Edelweiss

Baca Juga :
    Judul Cerpen Edelweiss

    Langit sore yang mendung. Cuaca yang damai, terasa sejuk menyelimuti ragaku. Dengan seuntai senyum, dan semangat yang menggelora di dalam diriku, bersama sepeda motor yang kukendarai, aku kembali menuju ke sekolah, untuk mengikuti kegiatan ekstrakulikuler Bahasa seperti biasanya. Namun, seketika diriku akan memarkirkan sepeda motorku, tiba-tiba saja, ponselku berdering, dan benar saja, Eiriana, teman akrabku di Organisasi OSIS sekolahku, telah menghubungiku berulang-ulang kali.

    “Assalamualaiku Eiriana?, ada apa?”, aku bertanya kepadanya.
    “Alya, sore ini, tepatnya jam 16.00, kita akan menyelenggarakan rapat osis yang sangat penting. Ini adalah amanat dari Ketua Osis kita. Akan ada rapat mengenai acara persiapan festival bahasa yang akan kita selenggarakan 2 minggu lagi, jadi kita semua wajib datang”, tukasnya dengan nada terburu-buru.
    “Tetapi, sore ini, aku akan latihan bersama Kak Vany untuk persiapan lomba cerpen FL2SN. Dan perlombaan itu, akan diselenggarakan 1 minggu lagi. Tolong izinkan aku ya”, aku berusaha membujuk Eiriana, tetapi tetap saja, Eiriana bersikeras menyuruhku untuk langsung menyampaikan perizinanku kepada Kak Fadli. Sungguh, jika aku harus bertemu kembali dengan kak Fadli dan berbicara berdua dengannya, maka hal ini tentunya akan menyulitkan untukku.
    “Baiklah, aku akan datang rapatnya”, kemudian aku menutup telepon dari Eirina, dan segera menuju ke Ruang rapat Osis.

    Sesampai di ruangan rapat, sudah terlihat olehku beberapa rekanku yang saling berdiskusi bersama mengenai persiapan festival bahasa 2 minggu lagi. Namun, tiba-tiba saja, mataku berusaha untuk mencari sesuatu yang hilang dari pandanganku, sesuatu itu adalah Kak Fadli. Seseorang yang diam-diam telah kusukai sejak aku terpilih menjadi Quen of MOS, 1 tahun yang lalu.
    “Maaf tadi saya harus menemui ibu Kepala Sekolah. Baiklah kita lanjutkan rapat kita sore ini. Untuk persiapan acara festival bahasa kita, saya akan menunjuk Alya sebagai ketua koordinatornya. Bagaimana?, apakah Alya siap?”, tiba-tiba Kak Fadli memberikan sebuah pertanyaan kepadaku yang sangat sulit untuk kujawab. Aku melihat beberapa rekan-rekan OSIS, dan tampak sekali mereka begitu menyetujuinya.

    Dengan demikian, disore itu juga, tanpa berunding terlebih dahulu denganku, aku terpilih menjadi ketua koordinator di acara festival bahasa di sekolahku.

    1 MINGGU KEMUDIAN
    “Alya?”. Tiba-tiba Claudia meberhentikan langkah kakiku, ketika aku hendak menuju ke parkiran sepeda motor untuk pulang ke rumah.
    “Ada apa Claudia?”, tanyaku kepada Claudia.
    “Al, tadi Kak Fadli menitip pesan kepadaku, jika kamu harus menemuinya siang ini juga di Aula. Dikarenakan, ada beberapa proker yang harus diselesaikan untuk persiapan acara festival bahasa kita”.
    “Tapi Claud, aku telah memberikan proker itu kepada kak Fadli, saat kita rapat hari minggu kemarin, proker mana lagi yang harus aku berikan?”.
    “Aku tidak tahu. Sudahlah, aku harus pergi dulu ya, mamaku telah menjemputku. Lihat, itu kak Fadli dia telah menunggumuu sejak 1 jam yang lalu”, dan Claudia pun meninggalkanku.

    Apa sebenarnya yang kak Fadli inginkan?, apakah dia tidak jera juga, setelah apa yang terjadi di antara aku dan Kiki selama 1 bulan ini?. Kiki selalu saja salah paham kepadaku, aku selalu berusaha meyakinkankannya bahwa aku dan kak Fadli, tidak memiliki hubungan apa-apa, seperti yang selama ini dia fikirkan. Tetapi, mengapa kak Fadli tidak mau menurutiku untuk menjauhiku?, kenapa dia selalu mencoba ingin bertemu denganku disetiap hari?, aku semakin kesal, dimana aku harus mengingat tentang kedekatan yang terjadi di antara aku dan kak Fadli. Benar-benar alur cinta yang rumit dan sulit untuk diterka. Sudah 1 tahun ini terjadi, namun berjalan tanpa sebuah pernyataan cinta, apa dayaku, ini semakin sulit untuk ku lalui, dimana disaat aku telah mengetahui, suatu pernyataan nyata, jika kak Fadli telah menjalin kasih dengan Kiki, temanku sendiri.

    “Akhirnya kamu mau menemui kakak Alya, apakah kamu tahu, mengajakmu untuk berbincang seperti ini sangatlah sulit, dan bukan hanya itu juga, mengapa setiap kakak menghubungimu, kamu tidak pernah mengangkatnya?”, tiba-tiba kak Fadli melontarkan sebuah pertanyaan kepadaku, ketika aku sedang berdiri di depannya untuk menemuinya yang sedang duduk di sofa sembari memainkan laptopnya dengan santai.

    Aku memandangnya, dan hanya memandangnya tanpa seucap kata. Entah mengapa, terbesit di ingatanku secara tiba-tiba, memori indah yang terjadi dengannya ketika masa MOS dahulu. Dia selalu menggangguku dengan gayanya yang cool tanpa senyum. Bukan hanya itu juga, jikalau aku sendiri menunggu bus di halte, dengan nada dinginnya, dia mengajakku untuk bercengkrama, dan sesekali aku dan dirinya berdebat mengenai berbagai masalah kependidikan dan masalah politik negara. Sungguh, aku sangat merindukan kebersamaan itu. Namun, sesuatu terjadi begitu saja, dimana ketika aku kembali menjalin hubungan bersama mantan kekasihku, yang juga merupakan kakak seniorku di Pramuka. Dan, aku tidak mengiranya, ketika aku menyadari, jika ketika itu, kak Fadli akan jauh dari hidupku. Apa dayaku, seraya dia menjauh dariku, disaat itu juga aku merasakan, jikalau ada sesuatu yang hilang dalam langkah waktuku. Tiada senyum kak Fadli yang aku lihat, serta tidak ada kembali sapaan dan candaan yang dia berikan untukku lewat pesan massangernya.

    Dan, tiba saat dimana ketika aku duduk di bangku kelas 2 SMA, secara tiba-tiba aku mendengar kabar, jikalau kak Fadli telah berpacaran bersama Kiki selama 3 bulan. Bukan mainnya, aku sangatlah terkejut dan aku hanya mampu diam, dan tidak mampu berkata apapun. Walaupun disaat itu, bersamaan adalah hari, dimana kak Ari yang merupakan mantan kekasihku, kembali mengkhianatiku dengan berpacaran bersama Kirana, yang juga merupakan temanku di Pramuka.

    “Alya, kamu tidak menjawab pertanyaan kakak?”, tiba-tiba kak Fadli menegurku dan membuyarkan lamunanku akan dirinya dan kenangan tentangnya.
    “Tidak, kita tidak bisa seperti dulu lagi kak. Akan terjadi kesalahpahaman pada hubungan kakak bersama Kiki jika kita bertemu seperti ini dan berkomunkasi kembali”, kataku dengan mencoba menahan air mata.
    “Apakah dengan kakak berpacaran bersama Kiki, maka itu berarti menjadi sebuah penghalang untuk kakak dapat dekat dengan kamu?. Al, sampai kapanpun, kakak tidak mau jauh dari kamu. Dan tidak akan ada yang bisa memisahkan pertemanan kita”.
    Aku memberanikan diri untuk melihatnya dan memandang wajahnya. Aku tidak tahu, dan tidak mengerti, harus kata-kata apa lagi yang ingin kukatakan kepada dirinya, agar dia mengerti dengan perasaanku. Menjauh dari kakak, adalah suatu hal yang sulit untuk Alya, tapi, tetap saja, Alya harus mengerti di posisi Kiki?, dia sangat cemburu dengan kedekatan kita. Dan juga, Alya tidak ingin, jika kita terus dekat seperti ini, maka, kakak akan mengetahui, bagaimana perasaan Alya terhadap kakak yang sebenarnya. Alya menyukai kakak, tapi kakak hanya menyukai Kiki, kata hatiku

    “Kenapa kamu seperti ini?, jawab Alya?. Al, bulan Desember adalah hari terakhir kakak di SMA ini. Dan bulan Januari, adalah hari perpisahan kakak. Setelah hari perpisahan itu, kakak akan melanjutkan studi kakak ke Yogya. Oleh karena itu, kakak ingin menjadikan kamu sebagai kenangan yang indah. Kakak mohon, bisakah kita kembali berteman seperti dulu?”, tampak jelas kak Fadli mencoba membujukku untuk kembali kepadanya, namun, aku tetap pada pendirianku, yaitu, menjauh dari dirinya.
    “Tidak kak. Sudahlah, Alya harus pergi bertemu dengan kak Vany”, kataku dengan ketus, dan kemudian tanpa berfikir panjang, segera bergegas aku untuk pergi meninggalkan dirinya. Namun, seketika dimana aku hendak meninggalkannya, tampak dia kembali memanggil namaku dan kembali menanyakan suatu pertanyaan yang sama.
    “Alya, kenapa kita tidak bisa seperti dulu lagi?”
    “Alya, suka dengan kakak”, kataku kepada dirinya, sembari aku menatap dirinya dan kemudian berlari keluar aula untuk menenangkan diriku yang dengan jujur mengungkapkan perasaanku kepada dirinya.
    Sementara itu, setelah mendengar pernyataan rasa suka yang dengan berani aku ungkapkan kepadanya, dia hanya diam dan terduduk sembari memaknai arti dari pernyataan rasa sukaku kepadanya.
    Alya menyukaiku?, kenapa ini terjadi?, tanya dirinya kepada hatinya.

    TIBA DI BULAN DESEMBER…
    Aku benar-benar merindukan kak Fadli. Satu minggu tidak bertemu dengannya, serasa untukku satu tahun aku tidak bertemu dengannya. Namun apa yang harus aku perbuat, genap setelah satu minggu selesai Ujian Nasional, maka di bulan Januari, kak Fadli akan pergi ke Yogya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, dan ini sebagai tanda bahwa aku tidak akan bertemu dengannya kembali. Hem, apalagi, Claudia telah bercerita kepadaku, jika hubungan kak Fadli dan Kiki telah membaik dan mereka telah merayakan anniversary 1 tahun mereka dihari Rabu kemarin. Seperti inilah yang harus aku rasakan, tidak terlalu berharap kepada kepastian cinta yang semu. Dan suatu kemustahilan, jika kak Fadli akan membalas cintaku, tapi tidak masalah untukku, menyukainya dalam diam, dan menjadi motivasi bagiku untuk meraih mimpiku, aku berkata kepada hatiku, seketika aku sedang beristirahat sejenak di trotoar sembari melepas kelelahanku setelah berlari pagi mengitari taman dekat rumahku.

    Namun, disaat aku hendak melanjutkan kembali lariku, kak Fadli datang dari arah depan menuju kepadaku. Dia melepas senyum manisnya, dan menyapaku dengan ramah, seraya mengatakan, jika dia merindukan diriku. Namun aku hanya melepas senyum tipis malu-malu. Aku tertunduk diam sembari memberikan sebotol air mineral untuknya, aku mengetahui jika dipagi ini, dia juga telah berlari pagi mengitari taman. Sembari melepas rinduku yang mendalam, aku kemudian mencoba mengajaknya untuk berbincang bersama.

    “Bagaimana ujian akhir kakak?, apakah berjalan lancar?”, tanyaku kepadanya. Namun, dia hanya memberikanku seuntai senyum dan aku melihatnya, jika senyum yang dia berikan begitu tulus, seraya sebagai pertanda, jika dia telah berhasil melakukannya dengan baik dan sempurna.
    “Bagaimana jika kita sejenak mampir ke warung roti bakar itu untuk mengisi perut yang kosong?”, tiba-tiba dia menawariku untuk pergi sarapan berdua dengannya di sebuah warung roti bakar dekat taman. Sungguh, Aku tidak pernah menduga, ini adalah untuk pertama kalinya, dia mengajakku untuk makan bersamanya seraya berbincang dengan akrab. Dengan lahap dan penuh rasa kelaparan, aku segera menyantap roti bakar dengan selai keju yang aku pesan.

    Mimpi apakah aku tadi malam?, bertemu kembali dengan kak Fadli, dan kemudian sarapan bersama dengan saling bertatapan seperti ini?, aku terus bertanya kepada hatiku, sembari melihat sepotong roti yang berada di tanganku.
    “Alya?”, kak Fadli memanggilku dengan ramah.
    “Iya kak?”, jawabku dengan nada lugu.
    “Bunga apakah yang kamu sukai Alya?”. Dengan wajah tampannya, dia bertanya kepadaku dengan ramah dan penuh keanggunan, sungguh berada di dekatnya semakin membuatku gugup dan salah tingkah.
    “Edelweiss”, jawabku dengan tungkas.
    “Edelweiss?, apa alasannya?. Hem, bukankah setiap wanita selalu menyukai mawar merah?, dan kenapa kamu menyukai Edelweiss?”, terlihat jelas kak Fadli memandangku dengan penuh keheranan.
    Namun, seraya aku memandangnya, aku secara berani dan juga percaya diri menjelaskan kepadanya, mengapa aku sangat menyukai bunga Edelweiss. “Alya menyukai Edelweiss, karena Edelweiss adalah bunga yang melambangkan tentang keabadian. Bentuknya yang lucu dan simpel, memberikan sebuah pernyataan, jika disaat kita mencintai seseorang, maka tunjukkan dalam bentuk cinta yang sederhana namun tetap tulus. Dan, Edelweiss juga melambangkan kesetiaan, yaitu dia tidak pernah mati, walau dalam keadaan yang kering. Dia tetap terlihat cantik. Dan, keabadian yang dimilikinya juga mengajarkan kepada kita, jika cinta yang saat ini kita miliki, biarkanlah tetap abadi di dalam diri kita, walaupun kita tidak bisa memilikinya. Dan cinta bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan, jika memang bukan yang kita kehendaki”.
    Aku mengerti, jika dalam tatapan semu yang ditunjukkan oleh kak Fadli, ketika dengan seriusnya memandangiku yang sekilas cerita tentang Edelweiss, maka secara bersamaan dia telah memahami tentang perasaanku yang telah aku ungkapkan kepada dirinya satu bulan yang lalu.
    “Alya?, apaaakkaaah… “, ketika kak Fadli akan melanjutkan pertanyaannya kepadaku, tiba-tiba, Kiki datang tepat dimana aku dan kak Fadli sedang duduk bersama di sebuah warung roti bakar. Aku benar-benar tidak percaya, dia datang kepadaku, sembari melontarkan seuntai kata yang cukup menyakitkan untuk kudengar.
    “Dengar Alya, kak Fadli tidak akan mungkin menyukaimu, karena dia adalah selamanya kekasihku, dan kamu jangan terlalu berharap”, dia mengeluarkan kata-kata ketus tersebut, dan sembari menahan air mataku aku kemudian pergi meninggalkan kak Fadli dan Kiki begitu saja.

    2 TAHUN KEMUDIAN…
    Aku bahagia, keinginanku didalam mengejar mimpiku telah mampu kucapai dengan prestasi yang gemilang. Aku bahagia, dikarenakan di usiaku yang ke-20 tahun ini, aku telah berhasil melanjutkan studi magisterku di Kota Bandung, yaitu tepatnya di jurusan Pendidikan Kesejarahan.
    Aku bahagia, hanya menunggu waktu selama 2 tahun, maka aku akan kembali mengambil gelarku menjadi Magister Pendidikan, dan kemudian melangkahkan kakiku menjadi seorang doesen kesejarahan. Tentu ini semua adalah berkat kasih sayang dan doa dari mama dan papaku.
    “Al, mama ada kabar gembira untuk kamu”, tiba-tiba mama menemuiku di dapur yang hendak memasak untuk sarapan pagi dengan wajah yang penuh kegirangan.
    “Ada apa ma?, sepertinya itu kabar yang membahagiakan”, aku mencoba menggoda mamaku.
    “Al, memangnya kamu gak bosan, liburan semester selama 3 bulan, hanya kamu habiskan dirumah seperti ini?, apakah kamu tidak ingin refresing?”, mama bertanya kepadaku. Aku melihat mama, dan seraya menguntai senyum tipis,
    “Ma, Alya tidak akan pernah bosan menghabiskan liburan semester Alya yang 3 bulan ini di rumah, jika menghabiskannya bersama mama dan papa dan Najwa”, kataku dan kemudian mengecup pipi mama.
    “Maka dari itu Al, mama dan papa, berencana mengajak kamu untuk liburan dipuncak, kita akan berlibur di rumah tante kamu. Bukankah kamu merindukan mbak Sulis kan?, tante tadi mengirim pesan kepada mama, jika mbak Sulis, pagi ini akan pulang dari Colorado, dan dia akan menghabiskan waktu liburan musim dinginnya di puncak. Jadi bagaimana, kamu mau ikut?”. Dengan wajah penuh bahagi, aku tersenyum kepada mama dan sembari memeluk mamaku.
    “Tentu dong ma. Mama kan tahu, jika aku sudah 2 tahun tidak bertemu dengan mbak Sulis. Jadi aku sangat merindukannya. Bagaimana dia sekarang ya ma?, apakah dia telah berubah setelah tinggal dengan lamanya di Colorado?”, aku bertanya kepada mamaku sembari tertawa kecil.

    DAN PADA AKHIRNYA…
    Tidak terasa sudah berjalan 2 hari, aku menghabiskan liburan semesterku bersama mbak Sulis, keponakanku. Aku sangat bahagia, apalagi, ketika aku dengan seriusnya membuka sebuah album foto kenangan mbak Sulis selama tinggal di Colorado. Terlihat olehku, beberapa foto selfie mbak Sulis yang sedang bahagianya, berdiri di puncak gunung bersama para rekannya yang sedang menghabiskan liburan musim semi, sungguh ini sedikit membuatku merasa ingin sepertinya. “Mbak, sepertinya, menjadi seorang backpacker seperti mbak sangat menyenangkan”, kataku dengan nada mengejek kepadanya.
    “Iya Al, kita bisa mengenal alam lebih dekat. Tapi, kamu kan bukannya anggota pramuka kan?, kamu juga pastinya pernah naik gunung juga kan seperti mbak?”.
    “Iya sih mbak, aku pernah naik gunung, tapi itu ketika aku masih SMA, namun setelah kuliah, aku jarang bergabung untuk naik gunung lagi, dikarenakan, aku fokus dengan organisasi BEM, dan program beasiswaku mbak. Jadi aku rindu ingin seperti mbak lagi”.
    “Hem, kamu masih ada waktu 3 minggu lagi kan liburan di sini?, bagaimana jika hari minggu kita mendaki ke Bromo. Kamu mau kan?”. Dengan perasaan bahagia, aku menerima ajakan mbakku Sulis.

    TIBA DI HARI MINGGU…
    “Wowwww mbak, ini adalah untuk pertama kalinya Alya ke Bromo, dan ternyata pemandangan dari puncaknya sangat indah sekali”, kataku kepada mbak Sulis, seraya berteriak dari atas puncak Bromo mengekspresikan kebahagiannku.
    “Iya Alya. Apalagi jika kamu bersama seseorang yang spesial kemari, wah, pati akan seru banget. Dan kamu lihat Alya, ini adalah bunga Edelweiss, bunga yang melambangkan tentang keabadian”, mbak Sulis mengajakku untuk menemui rangkaian bunga Edelweiss yang tertanam dengan indahnya di atas puncak bromo tersebut. Namun, seketika aku melihat bunga Edelweiss tersebut, maka seketika itu pula, aku teringat akan sosok kak Fadli yang berjanji untukku di 2 tahun yang lalu, tepat seketika dia akan berangkat ke Yogya.

    FLASHBACK
    Di Bandara, Tepat jam 13.00 WIB, aku memandang wajah kak Fadli dengan pandangan yang semu. Aku menahan deraian air mataku, agar tidak membasahi pipiku. Hari ini, adalah hari dimana kak Fadli akan pergi ke Yogya untuk melanjutkan studinya.
    “Alya, jika memang kita ditakdirkan untuk berjodoh, maka kakak akan datang menemui kamu dengan sebucket Edelweiss yang indah”, katanya dengan seraya tersenyum.
    “Kak Fadli, yang terpenting bagi Alya, adlaah Alya dapat bertemu kembali dengan kakak”, jawabku kepadanya. Dan, sembari menguntai senyum indah untukku, dengan langkah kakinya yang semakin terasa jauh aku rasakan, dia telah pergi dariku dan menuju ke pesawat yang akan membawanya ke Yogya.
    “Kenapa Alya?”, mbak Sulis bertanya kembali kepadaku, namun aku hanya menguntai senyum tipis, dan kemudian setelah megambil beberapa foto Edelweiss tersebut, segera aku pergi dari puncak bromo tersebut dan hendak pulang ke Puncak. Namun, disaat aku akan turun dari puncak bromo, tiba-tiba saja, aku dari belakang punggungku, mendengar sebuah suara yang sangat aku kenali. Suara yang sangat tidak asing olehku. Aku mencoba memberhentikan langkah kakiku, dan sejenak ingin melihat ke arah belakang, siapakah gerangan suara itu. Dan benar saja, seketika aku berbalik ke arah belakang, didekat rangakain Edelweiss yang indah, terdapat kerumunan para pria yang sedang berselfie menikmati keindahan puncak bromo bersama Edelweiss tersebut. Huh, ternyata hanya ilusi. Aku mengira, jika tadi, aku benar-benar mendengar suara kak Fadli, namun ternyata bukan, kataku dengan nada menyesal.
    Namun, tiba-tiba…
    “Fadli, kemari, lihatlah, bukankah ini Edelweiss yang ingin kamu petik jika kita telah sampai di puncak bromo ini?. Edelweiss ini sangat indah sekali”. Bukan girangnya aku, seketika aku melihat sekali lagi ke arah belakang, ternyata, dengan tatapan yang sama, aku dan kak Fadli saling memandang. Aku bertemu kembali dengannya, dengan rentang waktu 2 tahun yang sangat lama. Dengan rasa bahagia, aku berlari kepadanya, dan kemudian berdiri tepat di hadapannya. Aku melepas senyum untuknya begitu juga dirinya.
    “Alya rindu kakak”, kataku dengan mata berbinar.
    “Kakak telah berakhir dengan Kiki. Sekitar satu tahun yang lalu”. Deg, dia memulai pembicaraan dengan sebuah kabar yang membahagiakan untukku. Tiba-tiba dengan sembari melepas senyumnya yang manis, dia dengan pesonanya memberikanku sebucket Edelweiss, sebagaimana dia telah berjanji kepadaku di 2 tahun yang lalu.
    “Kakak juga merindukan Alya. Maaf, telah membuat Alya menunggu terlalu lama”.
    Hanya senyumku yang bisa kuberikan kepadanya di sore itu. Dengan perasaan bahagia, dan wajahku yang berbinar-binar kasmaran, aku menerima bucket Edelweiss darinya. Diiringi dengan nyanyian burung yang merdu dari atas puncak bromo. Sungguh, penantian cintaku berakhir dengan indah, dan semoga akan tetap abadi seperti Edelweiss yang dia persembahkan untukku.
    “Alya cinta kakak, dan selamanya akan selalu cinta kakak”, bisikku.

    SELESAI

    Cerpen Karangan: Aisyah Nur Hanifah
    Facebook: Aisyah Nur Hanifah (Nur)

    Artikel Terkait

    Edelweiss
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email