itu semua berbahagia, rasanya wajar saja. Namun kenyataannya yang terdengar hanyalah isak tangis dari orang-orang yang berada di dalam ruangan, ya keluargaku maupun dari sebagian keluarga Nizar juga ada di sana.

    Ternyata mimik wajah sang ayah dari bayi itu, saat keluar dari ruangan tersebut, bukan tangisan akan haru bahagianya, tapi mungkin ia menahan pedihnya, dan sakitnya kehilangan sesosok istri yang sangat ia cinta dan sayangi. Kebahagiaan atas hadirnya bayi mungil itu, berbalut kesedihan atas kepergian sang ibu dari anak yang baru lahir itu, ya, adikku telah tiada. Rasa ketidak percayaan dan ketidakterimaannya diriku saat mengetahui adikku telah berpulang kepada zat yang telah menciptakannya. Air mata yang keluar dari beberapa pasang mata dan suara tangisan yang membuat ruang itu begitu menyedihkan. Umi dan abi yang berusaha menghentikan tangisnya dan menerima ketetapan Allah. Tangan kiri mas Ridwan pun menggandeng istrinya dan tangan kanannya mengelus-ngelus punggungku, agar aku sanantiasa bersabar dan segera menghentikan tangisanku yang hingga tersedu-sedu itu karena kepergian Zana untuk selama-lamanya.

    Sebelumnya aku hanya harus melepaskan seseorang yang memang bukan untukku itu sakit rasanya dan sekarang pun kenapa aku harus kehilangan sesosok adik yang selalu mewarnai hari-hariku, baik suka maupun duka. Ahh jika saja aku bisa memutar waktu dan mengganti rencana Allah, mungkin aku takkan membiarkan dia pergi meninggalkan dunia ini. Bagaimana saja? Dia seharusnya saat itu merasakan kebahagiaan setelah Sembilan bulan lamanya ia menggandung sang buah hati yang kehadirannya itu pasti sangat dinantikan olehnya. Tapi apa daya, aku hanyalah seorang makhluk dengan segala keterbatasan. Sangat tak mungkin jika kemampuanku sama dengan zat yang telah menciptakanku.

    Aku sebagai seorang muslim tak sepantasnya jika berlarut-larut untuk menangisi sebuah ketetapan yang telah Allah tentukan. Hal itu adalah sebuah pelajaran besar untuk kehidupanku. Ya begitulah, setiap yang hidup nantinya akan mati dan kembali pada sang pencipta, Allah SWT. Namun kita tak akan pernah tau kapan malaikat akan mencabut nyawa kita, entah itu saat kita udah siap ataupun belum, entah itu saat pahala kita sudah banyak ataupun belum. Malaikat tak pernah peduli dengan hal itu, ia akan selalu patuh dengan apa yang Allah perintahkan.

    Kini terhitung sudah lima tahun, dari hari kelahiran Muhammad Fatih Az-zainuddin dan kepergian ibu kandungnya, ya adikku yang kurindukan. Mungkin inilah jawaban dari segala permintaanku lewat do’a yang selalu kupanjatkan seusai sholat fardu maupun tahajjud, dan inilah skenario Allah untuk kehidupanku dengan keluarga yang semoga saja selalu ada dalam lindungan-Nya.

    “Bundaa..” teriak anak yang kebetulan pada hari ini umurnya sudah menginjak lima tahun. Aku segera menghapirinya yang berada di ruang TV dengan adik perempuannya, Tsaniya. “Ada apa mas Fatih? Itu Kenapa adenya nangis?” ucapku, sambil menghampiri Fatih dan mengelus lembut kepala anak perempuan yang baru berumur tiga tahun itu. “Itu de Sani nya ngerebut coklat punya mas..” adunya padaku dengan nada emosi ala anak-anak. “Gapapa, berbagi dong.. Tuh mas kan masih punya satu bungkus lagi..” ucapku meredakan fatih yang mulai merebut kembali coklatnya yang masih ada di genggaman adiknya.

    Pintu masuk rumah tiba-tiba saja terbuka. Muncullah sosok pria berkacamata, berkulit sawo matang, pun dengan jenggot tipis di dagunya. Siapa lagi kalau bukan Nizar? ayah dari Muhammad Fatih Az-zainuddin dan Rahmania Aliya Tsaniyah, yang kini Allah pun menakdirkannya sebagai imam dalam keluargaku. “Tuh ayah udah pulang.” ucapku mengalihkan kesibukan mereka yang sedang berebut coklat. “Ayaahh..” teriak Fatih dan segera saja ia berlari menuju ayahnya yang masih berdiri di depan pintu masuk rumah, Tsaniya pun mengikuti kakaknya, tak lupa ia pun berteriak apa yang tadi kakaknya teriakkan, “Ayahh..” ucap anak perempuan itu dengan cadelnya. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka yang selalu menjadi penghibur hati. Begitupun dengan Nizar yang kini sedang dipeluk oleh kedua anaknya, sambil menatapku dan tersenyum, ia pun sepertinya tau kebahagiaan yang aku rasa. Bersama membangun keluarga harmonis yang didasari keimanan pada sang pencipta segala yang ada di langit maupun di bumi, ya Allah SWT.

    Cerpen Karangan: Hasna Dieni R
    Blog: Hasnadieni.blogspot.co.id
    Fb: Hasna Dieni R
    Ig: @hasnarozanah

    Artikel Terkait

    Aku dan Skenario Nya
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email