Nameless Circus (Part 1)

Nameless Circus (Part 1)

Judul Cerpen Nameless Circus (Part 1)

Ada sebuah kebiasaan aneh yang saudarinya, Aria, lakukan setiap bulan.

Belanja pakaian.

Oke, mungkin untuk anak perempuan, itu sangat tidak aneh. Tapi kalau untuk anak laki-laki sepertinya, jelas itu aneh. Aria memiliki kebiasaan membeli pakaian-pakaian baru di mal dekat. Kata Dad, itu wajar karena Aria sedang dalam proses pubertas. Tapi apa dia perlu membeli banyak pakaian sebanyak isi lemari kamarnya?

Belum lagi, Akira sering diminta untuk mengikuti dan menemaninya selama di sana. Sungguh, Akira sangat kebosanan dengan semua itu. Hanya datang demi membawa barang belanjaan Aria yang sangat banyak, sangat merepotkan. Akira mau saja menolak dijadikan beban tapi Aria akan menampilkan wajah tidak sukanya dan dia akan terus ‘meneror’ Akira selama beberapa hari.

“Kira, temani aku ke mal yuk! Ada baju bagus di sana.”
“Ari, ini sudah yang kesebalas kalinya kamu mengajak aku ke mal demi urusan membeli baju.”
“Tapi kali ini baju-bajunya bagus, Kira. Tolong temani aku ya! Pleaseee!”
“Kenapa kamu suka banget belanja tanpa henti? Apa kamu enggak pernah pikirkan uang Dad?”
“Itu enggak masalah. Sekarang ini aku sudah bekerja dengan Melisa jadi masalah uang enggak perlu dipikirkan lagi.”
“Kenapa kamu enggak ajak teman-temanmu saja? Kenapa harus aku?”
“Karena kalau sama yang lainnya sudah bosen. Lagi pula, kamu kan cowok. Kalau aku ajak Melisa atau Delie, mereka enggak akan kuat bawa barang-barang belanjaan.”
“Ari, aku bukan bodyguard kamu, oke?”
“Tapi tetap aja. Tolonglah, Kira. Temani aku ya!”
“Kenapa kamu selalu menyusahkanku?”
“Temani aku saja! Apa susahnya sih?”
Menyebalkan bila seandainya memiliki saudari yang keras kepala.

Aria memang punya kebiasaan menarik bila sedang berjalan-jalan. Gadis itu selalu memeriksa internet, mencari-cari pakaian yang sedang populer di kalangan remaja. Baginya, melakukan hal itu sangat penting dalam dunia berteman. Akira tidak pernah bisa memahami hal itu. Akira hanya punya dua teman saat SD, Riki dan Philip. Keduanya mungkin paham dengan maksud Aria, mengingat Riki dan Philip adalah golongan murid-murid populer di SMA Perdana Alam.

Akira memang susah bergaul. Itu salah satu kelemahannya. Entah mengapa, berada di kerumunan orang yang seumuran dengannya membuat Akira gugup, malu, dan susah berbicara. Mom dan Dad pernah mengira dia penderita Agoraphobia —ketakutan di tempat-tempat terbuka atau banyak orang— walau terbukti tidak benar. Mereka bingung kenapa Aria bisa mendapat banyak teman sementara Akira tidak. Jangankan Mom atau Dad, Akira sendiri juga masih bingung dan terheran-heran. Mungkin karena dia terlalu cerdas dan lemah dalam fisik? Bisa jadi. Riki pernah bilang kalau Akira harus pintar dalam bidang olahraga, walau sampai sekarang dia masih payah.

Saat ini Aria sedang memilah-milah harga baju di salah satu toko. Aria terlihat menikmati momen-momen memilih pakaian, terukir dari ekspresi kesenangannya. Sementara Akira terbebani barang-barang berat miliknya.

“Ari, berapa lama lagi kamu berbelanja? Barang-barangmu ini sungguh berat,” gerutu Akira.
“Resiko kalau jadi cowok.”
Sialan. “Tapi ini enggak adil, Ari.”
“Memangnya aku peduli?”
Argh! Rasanya frustasi bila memiliki kakak sepertinya.

“Ari, kalau kamu enggak buru-buru, aku akan—”
Buk!
Badan Akira terhempas ke belakang karena tertabrak sesuatu —atau seseorang— dan membuat barang-barang belanja Aria ikut terjatuh ke mana-mana. Aria yang melihatnya langsung panik dan buru-buru mengambil barang-barangnya, bukan menolong adiknya terlebih dahulu. Dasar kakak tak tahu benar. Kenapa dia malah sibuk mengecek barang-barang miliknya?

“Aduh, Nak! Maaf banget! Tadi Tante enggak lihat.”

Seorang wanita berusia pertengahan tahun, memakai baju motif bunga mawar dengan warna yang berbeda, sepatu hak tinggi yang tidak serasi, dan tas besar ukura ibu rumah tangga. Tangannya menopang tubuh Akira supaya ia bisa berdiri dan membereskan kekacauan yang sudah ia lakukan.

“Kamu enggak kenapa-napa kan? Apa ada yang terluka? Apa ada yang berdarah? Apa kamu pusing? Lelah? Mual? Capek?”

Diberi pertanyaan sebanyak itu tentu membuat Akira bingung. Belum lagi, wanita ini bertanya dengan cepat-cepat dan terburu-buru, seolah-olah dikejar sesuatu. Orang lain pun pasti juga bingung jika diberi pertanyaan dengan cepat, apalagi jika banyak.

“E-Enggak apa-apa, Tan. Aku oke-oke aja.”
“Oh, baguslah. Tante sempat takut kamu terluka atau semacamnya.”
“Hei, Kira! Kenapa kamu bisa jatuh?” tanya Aria dengan wajah sebal. Yah, wajar saja kenapa Aria bisa sebal.
“Aku kan enggak sengaja. Lagian, kenapa kamu malah mempedulikan barang-barang kamu, bukan adikmu sendiri?”
“Ya ampun. Kamu ini kan udah besar. Memangnya masih perlu kuurus?”

Akira menggeleng kepala. Beruntung Akira masih bisa menahan emosi, tidak seperti kakaknya yang mudah berbawa emosi yang tidak jelas. Apa namanya? Ya, labil.

“Maaf ya. Tante enggak ada maksud buat kamu terluka.”
“Iya, Tante. Aku tahu kok. Tante enggak perlu khawatir.”
“Mana mungkin Tante enggak khawatir?” wanita itu terdiam sejenak lalu tiba-tiba berseru, “Ah! Tante tahu!”
Dia merogoh tas besarnya, mencari-cari sesuatu di dalamnya. Butuh waku beberapa menit sebelum ia menemukan apa yang hendak ia cari. Ketika tangannya keluar, dia menggenggam sebuah kertas panjang yang menampilkan gambar buku-buku, di mana tulisan TOKO BUKU LEBLANC tercetak besar dan ditulis menggunakan gaya yang menarik.

“Kupon pembelian buku?” guman Akira.
“Kebetulan Tante pemilik toko buku di sekitar sini. Kalau kamu mau membeli buku lama Tante, kamu boleh-boleh aja datang. Mau?” tawarnya.
“Tentu. Kenapa enggak?”

Dari dalam hati, Akira sudah berteriak kegirangan. Mendapat kupon pembelian buku merupakan hal yang sangat ia harapkan. Sebagai anak yang gemar membaca buku, mendapatkan kupon pembelian buku merupakan hal yang Akira harapkan. Kesempatan ini tidak akan selalu ia dapatkan setiap saat.

“Kupon beli buku? Serius? Dan kamu malah senang?” tanya Aria heran. Aria bukan maniak buku seperti adiknya tapi bukan berarti Aria tidak suka membaca. Dia masih mau membaca buku bergenre romance dan teenlit walau hanya sedikit saja. Masalahnya adalah Akira sering membeli buku-buku pelajaran sekolah dan sejarah dunia yang ketebalannya bisa mencapai 1000 halaman. Jangankan 1000 halaman, memiliki buku mata pelajaran setebal 200 halaman —seperti Matematika— saja sudah membuat otak Aria pusing tujuh keliling. “Memangnya Tante menjual buku-buku sejarah atau materi mata pelajaran SMA?”

“Oh, Tante punya banyak. Kalau kamu mau membeli buku, kamu bisa ke sana.” Dia melirik jam arlojinya lalu terkesiap. “Astaga, aku telat! Aku pergi dulu, Anak-anak!”
Sebelum Aria maupun Akira merespon jawabannya, wanita itu pergi dengan lari yang cepat.

“Dia sangat… aneh,” ujar Aria.
“Ya. Tapi menyenangkan,” balas Akira.
“Ya sudah. Ayo kita teruskan jalan-jalannya. Masih ada banyak hal yang ingin kubeli.”

Sesampainya di rumah, Aria mengeluarkan 6 pakaian barunya dengan perasaan gembira. Aria tidak sabar memperlihatkan baju-bajunya kepada Melisa, Delie, Vaina, dan Gwen. Pasti mereka akan suka sekali dengan baju-bajunya.

Aria tidak melihat Akira ke kamarnya. Kamar Aria dan Akira terletak cukup dekat satu sama lain, jadi dari balik pintu daun mereka bisa melihat siapa saja yang melewati kamar mereka. Ah, benar juga. Akira sedang mencari buku-buku materi untuk kelas 11 mendatang di toko buku terdekat. Ujian Akhir Sekolah sudah tinggal beberapa hari lagi dan Aria masib belum mengulangi setiap materi yang akan keluar di ujian. Argh, Aria tidak suka belajar. Apalagi yang materinya susah seperti Matematika atau Fisika.

Lebih baik kulihat internet dulu. Mumpung masih ada waktu, batinnya.

Tangan Aria refleks memeriksa berita-berita di beberapa situs website. Aria menemukan halaman berjudul PEMBATALAN KONSER JAZ WARDEN, SANG PENYANYI MENGHILANG yang menjadi berita hits nomor satu. Refleks, Aria meng-klik halaman berita tersebut dan sebuah artikel pun muncul di layar.

PEMBATALAN KONSER JAZ WARDEN, SANG PENYANYI MENGHILANG

Senin (26/02), konser Jaz Warden bertema “Lovely Flower” terpaksa dibatalkan di Jakarta karena keberadaan sang penyanyi yang menghilang tanpa kabar. Terakhir kalinya Jaz terlihat saat ia sedang berada di kamarnya, hendak mempersiapkan diri. Tidak ada siapa pun yang pernah melihatnya lagi.

Menurut sang manager, Jaz sering mendapat banyak pesan dan telepon anonim beberapa minggu terakhir. Tidak diketahui siapa dan bagaimana si pengirim mengetahui alamat pribadi Jaz yang tidak pernah ia tampilkan. Kemungkinan besar Jaz menerima ancaman dari seseorang yang membencinya, mengingat Jaz Warden memiliki banyak haters dan saingan di dunia musik sejak karirnya mulai menaik.

Hingga kini, pihak kepolisian masih mengadakan pencarian menyeluruh Jaz di daerah Jakarta. Polisi meminta siapa saja yang melihat atau mengetahui keberadan Jaz bisa menghubungi pihak polisi atau pihak manager supaya proses pencarian Jaz bisa cepat ditemukan.

Berita itu cukup mengejutkan Aria. Bagaimana tidak? Aria dan keempat temannya merupakan penggemar lagu-lagu Jaz Warden semenjak SD. Lagu-lagunya yang menarik dan indah, mampu menyihir siapa saja yang mendengarnya. Tentunya Aria ingat dengan Meg Ross, salah satu penyanyi sekaligus model majalah fashionista ternama yang bersaing keras dengan Jaz. Yang pasti, besok keempat temannya akan mulai merengek seperti bayi, mengoceh panjang-lebar dengan kabar menghilangnya Jaz dan konsernya yang terpaksa dibatalkan. Sejujurnya Aria sebal dengan berita ini. Padahal ia ingin sekali menemui Jaz dan kalau bisa meminta tanda tangan di album sebelumnya.

“Aaah! Kenapa konsernya harus dibatalkan sih?! Padahal aku harus menabung selama enam bulan demi beli tiketnya!” teriak Aria kesal.
“Ari, berhenti berteriak! Aku sedang sibuk belajar!” sahut Akira dari balik dinding kamarnya. Sepertinya dia sudah pulang.
Aria menghembus napas panjang lalu menatap jam kamarnya. Sepertinya dia perlu melakukan kegiatan lain hingga waktu tidur.

Akira paling benci bila waktu belajarnya diganggu.
Orang lain mungkin tidak akan mau belajar materi kelas 11 seperti yang Akira lakukan saat ini. Wajar saja, zaman sekarang remaja-remaja lebih malas dan lebih ingin santai. Apa ada orang yang ingin menghabiskan waktunya demi belajar materi pelajaran yang bahkan guru-guru di sekolah saja masih belum bahas? Mungkin hanya Akira saja yang akan melakukan hal semacam itu.

Saat Akira hendak menjawab soal Matematika nomor 26, ponsel pintarnya bergetar di meja. Layar menampikan nama si penelepon yakni Riki.

Akira menghembuskan napas pelan dan mengangkat panggilan. “Kenapa, Rik? Aku lagi belajar. Tolong jangan ganggu—”
“Aki, kamu enggak bakal percaya dengan apa yang akan kusampaikan!”
“Riki, jangan panggil aku Aki. Aku bukan mesin kendaraan.”
“Whatever,” sahut Riki tidak peduli sama sekali. “Kembli ke pembicaraan, aku mau menyampaikan sesuatu—”
“Kuharap ini bukan soal insiden batu semen seminggu lalu. Aku harus membersihkan seragamku sebanyak sepuluh kali.”
“Tenang, kawan. Yang ini jauh lebih besar.”
Akira menunggu hingga Riki berujar, “Philip udah punya pacar! Kali ini Leni!”
Astaga. Lagi?, tanya Akira dalam hati.
“Gila, bukan? Kudengar kali ini dia memakai lagu yang dia buat sendiri buat Leni mau jadi pacarnya! Aku yakin Yuno bakal menangis banget—”

Tangan Akira langsung mengakhiri panggilan Riki yang sangat tidak bermutu. Riki meneleponnya demi memberikan kabar soal temannya yang sudah berpacaran lagi? Membuang waktu berharga Akira untuk belajar. Kalau Riki mau menyampaikan berita itu, lebih baik disampaikan kepada Aria saja. Mungkin Aria yang sedang kesal entah apa bisa sedikit terhibur dengan berita itu.

Omong-omong soal tidak bermutu, Akira teringat dengan percakapan ia dengan Aria beberapa hari setelah ia pindah ke rumah. Saat itu ada salah satu teman Aria berkunjung ke rumah saat liburan sekolah—kalau tak salah, namanya Isabel. Isabel yang pertama kali melihat keberadaan Akira mulai menanyai berbagai hal padanya. Mulai dari yang pribadi seperti hobi, sekolah, pergaulan, lingkungan rumah, dan masih banyak lagi. Tapi yang membuat Akira cukup heran adalah pertanyaan: “Apa kamu sudah punya pacar?”
“Hah?”
“Pacar. Apa saat kamu bersekolah di LA, kamu sudah punya pacar?”
“Pacar? Buat apa aku punya pacar?”
“Buat apa? Buat apa? Kamu seharusnya tahu kan. Kenapa kamu malah bertanya buat apa punya pacar?”
“Maksudku, memangnya untuk apa aku berpacaran? Bukannya masih ada hal-hal yang lebih penting seperti belajar?”
“Belajar? Hanya itu yang ada di benakmu?”
“Memangnya salah? Bukankah belajar adalah hal yang diperlukan pelajar sebelum kuliah? Berpacaran merupakan hal yang tidak bermanfaat untukku.”
Saat itu Isabel menampikan ekspresi heran dan kejengkelan lalu berangsut pergi. Akira mendengar suara “Orang aneh” dari balik mulutnya. Orang lain mungkin tidak mendengarnya tapi ia mendengarnya. Sepertinya dia sengaja melakukannya.

Sekitar beberapa menit kemudian, Aria menarik Akira ke koridor, menjauhinya dari teman-temannya yang berkumpul di ruang tamu, mengambil kue tar buatan Tante Ira.
Aria melirik ke arah ruang tamu, mungkin sedang memastikan tidak ada yang mendengarnya. Setelah terlihat yakin, Aria berkata, “Kira, kamu tadi bilang apa sama Isabel?”
“Bilang apa?” tanya Akira kembali. “Aku hanya memberitahunya tentang jawabanku.”
“Kira, kamu buat Isabel kesal. Dia bilang kalau kamu secara respon sudah menyinggungnya.”
Akira semakin kebingungan. “Menyinggungnya? Tapi aku hanya bilang untuk apa aku punya pacar dan pacaran enggak penting buatku. Memangnya itu menyinggungnya?”
“Itu jelas menyinggungya. Isabel punya pacar bernama William. Kamu beruntung Will tak bisa datang karena ada urusan. Kalau dia ada di sini, kamu akan terkena masalah besar dengannya dan aku tidak bercanda soal itu.”
“Tapi bukankah memang begitu kenyataannya?”
Aria menghela napas panjang sebelum berkata, “Kira, enggak semua orang berpikir begitu—”
“Mom berpikir begitu,” sela Akira.
“Beda pendapat, Kira. Kamu seharusnya tahu. Bagi teman-temanku, hal itu cukup… Yah, sebut saja penting.”
“Aku enggak paham kenapa penting.”
“Karena pola pikirmu itu berbeda. Akira, kamu harus belajar untuk berubah dan mengerti keadaan. Terkadang pernyataanmu itu enggak selalu bisa diterima orang-orang di sini. Terkadang pola pikirmu itu dianggap aneh, gila, dan membosankan. Menurutmu kenapa kamu dijauhi orang lain selama ini?”

Akira mengakui bila perkataan Aria mungkin ada benarnya. Tapi sampai sekarang pun, Akira belum mampu memahami pola pikir teman-teman sekolahnya. Tinggal bersama Mom di LA membuat Akira bersikap lebih mandiri dan lebih dewasa. Bahkan Akira saja masih belum memahami isi pikiran kakaknya sendiri yang berubah mood.

Akira meletakkan pulpen di depannya, selesai merangkum tiga materi awal pelajaran Kimia.

Lebih baik aku belajar Biologi untuk UAS daripada memikirkan hal yang enggak penting lagi, pikirnya.

Cerpen Karangan: Kir Vanessa
Khayalan 1 (Ini Baru Permulaan)

Khayalan 1 (Ini Baru Permulaan)

Judul Cerpen Khayalan 1 (Ini Baru Permulaan)

Teruntuk dirimu yang tak kuketahui, Kamu yang saat ini entah berada di mana, Kamu yang saat ini entah sedang jatuh cinta dengan orang yang Kamu kagumi, Kamu, yang Aku harap kita bertemu di waktu yang tepat, waktu ketika kita memutuskan tuk saling memberi kepercayaan satu sama lain dan lebih dari semua itu. Aku harap, Kamu bukanlah orang yang sangat asing bagiku, bukanlah orang yang tiba-tiba datang dalam hidupku, tidak, Aku tidak bermaksud enggan tuk menjemputmu, tapi Aku hanya berharap agar Kamu adalah orang yang Aku kenal sebelumnya, terlepas kita telah lama saling mengenal atau tidak, Aku harap, pertemuan kita bukanlah pertemuan yang ‘tiba-tiba’.

Stasiun Pasar Turi, Surabaya
Dalam lamunanku, melintas pria paruh baya yang tengah sibuk membawa barang yang diamanahkan kepadanya, besarnya ukuran koper tak memengaruhi langkahnya, ada satu koper yang mencolok, sebuah koper besar berwarna merah dengan sebuah garis hitam yang melintang dengan ukuran sekitar 15 cm, namun dengan mudahnya dibawa oleh bapak itu. “Ah paling isinya bukan barang penting” ucapku mendahului pikiran. Mataku sesekali melirik jam tangan yang kugenggam, ya, jam hitam digital dengan tampilan yang sangat sederhana. Jam itu memang sengaja tak kukenakan di pergelangan tangan, Aku lebih suka meletakkannya di saku kiri karena entah mengapa Aku memang tak menyenangi adanya asesoris pada tubuhku, walaupun itu hanya sebuah jam.

06.45, telah 15 menit Aku terduduk diam menyisakan kantuk yang tersisa selama di kereta. Aku bukanlah orang yang nyaman tidur dalam kendaraan, jadi Aku memang tak begitu menikmati serunya tidur dalam selongsong besi yang berisi puluhan orang itu, sekalipun itu Argo Anggrek Malam.

Zzzz zzzz zzzz
Kurasakan sebuah getaran dari saku celana bagian kanan, ah semoga saja itu pertandanya.
“Aku udah di luar nih, sorry lama” tujuh kata singkat yang mengisyratkanku tuk beranjak dari nyamannya kursi tunggu di stasiun ini.
Dalam kondisi yang lumayan lapar, Aku beranjak keluar, menuju suatu tempat yang sama sekali tidak kuketahui bagaimana kondisinya.

Hari mulai beranjak pagi, sang matahari pun telah menampakkan jati dirinya secara utuh, jalan raya dengan densitas yang lumayan rendah menyambut Aku yang untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di kota ini, hampir tak dapat kukenali siapapun kecuali sesosok…

“Maaf, permisi mbak…” ucapku ramah sambil mengetuk telunjukku pelan ke pundaknya, tak bermaksud menyentuhnya secara langsung, Aku hanya ingin ia segara memutar badannya.
“Iya, ada apa ya mas?” jantungku berdetak hebat, Aku salah orang! Bodoh! Beruntung, senyumnya yang tulus cukup menghilangkan kepanikanku, ingin rasanya Aku pergi sejauh-jauhnya sesegera mungkin, sial, betapa malunya momen ini.
“Aduh maaf mbak, Saya salah orang hehe” dengan senyum yang rada kupaksakan ku membalas sapaan yang ramah itu, bukan karena Aku pelit senyuman, tapi Kau tau, momen ini benar-benar menggelikan, Aku justru ingin tertawa karena tindakanku ini haha XD.

Aku masih tak habis pikir, mengapa aku begitu ceroboh? Dari sekian banyak orang asing yang sengaja kutemui, ini pertama kalinya aku melakukan sebuah kesalahan, kenapa naluri diriku hari ini bisa salah ya? Apakah ini sebuah pertanda lagi? Ah jangan, Aku terlalu banyak menganggap kejadian tak terduga sebagai pertanda, itu tidak baik bagi diriku.

“Ehem, nyari siapa hayo?” suara itu mengalir dari bagian belakang, tak asing nampaknya.
“Ckck kamu ke mana aja” ujarku agak sebal, namun Aku juga tak dapat menyembunyikan rasa gembira ini, akhirnya Aku dapat bertemu dirinya.
Dirinya? Siapakah gerangan?

Sabtu, 9 November 2013
Hari ini adalah hari kedua Pesta Sains Nasional yang diselenggarakan FMIPA IPB, aku bersama beberapa rekanku tidak lolos ke babak selanjutnya, Aku sih tak mempermasalahkannya, karena Aku mengikuti ajang ini hanya sebagai “lahan” untuk menggali lebih dalam berbagai pengalaman yang bisa didapat di masa SMA.

Bersama Alif, Yosua dan Adit kami menikmati acara yang dihadiri ribuan orang ini, sama seperti diriku, mereka pun tak lolos, tapi ku bisa merasakan tampaknya mereka juga tak begitu mempermasalahkannya.

Sambil menunggu para pemenang menerima hadiah yang sore nanti akan diberikan, kami, ribuan orang yang memenuhi Graha Widya Wisuda atau yang biasa dipanggil GWW, dihibur dengan acara yang menarik, malah menurutku gokil haha. Kami diminta untuk bergoyang Caesar, ya, ribuan orang, tapi itu bagi yang mau sih haha. Lalu, beberapa panitia mengambil beberapa orang yang dinilai cukup gokil untuk diminta maju ke panggung, singkat cerita mereka diminta mempraktikannya segokil-gokilnya, Aku tak bisa berhenti tertawa melihatnya, oh panitia, idemu begitu cemerlang tuk mengguncang perut kami.

Dalam kecerian itu, waktu tetaplah egois, ia tak bisa dihentikan, perlahan tapi pasti acara pun akan berakhir, ketika acara mulai mendekati akhirnya, maskot PSN pun berkeliling, Rupes namanya, sebuah akronim yang cukup menarik, Rusa Pesta Sains, ia berfoto dengan siapapun yang ingin berfoto dengannya *yaiyalah*.

“Eh lif, kita foto bareng yuk, jarang-jarang tuh” ajakku kepada rekan di sebelahku.
“Ah enggak ah, males” jawabnya ketus, namun tak membuatku patah semangat tuk mengajaknya kembali.
“Yah, kapan lagi bisa foto, jarang-jarang anak SMA kita bisa foto” pintaku lagi berharap ia mengiyakan ajakanku yang kedua.
“Yaelah, kalo lo mau foto ya foto aja, nanti gue fotoin” jawabnya yang mebuatku cukup kecewa.
“Ya bareng-bareng lah, bareng Yosua sama Adit” balasku.
“Ya udah lo ajak tuh mereka” ucap ia singkat.
“Yos, kita foto yuk ke depan?” ajakku ke Yosua.
“Hah? Ke depan? Males ah dik” balas ia sambil mengamati Rupes yang diperebutkan orang-orang.
“Dit, foto yuk” pintaku lagi ke rekan terakhir yang satu-satunya kuharapkan jawaban iya darinya.
“Yang lain mau ikut nggak?” tanya ia balik.
“Pada nggak mau nih” balasku singkat.
“Ya udah lo aja” jawabnya lebih singkat.

Yaps, sesuai ekspektasi, Aku pasti nggak bisa berfoto dengan Rupes, bisa sih sendiri, tapi kan malu. Akhirnya, Aku mengubur harapanku tuk berfoto, berbeda dengan para perempuan di bagian depan, mereka begitu bersemangat dan antusias ingin berfoto dengannya, dan itulah momen pertamaku melihatnya, sesosok gadis dengan jilbab putih.

Hari ini 19 Mei 2021, tepat jatuh pada hari Rabu, sebuah hari yang mungkin akan Aku ingat selamanya sebagai momen pertemuan pertemuanku dengan ******.

-Bersambung-

Selasa, 12 April 2016

Cerpen Karangan: Didik Setiawan
Facebook: facebook.com/didik.setiawan.id
Misteri Suara Tangisan Di Tengah Danau

Misteri Suara Tangisan Di Tengah Danau

Judul Cerpen Misteri Suara Tangisan Di Tengah Danau

Danau di dekat rumah Dony terkenal angker. Banyak orang tak berani ke danau itu. Karena, dulu ada seorang gadis kecil yang tenggelam di danau itu saat menaiki perahu dan mayatnya belum ditemukan sampai sekarang. Kerap terdengar suara tangisan, dan suara tertawa.

Suatu sore pada pukul 16.00, Dony akan sepedaan bersama 2 temannya yang bernama Sasya dan Anton. “Yuk berangkat!” “Ayuk!!!” mereka bersepeda keliling kampung. 3 teman itu sempat melewati dan beristirahat di danau angker itu.

“Eh kita kok jadi istirahat di sini ya?” Sasya ketakutan. “Eh gak papa kali, emang ada apa?” tanya Anton, sok pemberani. “Kamu gak tau, Ton? Danau ini tuh angker!!!” jelas Sasya panik. “Halah ini tu masih sore, ngapain takut? Kalau ada hantunya kita tinggal pergi” kata Anton santai. Sedangkan, Dony hanya diam saja melihat perdebatan Sasya dan Anton.

Tiba tiba, mereka mendengar suara tangisan. “huhuhuhu, tolong akuuu… huhuhu” mereka bertiga bergidik ngeri. “kalian denger gak?” “De.. denger!!” Lalu, Sasya dan Anton pun siap siap mengayuh sepeda. Sedangkan, Dony menoleh ke danau itu, ia melihat seorang gadis kecil sedang berjongkok di atas perahu dengan kulit yang pucat dan wajahnya tertutup rambut. Gadis kecil itu mengenakan gaun hitam selutut.

Malam hari, di dalam mimpi Dony, arwah gadis kecil yang tadi Dony lihat di danau, berkata kepada Dony. “Dony, tolong carikan mayatku di dalam danau dan kuburkanlah dengan layak, dengan begitu, aku tidak akan mengganggu kalian lagi dan danau itu akan menjadi danau yang indah” Dony pun terbangun. “Ini sebuah petunjuk!” gumam Dony. Dony pun tertidur kembali.

Hari Minggu…
Para warga sudah dijelaskan dan diceritakan oleh Dony tentang mimpinya semalam dan kejadiannya di danau dengan Sasya dan Anton. Dengan kerja sama, para warga pun mencari mayat gadis kecil di danau. 3 jam kemudian, mereka menemukan tulang belulang gadis cilik itu. Lalu, mengurus dan menguburkannya di makam desa itu.

“Syukurlah, sekarang kita tak perlu takut lagi untuk bermain di danau ini dan harus hati hati” pesan pak RT. Sekelibat, Dony melihat arwah gadis cilik itu tersenyum pada Dony dengan wajah yang cantik dan melambaikan tangan. Seketika arwah gadis cilik itu hilang menuju surga.

Tamat

Cerpen Karangan: Yacinta Artha Prasanti
Blog / Facebook: santi artha
Merenung Calon Walikota di Sepertiga Malam

Merenung Calon Walikota di Sepertiga Malam

Judul Cerpen Merenung Calon Walikota di Sepertiga Malam

Dua kali suara dentingan besi tiang listrik sayup-sayup terdengar di keheningan, saat dipukul oleh penjaga malam. Kokok ayam dan pekikan jangkrik pun sepi dilanda curahan hujan menghamtam atap seng rumah penduduk Jalan Gedang Kota Bengkulu.

Sesekali dari kejauhan terdengar juga teriakan orang melalui toa masjid entah itu musholah, mengajak umat muslim bangun sahur. Mungkin segelitir orang merasa terganggu mendengar suara di sepertiga malam, saat hujan mendera.

Tidak begitu menganggu yang dirasakan Cikben. Ia tampak sibuk membolakan beberapa literatur buku filsafatnya. Entah apa yang dicari dan dikajinya. Hanya saja di sisi kanan meja tampak secarik kertas kusam bertuliskan: “Sang Walikota dengan Seonggok Harga”.

Dalam keasyikan jiwa, tersentak suara bininya memanggil dari dalam bilik dengan suara serak lantang.

“Pak, kenapa belum tidur juga? Kan sudah hampir sahur ini!”
Sedikit malas menjawab, Cikben berdiri mendekati kain gordeng pembatas bilik. “Ibu tidur aja dulu, bapak masih ada yang mau dipikirkan”, katanya dengan suara sedikit berbisik dan segera kembali ke tumpukkan buku di atas meja.

Malam ini tak tampak kepulan asap rokok, harumnya aroma kopi selain setengah gelas air putih rebusan petang kemarin. Sedikit tarikan nafas, terdengar keluar dari dalam perut, pertanda badan menuntut haknya yang sejak sore belum terpenuhi selain regukan air putih.

Cikben sempat menegadah sembari menyender di kursi rotan reot peninggalan warisan orangtuanya dahulu. Dari atas bubungan rumah, tampak dua ekor cicak berlari kian kemari mengejar seekor laron yang enggan menghinggap di sambungan kayu bubungan rumah. Usaha cicak pupus, saat laron berhasil terbang keluar rumah.

Kegagalan memburu mangsa tadi rupanya tidak membuat dua cicak tadi bubar atau tidak tinggal diam. Satu cicak malah mengejar satu cicak lainnya dan mengajaknya kawin. Tentu saja pergulatan terjadi dengan sedikit keberpurak-purakan, seperti biasanya dalam bercengkrama.

“Apakah ini ilham? Lantas apakah hubungan peristiwa cicak dengan tema, “Sang Walikota dengan Seonggok Harga?” Fikir Cikben kembali membolak balik literatur bukunya. “Ah… Kenapa jadi dihubungkan dengan kisah cicak? Keluhnya dalam hati.



“Assalamu’alaikum”. Suara salam dengan ketukan pitu itu sempat membuat kaget bercampur cemas.
“Wa’alaikumsalam, siapa ya?”.

Saat diintip lewat jendela, ternyata itu salam dari seorang penjaga malam yang singgah, melihat lampu pelita di ruang tengah rumah Cikben masih benderang. Akhirnya Mang Aris nama penjaga malam itu dipersilahkan masuk. percakapan menjelang sahurpun berlanjut dengan diskusi.

Meskipun hanya seorang penjaga malam, Mang Aris mantan kader partai senior yang hingga berhenti aktifitas berpartainya, belum pernah mencalonkan diri sebagai anggota dewan. Biasalah, biaya untuk itu tidak ada. Sempat dicetuskanya kalau menjadi penjaga malam untuk keamanan masyarakat, lebih riil dan enak makan hasil upahnya tanpa tedeng aling-aling.

Cikben menjelaskan apa yang dipikirkannya malam ini, sebenarnya sudah lama membuat gusar pikirannya.

“Ada tiga yang saya belum bisa menjelaskannya Mang. Pertama, Kenapa setiap mau jadi calon walikota, kita mustilah banyak uang. Kedua Walikota seperti apa yang harus kita pilih? Terus bobot bebet bibit seperti kata orangtua dahlu masih dapat diberlakukan mang?”

Mendengar itu, Mang Aris bukannya mikir, malah dia tertawa terkekeh-kekeh hingga memecah malam dan membangun bini Cikben, yang setelah tahu tamunya itu adalah Mang Aris, ia kembali masuk bilik kembali berguling dikatilnya menanti sahur menjelang.

“Kalau saya kasih pendapat Cik… Tapi sebelumnya mohon maaf, sebenarnya itu pertanyaan untuk anak sekolah dasar, tapi harus dijawab oleh para sarjanawan. Mudah pertanyaannya, tapi sulit menjabarkannya”.
“Maksudnya?” tanya Cikben tampak bingung.

Dengan gaya mantan politisi senior, tampak Mang Aris menghisap rokok daun nipah dalam-dalam. Tentu saja saat asap di hembuskan, tampak Cikben sedikit mundur dari kursinya, takut aroma rokot daun itu membuat dirinya teler.

Dengan gaya diplomasi politisi ala orang susah, Mang Aris mencoba menjelaskan sesuai apa yang diketahuinya dalam politik dan berdemokrasi.
“Uang dalam politik itu kenyataan yang sulit untuk ditapik. Uang penting untuk penggugah rasa. Kalau uang dalam berdemokrasi itu tidak nyata. Uang hanya dijadikan untuk cipta. Pertanyaannya, di manakah karsa? Jawabnya bila demokrasi dalam politik itu sepakat dan sejalan, maka di situlah karsa ada”.

Teranguk-anguk dan hanya sekali mengelengkan kepala Cikben mendengar Mang Aris berbicara.

“Yang kedua tadi apa?” tanyanya.
“Soal sosok walikota seperti apa yang baiknya kita pilih Mang?”
“Oo itu…”. Mang Aris tampak diam sejenak sembari menatap rokok daun nipahnya yang mulai memendek. Sedikit menghela nafas Mang Aris berasal dari kota Tangerang Banten itu menuangkan segelas air yang ada dalam ceret di atas meja.

Walikota itu jelas Mang Aris, merupakan pemimpin di pemerintahan kota, sekaligus pengurus negeri. Mau jadi pemimpin itu ada syarat dan katagorinya kalau zaman dahulu.

“Pertanyaannya, bagaimana mau menjadi pemimpin masyarakat banyak, sementara di kantor kecil saja kita tidak bisa. Di keluarga saja kita tidak bisa memimpin anak bini? Ha ha ha ha…”.
“Aih… Mamang bisa saja. Kalau begitu, cari pemimpinnya perempuan saja hik hik hik…”, canda Cikben yang tak dihiraukan mantan kader Parpol itu.
“Kalau saya punya pendapat Cik, mungkin Cik sependapat, carilah walikota atau pemimpin itu sosok yang punya kharismatik. Kata seorang penyair, carilah seperti tukang mandikan kuda. Tukangnya lebih dahulu masuk air baru kudanya”.
“Maksudnya?”
“Udah dulu Cik, besok kita sambung lagi. Aku mau ke pos ronda dulu, dah kelamaan ninggalin pos”, kata Mang Aris berdiri pamit pergi.

Usai pamitnya mantan kader partai yang kini memilih menjadi penjaga malam itu, Cikben kembali berkutat dengan bukunya, mencari sosok idial Sang Walikota.

Pada halaman tengah lembar buku, Cik tampak berhenti sesaat, saat membaca tulisan: “Kita sadar tidak mungkin kita dapat pemimpin yang ideal, sempurna, karena kesempurnaan terletak pada kekurangannya”.
Sementara di bawah tulisan disebutkan, kalau pribadi laku pemimpin ibarat photokopi ibu bapaknya. “Rebung tidak jauh tumbuh dari bambu. Kalau induk kurik, besar kemungkinan anak rintik. Tidak mungkin kayu bengkok memunculkan banyangan lurus”.

Suara teriakan saatnya sahur kian bertambah ramai. Sementara gundah hati dan pikiran belum juga usai. Hingga akhirnya teringat kajian Ulama besar Buya Hamka dahulu.

Teringat kisah seseorang miskin bernama Thalut. Dia dipilih menjadi pemimpin bukan karena banyak hartanya, tapi karena berfikir luas, sehat badannya, luas pula ilmunya.

“Pak… Sudah pukul berapa sekarang?” panggil bininya dari bilik.
“Dah hampir setengah empat”.
Terdengar suara katil berdenyit. Rupanya bini Cik kaget, karena dia belum menyiapkan santapan sayur.
“Waduh… aku lupa menanak nasi”, teriaknya sambil bergegas menuju dapur. Cikben tidak begit menghirakan kelhan bininya. Ia tampak terus saja membaca kisah tiga raja, zaman Raja Bani Umayah.

Disebutkan pertama Raja Sulaiman bin Abdul Malik. Raja kaya suka sekali makan. Segala macam makanan dibawa ke istana. Akibatnya masyarakat juga terpengaruh akan tabiat raja. Raja Sulaiman akhirnya mati karena kekenyangan.

Kedua, Raja Hisam bin Abdul Malik. Sosok Raja yang suka gonta- ganti model pakaian. Dalam satu hari, Raja bisa 4 hingga 5 kali sehari berganti model pakaian. Selanjutnya raja Umar bin Abdul Aziis. Ini sosok Raja yang sederhana, tidak memikirkan harta.

Di akhir kisah, hidup ketiga pemimpin ini membahkan hasil bagi ketrnannya. Setelah tidak berkuasa lagi, mati, keturunan dua raja di atas tampak jadi orang miskin. Menjadi peminta-minta dan memberikan aib bagi keluarganya. Sedangkan keturunan Umar sibuk membagi bagikan zakat, menymbangkan hartanya ke masyarakat fakir miskin. Karena umar meninggalkan ilmu ke anaknya dan pembelajaran bagi masyarakatnya.

“Inikah barangkali disebut kalau induk kurik, besar kemungkinan anak rintik” renung Cikben yang akhirnya tersentak menutup bukunya, saat santapan sahur usai tersedia di paparan tikar pandan di atas lantai tanah.
“Berhentilah pak, kita sahur dulu”, ajak bininya.

Cerpen Karangan: Benny Hakim Benardie
Blog / Facebook: benny hakim benardie
Suci, Hidup Tak Selayak Nama

Suci, Hidup Tak Selayak Nama

Judul Cerpen Suci, Hidup Tak Selayak Nama

Suci namanya. Seorang gadis mungil berparas ayu, berusia 23 tahun. Ia telah hidup sebatang kara di ibu kota sejak usianya baru menginjak 18 tahun. Hidupnya berubah semenjak kepergian kedua orangtua tercinta untuk selamanya saat Suci baru lulus sekolah menengah atas. Ayah dan ibunya meninggal dunia dalam sebuah tragedi kecelakaan beruntun di jalur puncak Bogor sepulang mereka berlibur. Ya, semua berubah. Tawa dan keceriaannya lenyap. Langit biru berubah menjadi kelabu. Cahaya terang telah sirna ditelan kegelapan. Suci berada dalam sepi dan kesendirian.

Suci seorang anak tunggal berdarah Sulawesi. Ayah dan ibunya berasal dari kota Buton dan Kendari. Beberapa kerabat dari pihak ayah dan ibunya tinggal tersebar di kota kecil bagian negara Indonesia timur itu dan telah lama tidak berkomunikasi. Kakek dan neneknya pun semua telah tiada. Suci hanya pernah sekali pulang ke kampung halaman saat ia masih kecil. Hingga Suci lupa bagaimana rupa kampung halamannya sekarang.

Suci bukanlah anak orang kaya, tapi bukan pula terlahir dari keluarga miskin. Ayahnya mewariskan sebuah perusahaan konveksi yang sudah lebih dari 25 tahun berjalan. Namun sayang, Suci tidak siap melanjutkan usaha sang ayah di usianya yang masih remaja. Ia belum mengerti tentang bisnis. Selama 2 tahun, Suci berusaha semampunya menjalankan usaha peninggalan sang ayah namun hasil yang ia dapatkan jauh dari kata memuaskan. Sebenarnya ia tidak serta merta sendirian menjalankan perusahaan. Rudi, yang sejak lama menjadi kepercayaan ayahnya yang membantunya.

Semua tidak berjalan mulus sesuai harapan. Suci yang awam tentang bisnis harus pasrah saat usaha sang ayah yang dahulu susah payah dibangun harus gulung tikar karena terlilit hutang menggunung. Suci tidak tahu jika sang ayah memiliki hutang hingga ratusan juta kepada pihak bank dan beberapa rekan bisnisnya.

Jalan hidup seseorang memang tidak ada yang tahu dan tidak bisa ditebak. Saat itulah ia harus rela menjadi gelandangan dan terusir dari rumahnya sendiri. Hidup memang kejam dan Suci melewatinya dengan penuh tetes air mata. Ia terjatuh dan berada di titik terendah. Hingga seseorang datang menyelamatkan hidupnya. Saat itu Suci berjanji, bahwa pria itulah yang akan Suci jadikan tempat bersandar. Tempat yang ia tuju untuk pulang. Apalagi pria itu menjanjikan cinta dan kebahagiaan. Suci rela menyerahkan apa pun yang ia miliki dalam hidupnya. Untuk dia..

Suci baru saja memejamkan mata saat ponselnya yang tergeletak di atas laci berdering. Seharian sibuk mengurus bisnis kuenya yang baru Suci rintis begitu melelahkan harinya. Suci ingin segera beristirahat, namun suara meraung-raung itu membuat Suci kembali terjaga. Suci menghela nafasnya lalu meraih ponsel. Nama Bagas tertera di layar. Suci tak siap berbicara dengan pria itu, namun akal dan pikirannya tak sejalan.
“halo..” cicitnya pelan mengangkat panggilan.
“aku di depan rumah.” Jawab pria itu dari seberang sana.
Klik!
Suci mematikan sambungan telepon sepihak lalu turun dari ranjang.

Dengan tekad kuat mempersiapkan diri dari resiko sakit hati, ia mau menemui pria itu setelah sudah cukup lama menghindarinya. Dirasa pakaian yang ia pakai cukup sopan, piyama tidur berlengan panjang, Suci keluar kamar. Menuju pintu pagar rumah yang terkunci, di sana Suci melihat penampakan pria itu menunggunya dengan sabar dibalik jeruji.

Suci diam menundukan wajahnya saat membuka gembok. Tak ingin berlama-lama beradu pandang dengan Bagas meski ia tahu jika Bagas tengah menatapnya lekat. Dan Suci tidak ingin Bagas tahu, jika detak jantungnya berdetak sangat hebat di dalam rongga dadanya saat kembali berhadapan langsung dengan pria itu.
“masuk!” ujarnya pelan setelah pintu pagar terbuka.

Suci berjalan lebih dulu ke dalam rumah meninggalkan Bagas yang harus memarkir mobil dan menutup pintu pagarnya. Suci tak peduli, Bagas bisa melakukannya sendiri. Lalu Suci duduk di sofa ruang tamu menunggu Bagas masuk. Tak sampai 2 menit, pria itu sudah muncul berdiri di hadapannya, menatap Suci tanpa berkedip.

“kembalilah pulang bersamaku, Suci!” ujar Bagas langsung sesaat setelah beberapa detik Bagas terdiam hanya memandangi Suci.
Suci bergeming memalingkan wajah. Melihat penampakan Bagas ia kembali merasa terluka. Tak ada niat menjawab atau sekedar berbasa-basi mempersilakan Bagas untuk duduk. Suci tak peduli itu. Jika ingin, Bagas bisa duduk sendiri. Suci kembali memasang wajah paling dingin di hadapan Bagas. Ini mutlak hak seseorang yang sedang diliputi kekecewaan mendalam. Ia bebas ingin bersikap seperti apa.

“aku mohon pulanglah, sayang. Aku tidak sanggup harus terus berjauhan seperti ini. Tiga bulan cukup untuk kita memikirkan semuanya dan mencari jalan terbaik.” Pria berusia 35 tahun itu duduk di samping Suci. Berusaha meraih tangan wanita itu namun Suci dengan cepat menepisnya.

Wanita? Ya, Suci tak lagi menjadi seorang gadis. Ia sudah menyerahkan segala yang ia miliki pada Bagas. Sejak mengenal Bagas, ia kehilangan kesuciannya, kehormatannya dan kini ia juga sudah kehilangan jati dirinya.

“sayang, kamu dengar aku kan?” suara Bagas begitu lembut dan merdu. Suci membencinya. Karena kelembutan itulah ia menjadi hilang akal sehat.
“Aku ingin kita bicara, Suci. Aku mohon jangan terus menghindariku.” Bagas masih berusaha mengajak Suci berbicara.

Tiga bulan lamanya Suci mengisolasi diri dari hidup Bagas. Hal itu membuat Bagas menderita. Kerinduan pada Suci terasa mencekik lehernya hingga Bagas tak sanggup menunggu lebih lama lagi. Ia bersikeras menemui Suci. Bagi Bagas, tiga bulan waktu yang cukup untuk masing-masing menenangkan diri dari kekacauan hati yang terjadi. Bagas berharap keputusan terbaik akan ia dapatkan malam ini. Suci kembali bersamanya.

“kenapa kamu nekat datang kemari? Bukankah semua sudah cukup dan jelas buat kita, mas? Apa kamu tidak membaca pesan yang aku kirim? Kita berpisah, itu adalah keputusan mutlak. Sekarang pulanglah, mas! Tolong tinggalkan aku sendiri!” suara Suci bergetar mengucapkan kalimat itu.
Kalimat perpisahan yang begitu menyesakkan dadanya. Kalimat yang tak pernah ingin ia ucapkan namun kenyataan memaksa Suci harus mengatakannya. Tersiksa sangat jelas. Suci teramat mencintai Bagas dan berpisah adalah kesedihan tak berkesudahan untuknya.
Namun Suci bisa apa? Mempertahankan Bagas agar tetap di sisinya? Rasanya itu tidak mungkin. Siapa dirinya untuk Bagas? Bukan pelabuhan terakhir dan hanya dijadikan Bagas persinggahan sementara. Ia hanya kebahagiaan semu sebagai pemuas nafsu sesaat Bagas. Kenyataan pahit yang mengiris hati Suci. Tetap bertahan di sisi Bagas membuat hatinya sudah tak kuat lagi menahan segala kesakitan. Menyesal, Suci tidak memikirkan resiko ini sedari awal.

“tidak akan Suci, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku sangat mencintaimu. Aku merindukanmu, sayang, aku mohon kembalilah!” Bagas menggeleng, menarik paksa tubuh kurus Suci ke dalam pelukannya.
Permohonan berpisah Suci adalah hal yang tidak ingin Bagas dengar dari mulut wanita yang sudah merampas sebagian hati dan jiwanya itu. Ya, hanya sebagian. Karena ada wanita lain yang juga memiliki hati dan jiwanya. Bagas tidak bisa menakarnya. Berapa besar cinta dan kasih sayangnya untuk Suci dan berapa besar untuk yang lainnya.

“Suci…” lirih Bagas dengan tatapan penuh kerinduan mendalam.
Suci terdiam, tidak menolak maupun membalas pelukan Bagas. Di dalam dekapan hangat itu, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya luruh sudah. Mendengar pernyataan cinta dan kerinduan Bagas membuat pertahanannya runtuh. Ia juga merasakan hal yang sama, andai ia bisa mengatakan itu pada Bagas sekarang. Suci ingin Bagas tahu betapa ia juga sangat mencintai pria itu. Tapi Suci sadar siapa dirinya dan bagaimana kedudukannya di dalam hidup Bagas. Suci tidak ingin egois walau nyatanya ia sudah lebih dari egois selama ini. Ia adalah wanita yang jahat.

“Suci, aku merindukan hari-hari indah yang telah kita lewati bersama, sayang. Aku sangat merindukan dirimu.” Bagas semakin erat mendekap Suci.
Berulang kali Bagas mengecup puncak kepala Suci dan mengelus lembut punggungnya. Menghirup sepuasnya feromon Suci yang begitu Bagas rindukan. Bagas memejamkan mata diiringi lelehan bulir bening yang tanpa permisi turun membasahi pipi tirus pria itu. Dasar pria cengeng!

Suci semakin terisak di dada Bagas. Kedua tangannya kini balas memeluk punggung kokoh itu. Punggung liat yang selama 3 tahun ia jadikan sandaran dikala gundah datang.
“Bagas… hiks!” isaknya pilu. Suci semakin erat memeluk Bagas, pria yang selalu melingkupinya memberikan kehangatan dan perlindungan.

Lihat! Ia begitu lemah dan egois bukan? Sekuat tenaga Suci bertahan untuk tak beramah tamah dengan Bagas namun akhirnya Suci menyerah. Suci menikmati kehangatan Bagas yang seketika mengaliri di setiap desir darahnya.
Ya, Suci memang egois. Itu sifatnya manusia. Meski terlarang untuknya, ia tetap menyalurkan kerinduannya yang sudah seperti mau meledak kepada Bagas. Pria yang Suci cintai namun tak mungkin ia miliki. Bagas milik orang lain.

Bagas mengusap lembut rambut hitam panjang Suci. Sentuhan Bagas menjadi obat penenang Suci dari kekacauan hatinya saat ini. Bagas merasakan hal yang sama. Tak hanya itu, keberadaan Suci di dekatnya mampu mengembalikan gairah hidup Bagas. Sulit Bagas ungkapkan rasa yang membuncah di dadanya. Bahagia tak terkira ketika wujud Suci berada di sisinya setelah tiga bulan Suci jauh dari jangkauan.

“pulanglah, sayang!“ bujuk Bagas mengurai pelukan. Bagas menatap dalam mata bulat beriris hitam milik Suci penuh kerinduan.
Bagas ingin Suci kembali berada di dekatnya. Meski tidak hidup satu atap setiap waktu karena Bagas harus berbagi perhatian untuk dua wanita sekaligus, Bagas ingin dan sangat bahagia jika Suci tinggal di salah satu properti miliknya. Sebuah rumah di kawasan elit yang sudah ia berikan ikhlas untuk Suci. Rumah yang sudah tercatat atas nama wanita itu, beserta segala fasilitas mewahnya, juga rekening berisi 9 digit. Entah alasan apa yang membuat Bagas rela mengorbankan banyak materi untuk Suci. Ini murni tanpa paksaan. Ia menyayangi Suci dan apa pun akan ia berikan untuk wanita itu meski Suci lebih sering menolak pemberiannya.

Suci menyeka air matanya dengan punggung tangan. Bagas membantunya. Suci menatap Bagas yang juga tengah tersenyum menatapnya. Detik selanjutnya Suci menyadari kesalahannya dimana ia sudah terang-terangan menikmati sentuhan, kehangatan dan kelembutan Bagas. Lagi. Padahal ia sudah berjanji tidak akan mengulangi kesalahan fatal itu.

“aku tidak bisa!” tolak Suci. Wanita itu kembali memasang wajah dingin. Ia akan tetap pada keputusannya, yaitu berpisah.
“Suci..” Bagas menatap Suci penuh permohonan.
“mas! Semuanya sudah berakhir!” tolak Suci penuh ketegasan. Suci tidak ingin terlihat lemah dan rapuh di hadapan Bagas. Ia tidak ingin Bagas tahu bahwa bukan itu sebenarnya yang ia inginkan.

Suci menatap mata hazel nan indah milik Bagas. Meneliti setiap jengkal keindahan rupa Bagas yang ia gilai selama ini. Tuhan.. mungkin ini akan menjadi yang terakhir kalinya bagi Suci menatap mata itu. Air mata Suci kembali berlinang melihat rupa Bagas sekarang yang terlihat jauh dari kata baik-baik saja. Kantung mata itu jelas memperlihatkan kualitas tidur Bagas yang buruk. Pipi tembamnya tirus dan bulu-bulu halus itu dibiarkan tumbuh liar menghiasi wajah Bagas. Apa Bagas lebih kacau dari pada dirinya? Suci tidak tahu.

“aku tahu aku salah dan aku minta maaf atas apa yang sudah terjadi. Izinkan aku untuk memperbaiki semuanya, Suci.” Ujar Bagas bersungguh-sungguh.
Suci memalingkan wajah tak sanggup menatap mata sendu Bagas lagi. Suci tak ingin kembali terbuai dengan keindahan semu yang tak sepantasnya ia miliki. Dan Bagas tidak semudah itu menyerah. Kedua tangan pria itu sudah lebih dulu menangkup wajah Suci agar tetap menatapnya. Dan menatap mata Bagas adalah kelemahan Suci. Bagas yang pandai.

“semua tidak akan bisa diperbaiki semudah yang kamu ucapkan, mas. Tidak! Karena janji suci kamu pada Luna sudah ternoda dan akulah penyebabnya. Dan sikap mas padaku malam itu memperlihatkan segalanya. Siapa aku sebenarnya dalam hidupmu dan bagaimana kedudukan aku di hatimu, mas. Aku sadar siapa diriku dan aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi.. hiks!” bergetar Suci berkata diiringi lelehan air mata.
Suci kembali terisak. Kalimatnya tersendat. Sesak di dadanya tak kunjung enyah. Dan Suci benci air matanya yang tanpa permisi kembali mengalir di pipi mulusnya.

“Suci, dengar! Maafkan aku atas semua sikap ku pada mu malam itu. Aku tahu ini menyakitkan untukmu tapi itu semua bukan kemauanku.” Bagas mencoba menjelaskan dan berusaha menyatukan kening mereka. Suci dengan cepat menggelengkan kepala.
“Jika kamu memang mencintaiku, seharusnya kamu bisa lebih menghargai perasaanku. Aku tahu Luna istri mas. Tapi bisakah kamu menjaga sikap mas untuk menghargai perasaanku sebentar saja? Dengan tidak menunjukkan kemesraan-kemesraan kalian itu tepat di depan mataku, mas!” teriak Suci frustasi. Ia melepas paksa tangan Bagas dari wajahnya.

Suci kembali marah teringat sikap Bagas yang terang-terangan memperlihatkan kemesraan bersama Luna istrinya, di depan mata kepalanya sendiri. Tak sengaja malam itu, ia bertemu Bagas dan istrinya di sebuah acara makan malam pesta pernikahan teman Bagas. Suci datang sendiri karena Temmy, temannya berhalangan hadir. Sedang Bagas menggandeng mesra Luna dan memperkenalkan Luna kepada khalayak ramai bahwa wanita cantik itu adalah nyonya Pradipta.
Suci bisa apa? Ia sadar dirinya bukan siapa-siapa tak lebih dari hanya seorang wanita simpanan. Ia tak sebanding dengan Luna. Wanita itu begitu cantik dan anggun dengan segala kelebihan yang tak dimiliki Suci. Suci merasa dirinya tertinggal sangat jauh dan tak layak jika harus dibandingkan dengan wanita berkulit putih bersih dan berambut coklat itu.

Malam itu, dengan menahan segala sesak di dada, Suci sangat puas ketika dirinya diharuskan berakting menjadi orang asing di hadapan Bagas. Tak hanya itu, ia harus muak menonton setiap adegan kemesraan Luna bersama Bagas. Apa ada hak ia untuk marah? Seorang wanita simpanan yang hanya memanfaatkan kekayaan dan segala perhatian Bagas untuk kelangsungan hidupnya. Namun sekali lagi, ia Suci yang egois. Seharusnya sebagai pemeran tokoh antagonis, tak sepantasnya ia merasa paling teraniaya.

“Aku minta maaf.” Bagas berusaha meraih tangan Suci lagi. Bagas merasa sangat bersalah. Terlebih tak lama setelah malam itu, perselingkuhannya bersama Suci terbongkar. Luna mengetahuinya saat tak sengaja melihat Bagas tengah bersama-sama Suci di sebuah restoran mewah.
“posisiku sangat sulit malam itu. Aku mohon mengertilah keadaanku, sayang.” Bagas tak mau menyerah meyakinkan Suci. Dasar perayu ulung! Suci mencibirnya.
“huh! kamu sudah tahu ini sulit, tapi kenapa masih mau bersikap bodoh sekarang? Apa yang kamu pikirkan, mas?” tanya Suci geram.
“karena aku yakin, aku bisa memperbaikinya.” jawab Bagas cepat.
“memperbaiki apa? setelah semuanya hancur?? Pernikahanmu? Perasaan Luna? Perasaanku? Keluargamu? Keluarga Luna lalu aku? Apa kamu memikirkan semua itu, mas?!” tanya Suci emosi. Dadanya kembang kempis menahan luapan amarah yang sejak lama ia tahan dan ingin sekali meledak.

Bagas terdiam memikirkan pertanyaan Suci. Semua memang sudah tak seindah dan sebaik dulu. Benarkah semua kebahagiaan yang ia bangun telah hancur? Teringat senyum dan tawa Luna telah berubah menjadi air mata karenanya. Karena keegoisannya. Janji suci pernikahannya bersama Luna pun kini telah ternodai oleh pengkhianatannya. Impian dan harapannya bersama Luna perlahan telah kandas terkikis perselingkuhan busuknya.

Bagas lalu menatap Suci di hadapanya. Wajah cantik dan polos itu tak lagi tersenyum. Penderitaan wanita itu hanya sesaat pergi dari hidupnya justru kehadirannya menambah derita yang lain. Mata indah itu terus menerus mengeluarkan air mata kesakitan karenanya. Kebahagiaan, tawa, cinta dan kasih sayang yang ia berikan dan ia janjikan untuk Suci selama ini ternyata hanya fatamorgana. Hanya bayang-bayang semu. Pada kenyataannya, derita dan luka yang ia berikan untuk wanita penuh kelembutan itu. Derita tak berkesudahan.

“jawab mas! Jawab!” Suci mengguncang lengan Bagas. Bagas kembali terseret ke dunia nyata.
“aku tahu Suci, tapi lihatlah semuanya telah terjadi. Lalu apa aku harus menyalahkan takdir? Kenapa takdir mempertemukan kita? Kenapa aku harus jatuh cinta padamu teramat dalam padahal aku tahu aku sudah memiliki Luna? Kenapa pula kamu juga harus jatuh cinta padaku dan kita nekat menjalani kisah terlarang ini?” Bagas menatap Suci lekat. Dadanya bergemuruh menahan segala rasa.
“apa aku harus menyalahkan takdir?” tanya Bagas lagi. Tangannya mengepal di pangkuannya. Kini giliran Suci yang terdiam. Mencerna semua yang sudah ia lalui.

Apa ia harus menyalahkan takdir? Tidak! Ini murni kesalahannya bersama Bagas. Ia yang sudah terbuai oleh kebaikan dan segala perhatian Bagas. Pesona Bagas dan lemahnya keimanan Suci yang sudah menyeretnya terjerumus pada jurang kenistaan. Kebahagiaan dan kenikmatan sesaat yang sarat dengan lumuran dosa.

Bagas memang pria baik hati, awalnya. Bagas menolongnya saat Suci tengah terlantar serta terlilit hutang ratusan juta. Bagas yang menolongnya saat Suci terusir dari rumahnya sendiri dan hidup menjadi gelandangan. Ternyata hal itu tak berarti sebuah ketulusan. Bagas menginginkan Suci sebagai penggantinya.
Dan pilihan Suci sangat tidak tepat menjadikan Bagas sebagai tempat yang ia tuju dan bergantung setelah ia tak memiliki siapa pun. Bagas sudah memiliki Luna dan Suci mengelak dari kenyataan itu sedari awal. Memanfaatkan kebaikan Bagas ternyata menjadi bom waktu untuk Suci yang sewaktu-waktu akan meledak menghancurkan dirinya. Sekarang terimalah resiko pahit itu. Malaikat penolongnya justru menjadi sumber kesakitannya sekarang. Ternyata Suci salah. Bukan harta dan kemewahan yang ia inginkan dari Bagas. Tapi memiliki Bagas seutuhnya. Ia mencintai pria itu.

“Mas, aku mohon kita akhiri semua ini sekarang. Jangan mempersulit keadaan. Aku tidak ingin menyakiti Luna lebih dalam lagi. Aku sudah menghancurkan semuanya. Aku tidak pantas bersenang-senang bersama kamu sementara dilain pihak ada orang lain yang tersakiti. Seharusnya aku menyadari ini sejak awal tapi aku terlalu naif. Aku menyesal dan aku sungguh-sungguh minta maaf pada Luna. Meski aku tahu, seribu kata maaf pun tidak akan mengembalikan apa yang sudah aku rebut darinya. Perhatian kamu, kasih sayang dan cintamu, limpahan materi juga berbagi tubuhmu, mas. Hiks!” ujar Suci tak kuasa menahan tangisnya lagi.
“Tidak Suci. Bukan ini yang aku inginkan. Aku tidak ingin kita berpisah. Menikahlah denganku. Aku ingin memulai semuanya dari awal.”
Suci menatap Bagas tak percaya atas apa yang baru saja dikatakan pria itu. Menikah dengannya? Ini gila.
“apa mas sudah gila? Apa mas tidak memikirkan perasaan Luna?” desisnya tak percaya.
“Luna sudah memberikanku izin untuk menikahimu. Aku ingin memulai semuanya dari awal. Aku, kamu dan juga bersama Luna. Aku tidak bisa jika harus berpisah denganmu atau Luna. Aku tidak bisa memilih salah satu di antara kalian karena aku mencintai keduanya. Suci aku mohon luluskanlah keinginanku.” Jawab Bagas sungguh-sungguh. Poligami kah maksud Bagas?

Suci menggeleng keras lalu tertawa sumbang. Sungguh, ia tidak mengerti jalan pikiran Luna. Jika benar begitu, apa ada seorang istri yang rela suaminya menikahi selingkuhannya? Menikahi wanita lain yang secara fakta telah menghancurkan kebahagiannya. Suci wanita jahat. Ia perusak rumah tangga orang. Ia wanita simpanan yang menjadi benalu di kehidupan Bagas dan Luna. Suci merasa sangat terhina dan kotor. Nama yang ia sandang tak sesuai dengan kehidupanya yang berlumur dosa. Ia tak sesuci namanya. Dan ia malu jika harus bersanding bahagia bersama Bagas di atas penderitaan Luna.
Menjadi bagian hidup mereka? Suci tak punya muka berhadapan dengan keluarga Luna dan Bagas yang sudah begitu baik padanya. Mereka yang telah Suci khianati. Suci sungguh malu.
“kamu jangan konyol, mas! Maaf, aku tidak bisa. Tolong, hargai keputusanku. Aku juga berhak menentukan jalan hidupku sendiri sekarang. Dan aku berhak menolak keinginan gila kamu itu. Jika mas ingin memperbaiki semuanya, maka perbaikilah hubungan mas bersama Luna. Bukan semakin menyeretku masuk ke dalam kehidupan kalian. Aku hanya benalu. Aku wanita hina pengganggu rumah tangga mas dan Luna. Bahkan sebutan pel*cur pun terlalu baik untukku. Aku lebih dari itu.” Suci berdiri bergegas meninggalkan Bagas setelah menyampaikan keputusannya.
Dengan berurai air mata, Suci masuk ke dalam kamarnya mengurung diri. Bagas yang terus membujuknya pun tak dihiraukan. Suci ingin sendiri. Suci ingin semuanya segera berakhir. Tekadnya sudah bulat, Suci tidak ingin mengubah keputusan berpisah itu apa pun alasannya.

Semua sudah cukup baginya. Penghinaan dan segala caci maki yang ia terima. Sebutan dan gelar sebagai pel*cur dari orang-orang pun sudah ia terima dengan suka rela. Suci tersenyum miris. Sebutan itu masih terlalu baik untuknya. Suci merasa ia lebih dari seorang pel*cur. Ia wanita simpanan yang tak tahu diri. Ia sungguh hina dan jahat. Merampas milik orang lain, menikmatinya sesuka hati dan sekarang ingin memilikinya seorang diri.

Suci merenung memeluk diri sendiri dalam kesepian. Derai air mata dan segala kesedihan yang terasa mencekik lehernya ingin segera Suci akhiri. Tapi kapan? Mungkin dengan melepas Bagas, sesak dan rasa sakit di dada itu perlahan akan hilang. Dan Suci pasrah jika harus melepas Bagas dari hidupnya dan melupakan pria itu beserta segala kenangan indahnya. Ia harus siap menjalani hari-hari dengan kesepian dan seorang diri lagi.

Dalam kesendirian, Suci kembali menata masa depannya. Ia ingin pergi ke tempat yang paling jauh, yang tak ada satu pun orang mengenalnya. Suci ingin kembali memulai kisah baru. Memperbaiki segala kesalahannya di masa lalu. Ia ingin kembali menjadi Suci yang dulu walau kenyataan itu akan sulit ia wujudkan. Suci menyadari, sebuah kertas yang putih, akan tetap menjadi putih. Dan sesuatu yang telah ternoda, akan tetap ternoda. Namun Suci percaya, bahwa Tuhan maha mengampuni segala dosa-dosa umatnya. Biarkan waktu yang akan menjawabnya. Biarkan Tuhan yang akan membalas segala dosa-dosanya. Ia akan belajar dan memetik hikmah dari apa yang telah terjadi dalam hidupnya.

“Biarkan kisah terlarang kita hanya ada dalam kenangan, mas. Terima kasih atas semua yang telah engkau berikan kepadaku. Jangan risaukan aku. Ternyata, sekarang aku tak lagi sendiri. Ada malaikat kecil yang bersemayam dalam rahimku. Dia benih cinta kita berdua, mas. Dia yang akan menjadi tujuan dan penyemangat hidupku sekarang. Dialah yang akan membuat cahaya Suci tetap menyala. Biarlah aku mencintaimu dalam diam. Maafkan aku yang tanpa permisi telah masuk ke dalam hidupmu dan mengacaukan kedamaianmu. Semoga kamu selalu bahagia.”

Suci pergi ke suatu tempat dimana ia akan memulai kisah barunya. Tempat dimana Suci yakin, Bagas tidak akan menemukannya.

Suci, ketika hidup tak selayaknya nama. Suci mengerti, tak selamanya kertas kehidupan selalu putih. Pasti akan ada hitam yang menyertainya. Ia hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa. Suci, hanyalah sebuah nama yang terselip sebuah do’a yang diharapkan kedua orangtua untuknya. Ia tak sesuci namanya. Ia tak sempurna. Dan kesempurnaan hanyalah milik Tuhan-Nya.

Selesai…

Jakarta, 12 Juni 2017

Cerpen Karangan: Yosnalita
Blog / Facebook: Nalitha
Cintamu Bukan Untukmu

Cintamu Bukan Untukmu

Judul Cerpen Cintamu Bukan Untukmu

Sudah sangat lama sekali aku mengenal hamid. Dia adalah temanku sejak smp, dari dulu kami berdua memang sudah sangat dekat bahkan dia sudah sepetri saudaraku sendiri dan semanjak acara kelulusan sekolah aku dengan hamid tidak lagi bersama.

Kami meneruskan jalannya masing-masing akan tetapi komunikasi kami tidak pernah terputus, perhatian hamid yang selalu dia berikan ke aku pun tidak pernah putus, dia selalu mengingatkanku tentang hal apa saja setiap saat, dia selalu mensuportku tentang segala hal yang ingin aku capai, tapi sayangnya 1 hal yang dia tidak pernah setuju denganku kalau aku memiliki kekasih “kamu tuh harusnya inget sayang apa yang kamu impikan, apa yang kamu cita-citakan buatlah orangtuamu bangga dengan prestasi-prestasimu” itu yang selalu dia katakan

Hari berlalu begitu cepat, minggu pun telah berganti bulan, bulan telah berganti tahun perasaanku kepada hamid semakin kuat tanpa ku sadari bahwa aku telah mencintainya sejak aku smp, entah apa yang membuatku jatuh cinta pada hamid apa karena perhatian yang selalu ia berikan tapi entah aku pun tak tau banyak tentang cinta.

Di salah satu caffe yang bisa aku dan hamid makan tak sengaja aku ketemu dengan hamdi. Betapa habagianya aku bisa bertemu dengannya “aa” sapaku pada hamid “dede caktik, aa kangen banget sama kamu sayang” ucapnya memeluk tubuhku “aku juga a, kangen banget” aku membalas pelukannya dengan erat dan tiba-tiba ada seorang wanita yang menghampiri kami “yank” panggil wanita itu kepada hamid, aku bingung kenapa wanita itu memanggil hamid ‘yank’ “ini siapa a?” tanya ku “ini pacar aa de, dia calon kakak ipar kamu, cantik kan? namanya devi” ucap hamid membuatku terkejut “devi” ucap devi mengulurkan tangannya. “pacar???” ucapku bingung “iya ini pacar aa sayang” jawab hamid “maaf aku harus pergi” ucapku, hatiku hancur seketika mendengar devi adalah pacarnya hamid, orang yang selama ini aku pikir memiliki perasaan yang sama ternyata dia diam-diam meiliki seorang kekasih.

“ade kamu kenapa yank?” tanya devi “aku juga gak tau, emm aku susul dia, kamu pulang sendiri nggak apa-apa kan?” ucap hamdi “iya udah nggak apa-apa” ucap devi. hamid pun mengejarku dengan sepeda motornya.

Tak ada pilihan lain bagiku salain ke danau dimana aku selalu meluapkan segala isi hatiku di danau itu “TUHANNN kau tak adil padaku hiks hiks hiks aku yang pertama kali bertemu dengannya, aku yang mengenalnya begitu dekat harus patah hati karenanya hiks hiks sedangkan dia, yang baru mengenalnya bisa memilikin dia hiks hiks ini nggak adil tuhan nggak adil” teriakku dan menangis sejadi-jadinya perasaanku hancur rasanya sudah tak ada lagi kehidupan di hidupku.

Tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang memelukku dari belakag dan ikut menangis “maafin aa udah buat kamu nangis, kanapa nggak pernah bilang ke aa sayang” ucap hamid membalikan tubuhku sehingga aku dangannya berhadapan, aku pun hanya menundukan kepalaku “liat aa sayang, aa memang cinta sama kamu, aa sayang, aa perhatian sama kamu, tapi sebangai seorang kakak kepada adiknya” jelasnya “tapi aku cinta sama aa, aku nggak mau kehilanggan aa” ucapku “karena aa nggak mau kehilangan kamu, kalau aa jadiin kamu pacar kita nggak akan pernah tau sampai di mana hubungan itu, kita putus terus saling menjauh aa gak mau seperti itu. pacar itu pasti ada yang namanya mantan sedangkan adik, nggak ada yang namanya mantan adik” jelas hamid mencoba menjelaskan alasanya, aku pun memeluk tubuhnya dengan erat dan dia membalas pelukanku.

Di situlah aku sadar bahwa memang hubungan seperti inilah yang terbaik untukku dan hamid. Jika pacar ada mantan tapi tidak untuk adik.

Cerpen Karangan: Juniar Amalia
Blog / Facebook: Juniar Amalia putri karisma
Jari Yang Cantik

Jari Yang Cantik

Judul Cerpen Jari Yang Cantik

“Bruugghh …”
Seorang perempuan terjatuh dengan beberapa kantung kresek belanjaannya yang berserakan di tanah. Malam itu sungguh sepi hanya ada beberapa kendaraan saja yang melintas. Perempuan itu mencoba memunguti barang-barangnya kembali. Rendi yang tak sengaja melintas melihat perempuan malang itu lalu menghampiri.

“Apa boleh kubantu?” tanya Rendi pada perempuan itu sambil sedikit membungkukan badannya.
“Tentu, terima kasih,” jawab perempuan itu sambil tersenyum, “Jalanan begitu licin bila sesudah hujan … aku jadi terjatuh,” tuturnya lagi.
“Yah, apalagi jika membawa barang sebanyak ini. Mungkin aku bisa membawakannya untukmu sampai rumah?” tawar Rendi untuk menolong perempuan itu.
“Aaahh … terima kasih, aku jadi merepotkanmu,”
“Tidak apa-apa, lagian perempuan berjalan sendirian itu berbahaya,” jawab Rendi sambil tersenyum, “Oh iyah, aku Rendi siapa namamu?”
“Namaku, Purwanti,” jawabnya sambil membalas senyuman Rendi

Mereka pun berjalan sambil berbicara tentang mereka masing-masing, dengan sedikit cahaya bulan yang menyinari mereka di balik awan. Setelah mereka berjalan yang agak cukup jauh, akhirnya merekapun sampai.

“Aaaahh, akhirnya sampai juga. Kalau begitu, aku pamit,” ucap Rendi sambil menurunkan kantung kresek di depan pintu.
“Iyah, terimakasih sudah membantu,” jawab Purwanti sambil tersenyum. Rendipun membalas senyumnya dan melangkah pergi.
“Rendi?” Rendi kembali membalikan badannya, “Mau mampir dulu? Aku mempunyai beberapa kopi saset,” Rendi mengangguk sambil tersenyum karena melihat tingkah Purwanti yang agak sedikit pemalu.

Rendi duduk di ruang tamu menunggu Purwanti menyeduhkan kopi untuknya. Rendi melihat ke sekeliling, begitu sepi. Ternyata hanya Purwanti seorang di rumah. Tak lama kemudian Purwanti pun datang dengan dua gelas cangkir kopi yang hangat.

“Di mana keluargamu?” tanya Rendi sambil meminum kopi yang Purwanti suguhkan.
“Mereka di Desa. Aku baru setahun pindah ke sini untuk bekerja,” jawab Purwanti
“Pasti keluargamu sangat kaya, karna bisa membeli rumah di tempat ini. Karena kudengar harga rumah di sini begitu mahal,”
“Tidak orangtuaku tidak begitu kayak. Aku hanya membeli rumah ini karena tidak terlalu jauh dari tempatku bekerja,” tutur Purwanti, “Dan rumah ini pun memiliki basement yang cukup besar, yang bisa aku pakai untuk menyimpan koleksiku,” sambungnya.
“Ohh, apa yang kau koleksi?” tanya Rendi tidak menyangka bahwa ternyata perempuan yang terlihat pemalu ini adalah seorang kolektor.
“Aku mengeoleksi banyak hal. Seperti tangan, kepala dan kaki. Bahkan aku banyak mengoleksi tubuh anak kecil,”
“Tubuh anak kecil?” Rendi mengerutkan dahinya. Namun tak lama kepalanya merasa sakit dan berat, yang akhirnya Rendi tak sadarkan diri.

Sedikit demi sedikit kesadaran Rendi mulai membaik. Tercium dengan jelas bau amis yang menyengat di sekitarnya. Rendi terkejut melihat dinding begitu banyak potongan-potongan tubuh manusia dan di depannya terletak sebuah meja yang penuh dengan pisau, matanya membulat karena seperti melihat tempat pejagalan bagi manusia.

Seseorang terdengar sedang membuka pintu. Rendi berusaha untuk berdiri. Tapi tubuhnya telah terikat pada kursi dengan kawat. Walaupun dia tidak tahu siapa yang berada di pintu, tapi dia yakin bahwa orang itulah yang melakukan semua ini.

“Purwanti?” Rendi terkejut setalah mengetahui bahwa itu adalah Purwanti, seorang yang dia tolong kemarin karena barang belanjaannya yang jatuh.
“Aaaahh, kau sudah bangun, Ren?” tanya Purwanti sambil tersenyum, “Sudah satu hari kau tertidur lelap di kursi itu,”
“Purwanti, apa yang kau lakukan?” Rendi meronta-ronta dari kursi melihat Purwanti mengambil pisau di meja itu.
“Aku hanya ingin sedikit bersenang-senang sebelum menambah koleksiku,” jawab Purwanti sambil mengasah-ngasah pisau itu di depan muka Rendi.
“Kau gila!”
“Hahahah! Kau benar aku gila!” Purwanti tertawa.

“Toloongg … toloongg!”
“Percumah kau akan berteriak sekeras apapun. Ruangan ini kedap pada suara dan ditambah lagi di luar sana sedang hujan deras,” Rendi kini benar-benar ketakutan.

“Arrggghhhh,”
Purwanti menyayat dada Rendi hingga kulitnya terlihat seperti sobek sepanjang dada. Lalu kemudian Purwanti kembali dan membawa garam dari meja. Dia taburkan garam itu di sekitar sayatan yang tadi dia buat. Mata rendi membulat
menahan rasa sakit dan perih yang luar biasa. Purwanti terus melakukan itu di sekujur tubuh lainnya. Rendi menjerit-jerit meminta ampun dan memohon.

“Hahahaha, kenapa kau menjerit seperti itu? Bukannya kau adalah lelaki yang kuat? Yang mampu menolong seorang perempuan karena belanjaan sialan itu?” Purwanti tertawa melihat Rendi kesakitan.
“Ampuni aku … kumohon!” Rendi memohon sambil menahan sakit. Bahkan dia terlihat mengucurkan air mata karena benar-benar ketakutan.
“Jangan memohon seperti itu, bukannya kau datang untuk bersenang senang, huh?” ucap Purwanti sambil tersenyum pada rendi. Senyuman yang begitu menakutkan.

Purwanti menari-nari mengelilingi Rendi. Kini Rendi tak bisa lagi menutup ketakutannya, dia menangis tersedu-sedu meminta ampun. Tapi, Purwanti hanya tertawa sambil berjalan menuju meja yang berada di depan kursi Rendi. Purwanti mengambil sebuah mesin bor dan menyalakannya. Purwanti berjalan pelan menuju Rendi dengan tatapan yang mengerikan.

“A-aku mohon, ampuni ak …” ucap Rendi terputus, merasakan bor itu telah menembus perut Rendi. Rendi menatap ke arah perutnya yang terus dibor hingga semua isinya berhamburan keluar. Purwanti terus saja mengebor perut Rendi meskipun Rendi sudah tak sadarkan diri. Merasa tak puas ia mencabut bor itu dan beralih pada kepala Rendi.

“Hahaha … bukankah ini menyenangkan, Rendi?” Purwanti tertawa dengan pucratan darah kental di wajahnya.
“Ah … kau memiliki jari kaki yang cantik untuk mengisi toplesku yang kosong,” gumamnya sambil memotong jari kaki Rendi satu-persatu.

Cerpen Karangan: Cepi Rahmat
Facebook: facebook.com/cepi.rahmat.107
Detective of Nuantara University

Detective of Nuantara University

Judul Cerpen Detective of Nuantara University

Sudah lima hari, Riska tak sadarkan diri sejak dia dan teman-temannya melakukan uji nyali di sebuah gudang yang berada di belakang kampus. Selama lima hari Riska tak kunjung sadarkan diri. Entah apa yang terjadi, keluarganya sangat cemas dengan keadaannya.
Karena itulah, aku berusaha untuk menolongnya agar Riska dapat sembuh seperti semula. Lalu ada yang menyarankan agar aku menemui orang yang paling hebat dan jenius di kampus. Namanya adalah Dei Putra Brawijaya, dia merupakan ketua dari klub penelitian ilmu mistis dan fenomena alam gaib.
Atas saran teman satu jurusan denganku itu, aku menemui orang yang bernama Dei itu, setelah jam kuliahku selesai.

Di tempat biasanya dia menyendiri dan berkumpul bersama anggota-anggotanya yaitu markas klubnya yang letaknya tidak begitu jauh dari gedung utama Nuantara University.
Kesan pertamaku bertemu dengannya adalah Dei ini orang yang misterius, dan menyebalkan dengan setiap perkataan yang dia keluarkan selalu mengandung nada sinis padaku. Ya walaupun malas mengakuinya dia adalah pria yang tampan, dengan didukung dengan ciri-ciri fisik yang ‘sedikit’ membuatku tertarik kepadanya. Sosoknya yang berperawakan tinggi dengan badan yang atletis. Berambut hitam dengan gaya jabrik acak-acakan. Dengan mata berwarna hitam yang sekelam malam. Dan kulit yang berwana putih. Selalu menggunakan setelan kemeja dan celana jeans berwarna hitam yang menambahkan kesan misterius kepadanya dan tak lupa sepatu flat shoes berwarna cokelat yang selalu setia membungkus kakinya. Dia juga termasuk tipe orang yang santai, cuek, dan selalu bertindak cepat saat menyelesaikan masalahnya, termasuk masalah Riska yang kuceritakan kepadanya. Tapi yang sangat menyebalkan darinya, ialah dia itu tipe orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, contohnya saja ketika dia memintah bayaran tinggi atas usahanya dalam menolong Riska, Huft dasar orang yang selalu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Ternyata Dei ini memiliki sebuah kelainan di bagian matanya. Yaitu kedua matanya berbeda warna, mata sebelah kirinya berwarna merah sedangkan mata kanannya berwarna hitam. Mata kirinya yang berwarna merah itulah yang memiliki sebuah kekuatan khusus untuk melihat penampakan arwah dan hal-hal mistis lainnya. Kerena perbedaan warna itulah Dei selalu menggunakan lensa berwarna hitam di mata kirinya hal ini dilakukan oleh Dei agar tak diketahui oleh orang banyak.

Perbedaan mata Dei itu juga baru kuketahui setelah dia bertemu dengan Riska, dia mengatakan bahwa Riska dirasuki oleh sesosok roh yang baru saja meninggal dunia. Sosok roh itu bernama lengkap Dina Lestari. Dia mati karena kehabisan nafas dalam ruang kedap suara dan juga kedap udara yakni di ruang bawah tanah sebuah gudang tua di belakang gedung Nuantara University. Dia dibuang di ruang bawah tanah itu karena dia dikira telah mati, namun ternyata Dina hanya pingsan akibat sebuah pukulan keras di bagian belakang kepalanya. Setelah itu, dia sadar dan berusaha mati-matian untuk keluar dari ruang bawah tanah yang gelap itu. Tapi, usahanya itu sia-sia karena gelapnya ruangan itu sekaligus tenaga yang dimilikinya dan juga oksigen yang berada di sekitarnya mulai habis secara perlahan-lahan sehingga membuat Dina harus meninggal dunia dengan kehabisan oksigen di ruang bawah tanah itu.

Semua fakta tentang kematian Dina, baru kami ketahui. Setelah kami mengalami hal yang berbahaya saat memeriksa gedung tua di belakang kampus. Gedung tua yang menjadi akar dari semua masalah sehingga menyebabkan Riska jatuh sakit. Di gedung tua itu seseorang memukul Dei ketika dia mencoba untuk melindungiku. Sehingga menyebabkan Dei mengalami luka di bagian pelipis kirinya yang cukup parah. Tapi, untungnya kami dapat kabur dari gudang tua tersebut setelah Dei menendang si pelaku sehingga kami bisa keluar dari gudang itu. Setelah kejadian yang kami alami, Dei semakin gencar untuk menyelidiki gedung tua itu. Sedangkan aku sendiri mencari informasi mengenai Dina Lestari dengan bertanya dengan penghuni kampus. Kebetulan aku dan Dina seangkatan, bahkan juga satu jurusan. Dan juga aku sedikit mengenalnya.

Dalam usahaku untuk mengungkap kasus pembunuhan terhadap Dina, mengantarkanku kepada jurang bahaya ketika aku diajak oleh Dosenku yang bernama Wandy Pratama. Saat itu juga Wandy mencoba untuk membunuhku, karena aku dan juga Dei berusaha untuk mengungkap kasus pembunuhan ini.

Dan ternyata Wandy ini menyukai Dina. Maka dia mengajak Dina pergi ke gedung tua itu. Dina dipukul saat memberontak karena akan diperkosa oleh Wandy. Wandy pun lepas kendali sehingga memukul Dina dengan sangat keras hingga membuat Dina tak sadarkan diri. Melihat Dina yang tak sadarkan diri, Wandy pun panik dan menyangkah Dina mati. Lalu ia membuang Dina ke gedung tua di belakang kampus guna menghilangkan jejak Dina untuk sementara Waktu. Seperti itulah kronologis kejadian yang diceritakan oleh Wandy saat dia hendak menjatuhkanku dari atas gedung kampus.
Tapi, untungnya Dei datang dan menyelamatkanku karena ia diberitahukan oleh arwah kakakku yang telah meninggalkanku untuk selamanya karena sebuah kecelakaan saat dia berumur 17 tahun.

Ya aku merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Tapi, kakakku meninggal saat dia menyelamatkanku dari sebuah kecelakaan dengan mendorongku sehingga dirinyalah yang tertabrak oleh mobil menggantikanku dan membuatnya meninggal di tempat. Sejak kejadian itu aku selalu menyalahkan diriku atas kematian kakakku. Padahal aku berharap kakak tak melakukan hal itu dan aku yang mengalami kecelakaan itu. Tapi, aku sadar itu sama saja aku melawan takdir yang telah dituliskan oleh yang maha kuasa. Namun mau bagaimana lagi aku benar-benar terpukul sejak kematian kakak. Aku merasa hidupku sudah tak berarti lagi saat itu.

Berkat kakak, aku selamat dari kejahatan Wandy. Bahkan Dei sudah merekam pengakuan Wandy itu dengan ponsel miliknya, saat Wandy ingin melenyapkanku. Untuknya aku selamat bahkan setelah dia meninggal, dia masih melindungiku.
Pada akhirnya, Wandy ditangkap oleh polisi dan mengakui semuanya kejahatannya di kantor polisi. Arwah Dina sudah tenang di alam sana sejak mayatnya ditemukan tak jauh dari gudang tua itu. Maka Dina dimakamkan secara layak oleh keluarganya. Lalu Riska pun sadar dan dinyatakan sehat oleh dokter. Tak lama kemudian, Riska sudah boleh pulang dan menjalankan aktifitasnya seperti biasa.

Sejak saat itu, hubunganku dengan Dei semakin dekat. Apalagi aku selalu menyeret Dei ke dalam masalah orang lain jika aku tidak sengaja mengetahuinya. Well, bisa dibilang aku adalah orang yang selalu ikut campur tentang masalah orang lain. Hingga menyeret Dei dalam membantu menyelesaikan masalah orang itu. Apalagi masalah itu menyangkut tentang penampakan arwah. Jadi, kurasa hanya Dei saja yang dapat menyelesaikan kasus-kasus yang berhubungan dengan penampakan arwah.

Seperti sekarang ini, Dei sedang berbincang-bincang dengan Yudistira Pratama, kepala kepolisian kota Srijaya. Setelah Dei membantu pihak kepolisian dalam menangani kasus pembunuhan terhadap tetanggaku, Sinta. Aku yang berada di tempat kejadian hanya dapat melihat dari kejauhan. Setelah berbincang dengan kepala kepolisian kulihat Dei dihampiri oleh salah satu anak buah dari Yudistira yang kuketahui bernama Reza, nampaknya mereka seperti membicarakanku karena mereka berbicara sambil melihatku entahlah aku tak tau apa yang mereka bicarakan. Dan tak lama kemudian Reza pergi meninggalkan Dei lalu kulihat Dei masih berdiam diri di sana.

“Dei!” panggilku.
Merasa namanya dipanggil olehku. Dei lalu menoleh kearahku dan menghampiriku. Setelah dia sampai di tempatku Dei pun berkata kepadaku “Aku cinta kamu, Insannia.” aku yang mendengarnya tentu saja kaget. Kedua mataku membulat secara sempurna. Mulutku ternganga lebar.
Hening.
Koridor apartemen itu sungguh sunyi. Tidak ada seorang pun yang terlihat, selain aku dan Dei.
Dan entah kenapa aku menjawab ungkapan Dei tadi dengan terbata-bata.
“A-Apa? Ka-Kamu cinta padaku, Dei?”
Kulihat Dei terdiam sejenak. Ia menatapku dengan datar.
“Sudah jelas, kan? Kamu sudah dengar apa yang aku katakan tadi. Aku tidak akan mengulanginya untuk kedua kalinya. Jadi, aku mau pulang dulu. Sampai jumpa, Insannia.”
Dan dengan senak jidatnya si Dei itu langsung pergi begitu saja dari hadapanku dan meninggalkanku yang masih terdiam karena perkataannya tadi.
“Eh, DEI! TUNGGU!” teriakku sekeras mungkin. “AKU JUGA CINTA SAMA KAMU, TAU!”
Kulihat langkah Dei terhenti setelah mendengar suaraku yang lantang dan menggema di koridor itu. Lalu Dei menolehkan pandangannya di sudut bahu kirinya.
Aku tersenyum. Rona merah tipis hinggap di kedua pipiku. Kemudian aku berlari kecil dan langsung memeluk pinggang Dei secara langsung.
Grep!
Tindakanku ini sontak membuat Dei kaget. Kedua matanya membulat. Dapat kulihat rona merah tipis muncul di kedua pipinya.

“Eh, Insannia?”
“Terima kasih, Dei”
“Untuk apa?”
“Terima kasih untuk semua pertolonganmu selama ini. Kamu sudah menjadi orang yang sangat berarti bagiku. Kamu selalu ada buatku. Terima kasih, Dei. Aku sungguh sangat beruntung bisa bertemu denganmu.”
Kulihat Dei tersenyum simpul sambil membalas pelukanku.
“Sama-sama, Insannia. Itu memang sudah menjadi tugasku.”

Kami pun berpelukan dengan erat di tempat itu. Kami saling meluapkan segala perasaan kami yang saling menyatu setelah menyelesaikan kasus kematian tetanggaku, Sinta. Dan entah kenapa aku mendengarkan suara kakak yang berkata “Terima kasih, dan sekarang aku bisa dengan tenang meninggalkan adik bodohku ini kepadamu.”. lalu kulihat Dei, dia seperti melihat seseorang dan mengangguk. “Terima kasih kak, sudah menjagaku selama ini, dan sekarang aku telah menemukan tujuan hidupku.” Ucapku dengan suara pelan berharap kakak dapat mendengarnya. Lalu kudekap Dei dengan erat dan kutenggelamkan kepalaku di dada bidangnya. Berharap hal yang terjadi dulu kepada kakak tak akan terulang lagi, dan Dei tak akan meninggalkanku sampai waktu yang memisahkan kami. Amin.

Cerpen Karangan: Adha Wahyudi
Blog / Facebook: Muhammad Adha Wahyudi
Aku dan Skenario Nya

Aku dan Skenario Nya

Judul Cerpen Aku dan Skenario Nya

Ratusan bintang masih terlihat kelap-kelipnya pada malam itu, angin malam pun bertiup semakin kencang membuat wajahku tersapu olehnya, langit seolah mengisyaratkan bahwa hari semakin malam. Merenung serta mencoba untuk menyudahi segala kerinduan, kekaguman dan kecintaanku padanya. Semuanya berawal dari dia. Dan secara tidak langsung dia pula yang memaksaku tuk menghakhiri perasaanku selama ini. Kegelisahan yang saat itu mendominasi perasaanku, sedih, tak tenang, bahkan malu pun menyatu pada diri ini. Ingin rasanya aku marah, tapi bingung pada siapa, karena ini memang seluruhnya kesalahanku. Aku yang terlalu berharap dan.. ah sudahlah! Ini juga memang pilihanku sendiri.

Air mataku semakin deras, saat aku mengingat-ingat kejadian di siang hari itu, pun kejadian sebelum-sebelumnya. “De, gimana dong? Kata mas Ridwan, hari ini dia mau dateng ke sini, ke abi!” ucapku saat Zana berada di kamarku. “Ya udah. Terus ada apa gitu mbak?” jawab Zana polos. Zana adalah adikku, nama lengkapnya Zanaira Annisa, namanya tak beda jauh dengan namaku, Zenaira Asysyifa. “Ya, mau apalagi kalau bukan… ihh mbak jadi flashback. Waktu mbak mutusin dia, dulu, dia gak terima. Uhh, malah dia sampe janji nantinya bakal datengin abi. Dulu, sebelum dia ikut berubah kaya gini, mbak gak suka banget sama kelakuannya sih. Ya sekarang dia udah berubah drastis mbak jadi kagum banget sama dia, tapi sekarang, dia dateng di waktu yang gak tepat de..! Mbak buat target nikah itu satu tahun lagi loh, jadi tahun ini mumpung masih single, mau dipuas-puasin dulu..” ucapku panjang lebar, layaknya orang yang sedang curhat saja.

Suasana ruang tamu yang berada di dalam rumahku, agak menegangkan, tapi tetap santai di sore itu. Abiku, mas Ridwan serta Nizar, ada di dalamnya. Sedangkan umi, menyiapkan makanan di dapur. Aku dan adeku pun tak lupa untuk mambantunya. Setelah selesai membatu umi, aku sedikit menguping pembicaraan mereka dikarenakan aku ingin memastikannya. Dari balik tembok ruang keluarga, aku mendengarkan dengan serius dan was-was, takut akan ketahuan oleh umiku. Tidak sopan memang, juga sangat konyolnya aku melakukan itu. Tapi aku tak peduli.

“Jadi maksud kedatangan mas ke sini apa?” Tanya abiku pada tamu yang sudah tak asing lagi bagiku. “Gini om, saya mau melamar putri om..” jawab pria yang berkacamata dan bertubuh tinggi itu dengan tenangnya. Abiku sedikit tertawa, lebih tepatnya berdehem atau batuk dengan sengaja, sedangkan mas Ridwan masih tak terdengar suaranya dari balik tembok tempatku berdiri. “Emm, putri yang mana nih? Kebetulan om punya dua putri, putri yang pertama umurnya mungkin beda dikit sama mas ya, dulunya sekelas kan?! Nah, kalau putri yang kedua, bedanya dua tahun di bawah putri yang pertama.”
Duh, bener juga ya, aku kan punya adik perempuan.. kenapa aku lupa gini? Batinku. Ada kemungkinan juga dia bukan ngelamar aku. Ahh tiba-tiba saja tubuhku menjadi tegang, lemas. Pikiranku sudah mulai tidak karuan, jantungku berdegup begitu kencang, ada insting yang tak enak. Baru saja aku akan melangkahkan kakiku untuk beranjak menuju kamarku, tapi terlanjur suara lembutnya Nizar terdengar olehku ia mulai menjawab apa yang tadi abiku tanyakan padanya, “Yang bungsu om, Zana.” Jawabnya dengan kemantapan. Deg!

Langit sore cerah namun mulai memudar itu, seolah ambruk bagai atap rusak yang menimpa tubuhku. Ohh Allah, apa aku gak salah denger? Ahh mungkin Nizar salah. Syifaa! tenang Syif! Ingin rasanya aku menjerit di tempat itu pula, tapi apa daya, rasa malu menahanku untuk tidak melakukannya dan setelah itu pun aku melanjutkan langkahku menuju kamar dan sejak itu aku tak tau lagi apa yang mereka bicarakan.

Aku memang tak suka melihat orang yang menangis hanya karena hal cinta, kuanggap itu sangat berlebihan. Tapi saat itu, malah aku sendiri yang meneteskan air mata karenanya, dan ini untuk pertama kalinya buatku, karena dari dulu pun aku memang dicap cuek untuk soal asmara oleh teman-temanku. Nizar, dia mantan pacarku tapi dia juga adalah korban atas kecuekanku. “Aku memang bodoh!” Ejekku pada diriku sendiri. Segera aku hapus air mata yang terlanjur mengalir di pipiku, dengan kedua tanganku. Kututup dengan pelan jendela yang ada di kamarku, rasanya untuk apa aku membuat pusing serta menangisi suatu hal yang sudah terjadi? Menangisinya adalah hal yang sangat sia-sia dan juga membuat banyak waktuku yang terbuang olehnya.

Di satu sisi, memang hatiku retak, tapi di sisi lain juga aku merasa sangat malu, pasalnya sebelum Nizar datang ke rumah pun aku sudah ge-er duluan. Aku sangat percaya diri dengan pikiranku, ya pede bahwa Nizar datang ke abiku untuk melamarku, bukan adikku. Aku terlalu berharap dengan ucapannya pada masa lalu saat ia mungkin masih mencintaiku.

Saat itu adalah waktuku untuk meyakinkan pada diriku sendiri atas pilihanku, aku tak bisa menyalahkan semua yang sudah terjadi ataupun yang sudah ditetapkan oleh Allah. Di balik semua itu aku tau, Allah pasti memiliki skenario hidup yang terbaik untukku, dan mungkin itu adalah salah satu hal yang memang baik untukku.

Sudah hampir satu tahun, dari kejadian yang dulu kuanggap miris itu. Waktu terus berjalan dan aku tetap hidup, walau dengan awal yang tak begitu ridho pada adikku karena dia menikah mendahuluiku dan awalnya pun diriku dipenuhi oleh rasa menyesal dengan sebuah target yang sudah ku buat. Tapi, ya inilah warna-warni hidupku, tak mungkin semuanya berjalan dengan mulus, sama halnya saat aku mulai giat untuk menyampaikan risalah-Nya, bisikan setan mencoba menghalangi agar aku berhenti dari harokah dakwah. Aku sadar bukan orang yang mudah menyerah, apalagi hanya dengan hal yang sepele-sepele. Ya kenyataanya kini aku bahagia, dan bersyukur dengan pilihanku satu tahun yang lalu itu, menikmati waktu dan mempersiapkan diri sebelum mengarungi kehidupan baru alias berkeluarga.

Aku pun senang untuk menanti kehadiran keponakanku, karena sebentar lagi keponakanku itu akan lahir ke dunia, tinggal menunggu beberapa jam lagi sepertinya. Tenang, aku sudah ikhlas, dan sudah melupakannya, ya melupakan harapanku padanya. Aku nikmati kehidupan dengan ringannya, jarang aku menganggap berbagai masalah sebagai beban, karena jika kita menjalani hidup dengan kelapangdadaan, pasti hidup pun akan terasa begitu indah walaupun dengan berbagai masalah sebagai hiasannya. Apalagi jika segala hal yang kita lakukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ridho Allah semata. Kita hanya perlu bersyukur dan menerima atas apa yang sudah Allah tetapkan, karena Allah memiliki rencana yang lebih baik dari pada keinginan dan rencana kita.

Saking tidak sabarnya menanti kehadiran sang keponakan, aku bela-belain seharian gak pulang ke rumah, hanya untuk ketika nanti ia lahiran aku bisa menyaksikannya langsung dengan mata kepala sendiri. 22 jam berlalu, aku masih cemas, bahagia gimana ya, sulit untuk diungkapkan. Memang bukan aku yang lahiran, tapi aku heboh sendiri. Akhirnya adikku pun sudah berada di ruang bersalin, karena katanya ia sudah memasuki pembukaan ke delapan. Aku yang sudah menemaninya dari awal ia masuk rumah sakit, masa aja gak ikut masuk ke tempat bersalinnya, pastinya sampai bayi itu lahir pun aku harus ada untuk mendampinginya, ya selain umiku dan Nizar.

Gagal semua harapanku hari itu, untuk melihat perjuangan seorang ibu mengeluarkan anak dari dalam perutnya. Kacau hatiku saat dimana hanya Nizar saja yang boleh mendapingi adikku di dalam ruangan sana. Ya sudahlah, aku terima saja, jika itu memang peraturan di rumah sakit ini. It’s oke. Setelah sekitar 30 menit kemudian, aku yang mondar-mandir di depan ruangan bersalin, seketika saja berhenti melangkahkan kakiku lagi, ketika pintu ruangan itu terbuka dan keluarlah sosok yang sudah tak asing lagi bagiku pun umiku, ya dia Nizar dengan baju hijau yang dikenakannya, pun dengan kacamata yang ada di genggamannya. Tangis haru yang terlihat dari wajah bersihnya, mungkin karena begitu bahagianya dirinya, hingga meneteskan air mata saat ia keluar dari ruangan tersebut. Aku dan umi tersenyum bahagia, sambil melangkahkan kaki menuju pria berbaju hijau itu. Aku yang sejak itu sudah tidak sabar untuk melihat bayi miliknya, dan sebelum memasuki rungan tersebut, langsung saja aku bertanya pada pria yang sudah ada di depanku juga umiku, ya agar rasa penasaranku sedikitnya berkurang. “Gimana Zar? Bayinya nisa atau rijal?” tanyaku dengan mimik wajah kegirangan. Ia pun sedikit tersenyum dan menjawab dengan singkatnya “Rijal, mbak.”

Sebelumnya sudah kubayangkan kebahagiaan tak terkira yang akan dirasakan oleh kami sekeluarga di hari lahirnya si mungil calon pembela Islam itu. Khususnya bagi Zana juga Nizar yang saat itu statusnya sudah menjadi orangtua. Tapi apa yang kubayangkan sebelumnya itu salah. Jika saat itu semua berbahagia, rasanya wajar saja. Namun kenyataannya yang terdengar hanyalah isak tangis dari orang-orang yang berada di dalam ruangan, ya keluargaku maupun dari sebagian keluarga Nizar juga ada di sana.

Ternyata mimik wajah sang ayah dari bayi itu, saat keluar dari ruangan tersebut, bukan tangisan akan haru bahagianya, tapi mungkin ia menahan pedihnya, dan sakitnya kehilangan sesosok istri yang sangat ia cinta dan sayangi. Kebahagiaan atas hadirnya bayi mungil itu, berbalut kesedihan atas kepergian sang ibu dari anak yang baru lahir itu, ya, adikku telah tiada. Rasa ketidak percayaan dan ketidakterimaannya diriku saat mengetahui adikku telah berpulang kepada zat yang telah menciptakannya. Air mata yang keluar dari beberapa pasang mata dan suara tangisan yang membuat ruang itu begitu menyedihkan. Umi dan abi yang berusaha menghentikan tangisnya dan menerima ketetapan Allah. Tangan kiri mas Ridwan pun menggandeng istrinya dan tangan kanannya mengelus-ngelus punggungku, agar aku sanantiasa bersabar dan segera menghentikan tangisanku yang hingga tersedu-sedu itu karena kepergian Zana untuk selama-lamanya.

Sebelumnya aku hanya harus melepaskan seseorang yang memang bukan untukku itu sakit rasanya dan sekarang pun kenapa aku harus kehilangan sesosok adik yang selalu mewarnai hari-hariku, baik suka maupun duka. Ahh jika saja aku bisa memutar waktu dan mengganti rencana Allah, mungkin aku takkan membiarkan dia pergi meninggalkan dunia ini. Bagaimana saja? Dia seharusnya saat itu merasakan kebahagiaan setelah Sembilan bulan lamanya ia menggandung sang buah hati yang kehadirannya itu pasti sangat dinantikan olehnya. Tapi apa daya, aku hanyalah seorang makhluk dengan segala keterbatasan. Sangat tak mungkin jika kemampuanku sama dengan zat yang telah menciptakanku.

Aku sebagai seorang muslim tak sepantasnya jika berlarut-larut untuk menangisi sebuah ketetapan yang telah Allah tentukan. Hal itu adalah sebuah pelajaran besar untuk kehidupanku. Ya begitulah, setiap yang hidup nantinya akan mati dan kembali pada sang pencipta, Allah SWT. Namun kita tak akan pernah tau kapan malaikat akan mencabut nyawa kita, entah itu saat kita udah siap ataupun belum, entah itu saat pahala kita sudah banyak ataupun belum. Malaikat tak pernah peduli dengan hal itu, ia akan selalu patuh dengan apa yang Allah perintahkan.

Kini terhitung sudah lima tahun, dari hari kelahiran Muhammad Fatih Az-zainuddin dan kepergian ibu kandungnya, ya adikku yang kurindukan. Mungkin inilah jawaban dari segala permintaanku lewat do’a yang selalu kupanjatkan seusai sholat fardu maupun tahajjud, dan inilah skenario Allah untuk kehidupanku dengan keluarga yang semoga saja selalu ada dalam lindungan-Nya.

“Bundaa..” teriak anak yang kebetulan pada hari ini umurnya sudah menginjak lima tahun. Aku segera menghapirinya yang berada di ruang TV dengan adik perempuannya, Tsaniya. “Ada apa mas Fatih? Itu Kenapa adenya nangis?” ucapku, sambil menghampiri Fatih dan mengelus lembut kepala anak perempuan yang baru berumur tiga tahun itu. “Itu de Sani nya ngerebut coklat punya mas..” adunya padaku dengan nada emosi ala anak-anak. “Gapapa, berbagi dong.. Tuh mas kan masih punya satu bungkus lagi..” ucapku meredakan fatih yang mulai merebut kembali coklatnya yang masih ada di genggaman adiknya.

Pintu masuk rumah tiba-tiba saja terbuka. Muncullah sosok pria berkacamata, berkulit sawo matang, pun dengan jenggot tipis di dagunya. Siapa lagi kalau bukan Nizar? ayah dari Muhammad Fatih Az-zainuddin dan Rahmania Aliya Tsaniyah, yang kini Allah pun menakdirkannya sebagai imam dalam keluargaku. “Tuh ayah udah pulang.” ucapku mengalihkan kesibukan mereka yang sedang berebut coklat. “Ayaahh..” teriak Fatih dan segera saja ia berlari menuju ayahnya yang masih berdiri di depan pintu masuk rumah, Tsaniya pun mengikuti kakaknya, tak lupa ia pun berteriak apa yang tadi kakaknya teriakkan, “Ayahh..” ucap anak perempuan itu dengan cadelnya. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka yang selalu menjadi penghibur hati. Begitupun dengan Nizar yang kini sedang dipeluk oleh kedua anaknya, sambil menatapku dan tersenyum, ia pun sepertinya tau kebahagiaan yang aku rasa. Bersama membangun keluarga harmonis yang didasari keimanan pada sang pencipta segala yang ada di langit maupun di bumi, ya Allah SWT.

Cerpen Karangan: Hasna Dieni R
Blog: Hasnadieni.blogspot.co.id
Fb: Hasna Dieni R
Ig: @hasnarozanah
Me and Rava

Me and Rava

Judul Cerpen Me and Rava

Cuaca di pagi hari ini sangat tidak mendukung. Awan mendung menandakan hujan akan turun, angin semilir mengenai tubuhku, matahari yang biasanya muncul dari arah timur kini tertutup awan yang sangat gelap dan sekarang hari yang sangat membosankan bagiku. Andai saja sekarang aku pergi ke sekolah. Mungkin sekarang aku sedang bercanda dan tertawa ria bersama dengan teman-temanku. “Krrringgg” terdengar suara bunyi handphoneku menandakan sebuah pesan masuk.

Dear Afwa
Wa!mumpung sekarang hari minggu. main dong! ke rumahku. aku bosan gak ada teman nih!

Itulah isi pesan dari Rava, sahabat laki-laki yang sebaya denganku. dulu ia pernah menyelamatkanku dari pembullyan yang dilakukan oleh teman sekelasku, Dhera dan antek-anteknya. Akhirnya kita jadi bersahabat.
Aku membalas pesan Rava dan menekan tombol send tanda mengirim pesan.

Dear Rava
Baiklah, aku akan main ke rumahmu. jangan kemana-mana, ok!

Begitulah kira-kira isi pesanku untuk Rava.
Aku segera berkemas dan mengganti bajuku dengan dress selutut warna biru cerah polkadot putih. Setelah itu, aku bergegas menuju ke luar rumah dan berlalu menuju rumah Rava yang tidak jauh dari rumahku.

Kutekan bel rumahnya dan muncul sosok yang tak asing lagi bagiku. Ia tersenyum ramah padaku dan mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya yang seperti istana di buku-buku dongeng. Entah kenapa aku sudah lama mengenal Rava namun, aku selalu merasa canggung saat aku bersamanya.

“Kamu mau minum apa?” tawar Rava ramah. aku yang menyadar itu langsung menggeleng dan tersenyum simpul padanya.
“Kenapa tidak mau Afwa? apa kau malu? oh, ya ampun. kita ini sudah bersahabat lama sekali dan kenapa kau masih sungkan berbicara banyak padaku.” sahutnya kecewa. Ia pun ikut duduk di sampingku dan menatapku lekat-lekat. Aku yang menyadari hal itu langsung memalingkan wajahku ke arah lain. namun sebuah tangan langsung memutar kepalaku dan sekarang aku dengannya saling bertatapan. hidungku bersentuhan dengan hidungnya. Aku terkejut dan beranjak dari sofa yang tadi kududuki.

“Afwa, aku sudah lama mencintaimu dan kau harus jadi milikku. Sekarang juga.” ucapnya seraya tersenyum miring padaku. aku terperanjat karena dia semakin mendekatiku. Oh my god! apa yang akan kulakukan sekarang? keluar dari rumah ini. yaps! itu pilihan bagus untukku. Aku segera bergegas menuju pintu utama. Tetapi … terkunci!

“Sudah kuduga kau akan lari dariku. Tenanglah Afwa. Aku hanya ingin bicara denganmu sebentar dan aku sangat tak suka dengan sifatmu yang satu ini. lari dan lari. ck.. sungguh menyebalkan!” desah Rava sambil menyilangkan tangan pada dadanya.

“jika kau memang kesal denganku. kenapa kau suka denganku? buka pintu ini! aku mau pulang, Rava.” perintahku sedikit kesal. ia malah tersenyum dan berjalan mendekatiku.
Kedua tangannya bersentuhan pada tembok sehingga aku terkurung dalam tangannya.

“aku mohon Afwa. sekali saja kau dengarkan aku. jangan keras kepala seperti batu.” mohonnya membuatku jijik untuk melihatnya lagi. Tapi tunggu, ini bukan sifat Rava. Ia selalu jaga jarak dengan wanita apalagi denganku dan apa yang ia gunakan di lehernya, pikirku sambil melihat sebuah kalung yang dikenakan Rava dilehernya.

“aku tau sekarang. kenapa aku sebodoh ini? kalung itu keramat milik ayah Rava dan Rava sudah lama ingin memakainya. namun, tak diizinkan ayahnya sebab ini resikonya. Kenapa aku jadi korbannya? dan sekarang hanya tinggal melenyapkan kalung itu karena sebagian kekuatan dari kalung itu sudah terserap oleh penggunanya. teka-teki ini sudah berakhir.” batinku senang. Aku segera menarik kalung Rava dan menginjaknya sampai berkeping-keping. terlihat asap hitam keluar dari tubuh Rava dan kalungnya. Hilang.

Rava tergeletak lemas di lantai. Aku segera menelepon ambulan untuk cepat datang ke rumahnya. Tak lama kemudian, ambulans datang dan segera menaikkan Rava kedalam mobil ambulans. Leganya semua teka-teki ini terpecahkan. Namun sebelum aku pergi dari rumah megah nan mewah ini. Aku sempat mendengar suara orang berterima kasih padaku dari arah ruang keluarga. Ah, bodo amat. Paling itu hanya imajinasiku.

TAMAT

Cerpen Karangan: Elirika Aliyah
Facebook: Elirika Aliyah