Aku Hanya Ingin Melihat Awan Pertamaku

Baca Juga :
    Judul Cerpen Aku Hanya Ingin Melihat Awan Pertamaku

    Namaku nadya, aku seorang anak yang terlahir sangat beruntung, meskipun mataku tak bisa melihat alam indah ini, dan kakiku yang lumpuh karena kecelakaan hebat 10 tahun yang lalu.
    Ayahku juga tiada sejak aku kecil, entah apa sebabnya, namun karena ada bunda, nenek, kak citra, bang mas’ad dan anne, yang membuat aku merasa lebih beruntung dari yang lain…
    Namun, aku mempunyai satu mimpi, ataupun cita-cita, hanya satu, tak lebih, yaitu mimpi melihat AWAN dengan mataku sendiri, sebenarnya aku memimpikan ini karena temanku anne, ia selalu menceritakan tentang awan, seperti kapas putih katanya, indah, dan membuat kita akan lebih baik dari sebelumnya, entahlah…

    “Nadya, sarapan dulu nak…” terdengar ucapan bunda, dan suara kursi roda menuju kamarku…
    “Iya bund, kita makan di taman aja ya…” ucapku sambil tersenyum…
    “Bunda, doaakan pendonor mata kamu segera ketemu…” ucap bunda sambil mengangkatku ke kursi roda…
    “Bund?, bund…” aku meraba sekitar tembok kamar untuk mencari wajah bunda…
    “Aku hanya ingin melihat awan, meskipun hanya sekali bund…” ucapku polos…
    “Iya nadya sayang…”

    Saat di taman, sinar matahari tidak terlalu panas, kata anne itu karena ada awan di atas kita…
    Bunda menyuapiku dengan lembut, sambil bercerita tentang pertemuan ayah, dan bunda, sampai akhirnya aku dilahirkan, itu kisah yang menarik, meskipun bunda selalu mencertiakannya berkali-kali…
    “Ayo, nadya, makananmu hampir habis sayang…” ujar bunda membelai kepalaku yang dibalut dengan hijab jahitan bunda…

    Tiba-tiba terdengar seruan dari arah seberang taman…
    “Nadya?, kita lihat awan yuk?” ucap seseorang…
    “Anne?, kau anne kan?!” tanyaku dengan cermat…
    “Siapa lagi, ayo kita melihat awan nadya…”
    “Ya sudah, sana nanti awannya keburu pergi…” bunda membelai kepalaku kembali…
    Anne pun mulai mendorong kursi rodaku, dia menyanyi-nyanyikan lagu favoritnya…
    “indah cinta lebih berarti, apa bila kita bisa berbagi, hangatnya terasa di hati, apa bila kita mau memberi, alangkah… senangnya, bermain di langit yang sama, tercipta untuk bahagia, bersama-sama…” ya ini adalah lagu yang dibawakan oleh penyanyi cilik naura…
    “Stop” sambung nadya…
    “ya ampun, nad…”
    “Kenapa?!” Tanyaku heran…
    “Aku lihat ada gunung di sana, terus di atasnya ada awan yang besar sekali, kau akan bahagia melihatnya nadya!!” dia berkata-kata dengan penuh keceriaan, aku senang bila ia ceria, tepat saat anne lahir, ayahnya meninggal, dan lima tahun yang lalu, ibunya anne meninggalkan anne di panti asuhan kasih bunda…
    “Aku akan melihatnya suatu saat nanti anne…” ucapku semangat…
    “Anne, aku ingin menyentuhnya!!, aku ingin membawanya pulang…” sambungku
    “Nadya listen to me!!, ok, awan itu gak bisa dipegang!!, awan itu cuman bisa dilihat!, awan itu warnanya putih bersih, aku suka sekali!!, bukannya aku sudah menjelaskannya berkali-kali padamu bukan?!” ucapnya…
    “Seperti apa putih?”
    “Putih itu seperti kapas…”
    “Kapas seperti apa?”
    “Hm, seperti serat…”
    “Serat berwarna putih?”
    “Mungkin saja…”
    “Lalu seperti apa putih?”
    “lawan dari hitam…”
    “Putih, lawan hitam?, mengapa bisa, tak pernah ia ribut di dalam imajinasiku?”
    “Jangan berbicra lagi!!, kamu mebuatku pusing 11 keliling…”
    “Hahaha, ada-ada saja kau!!” ucapku tertawa…

    Hari melesat begitu cepat, suka, duka juga banyak yang merapat, doa aku agar sang pendonor datang belum juga tuhan kabulkan…
    “Nadya…, bunda gak tau harus ngapain lagi, bunda minta maaf, bunda belum bisa ngewujudin permintaan kamu…” ucap bunda padaku, saat menjelang tidur…
    “Bunda harus ngomong, bunda harus jujur sama nadya…” sambung bunda dengan nada penuh kesesalan…
    “Ngomong apa bunda?” ucapku sambil menghdap jendela kamar dengan keadaan jendela terbuka, aku suka udara di malam hari sangat sejuk.
    “Bunda bersyukur, Allah masih ngasih kamu kelebihan dalam hidupmu…, bunda sayang sama nadya, bunda pengen ngewujudin mimpi nadya, sebelum…” percakapan terhenti, bunda memeluku erat, hangatnya telah merasuk ke jiwaku…
    “Sebelum?” ucapku heran…
    “Sebelum kamu pergi…”
    “Aku mau kemana bund?”
    “Kak citra, bang mas’ad, mereka bukan kakak kandung kamu sayang…”
    Aku kaget, ada apa ini!!
    “Bunda cerai dari ayah mereka, lalu bunda bertemu ayahmu, dan memilikimu…”
    Badanku serasa beku, tak dapat begerak, kehangatan bunda saja yang membuatku agak baik…
    “Ayahmu meninggal karena…, HIV…”
    “HIV bunda?, kenapa bisa, terus aku…” badanku lemas, tak dapat lagi merasakan kehangatan, kegelapan serasa menyiksaku…
    “Bunda, takut kehilangan kamu…”
    “Bunda pasti kehilangan aku!!, ini HIV bunda, gak akan pernah bisa bertahan lama, kecuali dapat keridhoan dari Allah!!, kenapa bunda nikah sama ayah!!” aku tak pernah semarah ini, aku marah bukan karena memiliki penyakit HIV, tapi karena aku takut tak memiliki kesempatan melihat awan…
    “Saat itu ayahmu itu sedang kecanduan obat-obatan, bunda kasian, bunda rasa bunda harus bergerak…”
    “Aku takut, aku takut kalo aku gak bisa melihat awan!!…” aku mencabi pipiku sendiri.
    Knock…, knock…, knock…
    “Bunda!!, bunda!!” ucap seseorang dari luar kamar…
    “Citra?, ada apa nak…” bunda langsung membuka pintunya…
    “Nadya bund, nadya!!”
    “Kenapa, ini nadya!?” jawab bunda…
    “Nadya bunda, dia dapat pendonor mata, katanya besok ketemuan di rumah sakit kharisma…”
    Semua teras slow montion, aku melihat kegelapan yang lambat, dengan imajinasiku…

    Dua minggu berselaang, semua teerasa cepat, kini hari di mana aku akan melihat alam bebas, membuka mataku dengan lebar, agar semua terlihat jelas, aku berharap semua berjalan dengan lancar, dan tak gagal, aamiin…
    “Bu dok, boleh gak aku buka perbannya di taman?” tanyaku perlahan dengan lirih, semua orang tertawa…
    “Iya, boleh deh buat nadya…” ucap bu dokter membelai kepalaku…

    Kami semua pergi ke luar, bang mas’ad yang mendorong kursi rodaku, nenek tak pernah berhenti berkata, ia sama senangnya denganku…
    Kepalaku, kuhadapkan ke atas langit, agar bisa langsung melihat awan, sesekali, bahkan berkali-kali mungkin, bu dokter menundukan kepalaku, namun aku akan menghadap ke langit lagi…
    “Tunduk nak!” ucap bu dokter dengan lembut…
    Aku mengadapkan kembali kepalaku ke langit dan…
    “Ini sudah dibuka sayang perbannya, tegakan kepalamu, lalu buka perlahan…”
    “baik dok…” aku mulai menegakan kepalaku, aku tarik nafas, menghela nafas, dan membuangnya, dan dengan cepat aku membuka mataku dan kuarahkan dengan gesit ke arah langit…
    “Awan?” ucapku terbata-bata, ini diluar imajinasi tersembunyiku, imajinasi terliarku, sungguh, segerembolan sebuah benda yang terlihat lembut, yang pergi ke juruan negeri yang lain, mungkin…
    Kulihat pula sekelilingku, wajah bunda, nenek, kak citra, bang mas’ad, dan anne, aku tak menayangka semua ini terjadi, aku bisa melihat!!
    Aku pun meminta agar aku bisa istirahat di taman ini sambil menatap awan…
    Lama-lama semua orang pergi, tersisa aku, bunda, anne, dan suster di taman…

    “Bunda?, mimpiku sudah tercapai…” aku menatap langit biru…
    “Ceritamu tak ada yang dusta anne!!” ucapku, dan anne mengganguk…
    “Bunda rawat anne, dan aku dengan baik yang bund…” pintaku pada bunda, tiba-tiba bunda menitihkan air matanya…
    “Iya nak… bunda janji, nadya, sepertinya bunda harus menyusul kakak dan nenekmu…” ucap bunda beranjak, dengan wajah yang ketakutan sesuatu, kini tinggal tersisa aku, anne, dan suster yang agak menjauh karena hendak mencuci gelas di watafel…
    “Anne…, jagain bunda…” ucapku singkat…, anne mengangguk, aku menyenderkan kepalaku ke langit, berkali-kali aku berdzikir dengan hikmat, sambil merenung segala sesuatu, syahadat, doa-doa, surat-surat aku bacakan dalam hati, suster pun datang ia ada di samping ku sedang mengisi botol minuman dengan air, anne hendak pegi ke supermarket untuk membeli ice krim, namun sebelum semua itu terjadi, aku tertidur pulas, sangat pulas, dan kepuasan batinku sungguh sudah selesai, semua tercapai, aku bisa melihat awan, mestipun hanya sekali saja…
    Lalu tiba-tiba keadaan menjadi ramai, dan aku tak ingat lagi selanjutnya, hanya awan yang kuingat, dan kini aku menghilang dari kehidupan orang-orang yang menyayangiku dengan tenang…

    Aku sayang kalian…

    Cerpen Karangan: Shafia Hasan
    Blog: Https://shafiahasan.blogspot.co.id

    Artikel Terkait

    Aku Hanya Ingin Melihat Awan Pertamaku
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email