Butuh Kepastian (Part 2)

Baca Juga :
    Judul Cerpen Butuh Kepastian (Part 2)

    Pagi buta aku berangkat dengan papa, sengaja berangkat pagi agar tidak terkena macet. Selama di mobil aku berulang membuka Foto-fotoku dengan Desya.
    “Sya, hari ini aku pasti bakal ketemu kamu, pasti. Kamu doain aku yah, supaya kita bisa ketemu, aku kangen kamu sya” kataku sambil menatap dalam dalam foto Desya.

    Sampailah kami di Bogor, papa langsung menuju rumah rekan kerjanya sedangkan aku langsung menuju ke rumah neneknya Desya. 15 menit perjalanan akhirnya aku sampai di depan rumah neneknya Desya.
    Aku mengecek tasku yang penuh dengan surat surat yang tak sempat kukirim, berbagai jenis keju, bingkai fotoku bersama Desya, dan satu tangkai bunga mawar putih kesukaan Desya.

    Bismillah, kumantapkan langkah kakiku yang sedikit gontai karena sempat kecewa. Apa yang harus aku lakukan saat bertemu Desya? Rasanya aku ingin marah-marah karena dia tak memberiku kabar. Tapi aku juga ingin memeluknya erat karena rasa rinduku sudah tak lagi tertahan. Kulangkahkan terus kakiku sampai tepat di depan pintu rumah nenek Desya. Kuketuk perlahan sambil mengucap salam.
    “Assalamualaikum”
    Tidak ada jawaban, kuketuk lagi sampai 3 kali, tidak ada jawaban. Kemana neneknya Desya, mungkinkah neneknya ikut menghilang bersama Desya? Mencoba menopang tubuhku yang mendadak lemas, air mataku justru tak lagi terbendung, aku menangis tersedu-sedu, sampai akhirnya aku terdiam melihat Nenek Desya, Tante San, ayahnya Desya, dan adik Desya, Arul, baru pulang dari suatu tempat, berpakaian seperti habis melayat dengan membawa keranjang bunga dan buku yasin. Aku sangat heran, juga mereka. Mereka menatapku penuh rasa bingung.

    “Kak Citaaaa” teriak si cadel Arul sambil memelukku.
    “Hai Arul, kamu kemana ajah? Kak Sita kangen tauu” sahutku sambil menggendongnya.
    “Aku sekarang tinngal di Bogor kak”
    “Eh Sitaa, tumben kamu kesini, ada apa?” Tanya Tante San.
    “Sutt, mendingan kita masuk dulu, gak enak ngobrol di teras” sanggah nenek. Kami pun masuk dan duduk di ruang tamu, Arul tetap tidak mau lepas dari gendonganku, sedangkan nenek mengambil teh hangat untuk kami semua.

    “Ada apa Sita, kenapa kamu ke sini?” Tanya nenek sambil menyimpan gelas berisi teh hangat di atas meja.
    “Akuuu, aku mau Tanya dimana Desya nek, om, tante”
    Semua terdiam termasuk Arul yang sedari tadi merengek kepadaku.
    “Kenapa semuanya diam? Apa yang sebenarnya terjadi sama Desya?” tanyaku sedikit memaksa. Tante San dan nenek hanya bisa menunduk dan ayah Desya langsung menggendong Arul ke kamar.
    “Tanteee, Desya dimana?” Tak ada satu pun yang menjawabku, mataku sudah berkaca-kaca, menunngu jawaban dari Tante San ataupun nenek.
    “Desya ada di kamarnya kan nek?” tanyaku sambil berlari ke kamar Desya. Tapi… tidak ada apa-apa, yang ada hanya barang barang Desya yang sangat lucu juga boneka dariku sewaktu ia ulang tahun dulu. Aku melihat secarik kertas di atas meja belajar Desya.

    Untuk Sita
    Dari sahabatmu, Desya.
    Kabarku baik-baik saja disini, syukurlah kamu baik-baik saja.
    Maaf aku tidak memberimu kabar sit, maaf juga aku tidak mau menemuimu. Aku tidak sanggup memberitahu ini kepadamu. Semoga melalui surat ini kamu bisa mengerti. Aku divonis terkena penyakit kanker lambung stadium 3, dan dokter memvonis umurku hanya tinggal sebentar lagi. Aku tidak sanggup kalau harus mengatakan ini langsung kepadamu. Aku pun sama, aku rindu semua hal konyol yang sering kita lalui bersama, foto-foto konyol, makan sepiring berdua, jelajah mall sampai petang tiba. Tapi, aku sudah tidak bisa melakukan itu semua, aku harus bertahan di ruang ICU. Maaf aku baru membalas suratmu, maaf aku tak membalas lewat e-mail. Aku titip pesan sama kamu, kamu jangan lupa makan ya, aku tau kamu jarang makan, kamu jangan lupa kerjain pr kamu, kamu jangan marah marah lagi yaa, jangan judes judes sama orang lain, kamu jangan nangis yah, nanti gak cantik lagi dan jangan lupa doain aku terus. Maaf maaf dan maaf ya sit, aku juga kangen kamu. Aku sayang kamu sit.
    Salam hangat
    Desya.

    Seketika tangisku pecah, Tante San yang melihatku langsung memelukku dengan erat, tapi aku langsung melepaskanya dengan kasar. “Kalian jahat! Kenapa kalian tutupin ini semua dari aku? Apa aku gak berhak tau? Aku udah anggep Desya sebagai adikku sendiri, tapi apa yang kalian lakuin? Kalian malah pisahin aku sama Desya, kalian jahat!”
    Aku langsung berlari ke luar rumah nenek Desya dengan air mata yang sudah tak jelas bentuknya. Hujan saat itu menambah parah keadaan. Aku berjalan kaki tak tahu harus kemana. Rasa sedih kehilangan Desya membuatku seperti kehilangan akal, aku melangkah gontai menyusuri jalanan Bogor, hujan yang terus mengguyurku tak menghalangi langkahku. Aku terduduk di bawah jembatan layang yang sepi. Dengan baju basah dan air mata yang terus mengalir, aku mengeluarkan fotoku bersama Desya dari dalam tas, aku memandangnya sambil terus menangis.
    “Kamu jahat sya, kenapa kamu tutupin semua dari aku? Kamu jahat sya, jahat jahat jahat!” kataku sambil memukul mukul bingkai foto itu sampai kaca bingkai pecah dan membuat tanganku berdarah. “Desyaaaa… Desyaa” teriakku dengan penuh kekecewaan.

    Aku terus duduk di bawah jembatan itu sampai malam tiba. Ternyata nenek Desya, tante San, ayahnya Desya, Arul dan papa mencariku. Mereka panik karena aku tidak tahu daerah Bogor dan aku dalam keadaan kacau, benar-benar kacau.
    “DRRRTTT” ponselku bergetar, papah menelponku, aku pun mengangkat dengan air mata yang masih mengalir. “Kamu dimana nak?” Tanya papah panik.
    “Aku di bawah jembatan layang yang tadi kita lewati pah” kataku sambil menangis dan langsung menutup telepon. Aku masih menangis dan terus menangis, aku sangat kecewa dengan perlakuan keluarga Desya.
    “Sitaaa… ya ampun” teriak papa sambil menggendongku ke dalam mobil, tubuhku sudah sangat lemas sampai aku jatuh pingsan.

    Esok paginya aku terbangun dari pingsan, kami menumpang tidur di rumah rekannya papa.
    “Nih sit, kamu makan dulu yah, nanti siang kita ke rumah neneknya desya” Aku terdiam dan berhenti makan. “Ada apa pah? Aku tidak mau ke rumah dia lagi”
    “Sudah kamu ikut saja”
    Aku hanya bisa mengikuti perintah papa. Kami pun bersiap siap dan segera berangkat ke rumah nenek Desya, kami berpamitan kepada rekan kerja papah. Sesampainya di depan rumah nenek Desya, papa mengetuk pintu dan nenek Desya langsung mempersilakan kami masuk. Tante San langsung menyuruhku masuk ke kamar Desya.

    “Sita, kamu tahu, kamu sudah baca surat itu kan? Itu surat yang ditulis Desya untuk kamu, sebelum Desya masuk ICU dan akhirnya pergi, tante minta maaf karena tidak memberi tahu kamu, itu pesan terakhir Desya untuk tante. Dia tidak ingin membuat kamu lebih sedih. Dia berpesan untuk memberikan ini” ucap tante sambil memberikan sebuah kotak. “Ini kado untuk kamu karena waktu itu Desya tidak sempat menjenguk kamu, Desya sengaja membuat status dengan teman lain karena ingin membuat kamu benci kepadanya, supaya kamu tidak terlalu sedih kehilangannya”
    Tangisku pecah, aku membuka kado itu dan ternyata isinya mawar merah kesukaanku yang sudah layu, coklat kesukaanku yang sudah mencair di dalam plastik, dan foto foto kami bersama. Tangisku semakin pecah, aku memeluk foto foto itu sambil terus menangis sesegukan. “Tante, tante bisa antar aku ke makam Desya?” tanyaku sok tegar. “tentu bisa”

    Akhirnya aku dan Tante San berangkat ke makam Desya, hanya berdua. Kulihat makam bertuliskan nama Desya, aku mencoba menahan air mataku dan menghampiri makam Desya, sedangkan Tante hanya menunggu di pinggir pemakaman. “Assalamualaikum. Hai Desya, kamu apa kabar? Aku dateng nih, aku kangen sama kamu, akhirnya kita bisa ketemu juga, aku pengen banyak cerita deh sama kamu sya. tapi waktu aku cuma sedikit. Kamu yang tenang disana ya sya, aku selalu doain kamu kok sya, makasih ya buat coklat sama mawar merahnya, aku sukaaa banget, kalo bisa meluk kamu, aku pasti udah meluk kamu sya. Aku sayang kamu sya” kataku sambil mengeluarkan mawar putih dari tasku dan meletakanya di atas batu nisan. “Aku pulang dulu ya sya, kamu baik-baik disana” ujarku yang dilanjut membacakan Al-Fatihah khusus untuk Desya. Aku menatap sekali lagi makam itu dan kemudian pergi menghampiri Tante San. “Tante, aku udah selesai, ayo kita pulang” ucapku dengan mata berkaca-kaca.
    Kami pun pulang, aku merasa lega dengan kepastian yang diberikan oleh Desya sendiri, kini aku tahu dimana Desya berada, dia di sisi Tuhan.

    Cerpen Karangan: Hasnita Pratiwi
    Facebook: Hasnita Pratiwi

    Artikel Terkait

    Butuh Kepastian (Part 2)
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email