Judul Cerpen Butuh Kepastian (Part 1)
Malam itu, aku tidur dengan berlapis selimut yang membuntal tubuhku. Ya, aku sedang sakit, gejala tifus itu membuatku harus tetap berbaring di kamar, tanpa hp, TV, apalagi makanan enak. Benar-benar istirahat total agar tubuhku dapat segera pulih. Jus jambu yang setiap 2 jam sekali dijajakan di pinggir tempat tidur harus aku habiskan agar trombositku dapat segera naik dan tubuhku tidak lagi terkulai lemas. Tapi, ada satu hal yang membuatku lebih sedih dibandingkan obat-obatan yang banyak dan bergelas gelas jus jambu.
Kemana Desya, tidak ada kah Desya datang untuk menjengukku? Benar-benar menyedihkan. Aku berusaha untuk berpikir positif. “mungkin Desya sibuk mengerjakan tugas, tapii… ini weekend. Aku tahu Desya tidak akan ada kegiatan yang sangat menyibukkan”
Mencoba berpikir lebih jernih “Mungkin Desya sedang ada urusan lain yang lebih penting, tapi… tidakkah diriku juga penting untuk Desya?”
Kucoba terus berpikir lebih jernih lagi sampai akhirnya kuputuskan untuk mengecek facebook dan twitter, seketika terjawablah sudah.
“Ternyata Desya tidak mengerjakan tugas, tetapi bermain dengan kawan barunya. Ternyata Desya bukan sedang ada urusan lain, tapi ada teman lain yang lebih penting”. analisisku kali ini benar. Sungguh hati ini seperti tersayat pisau yang baru saja diasah. Kemana sahabat-sahabatku ketika aku sakit? Kemana mereka ketika aku butuh mereka?
Tak mau menjadikannya beban, aku pun lebih fokus untuk memulihkan tubuhku, aku mencoba untuk tidak memikirkan mereka yang bak hilang ditelan bumi.
Setelah berhari-hari beristirahat dan rutin meminum obat serta jus jambu, aku pun kembali pulih dan bisa kembali memulai aktivitasku seperti biasanya. Tiba tiba ada satu pesan di Facebookku yang isinya
“Hai Sita, gimana kabar kamu? Udah sehat?”
Ternyata dari Desya! Aku yang sedikit malas mau tak mau harus membalasnya agar hubungan kami tidak lebih buruk lagi. Aku lebih memilih untuk fokus belajar karena satu bulan lagi aku akan menghadapi uts dan aku sudah banyak ketinggalan pelajaran. Desya yang biasanya setiap malam mengajak curhat kini lebih memilih curhat dengan teman barunya. Dan aku, aku hanya bisa memendam apa yang sebenarnya ingin aku curahkan karena tak ada yang mau menjadi pendengar setiaku lagi.
Aku pun hanya bisa pasrah, terserah mereka ingin berbuat apa, toh, aku tidak berhak untuk mengatur hidupnya. Aku yang tidak ingin memperburuk keadaan akhirnya memutuskan untuk mengirim e-mail kepada Desya sekedar untuk menanyakan kabarnya.
Untuk Desya
Dari sahabatmu, Sita
Hai sya, apa kabarmu? Semoga baik-baik saja. Aku pun disini baik-baik saja. Aku hanya ingin menanyakan kabarmu. Rasanya sudah lama sekali kamu tidak mengirimiku pesan singkat/e-mail sekedar untuk menanyakan kabar atau untuk bercerita panjang lebar lagi. Apakah kamu sibuk? Rasanya aku pun sibuk tetapi aku selalu menyempatkan waktu untuk mencari tahu kabarmu. Kuharap kamu mengerti apa yang aku rasakan, aku sangat rindu dengan dirimu. Ingin rasanya menatap wajah lucumu itu, foto bersama, cerita panjang lebar, dan makan sepiring berdua lagi.
Kalau sempat, balas pesanku ini yaa.
Salam manis
Sita.
Setelah mengirim e-mail tersebut, aku langsung menutup laptop untuk merebahkan badan di kasurku yang setiap saat kurindukan. Sungguh lelah, sekolah seharian dan harus pulang saat senja.
“Huuhhhh” aku menghembuskan nafas dengan kencang “lelah sekali hari ini. Harus mengerjakan pr yang belum sempat dikerjakan karena sakit, ulangan harian susulan, dan masih banyak lagi. Dulu, biasanya ada yang selalu menyemangatiku ketika aku sedang benar benar ambruk. Kemana yah mereka sekarang? Rasanya aku sangat merindukan mereka, aku rindu saat-saat bersama mereka, hfffttt” lagi, aku menghela napas panjang. Rebahan sambil terus mengingat masa lalu bersama Desya, sahabat terbaikku.
Aku meraih ponselku dan membuka kembali foto-fotoku bersama Desya, sesekali aku tertawa melihat tingkah kami berdua yang sangat konyol. Tidak terasa pipiku basah karena air mata yang mengalir. “Ya Tuhan, aku rindu Desya, kemana dia? Kenapa dia tidak ada kabar? Kenapa yang lain tidak memberitahuku dimana Desya sekarang?”
Aku sudah berusaha menghubungi orang–orang terdekatnya, tapi nihil! “tak ada jawaban yang pasti”. Keluhku sambil mengusap air mataku yang semakin menjadi-jadi, aku mengambil bingkai foto aku dengan Desya, aku memeluknya sambil menutup mataku rapat-rapat, berharap Desya bisa merasakan kerinduan yang sama.
Tidak terasa aku malah ketiduran dan hari sudah pagi. Aku segera bangun dan bersiap-siap berangkat sekolah lagi. Hari ini aku berniat mencari langsung Desya ke sekolahnya, ya, kami berbeda sekolah karena minat kami yang berbeda, aku lebih suka bisnis dan keuangan sedangkan Desya ingin menjadi dokter.
Sepulang sekolah aku langsung menuju sekolah Desya yang tidak terpaut jauh, aku langsung menuju kelasnya dan mencarinya, tapi dia tidak ada. Padahal aku ingin memberi surprise, aku sudah membeli keju kesukaanya sebagai hadiah untuknya, aku tau Desya sangat menyukai keju. “Mungkin Desya sudah pulang” pikirku. Aku sengaja tidak memberitahu Desya, aku ingin membuat kejutan berkali lipat.
Aku memutuskan untuk menuju rumahnya, sekalian untuk bersilaturahmi dengan Tante San, mamanya Desya. Aku pergi dengan kendaraan umum karena rumah Desya yang lumayan jauh. Selama perjalanan, aku mengecek ponselku untuk membuka e-mail, barangkali Desya sudah membaca dan membalas e-mailku. Ternyata sama sekali tidak ada balasan. “Mungkin Desya sedang tidak ada kuota, dia kan pelit kalo urusan pulsa” pikirku.
Sampailah sudah aku di depan rumah Desya, aku langsung memencet bel yang ada. 1 kali, tidak ada yang keluar, 2 kali, tidak ada sahutan, 3 kali, ada seorang ibu-ibu yang keluar, tapi itu bukan Tante San. Aku bingung, mungkinkah itu saudaranya Desya?.
“Ada apa ya de?” Tanya si ibu tadi.
“hmm bu, saya nyari Desya, Desya nya ada gak bu?”
“Desya?”
“iya bu, Desya. Dia tinggal disini”
“Ooohh, Desya, iya ibu tahu. Tapi sudah 1 bulan keluarganya Desya pindah, sekarang rumah ini sudah ibu beli”
Deggg! Hatiku terasa dilempar batu, kaget sekali mendengar kata-kata si ibu ini.
“Oh gitu bu, ya udah kalo gitu saya permisi dulu yah bu, maaf saya ganggu. Permisi”
“Iya gak papa kok”
Aku hanya bisa menelan kecewa sambil menapak langkah kaki menuju rumah, hari sudah sore dan hujan mulai turun. Aku ingin cepat-sampai rumah, rasanya aku sudah sangat rindu kasur kesayanganku. Sampailah sudah aku di rumah, rasa kecewa yang masih melekat di hati membuat malas untuk melakukan apa pun.
“Besok libur, hmm sebaiknya aku mencari tahu lebih banyak tentang Desya, besok harus berhasil!” tekatku dalam hati.
“Sitaa.. ayo makan dulu, mumpung sayurnya masih hangat” teriak mama dari ruang makan.
“Iya maaaa” jawabku lesu.
Aku langsung berjalan ke ruang makan dengan tubuh lemas dan rambut seperti singa.
“Loh kok anak mama berantakan banget, kamu kenapa nak?” sambil merapihkan rambutku.
“Aku bingung mah”
“bingung kenapa?”
“Desya mah”
“Iya Desya kenapa?”
“Sudah 2 bulan Desya tidak ada kabar. Sudah aku sms, telepon, e-mail, tapi tetap tidak ada balasan”
“Kamu sudah ke rumahnya?”
“Sudah mah, aku sudah ke rumahnya, ke sekolahnya, tapi tetap aku tidak menemukan Desya”
“Hmm.. mama tau, Tante San dulu pernah bilang ingin pindah rumah ke Bogor, coba kamu cari ke Bogor, kebetulan besok papah akan kesana”
“Yang benar mah? Okee aku bakal cari dia sampai ketemu, aku juga tahu rumah neneknya di Bogor, aku pernah ikut ke rumah neneknya Desya. Makasih ya mah”
“Sama-sama sayang, sekarang kamu makan dulu yah, biar gak lesu lagi”
Aku langsung melahap makanan yang sudah ada di meja makan penuh semangat dengan harapan esok akan menemukan kepastian tentang Desya.
Cerpen Karangan: Hasnita Pratiwi
Facebook: Hasnita Pratiwi
Malam itu, aku tidur dengan berlapis selimut yang membuntal tubuhku. Ya, aku sedang sakit, gejala tifus itu membuatku harus tetap berbaring di kamar, tanpa hp, TV, apalagi makanan enak. Benar-benar istirahat total agar tubuhku dapat segera pulih. Jus jambu yang setiap 2 jam sekali dijajakan di pinggir tempat tidur harus aku habiskan agar trombositku dapat segera naik dan tubuhku tidak lagi terkulai lemas. Tapi, ada satu hal yang membuatku lebih sedih dibandingkan obat-obatan yang banyak dan bergelas gelas jus jambu.
Kemana Desya, tidak ada kah Desya datang untuk menjengukku? Benar-benar menyedihkan. Aku berusaha untuk berpikir positif. “mungkin Desya sibuk mengerjakan tugas, tapii… ini weekend. Aku tahu Desya tidak akan ada kegiatan yang sangat menyibukkan”
Mencoba berpikir lebih jernih “Mungkin Desya sedang ada urusan lain yang lebih penting, tapi… tidakkah diriku juga penting untuk Desya?”
Kucoba terus berpikir lebih jernih lagi sampai akhirnya kuputuskan untuk mengecek facebook dan twitter, seketika terjawablah sudah.
“Ternyata Desya tidak mengerjakan tugas, tetapi bermain dengan kawan barunya. Ternyata Desya bukan sedang ada urusan lain, tapi ada teman lain yang lebih penting”. analisisku kali ini benar. Sungguh hati ini seperti tersayat pisau yang baru saja diasah. Kemana sahabat-sahabatku ketika aku sakit? Kemana mereka ketika aku butuh mereka?
Tak mau menjadikannya beban, aku pun lebih fokus untuk memulihkan tubuhku, aku mencoba untuk tidak memikirkan mereka yang bak hilang ditelan bumi.
Setelah berhari-hari beristirahat dan rutin meminum obat serta jus jambu, aku pun kembali pulih dan bisa kembali memulai aktivitasku seperti biasanya. Tiba tiba ada satu pesan di Facebookku yang isinya
“Hai Sita, gimana kabar kamu? Udah sehat?”
Ternyata dari Desya! Aku yang sedikit malas mau tak mau harus membalasnya agar hubungan kami tidak lebih buruk lagi. Aku lebih memilih untuk fokus belajar karena satu bulan lagi aku akan menghadapi uts dan aku sudah banyak ketinggalan pelajaran. Desya yang biasanya setiap malam mengajak curhat kini lebih memilih curhat dengan teman barunya. Dan aku, aku hanya bisa memendam apa yang sebenarnya ingin aku curahkan karena tak ada yang mau menjadi pendengar setiaku lagi.
Aku pun hanya bisa pasrah, terserah mereka ingin berbuat apa, toh, aku tidak berhak untuk mengatur hidupnya. Aku yang tidak ingin memperburuk keadaan akhirnya memutuskan untuk mengirim e-mail kepada Desya sekedar untuk menanyakan kabarnya.
Untuk Desya
Dari sahabatmu, Sita
Hai sya, apa kabarmu? Semoga baik-baik saja. Aku pun disini baik-baik saja. Aku hanya ingin menanyakan kabarmu. Rasanya sudah lama sekali kamu tidak mengirimiku pesan singkat/e-mail sekedar untuk menanyakan kabar atau untuk bercerita panjang lebar lagi. Apakah kamu sibuk? Rasanya aku pun sibuk tetapi aku selalu menyempatkan waktu untuk mencari tahu kabarmu. Kuharap kamu mengerti apa yang aku rasakan, aku sangat rindu dengan dirimu. Ingin rasanya menatap wajah lucumu itu, foto bersama, cerita panjang lebar, dan makan sepiring berdua lagi.
Kalau sempat, balas pesanku ini yaa.
Salam manis
Sita.
Setelah mengirim e-mail tersebut, aku langsung menutup laptop untuk merebahkan badan di kasurku yang setiap saat kurindukan. Sungguh lelah, sekolah seharian dan harus pulang saat senja.
“Huuhhhh” aku menghembuskan nafas dengan kencang “lelah sekali hari ini. Harus mengerjakan pr yang belum sempat dikerjakan karena sakit, ulangan harian susulan, dan masih banyak lagi. Dulu, biasanya ada yang selalu menyemangatiku ketika aku sedang benar benar ambruk. Kemana yah mereka sekarang? Rasanya aku sangat merindukan mereka, aku rindu saat-saat bersama mereka, hfffttt” lagi, aku menghela napas panjang. Rebahan sambil terus mengingat masa lalu bersama Desya, sahabat terbaikku.
Aku meraih ponselku dan membuka kembali foto-fotoku bersama Desya, sesekali aku tertawa melihat tingkah kami berdua yang sangat konyol. Tidak terasa pipiku basah karena air mata yang mengalir. “Ya Tuhan, aku rindu Desya, kemana dia? Kenapa dia tidak ada kabar? Kenapa yang lain tidak memberitahuku dimana Desya sekarang?”
Aku sudah berusaha menghubungi orang–orang terdekatnya, tapi nihil! “tak ada jawaban yang pasti”. Keluhku sambil mengusap air mataku yang semakin menjadi-jadi, aku mengambil bingkai foto aku dengan Desya, aku memeluknya sambil menutup mataku rapat-rapat, berharap Desya bisa merasakan kerinduan yang sama.
Tidak terasa aku malah ketiduran dan hari sudah pagi. Aku segera bangun dan bersiap-siap berangkat sekolah lagi. Hari ini aku berniat mencari langsung Desya ke sekolahnya, ya, kami berbeda sekolah karena minat kami yang berbeda, aku lebih suka bisnis dan keuangan sedangkan Desya ingin menjadi dokter.
Sepulang sekolah aku langsung menuju sekolah Desya yang tidak terpaut jauh, aku langsung menuju kelasnya dan mencarinya, tapi dia tidak ada. Padahal aku ingin memberi surprise, aku sudah membeli keju kesukaanya sebagai hadiah untuknya, aku tau Desya sangat menyukai keju. “Mungkin Desya sudah pulang” pikirku. Aku sengaja tidak memberitahu Desya, aku ingin membuat kejutan berkali lipat.
Aku memutuskan untuk menuju rumahnya, sekalian untuk bersilaturahmi dengan Tante San, mamanya Desya. Aku pergi dengan kendaraan umum karena rumah Desya yang lumayan jauh. Selama perjalanan, aku mengecek ponselku untuk membuka e-mail, barangkali Desya sudah membaca dan membalas e-mailku. Ternyata sama sekali tidak ada balasan. “Mungkin Desya sedang tidak ada kuota, dia kan pelit kalo urusan pulsa” pikirku.
Sampailah sudah aku di depan rumah Desya, aku langsung memencet bel yang ada. 1 kali, tidak ada yang keluar, 2 kali, tidak ada sahutan, 3 kali, ada seorang ibu-ibu yang keluar, tapi itu bukan Tante San. Aku bingung, mungkinkah itu saudaranya Desya?.
“Ada apa ya de?” Tanya si ibu tadi.
“hmm bu, saya nyari Desya, Desya nya ada gak bu?”
“Desya?”
“iya bu, Desya. Dia tinggal disini”
“Ooohh, Desya, iya ibu tahu. Tapi sudah 1 bulan keluarganya Desya pindah, sekarang rumah ini sudah ibu beli”
Deggg! Hatiku terasa dilempar batu, kaget sekali mendengar kata-kata si ibu ini.
“Oh gitu bu, ya udah kalo gitu saya permisi dulu yah bu, maaf saya ganggu. Permisi”
“Iya gak papa kok”
Aku hanya bisa menelan kecewa sambil menapak langkah kaki menuju rumah, hari sudah sore dan hujan mulai turun. Aku ingin cepat-sampai rumah, rasanya aku sudah sangat rindu kasur kesayanganku. Sampailah sudah aku di rumah, rasa kecewa yang masih melekat di hati membuat malas untuk melakukan apa pun.
“Besok libur, hmm sebaiknya aku mencari tahu lebih banyak tentang Desya, besok harus berhasil!” tekatku dalam hati.
“Sitaa.. ayo makan dulu, mumpung sayurnya masih hangat” teriak mama dari ruang makan.
“Iya maaaa” jawabku lesu.
Aku langsung berjalan ke ruang makan dengan tubuh lemas dan rambut seperti singa.
“Loh kok anak mama berantakan banget, kamu kenapa nak?” sambil merapihkan rambutku.
“Aku bingung mah”
“bingung kenapa?”
“Desya mah”
“Iya Desya kenapa?”
“Sudah 2 bulan Desya tidak ada kabar. Sudah aku sms, telepon, e-mail, tapi tetap tidak ada balasan”
“Kamu sudah ke rumahnya?”
“Sudah mah, aku sudah ke rumahnya, ke sekolahnya, tapi tetap aku tidak menemukan Desya”
“Hmm.. mama tau, Tante San dulu pernah bilang ingin pindah rumah ke Bogor, coba kamu cari ke Bogor, kebetulan besok papah akan kesana”
“Yang benar mah? Okee aku bakal cari dia sampai ketemu, aku juga tahu rumah neneknya di Bogor, aku pernah ikut ke rumah neneknya Desya. Makasih ya mah”
“Sama-sama sayang, sekarang kamu makan dulu yah, biar gak lesu lagi”
Aku langsung melahap makanan yang sudah ada di meja makan penuh semangat dengan harapan esok akan menemukan kepastian tentang Desya.
Cerpen Karangan: Hasnita Pratiwi
Facebook: Hasnita Pratiwi
Butuh Kepastian (Part 1)
4/
5
Oleh
Unknown