Judul Cerpen Dinda
Pagi hari yang cerah. Aku mengenakan kemeja kotak-kotakku dan kerudungku. Aku langkahkan kaki menuju teras rumahku sambil melakukan olahraga ringan, untungnya hari itu sekolah sedang libur.
Tak lama kemudian, datang 2 orang gadis yang wajahnya tak asing bagiku. Mereka adalah saudara dekatku yang bernama Amel dan Dinda. Mereka mengajakku bermain.
“Res, main yuk!” ajak Amel.
“Mau main apa?” tanyaku.
“Sepeda-an keliling kampung!” jawabnya dengan disambut anggukkan Dinda.
Dinda adalah seorang gadis tunarungu. Usianya 11 tahun. Dia seorang gadis yang periang dan suka bermain. Tetapi, dia tak patah semangat menjalani hidupnya yang penuh dengan ejekkan. Aku ingat dengan kata-kata yang diucapkan Dinda dengan gerakkan tangannya:
“Cantik itu tidak penting. Tapi, kita harus semangat menjalani hidup ini yang penuh cobaan.” ~ DINDA ~
“Euh… Ayo! Aku pinjem sepeda dulu ke kakak aku, ya!” aku pun setuju. Lalu, aku meminjam sepeda kakakku. Maklum, sepedaku tidak bisa dikendarai, sebab bannya bocor. Hehe…
Tiba-tiba, Dinda memanggilku dengan ucapannya yang tidak jelas.
“Eh! Eh!” panggilnya, mungkin maksudnya adalah “Res! Res!”
“Ada apa, Din?” tanyaku.
“Num… Num…” jawabnya sambil memperlihatkan botol minumnya. Aku mengerti, maksudnya adalah “Jangan lupa bawa botol minum!”. Aku mengacungkan jempolku tanda setuju.
Setelah sepeda dan botol minum siap, kami pun mulai bersepeda. 30 menit kemudian, Dinda memanggilku lagi. “Eh! Eh!” panggilnya,
“Apa?” tanyaku.
“Njid, u! Aus! Olat.” jawabnya. Katanya “Ke masjid, yuk! Haus! Sambil sholat.”. Saat itu, memang sudah menunjukkan pukul 10 pagi.
“Tapi, Din, sekarang kan belum adzan.” kataku.
“Biarlah, istirahat di teras masjid aja! Aku juga haus!” rengek Amel. Dinda pun mengangguk.
“Oke…” aku setuju.
Kami memarkirkan sepeda kami di tempat yang aman. Lalu, kami berjalan menuju teras masjid dan istirahat. Dinda bercakap-cakap denganku dan Amel. Tiba-tiba, Dinda berkata…
“Mamah a ama papah agi.” katanya. Dia berkata begini.. “Mamah gak sama papah lagi”. Tiba-tiba, fikiranku berubah menjadi penuh pertanyaan.
Mengapa anak difabel yang masih muda sepertinya harus bernasib demikian? Kasihan.. Dinda yang berkebutuhan khusus harus melihat pertengkaran orangtuanya sampai CERAI.
“Sabar ya, Din… Kamu anak hebat!” pujiku. Dinda mengangguk. Tetapi, Dinda menangis. Aku merasa iba.
“Jangan nangis, Din. Nanti cantiknya hilang dong!” pujiku lagi. Dinda menghapus air matanya dan tersenyum.
“Mel, sekarang Dinda tinggal sama siapa?” tanyaku pada Amel.
“Sekarang Dinda tinggal sama mamahnya dan Kakak Eka.” jawab Amel.
“Oooohhh…”
“Au edih…” kata Dinda. Maksudnya adalah “Aku sedih…”
“Sabar ya. Kamu tetap anak yang pintar.” rayuku sambil mengusap-usap punggung Dinda.
Tiba-tiba, aku mendengar suara anak cekikikan. Ternyata, ada 2 anak kecil laki-laki menertawakan cara bicara Dinda.
“Hahaha… Gak bisa bicara!” ejek mereka.
“Hei! Gak boleh ngejek! Dosa!” aku mulai emosi. Dinda menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Mungkin dia berkata. “Jangan marahin mereka.”
“Tapi, Din, mereka keterlaluan!” aku tetap ngotot. Dinda tetap menggelengkan kepalanya.
“Pulang yuk!” ajak Amel.
“Yuk!” aku setuju.
Kami pun segera pulang.
Aku sudah dekat dengan rumahku. “Daah!” sapa Amel.
“Daah..” aku balik menyapa.
Aku masih terus befikir. Bagaimana kalau aku seperti Dinda? Apakah aku akan bisa bersabar sepertinya? Dinda, kamu tetap jadi saudara terbaikku…
TAMAT
Cerpen Karangan: Resty Nur Wahyuni
Facebook: Resty Nur
Pagi hari yang cerah. Aku mengenakan kemeja kotak-kotakku dan kerudungku. Aku langkahkan kaki menuju teras rumahku sambil melakukan olahraga ringan, untungnya hari itu sekolah sedang libur.
Tak lama kemudian, datang 2 orang gadis yang wajahnya tak asing bagiku. Mereka adalah saudara dekatku yang bernama Amel dan Dinda. Mereka mengajakku bermain.
“Res, main yuk!” ajak Amel.
“Mau main apa?” tanyaku.
“Sepeda-an keliling kampung!” jawabnya dengan disambut anggukkan Dinda.
Dinda adalah seorang gadis tunarungu. Usianya 11 tahun. Dia seorang gadis yang periang dan suka bermain. Tetapi, dia tak patah semangat menjalani hidupnya yang penuh dengan ejekkan. Aku ingat dengan kata-kata yang diucapkan Dinda dengan gerakkan tangannya:
“Cantik itu tidak penting. Tapi, kita harus semangat menjalani hidup ini yang penuh cobaan.” ~ DINDA ~
“Euh… Ayo! Aku pinjem sepeda dulu ke kakak aku, ya!” aku pun setuju. Lalu, aku meminjam sepeda kakakku. Maklum, sepedaku tidak bisa dikendarai, sebab bannya bocor. Hehe…
Tiba-tiba, Dinda memanggilku dengan ucapannya yang tidak jelas.
“Eh! Eh!” panggilnya, mungkin maksudnya adalah “Res! Res!”
“Ada apa, Din?” tanyaku.
“Num… Num…” jawabnya sambil memperlihatkan botol minumnya. Aku mengerti, maksudnya adalah “Jangan lupa bawa botol minum!”. Aku mengacungkan jempolku tanda setuju.
Setelah sepeda dan botol minum siap, kami pun mulai bersepeda. 30 menit kemudian, Dinda memanggilku lagi. “Eh! Eh!” panggilnya,
“Apa?” tanyaku.
“Njid, u! Aus! Olat.” jawabnya. Katanya “Ke masjid, yuk! Haus! Sambil sholat.”. Saat itu, memang sudah menunjukkan pukul 10 pagi.
“Tapi, Din, sekarang kan belum adzan.” kataku.
“Biarlah, istirahat di teras masjid aja! Aku juga haus!” rengek Amel. Dinda pun mengangguk.
“Oke…” aku setuju.
Kami memarkirkan sepeda kami di tempat yang aman. Lalu, kami berjalan menuju teras masjid dan istirahat. Dinda bercakap-cakap denganku dan Amel. Tiba-tiba, Dinda berkata…
“Mamah a ama papah agi.” katanya. Dia berkata begini.. “Mamah gak sama papah lagi”. Tiba-tiba, fikiranku berubah menjadi penuh pertanyaan.
Mengapa anak difabel yang masih muda sepertinya harus bernasib demikian? Kasihan.. Dinda yang berkebutuhan khusus harus melihat pertengkaran orangtuanya sampai CERAI.
“Sabar ya, Din… Kamu anak hebat!” pujiku. Dinda mengangguk. Tetapi, Dinda menangis. Aku merasa iba.
“Jangan nangis, Din. Nanti cantiknya hilang dong!” pujiku lagi. Dinda menghapus air matanya dan tersenyum.
“Mel, sekarang Dinda tinggal sama siapa?” tanyaku pada Amel.
“Sekarang Dinda tinggal sama mamahnya dan Kakak Eka.” jawab Amel.
“Oooohhh…”
“Au edih…” kata Dinda. Maksudnya adalah “Aku sedih…”
“Sabar ya. Kamu tetap anak yang pintar.” rayuku sambil mengusap-usap punggung Dinda.
Tiba-tiba, aku mendengar suara anak cekikikan. Ternyata, ada 2 anak kecil laki-laki menertawakan cara bicara Dinda.
“Hahaha… Gak bisa bicara!” ejek mereka.
“Hei! Gak boleh ngejek! Dosa!” aku mulai emosi. Dinda menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Mungkin dia berkata. “Jangan marahin mereka.”
“Tapi, Din, mereka keterlaluan!” aku tetap ngotot. Dinda tetap menggelengkan kepalanya.
“Pulang yuk!” ajak Amel.
“Yuk!” aku setuju.
Kami pun segera pulang.
Aku sudah dekat dengan rumahku. “Daah!” sapa Amel.
“Daah..” aku balik menyapa.
Aku masih terus befikir. Bagaimana kalau aku seperti Dinda? Apakah aku akan bisa bersabar sepertinya? Dinda, kamu tetap jadi saudara terbaikku…
TAMAT
Cerpen Karangan: Resty Nur Wahyuni
Facebook: Resty Nur
Dinda
4/
5
Oleh
Unknown