Judul Cerpen Dia
‘Apa Abang pernah dengar cerita ini?’.
Dia membuka kisah gosip di sekolahnya dengan pertanyaan yang mustahil kutolak. Jarang –atau bahkan tak ada– lelaki semacamku yang tertarik dengan cerita murahan itu. Kami sepakat membicarakan hal lain sebelum membicarakan masalah personal –kalau ada waktu. Aku menyepakatinya sebab aku sendiri tak tahu bagaimana cara berbicara yang baik dan benar jika sedang bersama teman wanita -apakah aku harus menyatakan cinta? Apakah dengan mengajak dia berbelanja bisa menyelesaikan masalah?– dan ia membuka percakapan dengan topik menarik. Ini pertama kalinya kami bertemu lagi setelah lama chatting via online.
“Nggak tahu banyak, sih. Seingatku itu semacam cerita spongebob pergi kerja dan hanya mengerjai si murung squidward?”
“Kira-kira seperti itulah.” Dia tersenyum tetapi bukan untukku, melainkan untuk seseorang di belakangku.
“Temanmu sudah datang, ya?” tanya nona barista kopi langgananku dengan suara berat dan letih seakan ia baru saja memindahkan Angkor Watt ke salah satu kecamatan di ujung Ciamis sana, dengan kecepatan cahaya tentunya. Ia menyerahkan buku menu. “Mau pesan apa?”
Aku memilih mie instan goreng, sekaleng b*r dingin dan segelas kopi sementara Dia memesan Spaghetti dan es teh lemon. Nona Barista meminta kami menunggu sebentar, terdengar derap langkah perlahan menjauh.
“Aku ingin sekali masuk kedokteran, bagiku menyelamatkan nyawa seseorang menjadi seni terindah yang para ilmuwan lakukan. Dan aku ingin melakukan itu.” Seperti biasa aku hanya bisa terdiam tanpa niat menyanggah selama orang lain bercerita. Entah apa yang ia alami selama kami tak bertemu, yang pasti lemparan sebuah batu bata pada kepalanya telah mengubah dirinya.
Aku perhatikan dia, wajah tembem dan mata sipit, hidung yang kecil dibalut hijab yang membungkus kepalanya. Imut sekali, dandanan khas anak SMA masa kini. Dia berdiri dan membantu nona barista yang membawa pesanan kami. Nona barista –teman baikku ini– pun meminta maaf sebab agak terlambat mengantar pesanan. Dia berusaha menenangkan dengan berkata bahwa kami tidak terlalu lapar, setelah itu Dia kembali duduk di hadapanku dan menatapku agak lama.
“Kau lihat apa?” kataku.
Ia menggeleng kecil seraya menghirup minumannya. “Lama di kota orang kukira Abang akan berubah”
“Memangnya kau berharap aku berubah jadi apa? Ikan buntal?” Dia menutup mulutnya, tanda ia tertawa.
“Penampilan Abang tetap bersahaja, tanpa peduli omongan orang lain abang tetap percaya diri”
“Hanya ini topeng yang pantas kutampilkan”
“Hubungan kita pun seperti topeng, Abang sendiri yang bilang begitu: tak ada apa-apa di antara kita dan kita yang menikmati kedok ini. Ade rasa seharusnya nggak sulit bagi Abang menyatakan cinta kalau benar–benar cinta. Rasanya seperti digantung” Aku dibuat kikuk olehnya. Diam.
“Abang tentunya harus berani berkencan, menyatakan ketertarikan, declare de interest…”
“Tentu. Itu pun kalau kita sepakat untuk tidak mengulang cerita cinta diam-diam Abang yang entah bagaimana terdengar kurang enak diceritakan oleh Ade.” kataku.
Dia bereaksi pada spaghetinya, mencoloknya dengan garpu, sedikit mengoles-oles ke saus, memakannya, mengunyah dan berkata “Begini, karena Ade mencintai Abang, dan seluruh kekurangan dan kelebihan Abang. Ade datang untuk menyelamatkan Abang dari cinta yang sia–si…”
“Menyebalkan, seharusnya kau datang untuk melepaskan kerinduanku padamu. Kau tidak mencintai siapapun, kau hanya ingin memaksaku mengikutimu.”
Aku ingin tertawa, agar kecanggungan ini cepat reda, tapi itu sepertinya bukan ide yang bagus.
“Apa Abang masih menginginkannya?” tanya Dia, sedikit serius.
“Kau tau, keuntungan menjadi orang yang suka telat dan pemalas sepertiku ialah ketika kau telah sadar mencintai orang lain sehingga saat kau sadar ya sudah telat dan sudah malas pindah ke hati yang lain.”
Rasanya aku kurang mengerti hubungannya dengan masalah yang sedang dibahas saat ini. Padahal awalnya kita berjanji untuk tidak membicarakan hal personal. Pikiranku sedikit kacau. Dia mengelap noda saus di bibirnya dengan tisu, lalu membersihkan sudut matanya yang tidak kotor, dan menggembungkan pipinya –suatu tindakan yang tak banyak gunanya dan tanpa ia sadari membuatnya terlihat menggemaskan.
“Kau boleh tertawa, kok. Aku pun awalnya ingin ketawa.”
Dia mengangkat pundaknya, “kalau Abang tetap begini, niscaya lambat-lambat akan sekaya Bill Gates..”
“Kalau kau mencoba puitis, usahamu sangat jelek..”
“Yang puitis itu sesuatu, sesuatu itu yang membuat kita puitis, bang.”
Cerpen Karangan: Adi Basari
Blog: Adibasari.wordpress.com
‘Apa Abang pernah dengar cerita ini?’.
Dia membuka kisah gosip di sekolahnya dengan pertanyaan yang mustahil kutolak. Jarang –atau bahkan tak ada– lelaki semacamku yang tertarik dengan cerita murahan itu. Kami sepakat membicarakan hal lain sebelum membicarakan masalah personal –kalau ada waktu. Aku menyepakatinya sebab aku sendiri tak tahu bagaimana cara berbicara yang baik dan benar jika sedang bersama teman wanita -apakah aku harus menyatakan cinta? Apakah dengan mengajak dia berbelanja bisa menyelesaikan masalah?– dan ia membuka percakapan dengan topik menarik. Ini pertama kalinya kami bertemu lagi setelah lama chatting via online.
“Nggak tahu banyak, sih. Seingatku itu semacam cerita spongebob pergi kerja dan hanya mengerjai si murung squidward?”
“Kira-kira seperti itulah.” Dia tersenyum tetapi bukan untukku, melainkan untuk seseorang di belakangku.
“Temanmu sudah datang, ya?” tanya nona barista kopi langgananku dengan suara berat dan letih seakan ia baru saja memindahkan Angkor Watt ke salah satu kecamatan di ujung Ciamis sana, dengan kecepatan cahaya tentunya. Ia menyerahkan buku menu. “Mau pesan apa?”
Aku memilih mie instan goreng, sekaleng b*r dingin dan segelas kopi sementara Dia memesan Spaghetti dan es teh lemon. Nona Barista meminta kami menunggu sebentar, terdengar derap langkah perlahan menjauh.
“Aku ingin sekali masuk kedokteran, bagiku menyelamatkan nyawa seseorang menjadi seni terindah yang para ilmuwan lakukan. Dan aku ingin melakukan itu.” Seperti biasa aku hanya bisa terdiam tanpa niat menyanggah selama orang lain bercerita. Entah apa yang ia alami selama kami tak bertemu, yang pasti lemparan sebuah batu bata pada kepalanya telah mengubah dirinya.
Aku perhatikan dia, wajah tembem dan mata sipit, hidung yang kecil dibalut hijab yang membungkus kepalanya. Imut sekali, dandanan khas anak SMA masa kini. Dia berdiri dan membantu nona barista yang membawa pesanan kami. Nona barista –teman baikku ini– pun meminta maaf sebab agak terlambat mengantar pesanan. Dia berusaha menenangkan dengan berkata bahwa kami tidak terlalu lapar, setelah itu Dia kembali duduk di hadapanku dan menatapku agak lama.
“Kau lihat apa?” kataku.
Ia menggeleng kecil seraya menghirup minumannya. “Lama di kota orang kukira Abang akan berubah”
“Memangnya kau berharap aku berubah jadi apa? Ikan buntal?” Dia menutup mulutnya, tanda ia tertawa.
“Penampilan Abang tetap bersahaja, tanpa peduli omongan orang lain abang tetap percaya diri”
“Hanya ini topeng yang pantas kutampilkan”
“Hubungan kita pun seperti topeng, Abang sendiri yang bilang begitu: tak ada apa-apa di antara kita dan kita yang menikmati kedok ini. Ade rasa seharusnya nggak sulit bagi Abang menyatakan cinta kalau benar–benar cinta. Rasanya seperti digantung” Aku dibuat kikuk olehnya. Diam.
“Abang tentunya harus berani berkencan, menyatakan ketertarikan, declare de interest…”
“Tentu. Itu pun kalau kita sepakat untuk tidak mengulang cerita cinta diam-diam Abang yang entah bagaimana terdengar kurang enak diceritakan oleh Ade.” kataku.
Dia bereaksi pada spaghetinya, mencoloknya dengan garpu, sedikit mengoles-oles ke saus, memakannya, mengunyah dan berkata “Begini, karena Ade mencintai Abang, dan seluruh kekurangan dan kelebihan Abang. Ade datang untuk menyelamatkan Abang dari cinta yang sia–si…”
“Menyebalkan, seharusnya kau datang untuk melepaskan kerinduanku padamu. Kau tidak mencintai siapapun, kau hanya ingin memaksaku mengikutimu.”
Aku ingin tertawa, agar kecanggungan ini cepat reda, tapi itu sepertinya bukan ide yang bagus.
“Apa Abang masih menginginkannya?” tanya Dia, sedikit serius.
“Kau tau, keuntungan menjadi orang yang suka telat dan pemalas sepertiku ialah ketika kau telah sadar mencintai orang lain sehingga saat kau sadar ya sudah telat dan sudah malas pindah ke hati yang lain.”
Rasanya aku kurang mengerti hubungannya dengan masalah yang sedang dibahas saat ini. Padahal awalnya kita berjanji untuk tidak membicarakan hal personal. Pikiranku sedikit kacau. Dia mengelap noda saus di bibirnya dengan tisu, lalu membersihkan sudut matanya yang tidak kotor, dan menggembungkan pipinya –suatu tindakan yang tak banyak gunanya dan tanpa ia sadari membuatnya terlihat menggemaskan.
“Kau boleh tertawa, kok. Aku pun awalnya ingin ketawa.”
Dia mengangkat pundaknya, “kalau Abang tetap begini, niscaya lambat-lambat akan sekaya Bill Gates..”
“Kalau kau mencoba puitis, usahamu sangat jelek..”
“Yang puitis itu sesuatu, sesuatu itu yang membuat kita puitis, bang.”
Cerpen Karangan: Adi Basari
Blog: Adibasari.wordpress.com
Dia
4/
5
Oleh
Unknown