Judul Cerpen Puja Mandala
Bulan Juli, menjadi bulan yang mendebarkan bagi Andi. Bukan mengenai suatu hal darurat yang akan menimpanya. Tetapi, Bulan Juli adalah bulan ulang tahun Alfani, kekasihnya yang telah 5 bulan mengisi kehidupan cintanya.
Ia teringat akan pertemuan terakhirnya dengan Alfani di sebuah cafe, di malam akhir pekan itu,
“Hmm… Kapan yah hari ulangtahunku itu dihadiahi secarik tiket pergi ke luar negeri? Gak usah perhiasan mewah atau barang-barang lucu, antik dan mahal. Cukup tiket, aku dah seneng banget. Kira-kira, kamu mau menghadiahi aku apa, Say?”
Andi terperangah gagap dan berdiam sejenak. Bibirnya bergetar bukan main karena ia hanya akan menghadiahinya sebuah kunjungan yang baginya mengesankan untuk Alfani.
“Jangan bilang kamu belum menyiapkannya” tambahnya yang sontak menghempas lamunan Andi pada Puja Mandala.
“Eh! Sudah kok, Sayang. Tapi, masih surprise!”
“Wah! Ayolah, beritahu aku sedikit saja! Bocoran sedikit…”
Andi menggelengkan kepalanya lalu menggapai kening Alfani dan mengecupnya.
“Sabar ya, Alfani Sayang. Sudah jauh-jauh hari aku menyediakannya.”
Lalu, suasana pun menyatukan mereka dalam pelukan hangat.
Andi tersenyum, apalagi ia melihat ke arah meja belajarnya dimana terpapar di bingkai foto, wajah cantik jelita Alfani yang membuat jantungnya berdebar-debar. Malam demi malam di Bulan Juli terasa sangat berat untuk dibuat lelap dalam istirahat. Ia kepikiran Alfani dan keinginannya yang jauh dari apa yang Andi siapkan. Andi paham benar, keindahan Puja Mandala tak sebanding dengan harapan Alfani. Ia semakin takut dan berusaha menjauhi pertemuan dengan gadis yang ia cintai itu.
Hari berlalu kian mendekati hari ulangtahun Alfani. Malam membuatnya terjaga dalam kegelisahan dan kebimbangan. Demi melihat seringai senyum indah Alfani, Andi mati-matian terjaga memikirkannya. Makanan terasa hambar di lidah, mandi terasa kering di badan, tidur terasa terjaga hingga pagi tiba. Alfani pun tak lupa terus mengingatkan Andi untuk segera mempersiapkan hadiah untuknya. Semakin kacau pemikirannya.
Malam itu, ia putuskan berkeliling swalayan untuk menemukan barang-barang yang ia rasa dapat membuat Alfani bahagia dan terkesan akan pemberiannya. Pelayan swalayan merasa lelah mengawasi Andi yang bolak-balik dan wajahnya menyiratkan kebingungan dan kegundahan. Hingga petugas security swalayan mengusirnya pergi karena hanya ia seorang yang masih melihat-lihat barang ketika semua pelanggan dan pelayan berbondong-bondong pulang mendekati pukul 9 malam. Mungkin dicurigai seorang teroris yang akan meledakkan bom disana.
Percuma. Uang di sakunya masih utuh. Ia berjalan pulang. Pesan dari Alfani kian menumpuk menunggu balasan Andi. Andi mengabaikannya beberapa jam lamanya. Ia bersiap menghadapi percekcokan malam ini.
“Andi! Aku menunggu balasanmu. Sibuk apa sih? Ibadah? Masa selama itu?”
“Maaf, Fa, aku masih menyiapkan hadiah untukmu.”
“Katamu kau sudah menyiapkannya jauh-jauh hari? Bohong ya? Sekedar buat isapan jempol ya biar aku nggak merengek ngemis hadiah sama kamu?”
“Aduh, Alfa. Iya aku udah nyiapin jauh-jauh hari. Tapi, aku berusaha menyempurnakan hadiahmu agar kamu terkesan. Permintaanmu terlalu tinggi dari kemampuanku!”
“Memangnya aku menuntut kamu memberi apa?”
“Kamu inginnya kan tiket. Ke luar negeri lagi. Mana aku bisa?”
“Duh! Andi! Aku kan cuma cerita ke kamu. Gak bermaksud minta!”
“Tapi aku sebagai kekasihmu wajar punya rasa untuk memahami keinginan kamu dan berusaha sebaik mungkin menyenangkan kamu walaupun mungkin itu mengecewakanmu.”
“Sudahlah! Dengan hadiahmu yang apa adanya saja. Masalah berkesan atau endak itu belakangan. Capek nungguin dan marahin kamu. Aku mau istirahat.”
Percekcokan itu menghancurkan segala asanya. Terakhir yang terucap di bibirnya adalah “Puja Mandala”.
Pagi yang dinanti keduanya tiba. Andi pagi-pagi benar telah menjemput Alfani untuk bepergian, pagi itu, Hari Minggu.
“Selamat ulangtahun Alfaniku yang paling cantik. Kian dewasa dan kian sukses dalam kehidupanmu” ujar Andi sambil menggenggam kedua tangan Alfani dan mengecup mesra keningnya lalu memeluknya erat.
“Terimakasih, Sayang. Am… Tasmu kok terlihat ringan?”
“Memangnya kenapa?”
“Am… Hadiahnya?”
Andi tersenyum seraya merangkul Alfani.
“Sudah aku siapkan, Sayang. Tenang.”
Andi mengayuh sepeda dan memboncengkan Alfani hingga semakin jauh dari tempat mereka bertemu. Waktu menunjukkan hampir pukul 9 pagi. Alfani mulai menggerutu tak karuan di sepeda. Andi semakin cepat mengayuh sepedanya pada jalan yang tanjak. Dari jauh keduanya mendengar gema pujian yang tak lain adalah ibadah gereja.
Andi berhenti tepat di depan Puja Mandala. Alfani tercengang mengapa ia dibawa kemari. Gema pujian terdengar nyaring. Ia melihat dan menganga tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mulai dari masjid Agung Ibnu Batulah, gereja Katholik Paroki Bunda Maria Segala Bangsa, gereja Kristen Protestan, Vihara Budha, Pura Jagat Natha Nusa Dua ditemui dalam satu tempat dan berjejeran berdiri di Puja Mandala.
Andi tersenyum melihat Alfani yang masih terdiam berusaha mencerna apa yang di depan matanya. Andi menggenggam kedua tangan Alfani.
“Alfani sayang, maaf ya, ini hadiah ulangtahunmu dariku. Mungkin bukanlah tiket ke luar negeri yang kau mau. Hanyalah dengan mengayuh sepeda bersamamu ke Puja Mandala. Mungkin tak seberapa tetapi, pahamilah, bahwa perbedaan memang tercipta di antara kita, tapi tidak untuk dipermasalahkan dan diceraiberaikan, tapi untuk dipahami, dipersatukan dan disejajarkan dalam kedamaian dan kebersamaan.” Lalu, Andi menggapai jari manis Alfani dan memasangkan cincin yang berkilauan.
Kedua mata Alfani berkaca-kaca. Ia hanya mampu meneguk air liurnya. Memandangi kedua mata Andi yang perlahan mulai ikut berkaca-kaca. Genggaman tangannya masih erat terasa di kedua tangan Alfani.
“Aku mencintaimu, Alfani” ujar Andi memeluk erat Alfani. Gema pujian gereja terasa manis terdengar mengiringi cinta mereka.
Alfani perlahan menangis di pundak Andi. Terharu dengan hadiah ulangtahun yang tak ia duga dan diluar impiannya. Andi membelai rambutnya yang basah karena sambutan haru airmata Alfani.
“Aku juga mencintaimu, Andi. Maafkan aku yang sering marah-marah dan mengungkit perbedaan agama kita. Aku menyesali semua itu.”
Andi menepuk-nepuk pundaknya dan menenangkan Alfani untuk berhenti menangisi masa lalu. Airmata Alfani ikut menghempas pahitnya problema selama mereka bersama. Andi merasakan lega.
“Sudah, sudah, Sayang. Pergilah beribadah ke gereja. Ibadah sudah dimulai, bukan? Aku akan menjemputmu lagi. Sepulang dari gereja, aku akan mengajakmu ke rumahku dan makan bersama keluargaku.”
Alfani tersenyum begitu lebar dan mengangguk serta ia berlari memasuki gerbang gedung gereja Kristen Protestan yang terbuka lebar menantinya. Andi menyaksikannya yang perlahan menghilang di antara kerumunan jemaat dari sekitar gereja sampai wisatawan yang memenuhi gereja itu.
Kota Solo,
Kamis, 14 Juli 2016.
Cerpen Karangan: Jessica Desideria Tanya
Facebook: Jessica Desideria Tanya
Bulan Juli, menjadi bulan yang mendebarkan bagi Andi. Bukan mengenai suatu hal darurat yang akan menimpanya. Tetapi, Bulan Juli adalah bulan ulang tahun Alfani, kekasihnya yang telah 5 bulan mengisi kehidupan cintanya.
Ia teringat akan pertemuan terakhirnya dengan Alfani di sebuah cafe, di malam akhir pekan itu,
“Hmm… Kapan yah hari ulangtahunku itu dihadiahi secarik tiket pergi ke luar negeri? Gak usah perhiasan mewah atau barang-barang lucu, antik dan mahal. Cukup tiket, aku dah seneng banget. Kira-kira, kamu mau menghadiahi aku apa, Say?”
Andi terperangah gagap dan berdiam sejenak. Bibirnya bergetar bukan main karena ia hanya akan menghadiahinya sebuah kunjungan yang baginya mengesankan untuk Alfani.
“Jangan bilang kamu belum menyiapkannya” tambahnya yang sontak menghempas lamunan Andi pada Puja Mandala.
“Eh! Sudah kok, Sayang. Tapi, masih surprise!”
“Wah! Ayolah, beritahu aku sedikit saja! Bocoran sedikit…”
Andi menggelengkan kepalanya lalu menggapai kening Alfani dan mengecupnya.
“Sabar ya, Alfani Sayang. Sudah jauh-jauh hari aku menyediakannya.”
Lalu, suasana pun menyatukan mereka dalam pelukan hangat.
Andi tersenyum, apalagi ia melihat ke arah meja belajarnya dimana terpapar di bingkai foto, wajah cantik jelita Alfani yang membuat jantungnya berdebar-debar. Malam demi malam di Bulan Juli terasa sangat berat untuk dibuat lelap dalam istirahat. Ia kepikiran Alfani dan keinginannya yang jauh dari apa yang Andi siapkan. Andi paham benar, keindahan Puja Mandala tak sebanding dengan harapan Alfani. Ia semakin takut dan berusaha menjauhi pertemuan dengan gadis yang ia cintai itu.
Hari berlalu kian mendekati hari ulangtahun Alfani. Malam membuatnya terjaga dalam kegelisahan dan kebimbangan. Demi melihat seringai senyum indah Alfani, Andi mati-matian terjaga memikirkannya. Makanan terasa hambar di lidah, mandi terasa kering di badan, tidur terasa terjaga hingga pagi tiba. Alfani pun tak lupa terus mengingatkan Andi untuk segera mempersiapkan hadiah untuknya. Semakin kacau pemikirannya.
Malam itu, ia putuskan berkeliling swalayan untuk menemukan barang-barang yang ia rasa dapat membuat Alfani bahagia dan terkesan akan pemberiannya. Pelayan swalayan merasa lelah mengawasi Andi yang bolak-balik dan wajahnya menyiratkan kebingungan dan kegundahan. Hingga petugas security swalayan mengusirnya pergi karena hanya ia seorang yang masih melihat-lihat barang ketika semua pelanggan dan pelayan berbondong-bondong pulang mendekati pukul 9 malam. Mungkin dicurigai seorang teroris yang akan meledakkan bom disana.
Percuma. Uang di sakunya masih utuh. Ia berjalan pulang. Pesan dari Alfani kian menumpuk menunggu balasan Andi. Andi mengabaikannya beberapa jam lamanya. Ia bersiap menghadapi percekcokan malam ini.
“Andi! Aku menunggu balasanmu. Sibuk apa sih? Ibadah? Masa selama itu?”
“Maaf, Fa, aku masih menyiapkan hadiah untukmu.”
“Katamu kau sudah menyiapkannya jauh-jauh hari? Bohong ya? Sekedar buat isapan jempol ya biar aku nggak merengek ngemis hadiah sama kamu?”
“Aduh, Alfa. Iya aku udah nyiapin jauh-jauh hari. Tapi, aku berusaha menyempurnakan hadiahmu agar kamu terkesan. Permintaanmu terlalu tinggi dari kemampuanku!”
“Memangnya aku menuntut kamu memberi apa?”
“Kamu inginnya kan tiket. Ke luar negeri lagi. Mana aku bisa?”
“Duh! Andi! Aku kan cuma cerita ke kamu. Gak bermaksud minta!”
“Tapi aku sebagai kekasihmu wajar punya rasa untuk memahami keinginan kamu dan berusaha sebaik mungkin menyenangkan kamu walaupun mungkin itu mengecewakanmu.”
“Sudahlah! Dengan hadiahmu yang apa adanya saja. Masalah berkesan atau endak itu belakangan. Capek nungguin dan marahin kamu. Aku mau istirahat.”
Percekcokan itu menghancurkan segala asanya. Terakhir yang terucap di bibirnya adalah “Puja Mandala”.
Pagi yang dinanti keduanya tiba. Andi pagi-pagi benar telah menjemput Alfani untuk bepergian, pagi itu, Hari Minggu.
“Selamat ulangtahun Alfaniku yang paling cantik. Kian dewasa dan kian sukses dalam kehidupanmu” ujar Andi sambil menggenggam kedua tangan Alfani dan mengecup mesra keningnya lalu memeluknya erat.
“Terimakasih, Sayang. Am… Tasmu kok terlihat ringan?”
“Memangnya kenapa?”
“Am… Hadiahnya?”
Andi tersenyum seraya merangkul Alfani.
“Sudah aku siapkan, Sayang. Tenang.”
Andi mengayuh sepeda dan memboncengkan Alfani hingga semakin jauh dari tempat mereka bertemu. Waktu menunjukkan hampir pukul 9 pagi. Alfani mulai menggerutu tak karuan di sepeda. Andi semakin cepat mengayuh sepedanya pada jalan yang tanjak. Dari jauh keduanya mendengar gema pujian yang tak lain adalah ibadah gereja.
Andi berhenti tepat di depan Puja Mandala. Alfani tercengang mengapa ia dibawa kemari. Gema pujian terdengar nyaring. Ia melihat dan menganga tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mulai dari masjid Agung Ibnu Batulah, gereja Katholik Paroki Bunda Maria Segala Bangsa, gereja Kristen Protestan, Vihara Budha, Pura Jagat Natha Nusa Dua ditemui dalam satu tempat dan berjejeran berdiri di Puja Mandala.
Andi tersenyum melihat Alfani yang masih terdiam berusaha mencerna apa yang di depan matanya. Andi menggenggam kedua tangan Alfani.
“Alfani sayang, maaf ya, ini hadiah ulangtahunmu dariku. Mungkin bukanlah tiket ke luar negeri yang kau mau. Hanyalah dengan mengayuh sepeda bersamamu ke Puja Mandala. Mungkin tak seberapa tetapi, pahamilah, bahwa perbedaan memang tercipta di antara kita, tapi tidak untuk dipermasalahkan dan diceraiberaikan, tapi untuk dipahami, dipersatukan dan disejajarkan dalam kedamaian dan kebersamaan.” Lalu, Andi menggapai jari manis Alfani dan memasangkan cincin yang berkilauan.
Kedua mata Alfani berkaca-kaca. Ia hanya mampu meneguk air liurnya. Memandangi kedua mata Andi yang perlahan mulai ikut berkaca-kaca. Genggaman tangannya masih erat terasa di kedua tangan Alfani.
“Aku mencintaimu, Alfani” ujar Andi memeluk erat Alfani. Gema pujian gereja terasa manis terdengar mengiringi cinta mereka.
Alfani perlahan menangis di pundak Andi. Terharu dengan hadiah ulangtahun yang tak ia duga dan diluar impiannya. Andi membelai rambutnya yang basah karena sambutan haru airmata Alfani.
“Aku juga mencintaimu, Andi. Maafkan aku yang sering marah-marah dan mengungkit perbedaan agama kita. Aku menyesali semua itu.”
Andi menepuk-nepuk pundaknya dan menenangkan Alfani untuk berhenti menangisi masa lalu. Airmata Alfani ikut menghempas pahitnya problema selama mereka bersama. Andi merasakan lega.
“Sudah, sudah, Sayang. Pergilah beribadah ke gereja. Ibadah sudah dimulai, bukan? Aku akan menjemputmu lagi. Sepulang dari gereja, aku akan mengajakmu ke rumahku dan makan bersama keluargaku.”
Alfani tersenyum begitu lebar dan mengangguk serta ia berlari memasuki gerbang gedung gereja Kristen Protestan yang terbuka lebar menantinya. Andi menyaksikannya yang perlahan menghilang di antara kerumunan jemaat dari sekitar gereja sampai wisatawan yang memenuhi gereja itu.
Kota Solo,
Kamis, 14 Juli 2016.
Cerpen Karangan: Jessica Desideria Tanya
Facebook: Jessica Desideria Tanya
Puja Mandala
4/
5
Oleh
Unknown