Permen Mint

Baca Juga :
    Judul Cerpen Permen Mint

    “Lo, kenapa gusar melulu sih, Fel?!,” tanya Riska saat ia mendengar gesekan tubuh Felly dengan kasur yang terus memenuhi ruangan asrama mereka berdua.
    “Tahu ah!,” ucap Felly sewot.
    “Yeeee!!! Nih anak di tanya malah sewot begitu! Turun lu!,” ucap Riska dengan menarik guling Felly saat ia menaiki tangga kasur tingkat itu.
    “Duuuh! Apaan sih, Ris?!,” tanya Felly kesal.
    “Pasti ada yang lo pikirin, nih!,” gumam Riska dengan terus memaksa Felly turun dari kasurnya.
    Gumaman kesal terus terlontar dari mulut Felly. Begitu juga dengan imbalan ucapan Riska. Hingga akhirnya, mereka berdua terduduk di kursi bundar yang santai itu dengan cahaya lampu yang remang-remang.

    “Kenapa, lo sampe nggak bisa tidur gitu, hah?!,” tanya Riska.
    “Gimana bisa tidur coba? Baru kali ini, gue di buat gulung koming sama cowok? Selama ini, Felly Anggi Wiraatmaja, nggak pernah ngalamin hal itu! Dan sekarang, gue gila karena cowok.”
    “Lo yakin, cinta sama dia? Bukan sekedar suka?,” tanya Riska dengan melipatkan kedua tangannya di depan dada.
    “Entah. Gue masih belum yakin dengan ini semua setelah gue ditinggal pergi sama Arka beberapa tahun yang lalu.”
    “Gue yakin, dia pasti jauh sama lo, kan?!,” tanya Riska dengan menyipitkan matanya.
    “Ya! Dia jauh sama gue! Sangat jauh!”
    “Dia punya profesi apa? Sampai dia ninggalin lo sejauh itu? Artis? Jurnalis? CEO? Manager, Direktur..”
    “Pelaut!,” ucap Felly memtuskan pembicaraan Riska.
    “Maksud lo, dia seorang Pelayar?”
    Felly menganggukkan kepalanya.
    “Gimana ceritanya dia bisa jadi orang yang lo sukai? Sorry. Maksudnya, lo cintai?”
    “Awalnya, dia adalah penggemar lagu-lagu gue. Lama-lama kita chat. Akhirnya, gue suka sama dia karena gue ngerasa nyaman sama dia. Gue awalnya nggak pernah peduli dengan apa pekerjaan dia. Yang gue tahu cuman satu. Gue sayang sama dia. Saat gue kangen sama dia dan gue ngerasa kepala gue serasa mau pecah. Baru gue bisa bilang kalau gue cinta sama dia. Dan itu, malam ini.”
    “Katakan aja sama dia. Nggak mungkin kan, lo cinta tapi nggak punya nomor teleponnya dia? BBM, gitu?”
    “Dia sedang layar sekarang. Gue nggak mungkin hubungin dia. Udah gitu, tadi gue sama dia bertengkar pula. Perpisahan kita sementara nggak berujung baik. Itulah yang bikin gue nggak bisa tidur.
    “Hahahaha. Felly, Felly. Baru kali ini gue denger lo nggak bisa tidur karena cowok. Setahu gue, lo nggak bisa tidur karena mikirin turnamen band yang masih jauh jaraknya dengan hari jadinya.”
    “Lu suka banget sih liatin gue menderita gini?”
    “Hahaha. Habis lo suka bikin gue menderita kelaparan sih waktu latihan. Kalau boleh gue saran, gimana kalau lo coba telfon dia dan meminta maaf atau memperbaiki hubungan kalian dulu? Sekalipun, dia nggak ngangkat. Apa salahnya kan, mencoba?,” tanya Riska.
    “Gitu ya?”
    “Heemmm… daripada lo nggak tenang gini.”
    “Ya udah deh. Gue kaluar dulu. Bye! Thank you untuk barusan.”
    Riska hanya menganggukkan kepalanya seraya ia menatap Felly yang terus menghilang dari penglihatan matanya.

    Dari atas, ia melihat Felly berjalan ke arah taman. Kemudian mengeluarkan ponselnya dan terus berusaha menghubungi laki-laki itu. Hingga akhirnya, nada sambung yang ia lontarkan terjawab setelah lama Felly menunggu.
    “Hallo?!,” tanya Felly ragu.
    “Assalamualaikum?,” tanya laki-laki itu.
    “Davinsi… sh*t!!!,” decah kesal Felly saat pulsa telfonnya telah habis.
    “Dari suaranya tadi, dia kayaknya bangun tidur deh,” gumam Felly menerka.

    Tanpa berpikir panjang, Felly pergi meninggalkan tempat itu dan kembali ke kamar asrama. Di sana, ia kembali membangunkan Riska untuk meminta tolong agar ia mau memberikan pulsa pesan untuk membeli pulsa ke Bram. Tapi Riska menyerahkan ponselnya dan kembali tidur.
    “Ok Davinsia Herman Defiaro. Kau sudah membuat aku gila dengan menarik perhatianku dan hatiku. Sh*t!,” decah kesal Felly samil mengetik pesannya untuk memesan pulsa elektrik untuk telepon atau paket data.
    Tak lama Felly menunggu. Davin, meneleponnya. Secepat kilat Felly mengangkat telepon itu. Ia berharap untuk malam ini ia dapat tertidur pulas dengan seluruh ketenangan hati dan pikirannya setelah ia memperbaiki masalahnya dengan laki-laki itu. Davin.

    “Kenapa kamu belum tidur?,” tanya Davin di balik telepon.
    “Gara-gara lo, gue nggak bisa tiduur. Gara-gara lo, gue jadi gila! Dan gara-gara lo, gue nggak bisa fokus sama kerjaan gue! Lo bikin gue serasa mau meledak tahu nggak sih.”
    “Maaf karena aku merindukan kata-kata kamu. Maaf karena aku juga merindukan kamu. Dan maaf karena aku pergi tanpa bilang dulu sama kamu.”
    “Davin…,” panggil Felly lirih. Hatinya terasa terhantam batu yang begitu besar.
    Selama ini, Felly tidak pernah merasakan seterenyuh ini di dalam hatinya. Selama ini, ia hanya mengenal laki-laki sebatas teman atau penggemar. Tanpa memperhatikan dan peduli dengan mereka. Tapi sekarang, semuanya berbeda saat ia bertemu dengan Davin. Tidak. Mereka tidak pernah bertemu sama sekali. Mereka hanya tahu lewat foto satu sama lain. Dan mereka saling merindukan, hanya dengan sebatas suara di telepon.

    “Kamu nggak tidur, Fel? Udah malem. Tidur gih! Ntar kamu sakit.”
    “Kenapa sih, lo nggak pernah ngertiin perasaan gue kalau gue pengen bicara sebentar sama lo.”
    “Masih ada esok. Kalau kamu sakit, itu juga akan menyiksaku.”
    “Siksaan yang lo berikan ke gue lebih sakit, Vin.”
    “Bagaimana jika aku nggak bisa ngabarin kamu selama seminggu?”
    “Gue akan mati karena kangen. Dan gue nyumpahin lu ikutan mati juga!,” ucap Felly dengan sedikit guraunya.
    “Hahaha. Haruskah aku keluar dari Pelayaran dan menjadi sopir pribadi kamu aja?!,” goda Davin.
    “Apa perlu aku menamparmu sekarang?,” tanya Felly dengan gurauan ringan.
    “Felly. Dengarkan aku baik-baik. Jika memang kau mencintaiku. Tolong jagalah aku dengan doamu dan kepercayaanm bahwa aku akan kembali kepadamu dengan Davin yang seutuhnya. Aku tahu, pekerjaanku memang membuatmu resah karena kita terus berjauhan. Tapi yang perlu kau tahu, aku akan merindukanmu sekalipun aku mati di tengah laut. Cinta kita memang beresiko, Fel. Sebelumnya, aku minta maaf karena memberikan kerugian di hubungan kita.”
    Seketika Felly menutup teleponnya. Ia melemparkan ponselnya di kasur. Dan ia, tetap terdiam di kursi dengan menatap ponselnya yang terus berdering. Jika di pikir lewat logika, Felly yang sedewasa itu, dapat bertingkah seperti anak kecil saat ia menghadapi cintanya. Yah.. cinta yang datang tanpa disengaja dengan relevansi waktu yang hanya sebentar.

    “Kenapa gue bisa kenal sama cowok macam kayak dia? Dia selalu merendahkan dirinya yang biasa-biasa saja. Dia terlalu sopan sama gue sampai gue ngerasa gila. Dan dia, terlalu pintar bikin gue khawatir dengan prosedur kerja dia yang berlayar sampai tahunan. Dia juga pintar bikin gue takut dengan pekerjaannya yang ada di depan mesin dengan seragam terhormatnya. Sh*t! Gue gila sekarang!,” decah Felly dengan mengambil toples permen yang ada di meja belajarnya.

    Lama Felly mengunyah permen mintnya sambil terus memikirkan Davin. Hingga ia merasa, kisah cintanya yang sekarang terasa begitu pahit. Sangat pahit dan panas dengan gelora cinta di dalamnya. Namun, segar dan manis dengan debaran rindu yang ada di dalamnya. Berwarna warni rasa ada di dalam cinta mereka. Sama dengan permen mint yang ia kunyah saat itu. Cinta dengan perbatasan jarak dan waktu. Memang sangat sulit bagi Felly. Terutama, dengan resiko di dalamnya. Cinta membutakan segalanya. Felly yang selalu bertindak menghilangkan resiko, kini ia harus bergadapan dengan resiko. Karena sesungguhnya, hal yang baik adalah yang selalu beresiko. Karena cinta juga butuh perjuangan. Bukan pengorbanan.

    Cerpen Karangan: Pratiwi Nur Zamzani
    Facebook: Pratiwi Nur Zamzani (Pakai Kerudung Putih)
    Twiiter: @nur_zamzani
    E-mail: pratiwinurzamzani[-at-]yahoo.co.id
    Telepon: 085-852-896-207

    Artikel Terkait

    Permen Mint
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email