Judul Cerpen Pesawat Kertasku
Hari yang kutunggu selama tiga tahun belajar di sekolah ini akhirnya datang juga. Hari dimana sebulan sebelum ini kerja kerasku belajar demi dapat nilai yang tinggi di UN berlalu. Ini adalah saat aku mengenakan kebaya saatnya perpisahan dengan guru-guruku dan juga teman-teman sekelasku dan segala hal di sekolah ini. Mungkin bukan yang terakhir kali bertemu dengan mereka, tapi paling tidak ini momen terakhir kami berkumpul bersama.
Memang bukan sesuatu yang besar, tapi mungkin lagi ini kesempatan terakhirku untuk bisa foto bareng dengan Pak Zaki guru bahasa inggris yang selalu kuidolakan sejak kelas dua dulu. Harusnya tidak ada yang salah dengan mengidolakan guru kan, hanya ada sesuatu yang kuanggap spesial di antara kami. Terlalu muluk? Mungkin. Terlalu jauh untuk dikejar? Mungkin lagi. Karena bukan hanya aku saja yang mengidolakannya. Beberapa gadis lain ada juga yang pernah mencoba mendekatinya. Tapi hubungan guru dan murid ya hanya guru dan murid.
Dia sebenarnya orang yang agak pendiam, bahkan bisa dibilang jarang tersenyum bahkan kalau berpapasan dengan kami siswanya. Kalau dibilang guru yang paling ganteng juga ada banyak yang lebih. Tapi saat dia mengajar di dalam kelas, selalu membuatku terpesona. Cara bicaranya, cara dia menjelaskan, dan cara dia menanggapi sikap kami saat berisik yang selalu membuatku tak mau memalingkan pandanganku.
Hari ini aku duduk di barisan paling depan di hall room acara perpisahan sekolah. Bukan karena dapat prestasi tertinggi, tapi hanya karena nomor absen. Tapi juga bukan berarti nilaiku jelek, hampir semuanya bagus. Terlebih bahasa inggrisku yang dapat nilai delapan. Pak Zaki duduk di barisan depanku bersama dengan guruku yang lain. Hanya sekali dua kali saja dia menengok ke arahku dan seperti biasa dengan ekspresinya yang selalu kelihatan bosan. Tapi aku cukup senang meski hanya sebatas itu sambil menantikan acara demi acara berlalu.
Pandanganku teralihkan pada pesawat kertas yang dibuatnya dari sebuah kertas brosur yang sama dengan yang kupegang saat ini. Yang beberapa kali dia bolak-balik sambil memandanginya. Perasaanku mulai tumbuh saat awal kelas tiga dulu ruang kelasku ada di lantai tiga. Saat teman sekelasku Vani sering kelewatan mengerjaiku. Mulai dari sepatuku yang digantung di atas pintu, tasku tiba-tiba penuh dengan sobekan kertas, dan meski sempat membuatku kesal adalah dia sering menyobek bukuku untuk dijadikan pesawat kertas dan diterbangkannya dari depan kelas.
Kesal memang awalnya saat dia melakukannya. Bahkan pernah buku catatanku habis karena dijadikannya pesawat kertas. Tapi dari situlah semuanya berawal. Dari rasa kagum yang biasa hingga menjelma jadi rasa cinta yang luar biasa saat pesawat kertasku beterbangan ke ruang UKS yang ada di bawah tangga ke kelasku berjumpa dengan Pak Zaki. Dari orang yang biasa jutek ternyata dia mengambil salah satu pesawatku yang tercecer di lantai di bawahnya. Dia langsung tahu kalau itu berasal dari kertasku karena di buku catatanku lebih sering terisi tulisan namaku dan tanda tanganku dan gambarku. Seketika dia menoleh ke atas ke arahku sambil tersenyum. Debar jantungku jadi semakin cepat setelah tahu dia beranjak dan tetap memegang salah satu pesawat kertas itu.
Lamunanku jadi tidak menentu memikirkan apa mungkin dia sengaja menyimpannya karena punya perasaan yang sama denganku. Atau hanya dia bawa lalu dia hempaskan lagi sekedar untuk mainan. Hingga di kelas matematika yang kubuat adalah sebuah pesawat kertas lagi, dan lagi. Senyumnya juga jadi terasa berbeda saat berada di kelas terhadapku. Semangatku belajar juga kian meningkat mendengar dia berulang kali memotivasi kami tentang bagaimana kami seharusnya. Penampilan dan sikapku juga sering dibilang berubah oleh teman sekelasku menjadi lebih baik. Meskipun jatuh cinta pada guru sendiri itu seperti mencoba adu cepat mendaki puncak merapi saat hujan. Bukan hal yang mustahil, tapi mungkin berat dilakukan. Karena pastinya banyak yang saling bersaing. Belum lagi terbentur kode etik guru itu sendiri.
Perasaan seperti kecewa, patah hati, dan sebagainya menjadi sering hinggap. Karena juga bukan hanya Pak Zaki guru yang muda disini. Guru yang perempuan juga banyak yang muda. Dan melihat mereka dekat atau bercanda seperti menginjak pecahan kaca dengan kaki telanjang. Tak bisa lari menjauh dan tak bisa terus memandangnya. Belum lagi saat dia dihinggapi siswa perempuan yang sering tanya materi padanya dengan keganjenan mereka. Dan akhirnya meski tetap jatuh cinta padanya dan sering merasa tersakiti tanpa sengaja olehnya, aku sempat memutuskan mengalihkan hatiku pada Vani yang malah menyatakan cinta padaku.
Kupikir saat tahu aku pacaran dengan Vani akan membuat dia merubah caranya tersenyum padaku. Tapi ternyata tetap sama, hatiku sekali lagi entah seperti bercampur aduk. Bahkan masih tak bisa mengacuhkannya. Sampai semester akhir berlanjut, aku sudah putus dengan Vani dan mulai memperhatikan Pak Zaki lagi. Tapi tahu kalau dia masih sendiri membuat hatiku sedikit lega. Meski berharap terlalu tinggi bisa juga semakin sakit saat jatuh. Tapi kami jadi mulai saling bertanya kabar lewat bbm setelah aku memberanikan diri meminta pin dan memulai percakapan dengannya. Tapi tetap dia selalu menggunakan bahasa formal, entah untuk menjaga jarak atau memang dia aslinya seformal itu. Tapi sehari saja tak dapat balasan darinya membuat gelisah dan terus menerus memperhatikan layar handphonku. Meski intensitasnya tak sesering seperti orang pacaran, sering kali aku memulai dengan kata kangen dan kangen dengan tanggapannya yang tak pernah membalas “saya juga” apalagi “saya lebih kangen”. Paling sering adalah “besok kan ketemu lagi dipelajaran saya”. Yang selalu membuatku tak sabar menunggu dia masuk melewati pintu kelas dan duduk di depan kami semua.
Acara wisuda akhirnya selesai setelah kami bergantian bersalaman dengan para guru termasuk Pak Zaki juga. Momen foto-foto juga menjadi momen yang kuyakin tak akan terlupakan. Terlebih saat aku minta foto bersamanya berdua menggunakan kebaya dan jas seperti sepasang kekasih di pelaminan. Tentu saja dp langsung berganti dengan itu, meski yang foto bersamanya bukan aku saja. Seperti Tari misalnya yang beberapa waktu lalu pernah mengungkapkan rasa cinta secara terang-terangan padanya. Meskipun aku tak tahu hasilnya, tapi gosip itu menyebar di antara kami, dan membuat hatiku hancur seketika. Tapi meskipun dp Tari pernah berduaan dengannya aku tahu satu hal yang pasti, Pak Zaki tidak menerima cintanya karena status mereka tidak berubah.
Untungnya tidak banyak yang tahu tentangku kalau kami sering chatting di bbm. Bahkan beberapa kali telepon. Meski pernah terhenti saat menjelang UN entah kenapa chatku jadi jarang dibalasnya. aku jadi takut untuk memulai chat dengannya lagi. dan berlalu begitu saja meski perasaan cintaku padanya tetap ada. Mungkin karena kesibukan belajar yang meningkat disertai kesibukannya. Tapi tetap saja, berharap dia mencintaiku seperti berharap hujan salju turun di negeri ini.
“Kertas yang kalian semua sudah pegang, silahkan diisi dengan cita-cita kita selama 5 tahun kedepan.” Ucap Danu yang dulunya pernah jadi ketua OSIS.
Lalu, aku memang menulis harapanku apa yang akan kudapat dalam lima tahun kedepan dan melipatnya menjadi sebuah pesawat kertas yang kami terbangkan bersama-sama dari balkon sekolah. Ratusan pesawat kertas beterbangan dan satu-persatu jatuh ke lapangan basket di tengah sekolah. Tapi merupakan sebuah pemandangan yang mungkin paling berkesan tahun ini. Dan pastinya harapan kami setelah lulus dan melanjutkan ke tahapan berikutnya tahun demi tahun yang kami harapkan. Dan hebatnya adalah harapanku langsung terjawab saat Pak Zaki memberikan sebuah pesawat kertas padaku setelah berjumpa di dekat tangga. Hatiku berdebar kencang, dan bahkan dipenuhi dengan ribuan bunga yang berhamburan di kepalaku. Aku membukanya dan menemukan tulisan yang kutulis di pesawat kertas yang kuterbangkan beberapa saat lalu.
“Saya juga…” ucapnya sambil tersenyum memandangiku.
“Aku ingin selalu bersama Pak Zaki.” Itu adalah cita-citaku selama lima tahun kedepan.
Cerpen Karangan: Itsna Bahauddien
Facebook: Itsna Bahauddien
Hari yang kutunggu selama tiga tahun belajar di sekolah ini akhirnya datang juga. Hari dimana sebulan sebelum ini kerja kerasku belajar demi dapat nilai yang tinggi di UN berlalu. Ini adalah saat aku mengenakan kebaya saatnya perpisahan dengan guru-guruku dan juga teman-teman sekelasku dan segala hal di sekolah ini. Mungkin bukan yang terakhir kali bertemu dengan mereka, tapi paling tidak ini momen terakhir kami berkumpul bersama.
Memang bukan sesuatu yang besar, tapi mungkin lagi ini kesempatan terakhirku untuk bisa foto bareng dengan Pak Zaki guru bahasa inggris yang selalu kuidolakan sejak kelas dua dulu. Harusnya tidak ada yang salah dengan mengidolakan guru kan, hanya ada sesuatu yang kuanggap spesial di antara kami. Terlalu muluk? Mungkin. Terlalu jauh untuk dikejar? Mungkin lagi. Karena bukan hanya aku saja yang mengidolakannya. Beberapa gadis lain ada juga yang pernah mencoba mendekatinya. Tapi hubungan guru dan murid ya hanya guru dan murid.
Dia sebenarnya orang yang agak pendiam, bahkan bisa dibilang jarang tersenyum bahkan kalau berpapasan dengan kami siswanya. Kalau dibilang guru yang paling ganteng juga ada banyak yang lebih. Tapi saat dia mengajar di dalam kelas, selalu membuatku terpesona. Cara bicaranya, cara dia menjelaskan, dan cara dia menanggapi sikap kami saat berisik yang selalu membuatku tak mau memalingkan pandanganku.
Hari ini aku duduk di barisan paling depan di hall room acara perpisahan sekolah. Bukan karena dapat prestasi tertinggi, tapi hanya karena nomor absen. Tapi juga bukan berarti nilaiku jelek, hampir semuanya bagus. Terlebih bahasa inggrisku yang dapat nilai delapan. Pak Zaki duduk di barisan depanku bersama dengan guruku yang lain. Hanya sekali dua kali saja dia menengok ke arahku dan seperti biasa dengan ekspresinya yang selalu kelihatan bosan. Tapi aku cukup senang meski hanya sebatas itu sambil menantikan acara demi acara berlalu.
Pandanganku teralihkan pada pesawat kertas yang dibuatnya dari sebuah kertas brosur yang sama dengan yang kupegang saat ini. Yang beberapa kali dia bolak-balik sambil memandanginya. Perasaanku mulai tumbuh saat awal kelas tiga dulu ruang kelasku ada di lantai tiga. Saat teman sekelasku Vani sering kelewatan mengerjaiku. Mulai dari sepatuku yang digantung di atas pintu, tasku tiba-tiba penuh dengan sobekan kertas, dan meski sempat membuatku kesal adalah dia sering menyobek bukuku untuk dijadikan pesawat kertas dan diterbangkannya dari depan kelas.
Kesal memang awalnya saat dia melakukannya. Bahkan pernah buku catatanku habis karena dijadikannya pesawat kertas. Tapi dari situlah semuanya berawal. Dari rasa kagum yang biasa hingga menjelma jadi rasa cinta yang luar biasa saat pesawat kertasku beterbangan ke ruang UKS yang ada di bawah tangga ke kelasku berjumpa dengan Pak Zaki. Dari orang yang biasa jutek ternyata dia mengambil salah satu pesawatku yang tercecer di lantai di bawahnya. Dia langsung tahu kalau itu berasal dari kertasku karena di buku catatanku lebih sering terisi tulisan namaku dan tanda tanganku dan gambarku. Seketika dia menoleh ke atas ke arahku sambil tersenyum. Debar jantungku jadi semakin cepat setelah tahu dia beranjak dan tetap memegang salah satu pesawat kertas itu.
Lamunanku jadi tidak menentu memikirkan apa mungkin dia sengaja menyimpannya karena punya perasaan yang sama denganku. Atau hanya dia bawa lalu dia hempaskan lagi sekedar untuk mainan. Hingga di kelas matematika yang kubuat adalah sebuah pesawat kertas lagi, dan lagi. Senyumnya juga jadi terasa berbeda saat berada di kelas terhadapku. Semangatku belajar juga kian meningkat mendengar dia berulang kali memotivasi kami tentang bagaimana kami seharusnya. Penampilan dan sikapku juga sering dibilang berubah oleh teman sekelasku menjadi lebih baik. Meskipun jatuh cinta pada guru sendiri itu seperti mencoba adu cepat mendaki puncak merapi saat hujan. Bukan hal yang mustahil, tapi mungkin berat dilakukan. Karena pastinya banyak yang saling bersaing. Belum lagi terbentur kode etik guru itu sendiri.
Perasaan seperti kecewa, patah hati, dan sebagainya menjadi sering hinggap. Karena juga bukan hanya Pak Zaki guru yang muda disini. Guru yang perempuan juga banyak yang muda. Dan melihat mereka dekat atau bercanda seperti menginjak pecahan kaca dengan kaki telanjang. Tak bisa lari menjauh dan tak bisa terus memandangnya. Belum lagi saat dia dihinggapi siswa perempuan yang sering tanya materi padanya dengan keganjenan mereka. Dan akhirnya meski tetap jatuh cinta padanya dan sering merasa tersakiti tanpa sengaja olehnya, aku sempat memutuskan mengalihkan hatiku pada Vani yang malah menyatakan cinta padaku.
Kupikir saat tahu aku pacaran dengan Vani akan membuat dia merubah caranya tersenyum padaku. Tapi ternyata tetap sama, hatiku sekali lagi entah seperti bercampur aduk. Bahkan masih tak bisa mengacuhkannya. Sampai semester akhir berlanjut, aku sudah putus dengan Vani dan mulai memperhatikan Pak Zaki lagi. Tapi tahu kalau dia masih sendiri membuat hatiku sedikit lega. Meski berharap terlalu tinggi bisa juga semakin sakit saat jatuh. Tapi kami jadi mulai saling bertanya kabar lewat bbm setelah aku memberanikan diri meminta pin dan memulai percakapan dengannya. Tapi tetap dia selalu menggunakan bahasa formal, entah untuk menjaga jarak atau memang dia aslinya seformal itu. Tapi sehari saja tak dapat balasan darinya membuat gelisah dan terus menerus memperhatikan layar handphonku. Meski intensitasnya tak sesering seperti orang pacaran, sering kali aku memulai dengan kata kangen dan kangen dengan tanggapannya yang tak pernah membalas “saya juga” apalagi “saya lebih kangen”. Paling sering adalah “besok kan ketemu lagi dipelajaran saya”. Yang selalu membuatku tak sabar menunggu dia masuk melewati pintu kelas dan duduk di depan kami semua.
Acara wisuda akhirnya selesai setelah kami bergantian bersalaman dengan para guru termasuk Pak Zaki juga. Momen foto-foto juga menjadi momen yang kuyakin tak akan terlupakan. Terlebih saat aku minta foto bersamanya berdua menggunakan kebaya dan jas seperti sepasang kekasih di pelaminan. Tentu saja dp langsung berganti dengan itu, meski yang foto bersamanya bukan aku saja. Seperti Tari misalnya yang beberapa waktu lalu pernah mengungkapkan rasa cinta secara terang-terangan padanya. Meskipun aku tak tahu hasilnya, tapi gosip itu menyebar di antara kami, dan membuat hatiku hancur seketika. Tapi meskipun dp Tari pernah berduaan dengannya aku tahu satu hal yang pasti, Pak Zaki tidak menerima cintanya karena status mereka tidak berubah.
Untungnya tidak banyak yang tahu tentangku kalau kami sering chatting di bbm. Bahkan beberapa kali telepon. Meski pernah terhenti saat menjelang UN entah kenapa chatku jadi jarang dibalasnya. aku jadi takut untuk memulai chat dengannya lagi. dan berlalu begitu saja meski perasaan cintaku padanya tetap ada. Mungkin karena kesibukan belajar yang meningkat disertai kesibukannya. Tapi tetap saja, berharap dia mencintaiku seperti berharap hujan salju turun di negeri ini.
“Kertas yang kalian semua sudah pegang, silahkan diisi dengan cita-cita kita selama 5 tahun kedepan.” Ucap Danu yang dulunya pernah jadi ketua OSIS.
Lalu, aku memang menulis harapanku apa yang akan kudapat dalam lima tahun kedepan dan melipatnya menjadi sebuah pesawat kertas yang kami terbangkan bersama-sama dari balkon sekolah. Ratusan pesawat kertas beterbangan dan satu-persatu jatuh ke lapangan basket di tengah sekolah. Tapi merupakan sebuah pemandangan yang mungkin paling berkesan tahun ini. Dan pastinya harapan kami setelah lulus dan melanjutkan ke tahapan berikutnya tahun demi tahun yang kami harapkan. Dan hebatnya adalah harapanku langsung terjawab saat Pak Zaki memberikan sebuah pesawat kertas padaku setelah berjumpa di dekat tangga. Hatiku berdebar kencang, dan bahkan dipenuhi dengan ribuan bunga yang berhamburan di kepalaku. Aku membukanya dan menemukan tulisan yang kutulis di pesawat kertas yang kuterbangkan beberapa saat lalu.
“Saya juga…” ucapnya sambil tersenyum memandangiku.
“Aku ingin selalu bersama Pak Zaki.” Itu adalah cita-citaku selama lima tahun kedepan.
Cerpen Karangan: Itsna Bahauddien
Facebook: Itsna Bahauddien
Pesawat Kertasku
4/
5
Oleh
Unknown