Hikmah Setiap Derita

Baca Juga :
    Judul Cerpen Hikmah Setiap Derita

    Kata-kata Orisen Marden tentang kekuatan manusia untuk mengubah peradaban dan sukses masih terngiang di benakku, kata-kata itu pernah kubaca dari sebuah buku bernuansa ‘ilmuwan’, orang biasa mengenalku dengan Ara, gadis bernuansa ilmuwan sepertiku hanya ditempatkan di laboratorium belaka –ejek teman-temanku.

    Aku mengenal bidang itu ketika aku masih sangat kecil, bahkan masih berupa gumpalan darah, ayahku ilmuwan, dia selalu membisikanku apa itu definisi ilmuwan. Dari mulai aku masih di perut ibu hingga aku sebesar ini, “hidupmu akan berguna jika kau menjadi ilmuwan.” Ayah nyaris tak pernah lupa mengatakannya sebelum aku tidur, hingga aku beranjak dewasa.

    Masa laluku kelam, ibu meninggalkan ayah karena profesi ayah yang katanya menbuat kepala botak itu, ayah selalu mengenalkan teori yang jelas-jelas ibu tidak mengerti.

    Ayah menikah setahun yang lalu dengan wanita dua puluh tahun lebih muda dengannya, seumuranku sih, kuharap ayah tak salah memilihnya. Karena bagi ayah, jika ayah pergi nanti dia ingin ibu tiriku menjadi seperti ibuku sendiri, ayah memilih yang masih muda karena ayah ingin aku tidak canggung jika bercerita kepadanya.
    Mulai saat itu, setelah resepsi pernikahan ayah, aku mengusap air mataku yang kukira sia-sia saja, aku bangkit menghadang masa depanku, kupotong rambutku dengan cepat, kumasukkan serpihan masa lalu dalam sebuah peti yang tak ingin kubuka hingga sekarang.

    Aku beruntung tidak seperti teman ‘broken home’ yang lain, aku yakin Tuhan menciptakan takdir itu jelas ada tujuannya, tujuannya pun bukan untuk membangkang darinya, bahkan bisa lebih mencintainya.

    Aku melupakan orangtuaku seketika, bagiku siapapun orangtuaku, Tuhan telah memberikanku orangtua hingga aku tidak menjadi yatim piatu, Tuhan telah mencukupkan nikmatnya hingga aku tak kekurangan siapapun, jika aku masih ingin tinggal bersama orang yang sedarah denganku, itu tak ada gunanya bagiku, karena dunia ‘broken home’ hidup menyatu itu bagaikan sebuah angan saja, yang dengan beruntungnya ada yang tercapai.

    Ara, bukanlah sosok yang suka memandang masa lalu, aku ditakdirkan menjadi wanita kuat, aku memilih berpikir untuk lusa ketimbang besok, dan hari kemarin sudah terkubur dalam-dalam. Aku bangkit bagai membawa pedang, bukan untuk balas dendam, tetapi untuk membuka tirai kesuksesanku sendiri.

    Bersyukurlah, Tuhan memgaruniaiku otak yang cerdas, aku ingin menjadi ‘genius’ dan mengubah peradaban, aku memang tidak bisa mencegah korban ‘broken home’ tetapi aku bisa mencegah agar mereka tak salah langkah, aku ingin mereka memilih jalan sepertiku, sukses pada akhirnya dan tidak ada keturunan ‘broken home’ yang lebih parah, karena itu menyakitkan.

    “Sarah.” Panggil ayah, ia memelukku dengan erat, aku tersenyum sambil memeluknya kembali, aku melihat ke arah kanannya, wanita yang lebih muda dari sosok tua di sampingnya, aku menyalaminya dan berpelukan dengannya.
    “Ibu bangga padamu nak, kau berhasil mendapat gelar professor Ara, kurasa Professor sangat sulit untuk perempuan.”
    “Dan Ara-ku menaklukan teori itu.” Sahut ayah.

    Setelah menyalami tamu-tamuku di acara wisuda S-4 yang ku tempuh dengan beasiswa seutuhnya ini, aku melangkah ke arah wanita tua yang selalu ingin memelukku itu. Air mataku mulai bercucuran melihat wajahnya yang kian berubah, matanya menjadi sedikit sipit, wajahnya tak semulus sepuluh tahun yang lalu, wajahnya sedikit keriput dan rambutnya mulai memutih, aku memeluknya tanpa sepatah kata.

    “Ibu.” Panggilku.
    “Ibu.”
    “Ibu.” Aku mengucapkan kata itu, kata yang sekian lama ingin keluar dari faring tenggorokan, kata yang seketika menjadi perasa dahaga.

    Kata yang seketika membuatku terbayang oleh masa lalu, masa laluku yang bahagia, ketika ibu menyiapkan makanannya untuk kita bertiga, ketika ayah dan aku bercanda, ketika kita bersama-sama, ketika kita tak pernah terpisah, bahkan setelah sholat ied kita selalu berkunjung ke sanak saudara bersama tapi sepuluh tahun lamanya semua lenyap tiada tersisa.

    “Ma-maafkan ibu Ara.” Ucap ibu pelan.
    “Tanpa keputusan itu, Ara tidak tahu apakah Ara bisa mengejar cita-cita setinggi ini, dan Ara tidak tahu berapa orang yang Ara buat bahagia, yang Ara buat sadar dari jalan yang salah. Ibu adalah segalanya, aku mengerti ibu jauh apa yang ibu pikirkan.” Aku memeluk ibuku semakin erat, ibuku semakin merasa bersalah sepertinya.
    “Semua itu ada hikmahnya bu, Ara bisa menjadi guru bagi anak-anak di pinggiran kota, juga menjadi dokter bagi anak-anak di bawah jembatan. Itu karena Ara merasa kasihan pada diri Ara, untuk itu Ara tidak ingin sendirian, Ara butuh teman, Ara ingin bersama mereka, mengajarkan mereka agar kami bangkit bersama, kami menemukan hidup sukses bersama.” Aku mulai melepas pelukan ibu perlahan dan mengenalkan banyak sekali teman-teman yang sukses, mulai dari anak yatim, broken home, bahkan yang tinggal di kolong jembatan pun.
    Bagiku jika kau merasa sendiri, carilah orang yang lebih menderita darimu, ajak ia bangkit bersama-sama denganmu, mencari arti hidup dan jalan menuju kesuksesan kehidupan.

    Dan aku bersyukur bisa melihat kedua orangtuaku, meskipun tidak lagi menyatu, tapi tiada dendam di antara keduanya, keduanya masih memiliki waktu untukku, di hari kebesaranku ini.

    Aku bersyukur bisa melihat mereka tersenyum bangga, terkadang aku merasa sedih apabila melihat yang lain terkadang menangis karena salah satu orang tuanya tiada, terkadang yang bernasib sama sepertiku, tetapi untukku, berikan senyuman karena Tuhan telah memberikanmu lebih dari seribu hikmah dari setiap penderitaan yang bisa mengajarkanmu arti kehidupan yang sebenarnya.

    Jika kau merasa sendiri, carilah orang yang lebih menderita darimu, ajak ia bangkit bersama-sama denganmu, mencari arti hidup dan jalan menuju kesuksesan kehidupan.

    END

    Cerpen Karangan: Aulia Taureza
    Facebook: Ataureza Aulia

    Artikel Terkait

    Hikmah Setiap Derita
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email