Hijrah Cinta

Baca Juga :
    Judul Cerpen Hijrah Cinta

    Lila tersadar dari lamunannya ketika Gia mencoba menepuk pundak kanannya. “Giaaaaa…” teriak Lila kesal.
    “sorry deh sorry.. lagian dari tadi ngelamun aja, ngelamunin apa sih?” tanya Gia penasaran.
    “mau tau?”. tawar Lila dengan wajah tersenyum.
    “ya mau lah,” jawab Lila girang.
    “kepo!!” jawab lila sembari meninggalkan Gia yang menunggu jawaban dari Lila.
    Gia mendengus kesal. Dia tahu bahwa Lila mempunyai masalah yang membuatnya melamun berkepanjangan.

    Kampus dan area masjid mulai sepi. Mereka meninggalkan kampus beberapa menit yang lalu. Maklum mereka dekat bagaikan saudara kandung, kemana-mana selalu berdua, sarapan berdua, tidur berdua. Pokoknya segala hal mereka lakukan berdua. termasuk kuliah pun satu kelas, satu universitas, satu kostan lagi.

    Hari itu menjadi hari yang melelahkan untuk mereka berdua. disandarkannya badan mungil di atas dipan kesayangan berwarna ijo tosca. Melirik ke samping, terdapat pas photo ukuran 5 R bergambarkan seorang lelaki mengenakan kemeja putih. Berkacamata hitam. Dia Rahman. Seorang laki-laki yang menemani lila sampai saat ini. Dalam arti bukan sepasang suami istri melainkan sepasang kekasih yang romantis. 3 tahun lamanya kedekatan Lila dan Rahman menjadi sepasang kekasih. tak hanya mereka bahkan orangtua mereka pun telah merestui hubungan mereka.
    Tapi, akhir-akhir ini komunikasi antara Lila dan Rahman sedikit renggang. Entah mengapa sms tak pernah dibalas, telepon jarang sekali diangkat. Itulah hal yang sedang Lila khawatirkan saat ini.

    “gimana kabar Rahman lil?” tanya Gia mendekati Lila.
    “masih tak ada kabar gi, aku udah lelah sama sikap Rahman yang seolah-olah membiarkanku seperti ini. Tak dianggap.” Lila mendengus menunjukan kekesalan.
    “sabar ya lil, mungkin Rahman sibuk kali. Makannya dia jarang kontek kamu.” Jawab Lila bernada tenang.
    “tapi kan sesibuk apapun dia pasti ada kabar.” Jawab lila.
    “tunggu aja deh sampai ada kabar.. takutnya kamu suudzon loh.” Tangkis Gia bernada menyindir.
    “iya iya…” jawab Lila kesal lagi.

    Malam yang dingin ditemani semilir angin menembus kulit menusuk tulang. suara orkestra di pelataran taman hampir menembus dinding kostan Lila dan Gia. Malam ini terasa beku. Tak ada kabar sedikitpun dari Rahman. Bagi Lila ini adalah sebuah penantian yang panjang dan tak berujung, yang membuat Lila gundah dan gelisah, galau dan merana. Dini hari Lila melaksanakan ibadah yang menjadi rutinitasnya setiap hari. Apalagi kalau bukan solat tahajjud. Hal yang selalu membuatnya damai dan tenang.

    Lila selalu meminta kepada-Nya tentang semua hal. Termasuk Rahman kekasihnya. Tak bosan-bosan Lila meminta yang terbaik untuk dirinya dan Rahman. meminta dilancarkan agar hubungannya tetap aman sampai waktu itu tiba. Tapi sekarang hubungan Lila malah tidak aman dan sering dilanda kekhawatiran. Selalu ada curiga yang berujung kepada suudzon tingkat tinggi. Tapi Alloh mengirimkan Gia, sahabat terbaik Lila sejak duduk di bangku SMP. Dia yang selalu mengingatkannya bahwa suudzon adalah hal yang tidak baik, dan hukumnya dosa.

    7 hari berlalu begitu cepat. Tugas kuliah tingkat 4 semakin menumpuk, presentasi, makalah, penelitian dan tugas lainnya. Terkadang bisa membuat kepala pusing, tapi tak kalah pusingnya dengan Rahman, Rahman dan Rahman.

    Di tujuh hari ini Lila sempat mendapatkan sms nyasar. Sms dengan rangkaian kalimat yang romantis, kalimat yang bisa meluluhkan hati banyak perempuan, kata-kata yang layaknya digunakan oleh kalangan dewasa. Lila hanya bisa tersenyum melihatnya, Lila teringat Rahman yang selalu mengirimnya sms romantis, tak kalah romantisnya dengan sms nyasar itu. Tapi itu dulu, ketika Lila selalu bersama Rahman. sekarang jarang malah tidak lagi. Lila hanya mendengus kesal jika pikirannya teringat kepada laki-laki itu. “laki-laki tidak punya tanggung jawab.” Ucap Lila.

    Hari ini ada mata kuliah bahasa inggris. Lila dan Gia yang mempunyai hoby yang sama selalu menyambut mata kuliah ini dengan penuh keceriaan. Karena bahasa inggris ini sudah menjadi makanan sehari-hari, saking piawaynya dalam bahasa inggris.

    Sore itu pukul 16.00. Lila dan Gia pulang bersama-sama mengendarai motor milik Gia. Di perjalanan pulang tepatnya di pinggiran kota Bekasi ada sesuatu yang sangat mengganggu pandangan mata. Gia melihat seorang lelaki memakai kemeja biru dan seorang perempuan yang duduk di belakang motor milik si laki-laki. Gia berhenti tiba-tiba membuat badan Lila terdorong ke depan.
    “hati-hati gi…!!!” ucap Lila dengan perasaan tekaget-kaget. “Rahman dan Airin? Kenapa mereka bisa barengan gitu sih?” tanya Gia di dalam hati dipenuhi dengan tanda tanya.
    Gia merasa aneh dan curiga dengan Rahman. “apa Rahman…?”. pikir Gia panjang.
    “Gia… ayo jalan lagi, kenapa berhenti? Ada apa?” tanya Lila penasaran.
    “ehhh iya iya lil maaf, nggak ada apa-apa ko. Aku teringat bukuku ketinggalan di kampus”. Jawab Gia asal-asalan.
    “makannya lain kali teliti dong..!!” ucap Lila.
    “iya iya…” Gia melanjutkan perjalanannya dengan perasaan campur aduk antara aneh dan curiga.

    Minggu selanjutnya masih seperti minggu yang lalu. Tak ada kabar dari Rahman. Lila sudah hampir lupa. Gia dan Lila masih bersama-sama. Tak ada yang berubah.

    Serambi mesjid kampus Al-Azhar mulai ramai dengan para mahasiswa yang tengah melaksanakan solat ashar. Begitu juga dengan Lila dan Gia. Dua sejoli. Begitulah teman-teman memanggilnya karena kedekatannya dan tak pernah berpisah. Dilihatnya handphone Lila berwarna hitam berkilau, terdengar suara nada BBM seperti ada pemberitahuan masuk. Tiba-tiba Lila tercengang, mulut terbuka, matanya berkaca-kaca melihat kabar kekasihnya bersanding, berfoto bersama dengan temannya sendiri. Airin. Gia yang asyik membereskan mukena kini berpaling melihat sahabatnya menangis kesakitan. Lila berbalik arah memeluk sahabat karibnya, mencoba mencari sandaran untuk tetap kuat, dipeluknya Gia semakin erat. Gia yang hanya diam karena Gia lebih dulu mengetahui kebusukan Rahman di belakang Lila waktu di pinggiran kota Bekasi 2 minggu yang lalu. Sungguh ironi nasib Lila.

    Lila dan Gia bergegas meninggalkan masjid yang mulai sepi. Pukul 17.00 mereka sampai di kostan lebih lambat dari biasanya. Lila hanya bisa menangis menyembunyikan guliran air mata di balik selimut tebal miliknya.
    “sudah lil, pasrahkan saja kepada Alloh. Mungkin ini cara Alloh untuk menjauhkanmu dari Rahman. Alloh memberikan petunjuk bahwa Rahman bukan laki-laki yang baik. In syaa Alloh di luar sana masih banyak laki-laki yang Alloh siapkan untukmu.” Ucap Gia menyemangati.
    “iya gi, aku faham. Pantas saja akhir-akhir ini Rahman lebih banyak menghindar dariku, ternyata dia punya yang baru.” Ucap Lila terisak.
    “tenang lil, jangan merasa rendah seperti itu. In sya Alloh kamu lebih mulia di mata Alloh. Alloh pasti akan memberikan yang lebih kepadamu. Mulai sekarang lupakan Rahman, fokuskan niat awal kamu untuk tidak mengenal lagi yang namanya pacaran. Hijrah lil hijrah!!.” Ucap Gia menyemangati.
    “iya gi, kejadian ini membuatku sadar. Kejadian ini memberikanku tamparan keras dan teguran bahwa pacaran itu hanya kesenangan sesaat. Tidak ada manfaatnya.” Ucap Lila sendu.
    “alhamdulillaah.. aku seneng melihat Lila yang seperti ini, selalu ceria dan nggak putus asa. Sekarang hapus air matamu dengan berwudhu. Solat maghrib akan tiba lima menit lagi, kita berjama’ah yaa..!!.” tawar Gia.
    “ia giii… seperti biasa.” Ucap Lila bernada tenang.

    Malam itu hangat. Sehangat persahabatan Lila dan Gia. Lila yang selalu mendapatkan masukan dan saran dari Gia. Begitu juga dengan Gia. Hari selanjutnya mereka lewati dengan santai tapi serius. Di gerbang utama Universitas Al-Azhar mereka bertemu dengan Dinda. Teman sekelas Lila yang cerewet dan berisik datang menghampiri. Tiga orang perempuan itu berjalan bersama menuju kelas. Di sekitar kampus yang luas nan sejuk, Lila berpapasan dengan airin. Kekasih barunya Rahman.
    “ohh ini yaa lil perempuan gatel yang membuat hubungan kamu jadi retak?.” Tanya Dinda dengan nada menyindir. “kamu nggak punya hati ya, bisa-bisanya ngerebut pacar orang. Dasar perempuan gatel..” sambung Dinda panjang lebar.
    “udahlah din, aku udah ikhlas kok. Aku sedang menunggu laki-laki yang sedang alloh persiapkan, pastinya lebih baik.” Ucap Lila sembari tersenyum.
    “duuhh.. untungnya kamu penyabar lil!!” ucap Dinda menghela nafas. Airin hanya terdiam kaku mendengar percakapan antara Dinda, Lila dan Gia. Malu dan merasa bersalah. Mereka pun berlalu meninggalkan airin tanpa reaksi apapun. Percuma saja marah-marah di depan airin hanya untuk mempermasalahkan Rahman. Laki-laki tak bertanggung jawab itu. Hanya membuang tenaga saja.

    Beberapa menit berlalu begitu cepat. Waktu istirahat selalu dimanfaatkan Lila dan Gia untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah, diskusi, curhat dan hal-hal yang bermanfaat lainnya. Begitu juga dengan mahasiswa lainnya, memanfaatkan waktu istirahat dengan makan siang di kantin, bercanda, membaca buku dan aktifitas lainnya. Kampus ini luas dan nyaman, apalagi area masjid yang selalu ramai oleh warga kampus yang menunaikan solat.

    Disela-sela asyiknya beraktifitas, seseorang datang menghampiri mereka berdua, siapa lagi kalau bukan Rahman.
    “hay Lila..!!” sapa Rahman begitu lembut.
    “waa’alaikumsalam” jawab Lila tandas.
    “eh iya aku lupa, maaf deh!!” tawar james seolah manja.
    “mau ngapain lagi kamu ke sini, setelah sekian lama nggak ada kabar sama sekali. Asal kamu tau ya aku bukan perempuan bodoh seperti pacar baru kamu itu.” Jawab Lila mulai geram. Gia ikut berdiri mencoba menahan amarah sahabatnya itu.
    “apa maksud kamu lil?”. Tanya Rahman terbelalak.
    “jangan pura-pura dehh, aku udah tau semuanya mulai dari upload poto sama si airin, boncengan di jalan, sms romantis itu, dan serangkaian akal bulus kamu, aku tak sebodoh pacar baru kamu itu, jangan harap aku akan menerima kamu kembali. Aku sudah cape.” Tandas Lila panjang lebar dengan mata berkaca-kaca. Lila meluapkan seluruh kesakitannya kepada Rahman. Rahman hanya terdiam tanpa kata, tak mampu membalas ocehan Lila. Lila meninggalkan Rahman begitu saja tanpa menghiraukan Gia, sahabatnya. Gia yang hanya mendengarkan kini angkat bicara.
    “udah ya Rahman jangan coba-coba mendekati Lila lagi, sudah cukup kamu menyakiti dia saperti ini. Lelaki macam apa kamu Rahman?”. Bisik Gia ke arah telinga Rahman, seolah menyindir tetapi memang kenyataan.
    Gia berlalu meninggalkan Rahman. Lila yang hanya duduk terdiam di kursi, mencoba mencari ketenangan. Di peluknya erat Gia yang duduk di samping Lila.

    “terimakasih ya gi kamu udah bantu aku.” Ucap Lila tersenyum.
    “iya lil.. sudah seharusnya aku seperti itu kepada sahabatku sendiri.” Balas Gia tersenyum. Hari itu menjadi hari yang sangat menyedihkan, tapi ini juga cara yang terbaik dari Alloh untuk Lila. Berpisah dari orang yang belum tentu baik menurut Alloh. Tapi Lila bersyukur atas kejadian ini, Lila bisa menyadari bahwa pacaran itu memang tidak perlu dan hanya kesenangan sesaat..

    TAMAT

    Cerpen Karangan: Latifah Nurul Fauziah
    Facebook: Nurul

    Artikel Terkait

    Hijrah Cinta
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email