Aku rebeca, siswi menengah atas yang telah mematikan saklar cintaku.Tapi apalah daya, jika aku malah jatuh hati pada muridku sendiri.
‘ada ruang hatiku yang kau temukan
Sempat aku lupakan, kini kau sentuh..
Aku bukan jatuh cinta, namun aku jatuh hati..
Kuterpikat pada tuturmu, aku tersihir jiwamu..
Terkagum pada pandangmu, caramu melihat dunia
Kuharap kau tahu bahwaku terinspirasi hatimu..
Ku tak harus memilikimu, tapi bolehkahku slalu.. Di dekatmu..’
“Ahh.. Lagunya habis!” rutukku kesal karena lagu di radio ku habis. Kenapa di radio? Karena aku tak diperbolehkan memegang handphone oleh mama. Jika kutanyakan hal ini pada mama alasannya pasti karena takut aku salah pergaulan atau apalah, yang jelas aku tersiksa dengan semua ini.
“Ish.. Penyiar radionya ngoceh mulu lagi, gue kan masih pengen denger lagu raisa!!” teriakku sembari berguling guling di kasur. Ya, aku sangat suka lagu raisa yang satu ini. Tapi kau tahu? Walau begitu aku ini gadis yang telah memutuskan saklar cintaku. Sejak pacar pertamaku mengkhianatiku, aku memutuskan untuk tak membuka hatiku lagi.
Kulihat jam berbentuk love imut yang terpasang di dinding kamar bernuansa pink ini, sudah jam 12 malam. Aku langsung mematikan radio dan lampu kamar, terlihatlah bintang bintang glow in the dark di langit langit kamar. Setelahnya aku langsung terjun ke dunia mimpi yang sangat indah.
Kakiku melangkah cepat di sepanjang koridor, sangat cepat! Jika kalian bertanya jawabannya adalah karena aku takut. Koridor SMA ini sangatlah seram, pagi maupun malam suasananya sama saja. “Rebecca!! Oh my good cepet banget sih jalannya” teriak seseorang membuatku menoleh. Dari kejauhan kulihat sahabat alay lebayku, dinar, sedang berlari ke arahku. Aku menggelangkan kepala kecil lalu kembali berjalan sembari menyenandungkan sebuah lagu. Tapi jalanku kali ini lebih santai agar dinar bisa menyusulku.
“Heh, lo jahat banget sih! Main tinggalin aja” protesnya membuatku terkekeh pelan.
“Kelasnya jauh sih, jadi pengen sampai” kataku pura pura cuek.
“Ah itumah alasan lo doang, pelanggaran! Sebagai penalti lo harus cariin gue pacar” perintahnya bak nenek sihir.
“Sembrono lo, ogah banget gue nyariin pacar buat playgirl” kataku membuatnya manyun.
Tak lama kami sudah memasuki kelas dan aku langsung menghempaskan tas dan bokongku. “Bec, minjem tugas donkk.. Hehe..” kata dinar. “Dasar pemales lo! Nih, beruntung lo punya sahabat yang baik hati dan tidak sombong kayak gue” cerocosku. “Halah, bodo ah!” katanya kalah telak membuatku tertawa kecil.
“Rebecca! Kamu rebecca kan?” panggil seorang cowok membuatku menengok, ternyata leo, teman sekelasku yang tak pernah mengobrol ataupun berurusan denganku. “Ya?” tanyaku datar. “Lo dipanggil ke ruang guru, bareng gue!” katanya membuatku beranjak dari kursi. Aku berjalan mendahuluinya karena aku memang tak suka dengannya, walaupun tanpa alasan yang jelas. Ok sebut saja aku si aneh karena membenci orang yang tak kukenal dekat.
“Permisi, pak hari nya ada?” kataku sopan membuat semua guru yang ada menengok. “Oh, rebecca, leo! Sini masuk” kata pak hari di mejanya membuat aku maupun leo masuk dan menduduki kursi di depan pak hari. Pak harianto atau disebut pak hari ini adalah guru sekaligus om ku. Wajahnya tampan walau sudah berkepala dua, dan itulah yang membuatnya populer di kalangan siswi SMA ini.
“Ada apa pak? Langsung ke intinya saja ya!” kataku tegas. “Kamu ini tegas sekali bec, ok langsung ke inti ya! Kamu tahu kan nak leo ini nilainya jeblok semua?” tanyanya membuatku menoleh sekilas ke arah leo dan mengangguk. “Om mau kamunjadi guru privatenya sampai dia jadi pintar” jelasnya membuatku terkejut. “Apa! Gak mau” teriakku dan leo berbarengan. “Ciee.. Barengan! Sudah ya, bel masuk sudah berbunyi jadi langsung masuk kelas” katanya santai lalu bangkit dari kursinya. “Ini semua gara gara lo! Kenapasih harus gue yang kena, aaargh!” kata leo terlihat frustasi. “Bukannya gue yang harusnya bilang gitu ya? Jangan nyusahin deh lo” kataku sinis lalu meninggalkan ruangan itu aku mendengar gumaman nya. “Pedes banget kata katanya” gumamnya. Jadilah kebencianku meningkat 1 kali lagi padanya.
“Lo kenapa dipanggil ke ruang guru bec? Ada masalah apa? Kok bareng leo” tanya dinar bertubi tubi sesampainya di kelas. “Gue males ngebahas itu” kataku ketus lalu duduk di kursi. Tampaknya ia mengerti lalu memilih mengobrol dengan temannya, hufft…
Gara gara leo aku jadi tak bisa shoping lagi. Seperti saat ini, aku sedang di ruang tamu rumah leo dan dia seenaknya saja meninggalkanku ke kamar. “Eh ada tamu, leo nya mana?” tanya seorang paruh baya yang baru masuk. Aku menyaliminya karena dia mama-nya leo. “Perkenalkan saya rebecca, saya temen sekaligus guru private leo” kataku sopan. “Ooh, iya tante juga sudah dikasih tahu! Kamu cantik ya” pujinya membuatku tersipu. “Tante bisa aja! Tapi maaf tant sepertinya leo tidak mau belajar dengan saya” kataku dengan nada disedih sedihkan. “Betulkah? Haduh dasar leo, tunggu ya tante panggilin dulu” katanya lalu menaiki tangga hendak ke kamar leo. Tak lama leo datang dengan wajah kusut.
“Apaan sih lo pake manggil mama gue segala” kata leo kesal. “Lo pikir gue mau jadi guru private lo? Nggak kali, gue juga ogah!” ketusku dengan mengkeraskan kata ‘ogah’. “Ya udah pulang sono!” usirnya membuatku kesal, kesal banget. Aku meredamkan amarah-ku dengan memejamkan mata dan menghela nafas panjang. “Mending lo jadi pinter dulu deh, baru gue keluar dari hidup lo” kataku agak tenang lalu menarik tangannya untuk duduk di kursi seberangku. Aku membuka buku pelajaranku dan disodorkan padanya.
“Nih cepet isi! Gue udah kumpulin soal soal” kataku ketus.
“Gak perlu, gue udah pinter” tolaknya datar.
“Halah.. Pinter pala lo! Cepetan isi!” kataku tak sabar.
Dia mengambil bukuku dan mengisinya dengan cepat.
“Nih” katanya menyodorkan bukuku. “Ck, asal asalan ya lo?” tanyaku dan mendapat jawaban angkat bahu darinya. Hiiih!! Aku langsung memeriksa semuanya dan merasa terkejut setengah mati. “Kok bisa bener semua sih? Kalau di sekolah kok lo bodoh sih?” tanyaku tak percaya. “Aestivasi” jawabnya membuatku mengkerutkan kening, apa maksudnya coba? “Gue punya penyakit aestivasi, yang artinya kalau siang hari gue suka ngantuk parah dan tidur” katanya. Aku terdiam, sedikit merasa bersalah sebenarnya. “Oh” kataku singkat lalu membereskan barang barangku. Sebelum aku beranjak pergi dia langsung memegang tanganku. “Eits.. Besok gue tunggu di parkiran ya” katanya. Aku langsung mengangguk dan berlari dengan muka merah padam.
Seperti yang leo bilang kemarin, dia benar benar menungguku di parkiran. Kayaknya dia sudah menunggu lama sekali, karena hari ini aku ikut les tambahan. Aku mendengus sebal, padahal rencananya aku dan dinar ingin ke mal hari ini. “Nar, ke mal nya gak jadi ya” kataku memelas. “Iya deh, yang udah ditungguin sama pacarnya mah..” sindirnya membuat moodku tambah menurun. “Tau ah lu mah, gue juga terpaksa kali” kataku manyun. “Haha.. Iya gue ngerti! Duluan ya beibs, bye” pamitnya lalu ngerti. Aku menghela nafas kasar dan menghampiri leo. “Beneran ngejemput lo?” kataku ketus. “Iyalah, ngapain dulu lo? Lama amat” protesnya. “Oh ya, hari ini kita belajar di cafe” lanjutnya lalu masuk ke mobil. Aku juga mengikutinya dengan memasuki tempat sampingnya. “Gue kira lo mau duduk di depan” katanya dengan seringaian menyebalkan. “Serah lo deh” jawabku lalu memakai sabuk pengaman. “Cafe mana sih emangnya?” tanyaku melapaskan keheningan. “Cafe yang gue suka” jawabnya singkat padat jelas. Akhirnya kami diserang hening lagi. Membosankan! Karena tak nyaman aku memilih mengotak atik radio mobil.
‘ada ruang hatiku, yang kau temukan..’
“Lo suka lagu itu?” tanya leo tiba tiba. “Iyalah, emang kenaa?” tanyaku balik. “Gue juga suka” jawabnya riang. “Dih.. Inikan lagu cewek” ejekku. “Yee.. Ini kan lagu umum jadi siapapun bisa suka” katanya tak mau kalah. Aku hanya mengangkat bahu tanda menyerah. “See, gue menang” katanya dengan nada datar. “Lo gak menang, tapi gue nyerah” protesku. Hening lagi…
‘kuterpikat pada tuturmu, aku tersihir jiwamu..
Terkagum pada pandangmu, caramu melihat dunia..
Kuharap kau tahu bahwa ku terinspirasi hatimu.. Ku tak harus memilikimu, tapi bolehkah ku slalu didekatmu..’
Tanpa sadar aku dan leo malah nyanyi barengan. “Ciee kita barengan, pas lagi waktu lagunya berhenti kita langsung nyampe” katanya girang lalu turun dari mobil. Aku langsung menyusulnya masuk ke cafe. “Mau mesen apa lo?” tanyanya setelah melihat lihat menu. “Gue steak daging sama cappucino” pesanku. Tanpa diduga dia malah memesan menu yang sama denganku. “Kenapa nyamain?” protesku. “Gue kira lo yang nyamain, soalnya setiap ke sini gue suka mesen itu” ujarnya membuatku bungkam. Aku memberikan kumpulan soal soal (lagi) untuk leo dan dia langsung mengerjakannya.
“Leo, lo ngerasa nggak sih kalau usaha kita belajar tuh sia sia aja” kataku membuatnya mengangkat satu alis. “Sia sia gimana?” tanyanya sembari mengisi soal. “Ya.. Kemarin lo bilang punya penyakit aestivasi, percuma aja dong lo belajar terus menerus tapi tidur juga” cerocosku lalu bertopang dagu. Dia malah menatapku tak percaya. “Lo percaya tentang aestivasi itu? Gue bohongan lho, gue cuman males aja ngerjain soal dari guru guru itu” katanya santai membuatku marah besar. “Jahat lo! Jahat! Lo nipu gue, buat apa gue ngajarin lo kalau lo-nya yang pemales! Aargh..” rutukku sambil memukul mukul keras lengannya.
“Ampun ampun.. Sakit tahu!” katanya setelah aku puas memukulnya. “Salah siapa lo ngebohongin gue, terus kenapa nilai lo anjlok semua? Kenapa males?” tanyaku kesal. Pesanan datang memutuskan jawaban leo. Leo langsung membayar membuatku melongo. “Lho, kok lo yang bayar?” tanyaku bingung. “Emang kenapa? Kqn gue yang ngajak” katanya cuek lalu kembali mengerjakan soal dariku. “Hufft.. Terus apa alasan lo males?” tanyaku lagi. Bukannya menjawab dia malah menatapku dalam, seolah sedang membicarakan banyak hal tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. “Nanti gue kasih tahu” katanya kembali menulis. Aku terdiam.
Kriiiiiing…!!! (bel istirahat)
“Bec, hari ini gue izin yah! Gue pusing banget” kata dinar. Memang hari ini wajahnya pucat dan dia terlihat lemas. “Yaudah, lo hati hati ya” kataku perhatian. “Yo’I, bilangin ke guru ya bye!” pamitnya lalu pergi. Aku menghela nafas panjang lalu pergi ke taman. Bila tak ada dinar aku malas ke kantin. Aku membuka buku novelku yang berjudul ‘jadian 6 bulan’. “Nih!” seseorang menyodorkan somay (sorry kalau tulisannya salah) yang terbungkus padaku membuatku mendongak. “Apaan?” tanyaku tak mengerti. “Ini buat lo! Gue liat lo kesepian gitu yaudah gue beli 2 somay” ujarnya yang tak lain adalah leo. Dia duduk di kursi yang sama denganku. Aku mengambil 1 bungkus somay di tangannya membuatnya mendengus. “Dasar” ejeknya.
“Hee.. Tapi tumben lo baik banget, gak ada maksud tertentu kan?” tanyaku. Dia menggeleng pelan. “Gak, gue lagi kesepian aja” katanya sambil bersandar dengan mata yang terpejam. Seperti air di danau yang tak tersentuh, dia terlihat tenang dan damai. “Lo tahu, lo itu ganteng tapi nyebelin” kataku ikut ikutan bersender ke kursi. “Iya gue tahu kalau gue ganteng, tapi gue gak tahu kalau gue nyebelin” katanya santai. “Itu salah satu jawaban nyebelin dari lo” ujarku ketus. “Bec, gue mau nanya satu hal deh” katanya tiba tiba membuatku menoleh. “Ya?” tanyaku singkat. “Lo kenapa sih ketus banget sama gue dan cowok?” tanyanya serius. Aku menelan ludah yang terasa gurih karena memakan somay. “Oh itu.. Jadi.. Gue itu.. Benci cowok” kataku sedikit gagap. “Oh ya? Kenapa?” tanyanya lagi. “Lo bilang cuman nanya satu hal kan?!” protesku. “Iya deh, ngalah gue” cemberutnya membuatku tertawa kecil.
Kriiiing…!!
“Yaah, bel masuk! Padahal gue masing pengen ngobrol sama lo” katanya. “Nanti bisa kali, besok juga bisa” kataku lalu bangkit dari kursi. “Gak bisa” jawabnya membuatku mengalihkan pandangan padanya. “Maksud lo?” tanyaku heran namun tak dibalas apa apa olehnya. “Ck.. Yaudah gue duluan” pamitku lalu berjalan menuju kelas.
4 minggu kemudian
Untuk kesekian kalinya aku menghela nafas panjang. Ya, sudah 4 minggu leo tak datang ke sekolah. Tapi menurut info yang beredar, leo memang sudah keluar dari sekolah. Jujur… Aku kangen padanya. Kangen tawanya, candanya, kangen semua ulah dan tingkahnya. “Rebecca oh my good! Liat deh berita yang gue temuin, salah satu murid dari sma kita jadi direktur di perusahaan penerbitan ternama!! Keren banget kan” ujar dinar heboh. “Gak sama sekali” kataku lalu berpangku tangan ke meja. “Yeeh.. Napa sih lo? Tumben loyo gitu” tanyanya. “Gue lagi sakit nih..” kataku lemah. “Yaudah nanti istirahat lo pulang aja” katanya penuh perhatian lalu kembali mencatat pelajaran yang ada di papan tulis. Oh good, berarti tadi dinar bermain handphone saat pelajaran tengah dimulai?! Biarkan sajalah. Tiba tiba ingatan leo dan aku saat di cafe waktu itu terngiang ngiang di kepalaku.
Flashback on
“Nanti gue kasih tahu” jawab leo sembari kembali menulis, aku terdiam. Apakah alasannya itu sangat penting sampai sampai dirahasiakannya? “Tapi kalau boleh tahu cita cita lo itu apa sih leo?” tanyaku penasaran. “Aah.. Akhirnya selesai juga soal soal dari lo! Cita cita gue.. Pengen jadi direktur penerbitan terkenal! Gue ngerasa kasian sama para penulis yang kemampuan mereka tertimbun di dalam tanah” katanya sungguh sungguh. “Iya? Kalau gitu gue dukung deh, soalnya dari dulu gue pengen banget punya buku novel sendiri” ujarku dengan mata berbinar. “Umm.. Kalau gitu gue mau bantu lo” katanya yakin. “Hahaha.. Ngaco lo! Baru kelas 1 SMA juga” ejekku. Lagi lagi dia menatapku dalam, seperti yang ia lakukan tadi. “Lo tahu? Seorang pria pasti akan berusaha untuk membuat gadis yang dicintainya bahagia” katanya. Aku hanya terbungkam, tak tahu apa maksud dari perkataannya. “Udahlah, kita pulang yuk!” ajaknya dan dibalas anggukan olehku. Dia menggenggam tanganku dan menariknya lembut, menebas hujan gerimis yang menghalangi langkah kami.
Flashback off
Menyadari hal itu aku langsung bangkit dan bertanya pada dinar. “Nar, siapa direktur sukses dari penerbitan itu?” tanyaku menggebu gebu. “Lo bener bener gak tahu ya? Si leo itu lho, yang jadi murid lo!” katanya sembari tertawa kecil. “Nar, telephone gue!” kataku cepat. “Lah, lo kan gak dibolehin pake hp” katanya bingung. “Iya ya? Kalau gitu gue minjem hp lo!” pintaku. Dengan bingung dia memberikan handphone nya padaku. Aku langsung menyalakan nada dering membuat seisi kelas riuh. “Rebeca, itu handphone kau?” tanya bu guru yang bergenre orang batak dan papua itu. “Maaf buk, papa saya nyuruh saya pulang duluan.. Ada urusan penting katanya, boleh kan bu?” tanyaku sopan. “Oh, kau boleh pulang sekarang.. Nanti beta bilang pada kepsek” katanya.
Aku langsung beres beres barangku termasuk mengembalikan handphone pada dinar. “Bec, lo..” “Thanks bantuannya” kataku tersenyum dan dia juga balas tersenyum. Dengan bergegas aku salim ke bu guru dan keluar kelas. Sembari berlari aku memikirkan semua perlakuan dan perkataan leo yang terasa janggal untukku. Leo yang menungguku dengan lamanya di parkiran, leo yang ternyata mengikutiku bernyanyi di mobil, perkataan girangnya saat kita nyanyi bersama, leo yang baru gue sadar kalau pesanannya disamakan denganku, leo yang berbohong padaku tentang aestivasi, leo yang menemaniku di taman, sampai perkataannya yang ingin membahagiakan wanita yang dicintainya, leo..! Leo..! Leo..! Mungkinkah aku jatuh hati padanya?
Langkahku terhenti begitu melihat sosoknya tengah merenung di halte depan cafe. Aku berjalan mendekatinya dengan beruraian air mata. Setelah berada di dekatnya aku merasa tenang, saat menghirup kembali aroma parfumnya aku merasa dia hanya milikku, dan setelah bertemu lagi dengannya aku ingin memeluknya, tapi aku tak bisa. Dengan tenaga yang tersisa aku menamparnya, menguapkan rasa kesal dan rindu yang ada pada diriku.
“Apaan… Rebeca! Rebeca kamu nangis?” leo langsung bangkit dan menghapus air mataku. Aku langsung menepisnya. “Jangan pegang pegang!” teriakku. Kulihat dia terkejut. “Kemana aja kamu selama ini? Kenapa seenaknya aja hilang dari pandangan aku? Satu bulan lqgi! Kenapa kamu ngebuat aku ngerasain kangen? Kenapa?! Jahaaat!!” aku memukul mukulnya, tapi dia memegang kedua tanganku dan mengecupnya membuat rasa tenang timbul di hatiku.
“Kamu mau tahu kenapa aku malas jadi orang yang pinter? Jawabannya karena jika aku pintar, kamu gak akan bisa jadi guru private aku lagi” jelasnya membuatku terharu. Ditengah tengah romansa, lagu raisa – jatuh hati dinyanyikan di cafe belakang dan itu membuatku tambah menangis. “Aku pergi, karena aku ingin mendirikan bangunan penerbitan, menuliskan kisah kita dan menjadikannya sebuah buku” ujarnya lagi. Kali ini dia membungkuk dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah maroon polos. Saat dibuka, isinya adalah 2 cincin yang sangat indah. “Aku tahu kamu benci sama cowok, dan aku ngerti kamu gak mau jatuh cinta.. Tapi izinkanlah aku untuk membuatmu jatuh hati padaku. Jadi, rebeca.. Maukah kamu jadi tunanganku?” tanyanya namun tak segera kujawab. “Please?” mohonnya. “Kamu pernah bilang kalau kamu ingin membahagiakan wanita yang kau cintai, jadi.. Buatlah aku bahagia dari sekarang sampai selamanya” kataku tegas. Dia tertawa kecil lalu memasang cincin itu padaku, begitupun aku. Kami pun berpelukan. Sungguh, kau telah membuatku jatuh hati padamu.
‘ada ruang hatiku yang kau temukan..
Sempat aku lupakan kini kau sentuh..
Aku bukan jatuh cinta namun aku jatuh hati..’
Happy ending
Cerpen Karangan: Indah
‘ada ruang hatiku yang kau temukan
Sempat aku lupakan, kini kau sentuh..
Aku bukan jatuh cinta, namun aku jatuh hati..
Kuterpikat pada tuturmu, aku tersihir jiwamu..
Terkagum pada pandangmu, caramu melihat dunia
Kuharap kau tahu bahwaku terinspirasi hatimu..
Ku tak harus memilikimu, tapi bolehkahku slalu.. Di dekatmu..’
“Ahh.. Lagunya habis!” rutukku kesal karena lagu di radio ku habis. Kenapa di radio? Karena aku tak diperbolehkan memegang handphone oleh mama. Jika kutanyakan hal ini pada mama alasannya pasti karena takut aku salah pergaulan atau apalah, yang jelas aku tersiksa dengan semua ini.
“Ish.. Penyiar radionya ngoceh mulu lagi, gue kan masih pengen denger lagu raisa!!” teriakku sembari berguling guling di kasur. Ya, aku sangat suka lagu raisa yang satu ini. Tapi kau tahu? Walau begitu aku ini gadis yang telah memutuskan saklar cintaku. Sejak pacar pertamaku mengkhianatiku, aku memutuskan untuk tak membuka hatiku lagi.
Kulihat jam berbentuk love imut yang terpasang di dinding kamar bernuansa pink ini, sudah jam 12 malam. Aku langsung mematikan radio dan lampu kamar, terlihatlah bintang bintang glow in the dark di langit langit kamar. Setelahnya aku langsung terjun ke dunia mimpi yang sangat indah.
Kakiku melangkah cepat di sepanjang koridor, sangat cepat! Jika kalian bertanya jawabannya adalah karena aku takut. Koridor SMA ini sangatlah seram, pagi maupun malam suasananya sama saja. “Rebecca!! Oh my good cepet banget sih jalannya” teriak seseorang membuatku menoleh. Dari kejauhan kulihat sahabat alay lebayku, dinar, sedang berlari ke arahku. Aku menggelangkan kepala kecil lalu kembali berjalan sembari menyenandungkan sebuah lagu. Tapi jalanku kali ini lebih santai agar dinar bisa menyusulku.
“Heh, lo jahat banget sih! Main tinggalin aja” protesnya membuatku terkekeh pelan.
“Kelasnya jauh sih, jadi pengen sampai” kataku pura pura cuek.
“Ah itumah alasan lo doang, pelanggaran! Sebagai penalti lo harus cariin gue pacar” perintahnya bak nenek sihir.
“Sembrono lo, ogah banget gue nyariin pacar buat playgirl” kataku membuatnya manyun.
Tak lama kami sudah memasuki kelas dan aku langsung menghempaskan tas dan bokongku. “Bec, minjem tugas donkk.. Hehe..” kata dinar. “Dasar pemales lo! Nih, beruntung lo punya sahabat yang baik hati dan tidak sombong kayak gue” cerocosku. “Halah, bodo ah!” katanya kalah telak membuatku tertawa kecil.
“Rebecca! Kamu rebecca kan?” panggil seorang cowok membuatku menengok, ternyata leo, teman sekelasku yang tak pernah mengobrol ataupun berurusan denganku. “Ya?” tanyaku datar. “Lo dipanggil ke ruang guru, bareng gue!” katanya membuatku beranjak dari kursi. Aku berjalan mendahuluinya karena aku memang tak suka dengannya, walaupun tanpa alasan yang jelas. Ok sebut saja aku si aneh karena membenci orang yang tak kukenal dekat.
“Permisi, pak hari nya ada?” kataku sopan membuat semua guru yang ada menengok. “Oh, rebecca, leo! Sini masuk” kata pak hari di mejanya membuat aku maupun leo masuk dan menduduki kursi di depan pak hari. Pak harianto atau disebut pak hari ini adalah guru sekaligus om ku. Wajahnya tampan walau sudah berkepala dua, dan itulah yang membuatnya populer di kalangan siswi SMA ini.
“Ada apa pak? Langsung ke intinya saja ya!” kataku tegas. “Kamu ini tegas sekali bec, ok langsung ke inti ya! Kamu tahu kan nak leo ini nilainya jeblok semua?” tanyanya membuatku menoleh sekilas ke arah leo dan mengangguk. “Om mau kamunjadi guru privatenya sampai dia jadi pintar” jelasnya membuatku terkejut. “Apa! Gak mau” teriakku dan leo berbarengan. “Ciee.. Barengan! Sudah ya, bel masuk sudah berbunyi jadi langsung masuk kelas” katanya santai lalu bangkit dari kursinya. “Ini semua gara gara lo! Kenapasih harus gue yang kena, aaargh!” kata leo terlihat frustasi. “Bukannya gue yang harusnya bilang gitu ya? Jangan nyusahin deh lo” kataku sinis lalu meninggalkan ruangan itu aku mendengar gumaman nya. “Pedes banget kata katanya” gumamnya. Jadilah kebencianku meningkat 1 kali lagi padanya.
“Lo kenapa dipanggil ke ruang guru bec? Ada masalah apa? Kok bareng leo” tanya dinar bertubi tubi sesampainya di kelas. “Gue males ngebahas itu” kataku ketus lalu duduk di kursi. Tampaknya ia mengerti lalu memilih mengobrol dengan temannya, hufft…
Gara gara leo aku jadi tak bisa shoping lagi. Seperti saat ini, aku sedang di ruang tamu rumah leo dan dia seenaknya saja meninggalkanku ke kamar. “Eh ada tamu, leo nya mana?” tanya seorang paruh baya yang baru masuk. Aku menyaliminya karena dia mama-nya leo. “Perkenalkan saya rebecca, saya temen sekaligus guru private leo” kataku sopan. “Ooh, iya tante juga sudah dikasih tahu! Kamu cantik ya” pujinya membuatku tersipu. “Tante bisa aja! Tapi maaf tant sepertinya leo tidak mau belajar dengan saya” kataku dengan nada disedih sedihkan. “Betulkah? Haduh dasar leo, tunggu ya tante panggilin dulu” katanya lalu menaiki tangga hendak ke kamar leo. Tak lama leo datang dengan wajah kusut.
“Apaan sih lo pake manggil mama gue segala” kata leo kesal. “Lo pikir gue mau jadi guru private lo? Nggak kali, gue juga ogah!” ketusku dengan mengkeraskan kata ‘ogah’. “Ya udah pulang sono!” usirnya membuatku kesal, kesal banget. Aku meredamkan amarah-ku dengan memejamkan mata dan menghela nafas panjang. “Mending lo jadi pinter dulu deh, baru gue keluar dari hidup lo” kataku agak tenang lalu menarik tangannya untuk duduk di kursi seberangku. Aku membuka buku pelajaranku dan disodorkan padanya.
“Nih cepet isi! Gue udah kumpulin soal soal” kataku ketus.
“Gak perlu, gue udah pinter” tolaknya datar.
“Halah.. Pinter pala lo! Cepetan isi!” kataku tak sabar.
Dia mengambil bukuku dan mengisinya dengan cepat.
“Nih” katanya menyodorkan bukuku. “Ck, asal asalan ya lo?” tanyaku dan mendapat jawaban angkat bahu darinya. Hiiih!! Aku langsung memeriksa semuanya dan merasa terkejut setengah mati. “Kok bisa bener semua sih? Kalau di sekolah kok lo bodoh sih?” tanyaku tak percaya. “Aestivasi” jawabnya membuatku mengkerutkan kening, apa maksudnya coba? “Gue punya penyakit aestivasi, yang artinya kalau siang hari gue suka ngantuk parah dan tidur” katanya. Aku terdiam, sedikit merasa bersalah sebenarnya. “Oh” kataku singkat lalu membereskan barang barangku. Sebelum aku beranjak pergi dia langsung memegang tanganku. “Eits.. Besok gue tunggu di parkiran ya” katanya. Aku langsung mengangguk dan berlari dengan muka merah padam.
Seperti yang leo bilang kemarin, dia benar benar menungguku di parkiran. Kayaknya dia sudah menunggu lama sekali, karena hari ini aku ikut les tambahan. Aku mendengus sebal, padahal rencananya aku dan dinar ingin ke mal hari ini. “Nar, ke mal nya gak jadi ya” kataku memelas. “Iya deh, yang udah ditungguin sama pacarnya mah..” sindirnya membuat moodku tambah menurun. “Tau ah lu mah, gue juga terpaksa kali” kataku manyun. “Haha.. Iya gue ngerti! Duluan ya beibs, bye” pamitnya lalu ngerti. Aku menghela nafas kasar dan menghampiri leo. “Beneran ngejemput lo?” kataku ketus. “Iyalah, ngapain dulu lo? Lama amat” protesnya. “Oh ya, hari ini kita belajar di cafe” lanjutnya lalu masuk ke mobil. Aku juga mengikutinya dengan memasuki tempat sampingnya. “Gue kira lo mau duduk di depan” katanya dengan seringaian menyebalkan. “Serah lo deh” jawabku lalu memakai sabuk pengaman. “Cafe mana sih emangnya?” tanyaku melapaskan keheningan. “Cafe yang gue suka” jawabnya singkat padat jelas. Akhirnya kami diserang hening lagi. Membosankan! Karena tak nyaman aku memilih mengotak atik radio mobil.
‘ada ruang hatiku, yang kau temukan..’
“Lo suka lagu itu?” tanya leo tiba tiba. “Iyalah, emang kenaa?” tanyaku balik. “Gue juga suka” jawabnya riang. “Dih.. Inikan lagu cewek” ejekku. “Yee.. Ini kan lagu umum jadi siapapun bisa suka” katanya tak mau kalah. Aku hanya mengangkat bahu tanda menyerah. “See, gue menang” katanya dengan nada datar. “Lo gak menang, tapi gue nyerah” protesku. Hening lagi…
‘kuterpikat pada tuturmu, aku tersihir jiwamu..
Terkagum pada pandangmu, caramu melihat dunia..
Kuharap kau tahu bahwa ku terinspirasi hatimu.. Ku tak harus memilikimu, tapi bolehkah ku slalu didekatmu..’
Tanpa sadar aku dan leo malah nyanyi barengan. “Ciee kita barengan, pas lagi waktu lagunya berhenti kita langsung nyampe” katanya girang lalu turun dari mobil. Aku langsung menyusulnya masuk ke cafe. “Mau mesen apa lo?” tanyanya setelah melihat lihat menu. “Gue steak daging sama cappucino” pesanku. Tanpa diduga dia malah memesan menu yang sama denganku. “Kenapa nyamain?” protesku. “Gue kira lo yang nyamain, soalnya setiap ke sini gue suka mesen itu” ujarnya membuatku bungkam. Aku memberikan kumpulan soal soal (lagi) untuk leo dan dia langsung mengerjakannya.
“Leo, lo ngerasa nggak sih kalau usaha kita belajar tuh sia sia aja” kataku membuatnya mengangkat satu alis. “Sia sia gimana?” tanyanya sembari mengisi soal. “Ya.. Kemarin lo bilang punya penyakit aestivasi, percuma aja dong lo belajar terus menerus tapi tidur juga” cerocosku lalu bertopang dagu. Dia malah menatapku tak percaya. “Lo percaya tentang aestivasi itu? Gue bohongan lho, gue cuman males aja ngerjain soal dari guru guru itu” katanya santai membuatku marah besar. “Jahat lo! Jahat! Lo nipu gue, buat apa gue ngajarin lo kalau lo-nya yang pemales! Aargh..” rutukku sambil memukul mukul keras lengannya.
“Ampun ampun.. Sakit tahu!” katanya setelah aku puas memukulnya. “Salah siapa lo ngebohongin gue, terus kenapa nilai lo anjlok semua? Kenapa males?” tanyaku kesal. Pesanan datang memutuskan jawaban leo. Leo langsung membayar membuatku melongo. “Lho, kok lo yang bayar?” tanyaku bingung. “Emang kenapa? Kqn gue yang ngajak” katanya cuek lalu kembali mengerjakan soal dariku. “Hufft.. Terus apa alasan lo males?” tanyaku lagi. Bukannya menjawab dia malah menatapku dalam, seolah sedang membicarakan banyak hal tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. “Nanti gue kasih tahu” katanya kembali menulis. Aku terdiam.
Kriiiiiing…!!! (bel istirahat)
“Bec, hari ini gue izin yah! Gue pusing banget” kata dinar. Memang hari ini wajahnya pucat dan dia terlihat lemas. “Yaudah, lo hati hati ya” kataku perhatian. “Yo’I, bilangin ke guru ya bye!” pamitnya lalu pergi. Aku menghela nafas panjang lalu pergi ke taman. Bila tak ada dinar aku malas ke kantin. Aku membuka buku novelku yang berjudul ‘jadian 6 bulan’. “Nih!” seseorang menyodorkan somay (sorry kalau tulisannya salah) yang terbungkus padaku membuatku mendongak. “Apaan?” tanyaku tak mengerti. “Ini buat lo! Gue liat lo kesepian gitu yaudah gue beli 2 somay” ujarnya yang tak lain adalah leo. Dia duduk di kursi yang sama denganku. Aku mengambil 1 bungkus somay di tangannya membuatnya mendengus. “Dasar” ejeknya.
“Hee.. Tapi tumben lo baik banget, gak ada maksud tertentu kan?” tanyaku. Dia menggeleng pelan. “Gak, gue lagi kesepian aja” katanya sambil bersandar dengan mata yang terpejam. Seperti air di danau yang tak tersentuh, dia terlihat tenang dan damai. “Lo tahu, lo itu ganteng tapi nyebelin” kataku ikut ikutan bersender ke kursi. “Iya gue tahu kalau gue ganteng, tapi gue gak tahu kalau gue nyebelin” katanya santai. “Itu salah satu jawaban nyebelin dari lo” ujarku ketus. “Bec, gue mau nanya satu hal deh” katanya tiba tiba membuatku menoleh. “Ya?” tanyaku singkat. “Lo kenapa sih ketus banget sama gue dan cowok?” tanyanya serius. Aku menelan ludah yang terasa gurih karena memakan somay. “Oh itu.. Jadi.. Gue itu.. Benci cowok” kataku sedikit gagap. “Oh ya? Kenapa?” tanyanya lagi. “Lo bilang cuman nanya satu hal kan?!” protesku. “Iya deh, ngalah gue” cemberutnya membuatku tertawa kecil.
Kriiiing…!!
“Yaah, bel masuk! Padahal gue masing pengen ngobrol sama lo” katanya. “Nanti bisa kali, besok juga bisa” kataku lalu bangkit dari kursi. “Gak bisa” jawabnya membuatku mengalihkan pandangan padanya. “Maksud lo?” tanyaku heran namun tak dibalas apa apa olehnya. “Ck.. Yaudah gue duluan” pamitku lalu berjalan menuju kelas.
4 minggu kemudian
Untuk kesekian kalinya aku menghela nafas panjang. Ya, sudah 4 minggu leo tak datang ke sekolah. Tapi menurut info yang beredar, leo memang sudah keluar dari sekolah. Jujur… Aku kangen padanya. Kangen tawanya, candanya, kangen semua ulah dan tingkahnya. “Rebecca oh my good! Liat deh berita yang gue temuin, salah satu murid dari sma kita jadi direktur di perusahaan penerbitan ternama!! Keren banget kan” ujar dinar heboh. “Gak sama sekali” kataku lalu berpangku tangan ke meja. “Yeeh.. Napa sih lo? Tumben loyo gitu” tanyanya. “Gue lagi sakit nih..” kataku lemah. “Yaudah nanti istirahat lo pulang aja” katanya penuh perhatian lalu kembali mencatat pelajaran yang ada di papan tulis. Oh good, berarti tadi dinar bermain handphone saat pelajaran tengah dimulai?! Biarkan sajalah. Tiba tiba ingatan leo dan aku saat di cafe waktu itu terngiang ngiang di kepalaku.
Flashback on
“Nanti gue kasih tahu” jawab leo sembari kembali menulis, aku terdiam. Apakah alasannya itu sangat penting sampai sampai dirahasiakannya? “Tapi kalau boleh tahu cita cita lo itu apa sih leo?” tanyaku penasaran. “Aah.. Akhirnya selesai juga soal soal dari lo! Cita cita gue.. Pengen jadi direktur penerbitan terkenal! Gue ngerasa kasian sama para penulis yang kemampuan mereka tertimbun di dalam tanah” katanya sungguh sungguh. “Iya? Kalau gitu gue dukung deh, soalnya dari dulu gue pengen banget punya buku novel sendiri” ujarku dengan mata berbinar. “Umm.. Kalau gitu gue mau bantu lo” katanya yakin. “Hahaha.. Ngaco lo! Baru kelas 1 SMA juga” ejekku. Lagi lagi dia menatapku dalam, seperti yang ia lakukan tadi. “Lo tahu? Seorang pria pasti akan berusaha untuk membuat gadis yang dicintainya bahagia” katanya. Aku hanya terbungkam, tak tahu apa maksud dari perkataannya. “Udahlah, kita pulang yuk!” ajaknya dan dibalas anggukan olehku. Dia menggenggam tanganku dan menariknya lembut, menebas hujan gerimis yang menghalangi langkah kami.
Flashback off
Menyadari hal itu aku langsung bangkit dan bertanya pada dinar. “Nar, siapa direktur sukses dari penerbitan itu?” tanyaku menggebu gebu. “Lo bener bener gak tahu ya? Si leo itu lho, yang jadi murid lo!” katanya sembari tertawa kecil. “Nar, telephone gue!” kataku cepat. “Lah, lo kan gak dibolehin pake hp” katanya bingung. “Iya ya? Kalau gitu gue minjem hp lo!” pintaku. Dengan bingung dia memberikan handphone nya padaku. Aku langsung menyalakan nada dering membuat seisi kelas riuh. “Rebeca, itu handphone kau?” tanya bu guru yang bergenre orang batak dan papua itu. “Maaf buk, papa saya nyuruh saya pulang duluan.. Ada urusan penting katanya, boleh kan bu?” tanyaku sopan. “Oh, kau boleh pulang sekarang.. Nanti beta bilang pada kepsek” katanya.
Aku langsung beres beres barangku termasuk mengembalikan handphone pada dinar. “Bec, lo..” “Thanks bantuannya” kataku tersenyum dan dia juga balas tersenyum. Dengan bergegas aku salim ke bu guru dan keluar kelas. Sembari berlari aku memikirkan semua perlakuan dan perkataan leo yang terasa janggal untukku. Leo yang menungguku dengan lamanya di parkiran, leo yang ternyata mengikutiku bernyanyi di mobil, perkataan girangnya saat kita nyanyi bersama, leo yang baru gue sadar kalau pesanannya disamakan denganku, leo yang berbohong padaku tentang aestivasi, leo yang menemaniku di taman, sampai perkataannya yang ingin membahagiakan wanita yang dicintainya, leo..! Leo..! Leo..! Mungkinkah aku jatuh hati padanya?
Langkahku terhenti begitu melihat sosoknya tengah merenung di halte depan cafe. Aku berjalan mendekatinya dengan beruraian air mata. Setelah berada di dekatnya aku merasa tenang, saat menghirup kembali aroma parfumnya aku merasa dia hanya milikku, dan setelah bertemu lagi dengannya aku ingin memeluknya, tapi aku tak bisa. Dengan tenaga yang tersisa aku menamparnya, menguapkan rasa kesal dan rindu yang ada pada diriku.
“Apaan… Rebeca! Rebeca kamu nangis?” leo langsung bangkit dan menghapus air mataku. Aku langsung menepisnya. “Jangan pegang pegang!” teriakku. Kulihat dia terkejut. “Kemana aja kamu selama ini? Kenapa seenaknya aja hilang dari pandangan aku? Satu bulan lqgi! Kenapa kamu ngebuat aku ngerasain kangen? Kenapa?! Jahaaat!!” aku memukul mukulnya, tapi dia memegang kedua tanganku dan mengecupnya membuat rasa tenang timbul di hatiku.
“Kamu mau tahu kenapa aku malas jadi orang yang pinter? Jawabannya karena jika aku pintar, kamu gak akan bisa jadi guru private aku lagi” jelasnya membuatku terharu. Ditengah tengah romansa, lagu raisa – jatuh hati dinyanyikan di cafe belakang dan itu membuatku tambah menangis. “Aku pergi, karena aku ingin mendirikan bangunan penerbitan, menuliskan kisah kita dan menjadikannya sebuah buku” ujarnya lagi. Kali ini dia membungkuk dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah maroon polos. Saat dibuka, isinya adalah 2 cincin yang sangat indah. “Aku tahu kamu benci sama cowok, dan aku ngerti kamu gak mau jatuh cinta.. Tapi izinkanlah aku untuk membuatmu jatuh hati padaku. Jadi, rebeca.. Maukah kamu jadi tunanganku?” tanyanya namun tak segera kujawab. “Please?” mohonnya. “Kamu pernah bilang kalau kamu ingin membahagiakan wanita yang kau cintai, jadi.. Buatlah aku bahagia dari sekarang sampai selamanya” kataku tegas. Dia tertawa kecil lalu memasang cincin itu padaku, begitupun aku. Kami pun berpelukan. Sungguh, kau telah membuatku jatuh hati padamu.
‘ada ruang hatiku yang kau temukan..
Sempat aku lupakan kini kau sentuh..
Aku bukan jatuh cinta namun aku jatuh hati..’
Happy ending
Cerpen Karangan: Indah
Jatuh Hati
4/
5
Oleh
Unknown