Judul Cerpen Everything or Nothing
“Kamu sudah mendengar kabar Fahri?”
Deg! kabar Fahri? Kabar apa? Maksudku, apa kabar dengannya? bukankah terakhir aku mendapati kabarnya sedang kuliah di New York.
“Hey, malah melamun..”
“Eh iya, kenapa?”
“Kamu sudah tahu kabar Fahri?”
“Kabar yang mana?”
“Ah masa sih kamu tidak tahu, bukankah kamu si stalking hebat. Haha”
Tidak tahu? Stalking hebat? Ah, kebiasaan itu sudah aku tinggalkan semenjak kata-kata itu. Sejak detik itu pun aku sudah menata hatiku untuk tidak lagi menancapkan harapan. Bagaimana ini, Maryam membuatku mengingatnya lagi.
“Maksud kamu?”
“Ya, maksudku kamu kalau suka sama orang biasanya selalu up to date tentang dia. Hari ini dia pulang ke Indonesia, dia sudah lulus dan sekarang sempurnalah dia. Ganteng, pinter, lulusan S1 dari New York pula.”
“Lalu?”
“Kamu tidak senang dengan kepulangannya? bukankah selama 2 tahun terakhir ini kamu sudah banyak planning dengannya kalau nanti dia pulang ke Indonesia. Setiap malam kamu selalu menjadikan planningmu itu sebagai teman sebelum tidurmu sampai akhirnya kamu terlelap begitu pulasnya untuk menunggu hari esok. Hari esok yang kamu harapkan lebih cepat agar Fahri segera menemuimu dan mewujudkan planning-planning kalian.”
Maryam benar. Tapi sejak 6 bulan lalu angan itu telah aku kubur, aku sudah tidak ingin lagi melayang-layang di langit, sudah cukup aku terbang. Sudah cukup aku larut bersama birunya langit. Aku ingin mendarat. Meski tidak sempurna tapi setidaknya aku segera sadar dengan apa yang aku lakukan.
“Eh iya. Nggak sih biasa aja.”
“Lah bagaimana mungkin biasa saja, bukankah selama ini kamu… atau jangan-jangan ada sesuatu yang tidak aku tahu selama ini. Kamu menyembunyikannya dari aku ya? Ayolah cantik, aku ini sahabatmu. Tidak ada yang bisa kamu sembunyikan dariku. Tiga tahun kita bersama, aku tahu wajah kamu kalau sudah seperti ini. Fahri sudah menikah yaa?” Maryam menebak seenak jidatnya.
“Apaan sih kamu ngaco.”
“Haha lah terus apa? Kamu dikecewakan olehnya?”
“Tidak.”
“Lalu?”
Benar seperti kata Bang Tere Liye.
Sebenarnya siapa yang membuat kecewa?
Kita sendiri.
Kita tidak akan pernah kecewa jika kita selalu mengendalikan harapan. Mau secanggih apapun orang lain memupuk pesonanya, menimbun perhatiannya. Kalau kita sempurna mengendalikan hati, no problem at all.
~ Tere Liye.
Yaa, benar. Saat itu aku terlalu asyik untuk menikmati langit dan larut di dalamnya, sampai akhirnya aku tidak sadar telah terbang dalam angan yang terlalu tinggi, dan menancapkan harapan terlalu dalam.
Alhasil, aku hampir terjatuh. Aku hampir saja kehilangan keseimbangan. Untung saja aku masih bisa sadar jika ini semua hanya angan.
Aku segera terperanjat dari anganku itu, segera menepis harapan-harapan yang telah aku tancapkan sedikit demi sedikit. Dan ah, sedikit saja aku terlambat mungkin aku sudah terjatuh.
Satu setengah tahun aku berharap dan terus menunggu. Satu setengah tahun juga aku jadikan anganku sebagai cerita sebelum tidurku. Menunggu esok yang aku harap cepat berlalu sampai akhirnya waktu akan segera memulangkanmu.
Namun, Tuhan masih menyayangiku. Enam bulan lalu Tuhan telah tunjukan siapa sebenarnya dirimu. Dan saat itu aku baru menyadarinya, sudah terlalu jauh aku terbang dan larut bersama langit biru itu.
Sebenarnya aku sudah merasakan ini, namun aku selalu saja menepisnya. Seharusnya masa penantianku akan kepulanganmu sudah pudar satu tahun lalu, hanya saja aku terlalu bodoh untuk mengakuinya. Aku terlalu berpaku pada proses.
Ah mungkin ini masih proses, aku masih dalam adaptasi. Karena memang kebiasaan kita yang berbeda. Kamu yang cuek dengan keadaan, sedangkan aku yang heboh dengan apa yang aku dapatkan.
Tapi rasanya, semakin kita intens semakin jauh juga jarak yang kita punya. Kita menjalani hubungan tanpa ikatan, merangkai kata dengan harapan dan rindu yang terlipat gandakan.
Rindu? Mana mungkin. Aku mengenalmu tanpa temu, aku melihatmu hanya dalam semu. Apa mungkin rindu itu ada? Ah, mungkin ini rindu karena hatiku terasa sepi tanpa seseorang itu.
Dua tahun aku mengenalmu tanpa temu, satu setengah tahun aku rangkai harapan itu dengan rindu, dan enam bulan aku kubur semua itu.
Sampai akhirnya apa yang aku tepis selama ini aku ungkapkan karena hatiku terasa sempit terjejali oleh perasaan itu. Aku utarakan apa yang kurasa.
“I’am everything or nothing in your heart?”
“Hmm.. why?”
“Entah. Your the feel.”
“Yaa, pertanyaannya membingungkan. Maksud everything dalam segi apa nih?”
“Kenapa bingung? Yang Kakak rasain aja.”
“Kan ada dalam segi kehidupan? Kalau dalam kehidupan Kakak jawab nothing. Karena hidup Kakak bukan cuman buat ade aja, contohnya buat Allah, buat keluarga, buat sahabat. Jadi pertanyaan everythingnya lebih kemana?”
“Up to you. Your the feeling to me. During time I dont understand for your attitude to me.”
“Yaa, Kakak suka terus sayang tapi apa yang dipermasalahkan? Bukannya ade sendiri yang bilang jalani.”
“Yeah. It is really. But I feel I nothing. Entahlah. Mungkin hanya perasaan saja atau belum bisa beradaptasi.”
“Hmm, emang seharusnya seperti apa?”
“Gak papa hehe.. I seemed the closer the farther. I was a nobody but felt nothing. Maybe because different customs and I have get used. Entahlah.”
“Emang biasanya seperti apa?”
“Nggak sih. Yaa biasanya tanggapan untuk aku pas cerita agak sedikit heboh, ya maksudnya agak gimana gitu. Cuman untuk tanggapan Kakak dari cerita-ceritaku kadang biasa aja atau bahkan nothing. Kadang pas pengen serius malah dianggap becanda.”
Fiuh.. aku menghela nafas setelah mengetik kata-kata itu dan tanganku bergetar.
“Mungkin ade belum kenal Kakak. Bukannya becanda emang Kakak kaya gini orangnya.”
“Ya aku tahu itu. Sedikit-sedikit aku sudah tahu sifat Kakak.”
“Sama halnya dengan Kakak. Berarti belum saling kenal dan memahami.”
Percakapan malam itu telah memberikan jawaban atas kegundahan yang selama enam bulan kutepis. Yaa, mengapa aku masih tetap merasa sendiri. Meski sudah satu setengah tahun saling kenal tapi tidak cukup untuk memahami satu sama lainnya, dan selama itu pula kita hanya mengikat jalinan dari media sosial. Tidak pernah sama sekali bertemu. Hanya bertatap muka lewat video call. Ah cukuplah itu sedikit mengobati rinduku. Eh bukan rindu, lebih tepatnya sepi.
Dan setelah percakapan malam itu, aku semakin paham. Hubungan yang selama ini kita jalin hanya… Ah entahlah. Mungkin saat itu aku sedang kesepian dan kamu datang lalu akhirnya aku membuka pintu untuk kamu aku persilakan masuk.
Semoga aku bisa lebih mengendalikan harapanku. Setelah kejadian ini aku belajar. Mengendalikan bukan dikendalikan.
—
“Tidak ada yang dikecewakan atau mengecewakan. Ini hanya soal pengendalian. Dan sekarang aku sudah lega telah mendarat dari angan itu.”
“Syukurlah. Lekas sembuh ya. Hehe”
“Aku sudah sembuh, Maryam. Hanya saja kamu tadi sedikit mengingatkan aku.”
“Haha masa sih.”
Deeerrtt..! handphoneku bergetar. Hmm siapa?
Fahri?
“Assalamu’alaikum. Apa kabar dek? Semoga baik-baik saja. sekarang Kakak sudah pulang ke Indonesia. Kalau nanti ada waktu insyaa Allah nanti kita ketemu.”
Ada angin apa? Apakah?
“Siapa?”
“Fahri.”
“Balas.”
“Wa’alaikumsallam. Alhamdulillah kabar baik Kak. Oh iya kak boleh.”
Aku tidak ingin panjang lebar dan harapan itu tumbuh kembali. Biarlah semua mengalir begitu saja. jangan sampai menyesakan kembali.
Cianjur, Juni 2016
Cerpen Karangan: Santih Lestari
Facebook: santihalsihab[-at-]yahoo.com
“Kamu sudah mendengar kabar Fahri?”
Deg! kabar Fahri? Kabar apa? Maksudku, apa kabar dengannya? bukankah terakhir aku mendapati kabarnya sedang kuliah di New York.
“Hey, malah melamun..”
“Eh iya, kenapa?”
“Kamu sudah tahu kabar Fahri?”
“Kabar yang mana?”
“Ah masa sih kamu tidak tahu, bukankah kamu si stalking hebat. Haha”
Tidak tahu? Stalking hebat? Ah, kebiasaan itu sudah aku tinggalkan semenjak kata-kata itu. Sejak detik itu pun aku sudah menata hatiku untuk tidak lagi menancapkan harapan. Bagaimana ini, Maryam membuatku mengingatnya lagi.
“Maksud kamu?”
“Ya, maksudku kamu kalau suka sama orang biasanya selalu up to date tentang dia. Hari ini dia pulang ke Indonesia, dia sudah lulus dan sekarang sempurnalah dia. Ganteng, pinter, lulusan S1 dari New York pula.”
“Lalu?”
“Kamu tidak senang dengan kepulangannya? bukankah selama 2 tahun terakhir ini kamu sudah banyak planning dengannya kalau nanti dia pulang ke Indonesia. Setiap malam kamu selalu menjadikan planningmu itu sebagai teman sebelum tidurmu sampai akhirnya kamu terlelap begitu pulasnya untuk menunggu hari esok. Hari esok yang kamu harapkan lebih cepat agar Fahri segera menemuimu dan mewujudkan planning-planning kalian.”
Maryam benar. Tapi sejak 6 bulan lalu angan itu telah aku kubur, aku sudah tidak ingin lagi melayang-layang di langit, sudah cukup aku terbang. Sudah cukup aku larut bersama birunya langit. Aku ingin mendarat. Meski tidak sempurna tapi setidaknya aku segera sadar dengan apa yang aku lakukan.
“Eh iya. Nggak sih biasa aja.”
“Lah bagaimana mungkin biasa saja, bukankah selama ini kamu… atau jangan-jangan ada sesuatu yang tidak aku tahu selama ini. Kamu menyembunyikannya dari aku ya? Ayolah cantik, aku ini sahabatmu. Tidak ada yang bisa kamu sembunyikan dariku. Tiga tahun kita bersama, aku tahu wajah kamu kalau sudah seperti ini. Fahri sudah menikah yaa?” Maryam menebak seenak jidatnya.
“Apaan sih kamu ngaco.”
“Haha lah terus apa? Kamu dikecewakan olehnya?”
“Tidak.”
“Lalu?”
Benar seperti kata Bang Tere Liye.
Sebenarnya siapa yang membuat kecewa?
Kita sendiri.
Kita tidak akan pernah kecewa jika kita selalu mengendalikan harapan. Mau secanggih apapun orang lain memupuk pesonanya, menimbun perhatiannya. Kalau kita sempurna mengendalikan hati, no problem at all.
~ Tere Liye.
Yaa, benar. Saat itu aku terlalu asyik untuk menikmati langit dan larut di dalamnya, sampai akhirnya aku tidak sadar telah terbang dalam angan yang terlalu tinggi, dan menancapkan harapan terlalu dalam.
Alhasil, aku hampir terjatuh. Aku hampir saja kehilangan keseimbangan. Untung saja aku masih bisa sadar jika ini semua hanya angan.
Aku segera terperanjat dari anganku itu, segera menepis harapan-harapan yang telah aku tancapkan sedikit demi sedikit. Dan ah, sedikit saja aku terlambat mungkin aku sudah terjatuh.
Satu setengah tahun aku berharap dan terus menunggu. Satu setengah tahun juga aku jadikan anganku sebagai cerita sebelum tidurku. Menunggu esok yang aku harap cepat berlalu sampai akhirnya waktu akan segera memulangkanmu.
Namun, Tuhan masih menyayangiku. Enam bulan lalu Tuhan telah tunjukan siapa sebenarnya dirimu. Dan saat itu aku baru menyadarinya, sudah terlalu jauh aku terbang dan larut bersama langit biru itu.
Sebenarnya aku sudah merasakan ini, namun aku selalu saja menepisnya. Seharusnya masa penantianku akan kepulanganmu sudah pudar satu tahun lalu, hanya saja aku terlalu bodoh untuk mengakuinya. Aku terlalu berpaku pada proses.
Ah mungkin ini masih proses, aku masih dalam adaptasi. Karena memang kebiasaan kita yang berbeda. Kamu yang cuek dengan keadaan, sedangkan aku yang heboh dengan apa yang aku dapatkan.
Tapi rasanya, semakin kita intens semakin jauh juga jarak yang kita punya. Kita menjalani hubungan tanpa ikatan, merangkai kata dengan harapan dan rindu yang terlipat gandakan.
Rindu? Mana mungkin. Aku mengenalmu tanpa temu, aku melihatmu hanya dalam semu. Apa mungkin rindu itu ada? Ah, mungkin ini rindu karena hatiku terasa sepi tanpa seseorang itu.
Dua tahun aku mengenalmu tanpa temu, satu setengah tahun aku rangkai harapan itu dengan rindu, dan enam bulan aku kubur semua itu.
Sampai akhirnya apa yang aku tepis selama ini aku ungkapkan karena hatiku terasa sempit terjejali oleh perasaan itu. Aku utarakan apa yang kurasa.
“I’am everything or nothing in your heart?”
“Hmm.. why?”
“Entah. Your the feel.”
“Yaa, pertanyaannya membingungkan. Maksud everything dalam segi apa nih?”
“Kenapa bingung? Yang Kakak rasain aja.”
“Kan ada dalam segi kehidupan? Kalau dalam kehidupan Kakak jawab nothing. Karena hidup Kakak bukan cuman buat ade aja, contohnya buat Allah, buat keluarga, buat sahabat. Jadi pertanyaan everythingnya lebih kemana?”
“Up to you. Your the feeling to me. During time I dont understand for your attitude to me.”
“Yaa, Kakak suka terus sayang tapi apa yang dipermasalahkan? Bukannya ade sendiri yang bilang jalani.”
“Yeah. It is really. But I feel I nothing. Entahlah. Mungkin hanya perasaan saja atau belum bisa beradaptasi.”
“Hmm, emang seharusnya seperti apa?”
“Gak papa hehe.. I seemed the closer the farther. I was a nobody but felt nothing. Maybe because different customs and I have get used. Entahlah.”
“Emang biasanya seperti apa?”
“Nggak sih. Yaa biasanya tanggapan untuk aku pas cerita agak sedikit heboh, ya maksudnya agak gimana gitu. Cuman untuk tanggapan Kakak dari cerita-ceritaku kadang biasa aja atau bahkan nothing. Kadang pas pengen serius malah dianggap becanda.”
Fiuh.. aku menghela nafas setelah mengetik kata-kata itu dan tanganku bergetar.
“Mungkin ade belum kenal Kakak. Bukannya becanda emang Kakak kaya gini orangnya.”
“Ya aku tahu itu. Sedikit-sedikit aku sudah tahu sifat Kakak.”
“Sama halnya dengan Kakak. Berarti belum saling kenal dan memahami.”
Percakapan malam itu telah memberikan jawaban atas kegundahan yang selama enam bulan kutepis. Yaa, mengapa aku masih tetap merasa sendiri. Meski sudah satu setengah tahun saling kenal tapi tidak cukup untuk memahami satu sama lainnya, dan selama itu pula kita hanya mengikat jalinan dari media sosial. Tidak pernah sama sekali bertemu. Hanya bertatap muka lewat video call. Ah cukuplah itu sedikit mengobati rinduku. Eh bukan rindu, lebih tepatnya sepi.
Dan setelah percakapan malam itu, aku semakin paham. Hubungan yang selama ini kita jalin hanya… Ah entahlah. Mungkin saat itu aku sedang kesepian dan kamu datang lalu akhirnya aku membuka pintu untuk kamu aku persilakan masuk.
Semoga aku bisa lebih mengendalikan harapanku. Setelah kejadian ini aku belajar. Mengendalikan bukan dikendalikan.
—
“Tidak ada yang dikecewakan atau mengecewakan. Ini hanya soal pengendalian. Dan sekarang aku sudah lega telah mendarat dari angan itu.”
“Syukurlah. Lekas sembuh ya. Hehe”
“Aku sudah sembuh, Maryam. Hanya saja kamu tadi sedikit mengingatkan aku.”
“Haha masa sih.”
Deeerrtt..! handphoneku bergetar. Hmm siapa?
Fahri?
“Assalamu’alaikum. Apa kabar dek? Semoga baik-baik saja. sekarang Kakak sudah pulang ke Indonesia. Kalau nanti ada waktu insyaa Allah nanti kita ketemu.”
Ada angin apa? Apakah?
“Siapa?”
“Fahri.”
“Balas.”
“Wa’alaikumsallam. Alhamdulillah kabar baik Kak. Oh iya kak boleh.”
Aku tidak ingin panjang lebar dan harapan itu tumbuh kembali. Biarlah semua mengalir begitu saja. jangan sampai menyesakan kembali.
Cianjur, Juni 2016
Cerpen Karangan: Santih Lestari
Facebook: santihalsihab[-at-]yahoo.com
Everything or Nothing
4/
5
Oleh
Unknown