Pupus Harapan Di Ujung Negeri

Baca Juga :
    Judul Cerpen Pupus Harapan Di Ujung Negeri

    Telah lama aku tersugesti mencintai seorang gadis manis, yang hanya bisa kucintai. Memandang wajahnya lewat terangnya layar handphoneku, meredupkan semangatku untuk menggapainya. Karena yang aku tahu, bukanlah aku yang diinginkan. Bertahun aku berjalan sendiri, layaknya menjelajahi jalan setapak begitu mudah terjatuh. Aku hanya bertumpu pada doa, tanpa bisa aku usahakan. Begitu bodoh kah aku?

    Waktu itu mentari tak ingin menemaniku bermain, ia lebih memilih meredupkan sinarnya. Seolah ada yang disembunyikan dariku, namun aku hanya mengeluhkannya. Mengapa tak satupun yang mau bersahabat denganku? Hujan turun, angin menemaninya. Di kamar sempit tempat biasa aku menggali wawasan dan mencari gagasan untuk kutulis, aku berbaring memandang layar handphone. Ada yang menarik, siapa ini? Siapa?! Rasa penasaran ingin rasanya aku bercengkrama dengannya, gadis bersenyum di potret. Setelah semua kuketahui, rasa yang dulu pernah ada kini muncul seperti menutup cerita lama. Menggebu-gebu rasa yang ada ketika itu. Entah apa alasannya, hati kah yang berbicara? Ahhh sial! Aku kapok bermain hati. Tapi hasrat mengalahkan niat. Aku pun membangun cerita indah bersamanya.

    Di depan ruko kuparkir sepeda motor matik milikku, aku mengeluarkan dompet kulit yang kubeli dari menyisihkan uang saku sekolahku. Dompet yang kosong hiasan, hanya beberapa lembar uang. Lain dengan orang-orang, mereka menghiasi dompet dengan foto orang yang dicintainya. Dompetku kosong. Kuingat dulu, seseorang berkata “jangan pernah menyimpan foto orang yang kamu cintai di dompet!, jika tak ingin kehilangannya.” Ya, meskipun itu hanya mitos yang dikatakan seseorang tanpa memberikan bukti. Namun hingga kini, tak ada satu pun foto di dompetku. Hehe..

    Terdengar bel pulang sekolah, dan kulihat gadis-gadis ke luar dari gedung. Lama aku menanti gadisku, sampai akhirnya dia datang bergandengan dengan teman perempuannya. “Aku duluan ya, ketemu lagi besok. Daahhh” teriak teman perempuannya itu dengan lantang dan berjalan cepat menuju angkot yang lama menunggu. “Mau kemana kita?” Tanyaku memecah keheningan, di atas motor kami hanya termenung sepanjang jalan. “Aku nggak tahu” suaranya begitu lirih, memaksaku terdiam. Sepeda motorku aku parkirkan, kami berjalan menuju air laut. Karena tak ada tujuan, dan waktu pun tidak memungkinkan, aku memutuskan pergi ke salah satu pantai terdekat.

    Sunset, itulah tujuanku. Di atas bebatuan tempat kami terduduk. “Kamu suka sunset ya?” Pertanyaan yang sudah aku siapkan jawabannya. Memang awalnya kami saling terdiam, seperti ada yang menahan untuk saling berucap. “Iya. Coba lihat itu!” Tanganku menunjuk pada perahu yang jauh di tengah lautan. Waktu itu pemandangan yang kulihat persis dengan gambar andalanku sewaktu TK dulu. Lautan berombak kecil, perahu dan matahari di atasnya. “Akhir bukanlah kesedihan, bukan juga penderitaan. Ada yang bisa kita ambil dari sunset ini, selain keindahan dan keelokannya. Aku berharap, hubungan kita berakhir seperti hari ini. INDAH, dan akan ada cerita lain setelah keindahan itu. Kita takkan berjalan sendiri, bulan akan setia menemani sampai terang datang.” Terangku penuh harap, dengan nada pelan dan pasti. “I love you” itulah kata yang kudengar darinya ketika ia menidurkan diri di pundakku.

    Masih dalam rangkulanku, aku membisakkan kata yang membangunkannya “kenapa kamu mencintai aku?”. “aku nggak punya alasan untuk itu. Aku hanya bisa merasakannya. Yang kuharap, kamu akan selalu ada buat aku, dan kesetiaan ini akan berakhir seperti hari ini. INDAH.” Jelasnya dengan nada terpatah-patah. Matanya sayu, berkaca-kaca. Kuusap pundaknya, lagi dia menyenderkan kepalanya di pundakku. Bagaimana ini? Apa yang akan terjadi jika dia sadar, aku bukanlah apa yang dia bayangkan. Aku manusia biasa. Bagaimana mungkin aku bisa selalu ada untuknya? Bahkan lusa aku akan pergi lama ke ujung negeri? Ahhh sudahlah..

    Gelap dan berisik, setelah aku turun dari pesawat dan ke luar dari bandara. Ternyata hujan. Dalam hati aku bergumam, kenapa hanya hujan yang mau bersahabat denganku? Berbeda, hujan ini membawa perasaan buruk, sangat tidak enak rasanya. Tidak ada sambutan, begitupun jemputan. Hanya taksi yang terparkir rapi, kupilih satu untuk mengantarku pulang. Hari-hari sangat berbeda setelah aku kembali dari ujung negeri, meski hanya beberapa bulan disana. Hanya beberapa bulan berpisah dengan kekasihku. Sebelum akhirnya dipertemukan lagi yang kuharap itulah kali terakhir kita bertemu. “Hai. Apa kabar?” Sapaku untuk kekasihku. Di depan pintu rumahnya, aku berniat bertamu. Tangannya pun tak lepas dari genggamanku, rindu yang harus kulepaskan saat itu juga. Apa yang beda? Oh aku merasa ada yang berbeda dengan jarinya. Cincin?.. “Baik” jawabnya singkat namun tetap membiarkan tanganku menggenggam jari jemarinya. Aku menoleh ke cincin yang disematkan di jari manisnya. Seperti mengerti, dia menjelaskan sesuatu tentang cincin itu. “Maafkan aku, kamu harus mencari keindahan di hari yang lain dan di hati yang lain. Ini cincin pertunanganku. Maafkan aku.” Jelasnya dan mulai melepaskan tangannya dari genggamanku. Aku terdiam, terlalu banyak yang ingin kukeluarkan saat itu.

    Terkadang, mencintai seseorang memang tak butuh alasan. Namun alasan tetap dibutuhkan kenapa kita tak lagi mencintai seseorang. Seperti halnya cincin itu, itulah alasanku tak lagi mencintainya..

    Cerpen Karangan: Bambang Oktariyanto
    Facebook: Bambang Oktariyanto

    Artikel Terkait

    Pupus Harapan Di Ujung Negeri
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email