Judul Cerpen (Second) First Impression
“Selamat berbuka!”
Suasana bersahabat memenuhi ruangan itu. Reuni akbar salah satu Madrasah Aliyah di daerah Surabaya itu bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Sambil berbuka, mereka berbincang ringan. Saling menanyakan kabar dan kesibukan saat ini.
Pintu depan terbuka sedikit, beberapa orang yang berada di dekat sana menoleh. Seorang perempuan masuk sambil membungkuk sedikit, meminta maaf.
“Assalamualaikum… Maaf aku terlambat..”, ucapnya.
Beberapa pasang mata yang mengenalnya langsung datang menghampirinya dan memeluknya erat.
“KANGEEEEEENNN!!!”, ucap Ani.
“Gimana kabarnya nih?”, tanya Linda.
“Udah lulus belum?”, tanya Tika.
“Sssstt… Nanti aja, aku belum buka nih…”, ucap perempuan itu lantas melepaskan pelukan ketiga kawan lamanya itu. Mereka tertawa bersamaan.
Perempuan itu mengambil segelas air putih dari meja, lalu membatalkan puasanya. Sambil meneguk minumannya, dia memandang ke seluruh ruangan. Dan matanya berhenti di satu titik.
Orang itu.
—
“Bangun woi!”
Reina masih menggeliat di kasurnya, ogah meninggalkan singgasananya.
“Biar saja, Va. Lagian sekarang sudah jam 8, dia pasti telat.”, ucap Ibu.
Reina langsung tersentak bangun dan masuk ke kamar mandi. Ibu dan Eva terkikik karena Reina tertipu.
“Ibu ini.. Anak sendiri dibohongi..”, ucap Ayah. Ibu melanjutkan acara menggoreng nasinya.
“Daripada telat beneran?”, ucapnya lantas jam dinding berdenting 5 kali.
Sambil masih mengantuk, Reina melahap nasi goreng buatan Ibu. Eva sudah siap untuk mengantar adik terakhirnya itu ke sekolah.
“Ibuuu… Jangan bikin jantungan dong…”, omel Reina sambil meneguk airnya. Ibu memandangnya sebal.
“Kalau kamu gampang bangun sih enak.. Lah ini? Mau kamu beneran telat?”, ucap Ibu.
“Gak papa, Bu.. Biar sekali-sekali ngerasain diskors dia..”, ucap Eva tajam. Reina menutup mulutnya rapat-rapat.
Kata-kata Eva mungkin menyakitkan, tapi memang begitu adanya. Hukuman skors sudah mengancam Reina karena buku pelanggarannya sudah penuh dengan poin TERLAMBAT.
“Huss.. Sudah, antarkan saja adikmu itu.”, ucap Ayah.
—
Perempuan itu terdiam. Terpaku pada sosok itu tanpa berkedip sedikitpun. Dia tersadar saat seseorang menepuk pundaknya.
“Reina?”, tanyanya. Perempuan itu berbalik, lantas tersenyum.
“Eka? Apa kabar?”, ucap Reina seraya menjabat tangan orang di depannya ini. Eka menjabat tangannya sambil tersenyum.
“Alhamdulillah baik. Kamu dari asrama?”, tanya Eka. Reina mengangguk.
“Iya, aku nggak sempat pulang dulu. Banyak tugas di kampus…”, ucap Reina lantas tertawa.
“Kamu sendiri? Kok pakai seragam?”, tanyanya balik.
“Aku abis ini langsung balik ke asrama. Liburku udah abis.”, ucap Eka lagi.
“Yah.. Padahal aku baru keluar…”, ucap Reina kecewa.. Eka tertawa.
“Tenang.. Aku juga baru keluar kok..”, seseorang menyambung pembicaraan mereka. Reina dan Eka tersenyum.
“Akbar…!”, sapa mereka bersamaan.
Mereka bertiga terlibat obrolan seru seputar kampus mereka masing-masing. Sama-sama berasrama, sama-sama sibuk dengan tugas yang menumpuk, juga sama-sama kangen rumah. Reina kuliah di Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan Surabaya, Eka di Sekolah Tinggi Sandi Negara, sedangkan Akbar di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug. Hanya di momen seperti ini mereka bisa libur ‘panjang’ dan bercengkrama dengan kawan lama.
“Kita kayak bapak-bapak aja ya kalau pakai seragam gini..”, ucap Akbar pada Eka.
“Plus! Satu ibu di sini.”, ucap Reina menunjuk dirinya sendiri. dan mereka semua terbahak.
—
Reina menyesap es di depan kelas saat istirahat sendirian. Ani menyenggol bahunya.
“Heeeiii… Ngelamun aja nih..”, ucap Ani. Reina menggeleng pelan.
“Nggak kok.. Cuma agak capek aja..”, ucap Reina. Ani memegang dahi Reina.
“Kamu panas loh.. Ke UKS aja sama aku..”, ucap Ani khawatir. Reina menggeleng lagi.
“Nggak.. Tidur bentar pasti udah enakan kok.”, tolak Reina lantas masuk kelas.
Bel masuk berbunyi. Seluruh siswa masuk ke kelas masing-masing. Reina duduk di samping Ani.
“Aku tidur dulu ya.”, ucap Reina. Ani mengangguk.
Pelajaran hari itu kosong karena guru yang mengajar sedang keluar kota. Jam pelajaran kosong sampai waktunya pulang.
“Na, bangun, Na… Udah pulang nih..”, ucap Ani sambil menyenggol lengan Reina.
Tidak ada jawaban.
“Na?”
Ani menarik lengan Reina yang menutupi wajahnya. Ani pucat pasi. Darah mengalir dari hidung Reina, nafasnya juga tidak beraturan.
“TOLONG!!”
—
Setelah sholat Maghrib berjamaah, acara dilanjutkan makan malam. Meja tertata rapi, berjejer berdasarkan kelas mereka dulu. Reina menuju ke kelas IPA 4, di sana sudah duduk teman-teman lain yang tadi tidak sempat dia sapa.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikum salam..”
“Hei.. Baru datang?”, tanya Firo.
“Nggak.. Udah dari tadi kok.. Ngobrol dulu sama Eka.. Sama Akbar juga..”, ucap Reina. Firo mengangguk.
“Makan apa nih?”, tanya Reina. Ricky tersenyum.
“Tenang.. Makanannya kujamin enak kok! Siapa dulu kokinya!”, ucap Ricky membanggakan diri. Dia datang dengan baju kokinya. Dia ikut memasak untuk acara ini.
“Paklek!! Ciye.. Udah jadi koki nih..”, ucap Reina. Ricky terbahak.
“Pssst… Masih asisten sih.. Tapi jangan bilang-bilang ya..”, ucapnya berbisik pada Reina.
Reina menahan tawa sambil mengangguk paham. Ricky kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
“Gimana? Udah punya?”, tanya Linda sambil berbisik.
“Punya apa hayo?”, tanya Tika tiba-tiba nongol. Linda cemberut padanya.
“Punya cowok lah.. Masak gelar JOMBLO ABADI nya masih nempel aja?”, ucap Linda. Tika ber-ooh ria. Reina tersenyum.
“Aku…”
—
Reina membuka mata perlahan. Kepalanya masih sangat pusing. Dia mengerjapkan mata berkali-kali.
“Di mana?”, ucapnya lirih.
“UKS.”
Reina terbelalak. Perlahan matanya beralih ke asal suara.
Orang itu.
“Bagaimana?”, tanyanya. Reina diam.
“Kamu tadi pingsan, mimisan dan asma.”, ucapnya. Reina tetap diam.
“Buka mulutmu.”, perintahnya. Reina membuka mulutnya dan thermometer masuk ke dalamnya. Beberapa menit kemudian, orang itu mengeluarkannya, lalu melihat hasilnya.
“Sudah turun.”, ucapnya lagi. Reina duduk di kasur, mencoba mengumpulkan tenaga untuk berjalan. Dia tetap diam saat memakai sepatu dan meninggalkan ruang UKS.
Hari sudah sore, dan Reina belum sholat Ashar. Dia menuju ke masjid sebelah sekolah untuk menunaikan sholat. Dengan kepala masih pusing dan langkah perlahan, Reina memasuki tempat wudhu.
“Bismillahirrohmanirrohim..”
Setelah wudhu, Reina mengambil mukena dan memakainya. Saat menghadap ke depan, orang itu sudah berdiri di depannya.
“Berjamaah saja.”, ucap orang itu. Reina hanya mengangguk mengiyakan.
Sholat Ashar berjamaah, berlangsung dengan khidmat. Meski Reina tidak ingin bertemu dengan orang yang menjadi imam sholatnya ini, namun dia tidak masalah jika diimami oleh dia. Toh, tidak ada salahnya sholat berjamaah, dapat pahala pula.
—
“… masih…”
“Aku pikir, kamu nggak akan datang.”, ucap seseorang. Tatapannya tajam, menuju Reina. Mereka bertiga berbalik.
“Mana mungkin aku nggak datang di acara sepenting ini?”, balas Reina. Orang itu menyipitkan matanya jengkel.
“Sekarang, kamu terlihat berbeda. Lebih… MACHO.”, orang itu meledek Reina lantas terkikik.
“Jaga mulutmu!”, ucap Ani geram. Tika dan Linda menatap marah pada orang itu. Reina tersenyum menenangkan mereka. Reina menatap lurus ke arah orang itu.
“Memang. Paling nggak, ini lebih baik, daripada…” Reina menatapnya dari atas ke bawah, lalu membentuk tanda kutip dari tangannya.
“…‘pekerjaan’ yang sekarang kamu lakukan.”, ucap Reina santai, lalu tersenyum sekilas. Orang itu mengatupkan rahangnya, marah.
“Duluan ya, Sheryl.”, ucap Reina lalu pergi berlalu. Ani, Tika dan Linda mengikutinya.
“Harusnya kamu menampar mulutnya yang kurang ajar itu.”, ucap Linda gemas. Reina nyengir.
“Perkataanku sepertinya lebih menyakitkan daripada tamparan.”, ucap Reina seadanya.
“Sudah sudah.. Masih bulan puasa kok emosi..”, lerai Tika.
“Omong-omong, apa kamu tahu pekerjaan Sheryl?”, tanya Ani. Reina menggeleng.
“Nggak tahu.”, ucapnya polos.
“Lalu, kenapa kamu bilang seperti itu?”, tanya Tika.
“Dari penampilannya.”, ucap Reina singkat.
“Kuingat dia nggak kuliah, berarti kerja. Keluarganya juga bukan keluarga yang sangat mampu, jadi tak mungkin orangtuanya yang memberikan semua yang dia pakai tadi. Kudengar, yang membiayai reuni ini, adalah dia. Dalam waktu 2 tahun ini, coba pikir, pekerjaan apa yang bisa menghasilkan uang sebanyak itu?”, lanjut Reina.
“Itu argumenku sih, sudah jangan dipikirin lagi.. Toh itu urusan dia. Aku bilang kayak gitu biar dia nggak ganggu aku lagi. Cukuplah dulu aku diledekin dia terus, masa sekarang mau lagi?”, ucap Reina malas. Ani, Linda dan Tika tertawa.
—
Setelah berdo’a, Reina melipat mukena dan memasukkannya ke dalam lemari. Dia memakai sepatu dan bersiap pulang. Diliriknya jam tangan. Setengah 5 sore.
“Apa masih ada angkot ya?”, tanyanya pada diri sendiri.
Reina bangkit dan mulai berjalan keluar. Jarak sekolahnya ke jalan raya lebih dari 500 meter, dan dia harus berjalan sejauh itu untuk mendapatkan angkot untuk pulang. Reina berhenti sejenak untuk mengecek tasnya. Sebuah sepeda motor merapat padanya. Reina menoleh.
“Bareng?”, tanyanya.
Reina menoleh. Diam. Lalu menggeleng pelan. Dia melanjukan untuk berjalan lagi. Orang itu masih mengikuti dari belakang. Reina berhenti lalu menoleh.
“Biar kuantar.”, ucapnya.
Tiba-tiba Reina merasakan pusing melandanya lagi. Dia mengerjapkan mata berulang kali, mencoba menghilangkan sakit kepalanya. Akhirnya Reina mengangguk.
Dalam perjalanan, Reina diam saja. Orang di depannya menjalankan motornya dengan kecepatan sedang.
“Aku… minta maaf.”
—
Setelah makan malam, dilanjutkan sholat Isya’ dan tarawih berjamaah. Suasana malam itu sangat hangat, sholat dilaksanakan dengan khidmat. Penceramah datang dari teman seangkatan Reina, jurusan Agama Islam, yang berkuliah di Sudan.
“Sahid keren ya.. Dia dapat beasiswa ke Sudan.”, celoteh Rina. Reina mengangguk. Dia cukup mengenal Sahid saat sekolah dulu.
“Memang dari dulu dia ingin sekolah di luar negeri. Nggak nyangka beneran dapet..”, ucap Reina yang disambut anggukan Rina.
Reina mendengarkan ceramah yang santai itu. Sesekali diselingi candaan hingga tidak membosaankan. Pembawaan Sahid yang seperti itulah yang banyak disukai teman-teman Reina.
Jam 9 malam tepat, semua kembali ke acara. Acara sekarang yaitu penampilan band dari teman-teman yang pernah ikut ekskul musik dulu. Mereka semua bernostalgia bersama, bernyanyi bersama, tertawa bersama.
Handphone Reina bergetar. Reina pamit sebentar untuk mengangkat telepon di luar.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam. Nak, pulang jam berapa?”, tanya Ibu di ujung telepon.
“Belum tahu, Bu. Ini acaranya baru dimulai lagi habis tarawih..”, Reina melihat jam tangannya.
“Nanti jam 10, aku telepon lagi, Bu.”, ucap Reina.
“Ya sudah. Hati-hati ya..”
“Iya, Bu. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
Telepon ditutup. Reina menghela nafas pelan. Dia duduk di kursi dekat jendela, menatap langit.
“Sepi amat..”, ucapnya pada langit tanpa bintang.
Di belakangnya, musik terdengar sayup-sayup. Sesaat kemudian, dia menutup mata sejenak, menikmati kesendiriannya.
“Assalamualaikum.”
—
Reina masih bungkam. Orang itu melanjutkan kalimatnya.
“Maafkan aku, Na. Aku nggak sadar perkataanku menyakitkan hatimu.”, ucap orang itu. Reina menatapnya dari spion. Wajahnya tenang, meski ada sedikit raut penyesalan.
Reina sudah sampai rumahnya. Dia langsung turun dari motor lalu menatap orang itu.
“Terima kasih banyak sudah mengantarku.”, ucapnya. Reina mengatupkan kedua tangannya, lalu tersenyum pada orang itu.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”, jawab orang itu lantas tersenyum. Lalu orang itu beranjak pergi.
Reina masuk ke dalam rumah, lalu duduk sejenak di ruang tamu. Dia menutup mata sejenak, memutar memori beberapa bulan lalu, saat dia pertama kali bertemu orang itu.
Kelas Reina baru pindah ke gedung baru saat memasuki kelas 2. Reina kelas XI IPA 4, berada di sebelah timur lantai 2.
Pulang sekolah, Reina ingin mengunjungi kawannya yang ada di XI IPA 2, di seberang kelasnya. Memasuki kelas itu, Reina langsung menyapa temannya.
“Nuuuuuur!!!”
Nur yang dipanggil langsung menoleh dan terbelalak melihat Reina. Mereka bersalaman dan saling menanyakan kabar. Reina juga sempat berkenalan dengan sebagian teman-teman Nur.
“Gimana di sini?”, tanya Nur. Reina meringis.
“Enak di gedung lama, di sini panaaaas…”, ucapnya. Nur memutar mata.
“Yeee.. Lahir di surabaya, minta nggak panas? Ngimpi!”, ucap Nur lantas terkekeh. Reina melihat ke seluruh kelas, lalu berbisik ke Nur.
“Kelas ini rame banget ya..”, ucap Reina, mengingat teman-teman kelasnya yang mayoritas pendiam.
“Hehehehe… Iya.. Makanya aku betah..”, ucap Nur. Reina mengernyit saat ada seseorang yang langsung mengambil tas dan keluar dari kelas, tanpa menyapa siapapun.
“Siapa itu?”, tanya Reina. Nur yang tidak sempat melihatnya, hanya mengangkat bahu tidak tahu.
Esoknya, Reina pergi ke masjid bersama Ani. Dia bertemu teman-teman cowoknya yang juga ingin sholat di sana.
“Halooo…”, ucapnya. Teman-teman cowoknya tersenyum dan saling berjabat tangan.
“Betah nih?”, tanya Aris, dari kelas IPA 6.
“Nggak tau deh… Puaanas banget di kelasku..”, ucap Reina. Aris terbahak.
“Di sini udah biasa kayak gitu.”, kata Dodi, kelas IPS 2.
“Di tempatku dingin kok..”, ucap Made. Semua menoleh padanya.
“Gimana nggak dingin, kamu kan ada di ruang guru..”, omel Kiba.
Made terkekeh. Dia adalah guru magang di sana, dan umurnya tidak jauh beda dengan para murid. Makanya dia tidak mau dipanggil ‘bapak’. Kelihatan tua, katanya.
Setelah sholat Dhuhur, Reina duduk di depan masjid bersama teman-teman cowoknya dan Reina melihat orang itu. Dia baru keluar dari masjid. Dia duduk di depan pintu. Salah satu teman Reina menghampirinya.
“Bro, ajarin pelajaran yang tadi..”, ucap Yunus, anak IPA 2.
“Iya, bentar.”, ucap orang itu. Dia mengeluarkan bukunya, lalu memberikannya pada Yunus.
“Yang mana?”, tanyanya. Yunus menunjuk lalu orang itu membuka catatannya.
“Nus, pulang bareng yuk!”, ucap Reina.
“Iya, entar.. Aku masih ada tugas nih!”, ucapnya. Reina menghampiri Yunus.
“Tugas apa?”, tanyanya.
“Matematika.”
“Yah.. Ya udah, aku pulang duluan aja.”, ucap Reina. Di menatap orang itu sejenak.
“Kamu IPA 2 ‘kan?”, tanya Reina. Orang itu mengangguk.
“Aku Reina. Kamu?”, ucapnya sambil mengulurkan tangan. Orang itu mengatupkan kedua tangannya.
“Putra.”
—
“Waalaikum salam.”, jawab Reina, lalu menoleh.
“Boleh duduk di sini?”, tanyanya. Reina hanya mengangguk.
“Bagaimana kabarmu?”, tanyanya lagi. Reina tersenyum samar.
“Alhamdulillah. Kamu?”, tanyanya balik.
“Alhamdulillah, baik.”, jawabnya.
—
“Dia memang kayak gitu ya?”, tanya Reina pada Nur esoknya. Nur mengangguk.
“Udah lumayan lama sih, dulu dia masih sempet pacaran, tapi nggak tahu kenapa, habis putus dia kayak… menjauh sama cewek. Ya, nggak salah sih, selama nggak jadi ‘anti-cewek’ aja.”, ucap Nur lantas terbahak. Reina mengangguk paham.
Reina sudah sering ketemu orang seperti Putra. Hanya saja dia heran. Jika nanti ada seseorang yang kebetulan cewek, sedang pingsan di depannya, masa dia nggak mau nggendong? Apalagi dia ketua PMR di sana. Ah, sudahlah, nggak usah dipikir.
Reina sering mencoba berbicara pada Putra, tapi dia sering juga tidak dianggap. Sekali duakali okelah. Tapi ini sudah keterlaluan. Reina merasa berbicara pada tembok. Dia tidak tahu apa yang Putra pikirkan.
Dan suatu hari, sebelum libur panjang semester, Reina mendengar sendiri apa yang dipikirkan orang itu.
“Nus, tolong bilangin Reina. Ingetin, dia cewek, nggak pantes dia deket terus sama cowok, apalagi bukan muhrim. Dia bisa ‘kan, temenan sama cewek yang lebih feminin, daripada sama cowok.”, ucap Putra, sesaat sebelum Reina masuk ke kelas IPA 2.
“Dia memang kayak gitu. Dia bakal berubah kok, kalau waktunya tiba.”, ucap Yunus. Reina masih berdiri di depan pintu.
“Kapan? Mau dia berdosa dan dianggap maksiat sama orang?”, tanya Putra.
BRAAAK!
Pintu terbuka lebar, Reina menatap Putra tajam.
“Kamu nggak berhak nge-judge aku kayak gitu!”, ucap Reina. Yunus mencoba menarik Reina keluar kelas, namun Reina masih ingin bicara.
“Aku tahu, aku berdosa karena dekat dengan cowok-cowok yang bukan muhrimku. Aku paham, apa yang orang lain pikir tentang aku. Berubah, katamu? Kamu pikir, mudah, hah?!”, bentak Reina. Putra menatapnya balik.
“Kamu bisa mencoba.”, ucapnya. Reina mendengus kesal.
“Aku sudah berkali-kali mencoba, tetap saja kembali seperti ini. Kamu nggak tahu hidupku seperti apa, jadi jangan seenaknya menilai orang lain!”, ucap Reina ketus lalu berbalik. Yunus mengejarnya.
“Na, maafin Putra. Dia nggak…”
“Aku pulang. Sendiri.”, ucap Reina lantas pergi meninggalkan Yunus.
Dalam perjalanan pulang, Reina menahan airmatanya. Baru kali ini, orang yang baru SEKALI saja bertegur sapa dengannya dan tidak menghiraukannya saat diajak bicara, men-judge nya seperti itu. Reina juga sering mencoba, tiap masuk sekolah baru, dia selalu mencoba untuk berubah. Tapi mau bagaimana, kebiasaan itu sulit diubah. Dia pun kembali lagi seperti dulu, selalu seperti itu.
Reina menyesal telah berpikir dia orang baik saat pertama kali bertemu dulu.
Reina membuka mata, mendesah perlahan. Sejak saat itu, sampai beberapa waktu lalu, dia tidak menganggap Putra. Putra sendiri tidak berniat untuk minta maaf sendiri.
Tapi, Putra baru saja minta maaf. Apa semudah itu?
“Reina? Udah pulang kok nggak masuk?”, tanya Ibu. Reina tersenyum masam.
“Bentar, Bu.. Aku masih lemes..”, ucapnya lirih. Ibu Reina mendekat dan menyentuh dahinya.
“Ya Allah, panas sekali..”, ucapnya khawatir.
“Ayah… Ayo ke rumah sakit..”, ajak Ibunya.
Reina opname di rumah sakit karena demam berdarah dan anemia. Teman-temannya sering menjenguknya.
Kecuali Putra.
‘Untuk apa aku mengharapkan dia datang?’, batin Reina.
—
Sunyi.
“Katanya, kamu kuliah di asrama ya? Gimana di sana?”, tanyanya. Reina mengangguk.
“Iya. Banyak aturan, jelas.”, ucapnya lantas melihat langit.
“Aku juga pernah di asrama, meski cuma sebulan.”, ucapnya.
“Di Banyuwangi bagaimana?”, tanya Reina. Orang itu tersenyum.
“Alhamdulillah, enak.”, jawabnya. Nada dering terdengar dari sakunya.
“Maaf, aku jawab telepon dulu.”, Reina mengangguk.
Reina menatap punggung orang itu. Dia sedikit… berubah. Reina tersenyum samar.
—
TOK TOK!
“Assalamualaikum, Bu..”, ucap Yunus. Dia menjenguk Reina di rumah sakit.
“Waalaikum salam..”, jawab Reina dan Ibunya. Yunus masuk, diikuti seseorang.
Putra.
Reina mengernyit heran. Buat apa dia ke sini?
“Bu, kenalin, ini Putra.”, Yunus memperkenalkan Putra pada Ibu Reina.
“Dia yang nganterin Reina waktu itu..”, lanjut Yunus, yang langsung diberi pelototan dari Reina.
“Oh.. Dia toh.. Makasih banyak ya, Nak..”, ucap Ibu Reina. Putra mengangguk seraya mengucapkan ‘Nggak masalah, Bu’ dengan kikuk. Yunus menahan tawanya.
“Gimana, Na?”, tanya Yunus. Reina mengangkat sebelah tangannya yang diinfus.
“Infus habis, aku boleh pulang. Pengennya sih..”, ucap Reina acuh. Ibunya tertawa.
“Mungkin besok bisa keluar. Setelah ini masih check up lagi.”, ucap Ibu Reina.
“Ibu tinggal dulu ya, Nak. Mau beli makan dulu.”, ucap Ibu Reina. Reina mengangguk.
“Buuuu, aku ikut ya…”, Yunus langsung berlari mengejar Ibu Reina.
Hening.
“Apa kabar?”, tanya Putra.
“Baik.”, jawab Reina singkat.
Sunyi lagi. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Itu…”, Putra mencoba membuka pembicaraan. Reina menoleh. Putra menatap Reina. Reina mendengus pelan.
“Sudahlah.”, ucap Reina akhirnya.
—
“Maaf lama.”, ucapnya. Reina tersenyum.
“Nggak papa.”, jawabnya.
“Kampusmu itu gimana?”, tanyanya.
“Biasa sih. Masuk pagi pulang sore. Tambahannya paling cuma ada apel sama olahraga aja.”, ucap Reina. Orang itu ber-ooh ria.
“Jurusanmu berapa orang?”, tanyanya lagi.
“24”, dia melongo.
“Dikit amat?”, ucapnya. Reina mengernyit.
“Emang jurusanmu ada berapa orang?”, tanya Reina.
“Seratus lebih.”, jawabnya. Gantian Reina yang melongo.
“Banyak amat!”, ucapnya. Sesaat kemudian, mereka tertawa.
“Boleh minta nomormu?”, tanyanya tiba-tiba. Reina langsung berhenti tertawa dan menoleh.
“Eh?”
“Biar nggak lost contact.”, lanjutnya.
“Aku jarang pulang.”, ucap Reina.
“Nggak apa. Yang penting nomornya nggak ganti aja.”, ucapnya lantas mengeluarkan Handphonenya. Reina menuliskan nomornya lalu mengembalikannya.
“Oke, aku save.”
—
Putra masih terdiam sampai pintu terbuka. Ibu Reina dan Yunus masuk ruangan.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
Yunus melirik Reina dan Putra bergantian. Meski mereka masih tidak saling bicara, paling tidak, suasana di tempat itu tidak setegang tadi.
“Alhamdulillah!!!”, teriaknya. Reina, Ibunya dan Putra menatapnya bingung.
“Ngapain?”, tanya Reina.
“Aku BA.HA.GI.A!!”, ucapnya lantas mengedipkan sebelah mata. Mereka semua tertawa.
—
Reina kembali ke ruangan beberapa saat kemudian. Dia menghampiri teman-teman kelasnya, berpamitan pulang.
“Kok mau pulang dulu?”, tanya Ricky.
“Dessertnya belum aku keluarin loh..”, lanjutnya.
“Aku nggak enak pulang malem-malem.”, ucap Reina.
Reina menyalami teman-temannya. Linda menghadangnya.
“Kamu belum jawab loh, Na..”, todong Linda. Reina mencoba menghindar.
“Jawab apa?”, tanyanya pura-pura lupa.
“Udah punya cowok apa belum?”
Ting Tong! Sebuah SMS masuk. Reina merogoh saku celananya, bersyukur di dalam hati pada siapapun yang mengirimnya.
Nomor tidak dikenal? Reina membuka pesan itu.
From: 089755XXXXXX
Assalamualaikum.. Mbak, ini nomorku.
Putra
Reina membelalakkan mata. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Di mana dia?
To: 089755XXXXXX
Waalaikum salam.. Siap, Mas..
Balik Banyuwangi kapan?
Reina membalas pesan itu. Sesaat kemudian, balasan datang.
From: 089755XXXXXX
Bulan depan, Insya Allah..
Reina terdiam. Sesaat kemudian, sebuah pesan masuk.
From: 089755XXXXXX
Mbak, besok free?
Ayo sholat tarawih di Masjid Agung..
Reina mati kutu. Dia harus bilang apa?
Saat dia menatap ke depan, beberapa langkah darinya, Putra tersenyum menatap Reina. Dia mengangkat Handphonenya sambil mengangkat alisnya.
‘Bagaimana?’
Reina mengangguk.
‘Oke.’
Putra tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya. Matanya tertuju tepat ke mata Reina. Reina terpaku.
Lagi.
END
Cerpen Karangan: E.J
Facebook: Endah Januarnany
“Selamat berbuka!”
Suasana bersahabat memenuhi ruangan itu. Reuni akbar salah satu Madrasah Aliyah di daerah Surabaya itu bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Sambil berbuka, mereka berbincang ringan. Saling menanyakan kabar dan kesibukan saat ini.
Pintu depan terbuka sedikit, beberapa orang yang berada di dekat sana menoleh. Seorang perempuan masuk sambil membungkuk sedikit, meminta maaf.
“Assalamualaikum… Maaf aku terlambat..”, ucapnya.
Beberapa pasang mata yang mengenalnya langsung datang menghampirinya dan memeluknya erat.
“KANGEEEEEENNN!!!”, ucap Ani.
“Gimana kabarnya nih?”, tanya Linda.
“Udah lulus belum?”, tanya Tika.
“Sssstt… Nanti aja, aku belum buka nih…”, ucap perempuan itu lantas melepaskan pelukan ketiga kawan lamanya itu. Mereka tertawa bersamaan.
Perempuan itu mengambil segelas air putih dari meja, lalu membatalkan puasanya. Sambil meneguk minumannya, dia memandang ke seluruh ruangan. Dan matanya berhenti di satu titik.
Orang itu.
—
“Bangun woi!”
Reina masih menggeliat di kasurnya, ogah meninggalkan singgasananya.
“Biar saja, Va. Lagian sekarang sudah jam 8, dia pasti telat.”, ucap Ibu.
Reina langsung tersentak bangun dan masuk ke kamar mandi. Ibu dan Eva terkikik karena Reina tertipu.
“Ibu ini.. Anak sendiri dibohongi..”, ucap Ayah. Ibu melanjutkan acara menggoreng nasinya.
“Daripada telat beneran?”, ucapnya lantas jam dinding berdenting 5 kali.
Sambil masih mengantuk, Reina melahap nasi goreng buatan Ibu. Eva sudah siap untuk mengantar adik terakhirnya itu ke sekolah.
“Ibuuu… Jangan bikin jantungan dong…”, omel Reina sambil meneguk airnya. Ibu memandangnya sebal.
“Kalau kamu gampang bangun sih enak.. Lah ini? Mau kamu beneran telat?”, ucap Ibu.
“Gak papa, Bu.. Biar sekali-sekali ngerasain diskors dia..”, ucap Eva tajam. Reina menutup mulutnya rapat-rapat.
Kata-kata Eva mungkin menyakitkan, tapi memang begitu adanya. Hukuman skors sudah mengancam Reina karena buku pelanggarannya sudah penuh dengan poin TERLAMBAT.
“Huss.. Sudah, antarkan saja adikmu itu.”, ucap Ayah.
—
Perempuan itu terdiam. Terpaku pada sosok itu tanpa berkedip sedikitpun. Dia tersadar saat seseorang menepuk pundaknya.
“Reina?”, tanyanya. Perempuan itu berbalik, lantas tersenyum.
“Eka? Apa kabar?”, ucap Reina seraya menjabat tangan orang di depannya ini. Eka menjabat tangannya sambil tersenyum.
“Alhamdulillah baik. Kamu dari asrama?”, tanya Eka. Reina mengangguk.
“Iya, aku nggak sempat pulang dulu. Banyak tugas di kampus…”, ucap Reina lantas tertawa.
“Kamu sendiri? Kok pakai seragam?”, tanyanya balik.
“Aku abis ini langsung balik ke asrama. Liburku udah abis.”, ucap Eka lagi.
“Yah.. Padahal aku baru keluar…”, ucap Reina kecewa.. Eka tertawa.
“Tenang.. Aku juga baru keluar kok..”, seseorang menyambung pembicaraan mereka. Reina dan Eka tersenyum.
“Akbar…!”, sapa mereka bersamaan.
Mereka bertiga terlibat obrolan seru seputar kampus mereka masing-masing. Sama-sama berasrama, sama-sama sibuk dengan tugas yang menumpuk, juga sama-sama kangen rumah. Reina kuliah di Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan Surabaya, Eka di Sekolah Tinggi Sandi Negara, sedangkan Akbar di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug. Hanya di momen seperti ini mereka bisa libur ‘panjang’ dan bercengkrama dengan kawan lama.
“Kita kayak bapak-bapak aja ya kalau pakai seragam gini..”, ucap Akbar pada Eka.
“Plus! Satu ibu di sini.”, ucap Reina menunjuk dirinya sendiri. dan mereka semua terbahak.
—
Reina menyesap es di depan kelas saat istirahat sendirian. Ani menyenggol bahunya.
“Heeeiii… Ngelamun aja nih..”, ucap Ani. Reina menggeleng pelan.
“Nggak kok.. Cuma agak capek aja..”, ucap Reina. Ani memegang dahi Reina.
“Kamu panas loh.. Ke UKS aja sama aku..”, ucap Ani khawatir. Reina menggeleng lagi.
“Nggak.. Tidur bentar pasti udah enakan kok.”, tolak Reina lantas masuk kelas.
Bel masuk berbunyi. Seluruh siswa masuk ke kelas masing-masing. Reina duduk di samping Ani.
“Aku tidur dulu ya.”, ucap Reina. Ani mengangguk.
Pelajaran hari itu kosong karena guru yang mengajar sedang keluar kota. Jam pelajaran kosong sampai waktunya pulang.
“Na, bangun, Na… Udah pulang nih..”, ucap Ani sambil menyenggol lengan Reina.
Tidak ada jawaban.
“Na?”
Ani menarik lengan Reina yang menutupi wajahnya. Ani pucat pasi. Darah mengalir dari hidung Reina, nafasnya juga tidak beraturan.
“TOLONG!!”
—
Setelah sholat Maghrib berjamaah, acara dilanjutkan makan malam. Meja tertata rapi, berjejer berdasarkan kelas mereka dulu. Reina menuju ke kelas IPA 4, di sana sudah duduk teman-teman lain yang tadi tidak sempat dia sapa.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikum salam..”
“Hei.. Baru datang?”, tanya Firo.
“Nggak.. Udah dari tadi kok.. Ngobrol dulu sama Eka.. Sama Akbar juga..”, ucap Reina. Firo mengangguk.
“Makan apa nih?”, tanya Reina. Ricky tersenyum.
“Tenang.. Makanannya kujamin enak kok! Siapa dulu kokinya!”, ucap Ricky membanggakan diri. Dia datang dengan baju kokinya. Dia ikut memasak untuk acara ini.
“Paklek!! Ciye.. Udah jadi koki nih..”, ucap Reina. Ricky terbahak.
“Pssst… Masih asisten sih.. Tapi jangan bilang-bilang ya..”, ucapnya berbisik pada Reina.
Reina menahan tawa sambil mengangguk paham. Ricky kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
“Gimana? Udah punya?”, tanya Linda sambil berbisik.
“Punya apa hayo?”, tanya Tika tiba-tiba nongol. Linda cemberut padanya.
“Punya cowok lah.. Masak gelar JOMBLO ABADI nya masih nempel aja?”, ucap Linda. Tika ber-ooh ria. Reina tersenyum.
“Aku…”
—
Reina membuka mata perlahan. Kepalanya masih sangat pusing. Dia mengerjapkan mata berkali-kali.
“Di mana?”, ucapnya lirih.
“UKS.”
Reina terbelalak. Perlahan matanya beralih ke asal suara.
Orang itu.
“Bagaimana?”, tanyanya. Reina diam.
“Kamu tadi pingsan, mimisan dan asma.”, ucapnya. Reina tetap diam.
“Buka mulutmu.”, perintahnya. Reina membuka mulutnya dan thermometer masuk ke dalamnya. Beberapa menit kemudian, orang itu mengeluarkannya, lalu melihat hasilnya.
“Sudah turun.”, ucapnya lagi. Reina duduk di kasur, mencoba mengumpulkan tenaga untuk berjalan. Dia tetap diam saat memakai sepatu dan meninggalkan ruang UKS.
Hari sudah sore, dan Reina belum sholat Ashar. Dia menuju ke masjid sebelah sekolah untuk menunaikan sholat. Dengan kepala masih pusing dan langkah perlahan, Reina memasuki tempat wudhu.
“Bismillahirrohmanirrohim..”
Setelah wudhu, Reina mengambil mukena dan memakainya. Saat menghadap ke depan, orang itu sudah berdiri di depannya.
“Berjamaah saja.”, ucap orang itu. Reina hanya mengangguk mengiyakan.
Sholat Ashar berjamaah, berlangsung dengan khidmat. Meski Reina tidak ingin bertemu dengan orang yang menjadi imam sholatnya ini, namun dia tidak masalah jika diimami oleh dia. Toh, tidak ada salahnya sholat berjamaah, dapat pahala pula.
—
“… masih…”
“Aku pikir, kamu nggak akan datang.”, ucap seseorang. Tatapannya tajam, menuju Reina. Mereka bertiga berbalik.
“Mana mungkin aku nggak datang di acara sepenting ini?”, balas Reina. Orang itu menyipitkan matanya jengkel.
“Sekarang, kamu terlihat berbeda. Lebih… MACHO.”, orang itu meledek Reina lantas terkikik.
“Jaga mulutmu!”, ucap Ani geram. Tika dan Linda menatap marah pada orang itu. Reina tersenyum menenangkan mereka. Reina menatap lurus ke arah orang itu.
“Memang. Paling nggak, ini lebih baik, daripada…” Reina menatapnya dari atas ke bawah, lalu membentuk tanda kutip dari tangannya.
“…‘pekerjaan’ yang sekarang kamu lakukan.”, ucap Reina santai, lalu tersenyum sekilas. Orang itu mengatupkan rahangnya, marah.
“Duluan ya, Sheryl.”, ucap Reina lalu pergi berlalu. Ani, Tika dan Linda mengikutinya.
“Harusnya kamu menampar mulutnya yang kurang ajar itu.”, ucap Linda gemas. Reina nyengir.
“Perkataanku sepertinya lebih menyakitkan daripada tamparan.”, ucap Reina seadanya.
“Sudah sudah.. Masih bulan puasa kok emosi..”, lerai Tika.
“Omong-omong, apa kamu tahu pekerjaan Sheryl?”, tanya Ani. Reina menggeleng.
“Nggak tahu.”, ucapnya polos.
“Lalu, kenapa kamu bilang seperti itu?”, tanya Tika.
“Dari penampilannya.”, ucap Reina singkat.
“Kuingat dia nggak kuliah, berarti kerja. Keluarganya juga bukan keluarga yang sangat mampu, jadi tak mungkin orangtuanya yang memberikan semua yang dia pakai tadi. Kudengar, yang membiayai reuni ini, adalah dia. Dalam waktu 2 tahun ini, coba pikir, pekerjaan apa yang bisa menghasilkan uang sebanyak itu?”, lanjut Reina.
“Itu argumenku sih, sudah jangan dipikirin lagi.. Toh itu urusan dia. Aku bilang kayak gitu biar dia nggak ganggu aku lagi. Cukuplah dulu aku diledekin dia terus, masa sekarang mau lagi?”, ucap Reina malas. Ani, Linda dan Tika tertawa.
—
Setelah berdo’a, Reina melipat mukena dan memasukkannya ke dalam lemari. Dia memakai sepatu dan bersiap pulang. Diliriknya jam tangan. Setengah 5 sore.
“Apa masih ada angkot ya?”, tanyanya pada diri sendiri.
Reina bangkit dan mulai berjalan keluar. Jarak sekolahnya ke jalan raya lebih dari 500 meter, dan dia harus berjalan sejauh itu untuk mendapatkan angkot untuk pulang. Reina berhenti sejenak untuk mengecek tasnya. Sebuah sepeda motor merapat padanya. Reina menoleh.
“Bareng?”, tanyanya.
Reina menoleh. Diam. Lalu menggeleng pelan. Dia melanjukan untuk berjalan lagi. Orang itu masih mengikuti dari belakang. Reina berhenti lalu menoleh.
“Biar kuantar.”, ucapnya.
Tiba-tiba Reina merasakan pusing melandanya lagi. Dia mengerjapkan mata berulang kali, mencoba menghilangkan sakit kepalanya. Akhirnya Reina mengangguk.
Dalam perjalanan, Reina diam saja. Orang di depannya menjalankan motornya dengan kecepatan sedang.
“Aku… minta maaf.”
—
Setelah makan malam, dilanjutkan sholat Isya’ dan tarawih berjamaah. Suasana malam itu sangat hangat, sholat dilaksanakan dengan khidmat. Penceramah datang dari teman seangkatan Reina, jurusan Agama Islam, yang berkuliah di Sudan.
“Sahid keren ya.. Dia dapat beasiswa ke Sudan.”, celoteh Rina. Reina mengangguk. Dia cukup mengenal Sahid saat sekolah dulu.
“Memang dari dulu dia ingin sekolah di luar negeri. Nggak nyangka beneran dapet..”, ucap Reina yang disambut anggukan Rina.
Reina mendengarkan ceramah yang santai itu. Sesekali diselingi candaan hingga tidak membosaankan. Pembawaan Sahid yang seperti itulah yang banyak disukai teman-teman Reina.
Jam 9 malam tepat, semua kembali ke acara. Acara sekarang yaitu penampilan band dari teman-teman yang pernah ikut ekskul musik dulu. Mereka semua bernostalgia bersama, bernyanyi bersama, tertawa bersama.
Handphone Reina bergetar. Reina pamit sebentar untuk mengangkat telepon di luar.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam. Nak, pulang jam berapa?”, tanya Ibu di ujung telepon.
“Belum tahu, Bu. Ini acaranya baru dimulai lagi habis tarawih..”, Reina melihat jam tangannya.
“Nanti jam 10, aku telepon lagi, Bu.”, ucap Reina.
“Ya sudah. Hati-hati ya..”
“Iya, Bu. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
Telepon ditutup. Reina menghela nafas pelan. Dia duduk di kursi dekat jendela, menatap langit.
“Sepi amat..”, ucapnya pada langit tanpa bintang.
Di belakangnya, musik terdengar sayup-sayup. Sesaat kemudian, dia menutup mata sejenak, menikmati kesendiriannya.
“Assalamualaikum.”
—
Reina masih bungkam. Orang itu melanjutkan kalimatnya.
“Maafkan aku, Na. Aku nggak sadar perkataanku menyakitkan hatimu.”, ucap orang itu. Reina menatapnya dari spion. Wajahnya tenang, meski ada sedikit raut penyesalan.
Reina sudah sampai rumahnya. Dia langsung turun dari motor lalu menatap orang itu.
“Terima kasih banyak sudah mengantarku.”, ucapnya. Reina mengatupkan kedua tangannya, lalu tersenyum pada orang itu.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”, jawab orang itu lantas tersenyum. Lalu orang itu beranjak pergi.
Reina masuk ke dalam rumah, lalu duduk sejenak di ruang tamu. Dia menutup mata sejenak, memutar memori beberapa bulan lalu, saat dia pertama kali bertemu orang itu.
Kelas Reina baru pindah ke gedung baru saat memasuki kelas 2. Reina kelas XI IPA 4, berada di sebelah timur lantai 2.
Pulang sekolah, Reina ingin mengunjungi kawannya yang ada di XI IPA 2, di seberang kelasnya. Memasuki kelas itu, Reina langsung menyapa temannya.
“Nuuuuuur!!!”
Nur yang dipanggil langsung menoleh dan terbelalak melihat Reina. Mereka bersalaman dan saling menanyakan kabar. Reina juga sempat berkenalan dengan sebagian teman-teman Nur.
“Gimana di sini?”, tanya Nur. Reina meringis.
“Enak di gedung lama, di sini panaaaas…”, ucapnya. Nur memutar mata.
“Yeee.. Lahir di surabaya, minta nggak panas? Ngimpi!”, ucap Nur lantas terkekeh. Reina melihat ke seluruh kelas, lalu berbisik ke Nur.
“Kelas ini rame banget ya..”, ucap Reina, mengingat teman-teman kelasnya yang mayoritas pendiam.
“Hehehehe… Iya.. Makanya aku betah..”, ucap Nur. Reina mengernyit saat ada seseorang yang langsung mengambil tas dan keluar dari kelas, tanpa menyapa siapapun.
“Siapa itu?”, tanya Reina. Nur yang tidak sempat melihatnya, hanya mengangkat bahu tidak tahu.
Esoknya, Reina pergi ke masjid bersama Ani. Dia bertemu teman-teman cowoknya yang juga ingin sholat di sana.
“Halooo…”, ucapnya. Teman-teman cowoknya tersenyum dan saling berjabat tangan.
“Betah nih?”, tanya Aris, dari kelas IPA 6.
“Nggak tau deh… Puaanas banget di kelasku..”, ucap Reina. Aris terbahak.
“Di sini udah biasa kayak gitu.”, kata Dodi, kelas IPS 2.
“Di tempatku dingin kok..”, ucap Made. Semua menoleh padanya.
“Gimana nggak dingin, kamu kan ada di ruang guru..”, omel Kiba.
Made terkekeh. Dia adalah guru magang di sana, dan umurnya tidak jauh beda dengan para murid. Makanya dia tidak mau dipanggil ‘bapak’. Kelihatan tua, katanya.
Setelah sholat Dhuhur, Reina duduk di depan masjid bersama teman-teman cowoknya dan Reina melihat orang itu. Dia baru keluar dari masjid. Dia duduk di depan pintu. Salah satu teman Reina menghampirinya.
“Bro, ajarin pelajaran yang tadi..”, ucap Yunus, anak IPA 2.
“Iya, bentar.”, ucap orang itu. Dia mengeluarkan bukunya, lalu memberikannya pada Yunus.
“Yang mana?”, tanyanya. Yunus menunjuk lalu orang itu membuka catatannya.
“Nus, pulang bareng yuk!”, ucap Reina.
“Iya, entar.. Aku masih ada tugas nih!”, ucapnya. Reina menghampiri Yunus.
“Tugas apa?”, tanyanya.
“Matematika.”
“Yah.. Ya udah, aku pulang duluan aja.”, ucap Reina. Di menatap orang itu sejenak.
“Kamu IPA 2 ‘kan?”, tanya Reina. Orang itu mengangguk.
“Aku Reina. Kamu?”, ucapnya sambil mengulurkan tangan. Orang itu mengatupkan kedua tangannya.
“Putra.”
—
“Waalaikum salam.”, jawab Reina, lalu menoleh.
“Boleh duduk di sini?”, tanyanya. Reina hanya mengangguk.
“Bagaimana kabarmu?”, tanyanya lagi. Reina tersenyum samar.
“Alhamdulillah. Kamu?”, tanyanya balik.
“Alhamdulillah, baik.”, jawabnya.
—
“Dia memang kayak gitu ya?”, tanya Reina pada Nur esoknya. Nur mengangguk.
“Udah lumayan lama sih, dulu dia masih sempet pacaran, tapi nggak tahu kenapa, habis putus dia kayak… menjauh sama cewek. Ya, nggak salah sih, selama nggak jadi ‘anti-cewek’ aja.”, ucap Nur lantas terbahak. Reina mengangguk paham.
Reina sudah sering ketemu orang seperti Putra. Hanya saja dia heran. Jika nanti ada seseorang yang kebetulan cewek, sedang pingsan di depannya, masa dia nggak mau nggendong? Apalagi dia ketua PMR di sana. Ah, sudahlah, nggak usah dipikir.
Reina sering mencoba berbicara pada Putra, tapi dia sering juga tidak dianggap. Sekali duakali okelah. Tapi ini sudah keterlaluan. Reina merasa berbicara pada tembok. Dia tidak tahu apa yang Putra pikirkan.
Dan suatu hari, sebelum libur panjang semester, Reina mendengar sendiri apa yang dipikirkan orang itu.
“Nus, tolong bilangin Reina. Ingetin, dia cewek, nggak pantes dia deket terus sama cowok, apalagi bukan muhrim. Dia bisa ‘kan, temenan sama cewek yang lebih feminin, daripada sama cowok.”, ucap Putra, sesaat sebelum Reina masuk ke kelas IPA 2.
“Dia memang kayak gitu. Dia bakal berubah kok, kalau waktunya tiba.”, ucap Yunus. Reina masih berdiri di depan pintu.
“Kapan? Mau dia berdosa dan dianggap maksiat sama orang?”, tanya Putra.
BRAAAK!
Pintu terbuka lebar, Reina menatap Putra tajam.
“Kamu nggak berhak nge-judge aku kayak gitu!”, ucap Reina. Yunus mencoba menarik Reina keluar kelas, namun Reina masih ingin bicara.
“Aku tahu, aku berdosa karena dekat dengan cowok-cowok yang bukan muhrimku. Aku paham, apa yang orang lain pikir tentang aku. Berubah, katamu? Kamu pikir, mudah, hah?!”, bentak Reina. Putra menatapnya balik.
“Kamu bisa mencoba.”, ucapnya. Reina mendengus kesal.
“Aku sudah berkali-kali mencoba, tetap saja kembali seperti ini. Kamu nggak tahu hidupku seperti apa, jadi jangan seenaknya menilai orang lain!”, ucap Reina ketus lalu berbalik. Yunus mengejarnya.
“Na, maafin Putra. Dia nggak…”
“Aku pulang. Sendiri.”, ucap Reina lantas pergi meninggalkan Yunus.
Dalam perjalanan pulang, Reina menahan airmatanya. Baru kali ini, orang yang baru SEKALI saja bertegur sapa dengannya dan tidak menghiraukannya saat diajak bicara, men-judge nya seperti itu. Reina juga sering mencoba, tiap masuk sekolah baru, dia selalu mencoba untuk berubah. Tapi mau bagaimana, kebiasaan itu sulit diubah. Dia pun kembali lagi seperti dulu, selalu seperti itu.
Reina menyesal telah berpikir dia orang baik saat pertama kali bertemu dulu.
Reina membuka mata, mendesah perlahan. Sejak saat itu, sampai beberapa waktu lalu, dia tidak menganggap Putra. Putra sendiri tidak berniat untuk minta maaf sendiri.
Tapi, Putra baru saja minta maaf. Apa semudah itu?
“Reina? Udah pulang kok nggak masuk?”, tanya Ibu. Reina tersenyum masam.
“Bentar, Bu.. Aku masih lemes..”, ucapnya lirih. Ibu Reina mendekat dan menyentuh dahinya.
“Ya Allah, panas sekali..”, ucapnya khawatir.
“Ayah… Ayo ke rumah sakit..”, ajak Ibunya.
Reina opname di rumah sakit karena demam berdarah dan anemia. Teman-temannya sering menjenguknya.
Kecuali Putra.
‘Untuk apa aku mengharapkan dia datang?’, batin Reina.
—
Sunyi.
“Katanya, kamu kuliah di asrama ya? Gimana di sana?”, tanyanya. Reina mengangguk.
“Iya. Banyak aturan, jelas.”, ucapnya lantas melihat langit.
“Aku juga pernah di asrama, meski cuma sebulan.”, ucapnya.
“Di Banyuwangi bagaimana?”, tanya Reina. Orang itu tersenyum.
“Alhamdulillah, enak.”, jawabnya. Nada dering terdengar dari sakunya.
“Maaf, aku jawab telepon dulu.”, Reina mengangguk.
Reina menatap punggung orang itu. Dia sedikit… berubah. Reina tersenyum samar.
—
TOK TOK!
“Assalamualaikum, Bu..”, ucap Yunus. Dia menjenguk Reina di rumah sakit.
“Waalaikum salam..”, jawab Reina dan Ibunya. Yunus masuk, diikuti seseorang.
Putra.
Reina mengernyit heran. Buat apa dia ke sini?
“Bu, kenalin, ini Putra.”, Yunus memperkenalkan Putra pada Ibu Reina.
“Dia yang nganterin Reina waktu itu..”, lanjut Yunus, yang langsung diberi pelototan dari Reina.
“Oh.. Dia toh.. Makasih banyak ya, Nak..”, ucap Ibu Reina. Putra mengangguk seraya mengucapkan ‘Nggak masalah, Bu’ dengan kikuk. Yunus menahan tawanya.
“Gimana, Na?”, tanya Yunus. Reina mengangkat sebelah tangannya yang diinfus.
“Infus habis, aku boleh pulang. Pengennya sih..”, ucap Reina acuh. Ibunya tertawa.
“Mungkin besok bisa keluar. Setelah ini masih check up lagi.”, ucap Ibu Reina.
“Ibu tinggal dulu ya, Nak. Mau beli makan dulu.”, ucap Ibu Reina. Reina mengangguk.
“Buuuu, aku ikut ya…”, Yunus langsung berlari mengejar Ibu Reina.
Hening.
“Apa kabar?”, tanya Putra.
“Baik.”, jawab Reina singkat.
Sunyi lagi. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Itu…”, Putra mencoba membuka pembicaraan. Reina menoleh. Putra menatap Reina. Reina mendengus pelan.
“Sudahlah.”, ucap Reina akhirnya.
—
“Maaf lama.”, ucapnya. Reina tersenyum.
“Nggak papa.”, jawabnya.
“Kampusmu itu gimana?”, tanyanya.
“Biasa sih. Masuk pagi pulang sore. Tambahannya paling cuma ada apel sama olahraga aja.”, ucap Reina. Orang itu ber-ooh ria.
“Jurusanmu berapa orang?”, tanyanya lagi.
“24”, dia melongo.
“Dikit amat?”, ucapnya. Reina mengernyit.
“Emang jurusanmu ada berapa orang?”, tanya Reina.
“Seratus lebih.”, jawabnya. Gantian Reina yang melongo.
“Banyak amat!”, ucapnya. Sesaat kemudian, mereka tertawa.
“Boleh minta nomormu?”, tanyanya tiba-tiba. Reina langsung berhenti tertawa dan menoleh.
“Eh?”
“Biar nggak lost contact.”, lanjutnya.
“Aku jarang pulang.”, ucap Reina.
“Nggak apa. Yang penting nomornya nggak ganti aja.”, ucapnya lantas mengeluarkan Handphonenya. Reina menuliskan nomornya lalu mengembalikannya.
“Oke, aku save.”
—
Putra masih terdiam sampai pintu terbuka. Ibu Reina dan Yunus masuk ruangan.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
Yunus melirik Reina dan Putra bergantian. Meski mereka masih tidak saling bicara, paling tidak, suasana di tempat itu tidak setegang tadi.
“Alhamdulillah!!!”, teriaknya. Reina, Ibunya dan Putra menatapnya bingung.
“Ngapain?”, tanya Reina.
“Aku BA.HA.GI.A!!”, ucapnya lantas mengedipkan sebelah mata. Mereka semua tertawa.
—
Reina kembali ke ruangan beberapa saat kemudian. Dia menghampiri teman-teman kelasnya, berpamitan pulang.
“Kok mau pulang dulu?”, tanya Ricky.
“Dessertnya belum aku keluarin loh..”, lanjutnya.
“Aku nggak enak pulang malem-malem.”, ucap Reina.
Reina menyalami teman-temannya. Linda menghadangnya.
“Kamu belum jawab loh, Na..”, todong Linda. Reina mencoba menghindar.
“Jawab apa?”, tanyanya pura-pura lupa.
“Udah punya cowok apa belum?”
Ting Tong! Sebuah SMS masuk. Reina merogoh saku celananya, bersyukur di dalam hati pada siapapun yang mengirimnya.
Nomor tidak dikenal? Reina membuka pesan itu.
From: 089755XXXXXX
Assalamualaikum.. Mbak, ini nomorku.
Putra
Reina membelalakkan mata. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Di mana dia?
To: 089755XXXXXX
Waalaikum salam.. Siap, Mas..
Balik Banyuwangi kapan?
Reina membalas pesan itu. Sesaat kemudian, balasan datang.
From: 089755XXXXXX
Bulan depan, Insya Allah..
Reina terdiam. Sesaat kemudian, sebuah pesan masuk.
From: 089755XXXXXX
Mbak, besok free?
Ayo sholat tarawih di Masjid Agung..
Reina mati kutu. Dia harus bilang apa?
Saat dia menatap ke depan, beberapa langkah darinya, Putra tersenyum menatap Reina. Dia mengangkat Handphonenya sambil mengangkat alisnya.
‘Bagaimana?’
Reina mengangguk.
‘Oke.’
Putra tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya. Matanya tertuju tepat ke mata Reina. Reina terpaku.
Lagi.
END
Cerpen Karangan: E.J
Facebook: Endah Januarnany
(Second) First Impression
4/
5
Oleh
Unknown